PERAN PENTING ULAMA DALAM MENGONTROL KEKUASAAN

 

PERAN PENTING ULAMA DALAM MENGONTROL KEKUASAAN

Wahyudi Ibnu Yusuf

Peran Penting Ulama

Ulama adalah orang yang berilmu dan beramal dengan ilmunya. Imam ‘Ali bin Abi Thalib menyatakan:

                    يَا حَمَلَةَ الْعِلْمِ اعْمَلُوا بِهِ ، فَإِنَّمَا الْعَالِمُ مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَوَافَقَ عِلْمُهُ عَمَلَهُ

“Wahai pengemban ilmu (ulama), beramallah dengan ilmu tersebut; karena ssungguhnya orang alim itu adalah orang yang beramal dengan apa yang dia ketahui dan ilmunya sejalan dengan amalnya”[i]

Sangat banyak ayat al-Quran dan hadits yang menjelaskan peran  penting ulama. Di antaranya Allah sendiri yang nyatakan bahwaUlama adalah hamba-Nya yang takut kepada-Nya (QS: Fathir:28). Karena takutnya pada Allah, maka Allah gelarinya khairul bariyyah (sebaik-baik makhluk Allah) (QS: al-Bayyinah: 7-8). Ulama juga ditinggikan derajatnya di sisi Allah melebihi dari orang beriman lainnya, padahal kedudukan orang beriman sudah tinggi di sisi Allah (QS: al-Mujillah: 11). Ibnu Abbas mengomentari surah al Mujadilah ini dengan menyatakan: “Kedudukan ulama 700 derajat di atas orang-orang beriman. Padahal jarak antar derajat sejauh 500 tahun perjalanan”. [ii]

Ulama adalah ahli waris para Nabi. Tidaklah seorang ahli waris menerima waris dari al-muwāris kecuali ia orang yang dekat karena sebab syar’i dan tidak ada penghalang baginya untuk mendapatkan warisan. Artinya kedudukan ulama begitu dekat dengan kedudukan para Nabi. Karenanya Imam Ghazali mengutip sebuah hadits dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin bahwa kedudukan ulama adalah kedudukan paling dekat dengan kedudukan kenabian.

أقرب الناس من درجة النبوة أهل العلم و الجهاد

Kedudukan paling dekat dengan kenabian adalah ahl ‘ilm (ulama) dan ahl jihad (mujahidin).[iii]

Ulama adalah penerang gelapnya malam dan menjadi panduan bagi orang-orang yang memerlukan petunjuk jalan. Nabi memisalkannya dengan kawākib (bintang gemintang) di langit. Disinilah peran penting ulama untuk pembimbing umat agar umat tidak tersesat arah. Dalam konteks perubahan menuju kehidupan yang Islami ulama juga menjadi gerbong utama menuju perubahan yang hakiki.

Kewajiban Mengoreksi Penguasa

Mengoreksi/menasihati penguasa (muhāsabah al hukkām) merupakan bagian dari aktivitas al-amr bil ma’ruf wa an-nahyu ‘an al-munkar. Sementara kewajiban amar makruf nahi munkar telah disebutkan dalam banyak ayat al-Quran dan hadits Nabi Saw. Jika terhadap sesama muslim saja kita diwajibkan saling menasihati, lebih-lebih terhadap penguasa yang memiliki power/kekuasaan. Dimana dengan kekuasaanya ia dapat menerapkan hukum-hukum syari’at bagi dirinya dan rakyatnya dan sebaliknya dengan kekuasaanya pula ia dapat berbuat zalim terhadap rakyat. Nabi Saw dalam haditsnya menyebut bahwa agama adalah nasihat (an-dīn an-nashīhah). Nabi menggunakan redaksi yang mirip dengan sabda beliau “al-hajju ‘arafah” karena inti dari ibadah haji adalah wukuf di padang ‘Arafah. Hal yang sama Nabi ingin menyatakan bahwa pilar dari agama adalah nasihat. Ketika Nabi ditanya: “Nasihat bagi siapa?”. Di antara jawaban beliau adalah, “nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin”. [iv]

Nabi Saw juga memberikan pujian khusus bagi bagi orang-orang yang menasihati penguasa yang zalim dengan gelar afdhalul jihad, jika ia terbunuh dalam aktivitas menasihati penguasa maka nabi Saw samakan dengan pemimpin para syuhada, Hamzah bin Abdul Muthalib. Nabi menyatakan:

أَلَا إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Ingatlah, sungguh seutama-utama (pahala) jihad adalah (menyampaikan) kalimat yang haq pada penguasa yang zalim.[v]

سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

Pemimpin para syuhada adalah Hamzan bin Abdul Muthalib dan seorang lelaki yang berkata pada pemimpin yang zalim memerintahkannya (pada kemakrufan) dan mencegahnya (dari kemungkaran), lalu pemimpin zalim tersebut membunuhnya.[vi]

Terkait kedudukan ulama dalam menasihati penguasa, para ulama sebutkan bahwa hukkām adalah penguasa bagi rakyat, sedang ulama hukkām-nya penguasa. Abu al-Aswad ad-Duwali menyatakan:

الملوك حكام على الناس و العلماء حكام على الملوك

Para raja adalah penguasanya manusia (rakyat), sedangkan ulama adalah penguasanya para raja.[vii]

Imam Ghazali dengan ketajaman analisisnya menyatakan bahwa “rusaknya rakyat disebabkan karena rusaknya penguasa, sedang rusaknya penguasa disebabkan karena rusaknya ulama”.[viii] Makna kebalikannya, jika ulamanya lurus dan benar maka mereka akan meluruskan kebengkokan penguasa, sehingga para penguasa akan membuat aturan dan kebijakan yang benar dan adil sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

 

Salah Kaprah dalam Mengoreksi Penguasa

Ada salah kaprah sebagian kalangan yang menyatakan menasihati penguasa dianggap sebagai aktivitas bughat (memberontak), mereka juga menyatakan bahwa menasihati penguasa harus dengan sembunyi-sembunyi. Ironisnya, pihak yang menyatakan seperti ini, justru menyatakan halal menumpahkan darah kaum muslimin yang melakukan aktivitas muhasabah lil hukkam dengan dalih mereka adalah neo-khwarij. Anggapan ini sepenuhnya keliru. Menasihati penguasa bukanlah tindakan memberontak (bughat). Karena bughat adalah aktivitas fisik (angkat senjata) dengan melepaskan ketaatan pada penguasan yang sah (haq), padahal kaum musliam yang menasihati penguasa termasuk di negeri ini tidak mengangkat senjata, mereka hanya mengunakan lisan dan pena. Para ulama ahli fikih mendefinisikan bughat dengan:

الْخَارِجُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ عَنْ طَاعَةِ الإْمَامِ الْحَقِّ بِتَأْوِيلٍ، وَلَهُمْ شَوْكَةٌ

Orang-orang dari kaum muslimin yang keluar dari ketaatan pada imam yang sah (haq) disebabkan karena perbedaan pemahaman (takwil) dan mereka menggunakan kekuatan senjata (syaukah).[ix]

Tentang cara menasihati penguasa, tidak ada dalil shahih yang menyatakan harus menasihati dengan berduaan/sembunyi-sembunyi. Dalil-dalil yang ada, terutama tiga hadits di atas (hadits menasihati imam, afdhul jihad dan sayyid syuhada’) redaksinya mutlak tanpa ada taqyid, maka atas dasar apa mentaqyid perintah menasihati penguasa dengan harus berduaan. Justru jika berpatokan pada hadits penghulu para syuhada’, disebutkan akibat menasihati penguasa ia dibunuh. Apakah jika berduaan saja maka berakibat pada hukuman mati?. Demikian pula, praktik generasi emas dari umat ini mereka telah menasihati penguasa dengan terang-terangan.

Adapun hadits riwayat Imam Ahmad, dari jalur ‘Iyâdl bin Ghanm dan jalur Hisyâm bin Hakim, Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksakan kewajibannya”  (HR. Ahmad, hadits no. 15333)

Hadits di atas memiliki dua jalur sanad, yaitu jalur ‘Iyâdl bin Ghanm  dan Hisyâm bin Hakim. Namun kedua jalur tersebut munqathi’ (terputus) sehingga sanadnya dho’if. Sebab dhaifnya karena Syuraih bin ‘Ubaid bin Syuraih al Hadlromiy tidak mendengar hadits tersebut dari Hisyâm bin Hakim bin Hizam, Syuraih juga tidak mendengarnya dari Iyâdl bin Ghanm. Ini sebagaimana ta’liq Syaikh Syu’aib al Arna’uth yang menyatakan:

وهذا إسناد ضعيف لانقطاعه، شريح بن عبيد الحضرمي لم يذكروا له سماعاً من عياض ولا من هشام

Dan ini adalah sanad yg dho’if  karena terputusnya, Syuraikh bin ‘Ubaid Al Hadlromy tidak menuturkan lewat pendengaran (simâ’an) dari ‘Iyâdl dan tidak juga dari Hisyâm.

Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya, Al Marâsîl menyatakan:

سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ لَمْ يَدْرِكْ أَبَا أُمَامَةَ وَلَا الْحَارِثَ بْنَ الْحَارِث وَلَا الْمُقدم

Aku mendengar ayahku berkata: Syuraih tidak berjumpa dengan abu Umâmah, tidak pula al Hârist bin al Hârist dan tidak pula Miqdam.

Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak mendapati (masa) Abu Umâmah r.a yang meninggal tahun 86 H, juga tidak menemui al Miqdam bin Ma’di Karb r.a yang meninggal tahun 87 H, maka tidaklah mungkin dia bertemu dengan Hisyâm bin al Hakim yang meninggal pada awal masa kekhilafahan Mu’awiyah, lebih-lebih dengan ‘Iyâdl bin Ghanm yang meninggal pada tahun 20 H yaitu pada masa amirul mukminin Umar bin Khaththab r.a.[x]

 

Kisah Teladan Para Ulama yang Teguh di Hadapan Penguasa

Terdapat sejumlah riwayat di zaman sahabat dan para khalifah dimana rakyatnya menasihati penguasa secara terbuka. Di antaranya ‘Ubadah bin Shamit r.a menasehati Mu’awiyyah dengan terang-terangan dalam kasus riba fadhl (HR. Muslim), Abu Said Al Khudri r.a mengoreksi Marwan (Amir Madinah) dengan terang-terangan dalam kasus shalat ‘Ied (HR. Bukhari), Umar Bin Khattab r.a dikoreksi secara terang-terangan oleh seorang wanita dalam kasus pembatasan mahar (Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/243 – 244.

Demikian pula terdapat banyak lagi kisah-kisah nyata keteguhan para ulama dalam mengoreksi penguasa. Mereka mendapat ujian (mihnah) karena mengoreksi penguasa. Sa’id bin Musayyab menolak bai’at dua calon khalifah sekaligus yaitu Walid dan Sulaiman sebagai pengganti Abdul Malik. Dia menolak karena haramnya membai’at dua khalifah sekaligus. Akibatnya, beliau mendapat ancaman hukuman bunuh, dicambuk 50 kali dan diarak di sekitar kota Madinah. Beliau tetap teguh dengan pendiriannya dengan menyatakan: “Janganlah engkau penuhi matamu dengan menatap para pendukung penguasa zalim, kecuali dengan hati penuh pengingkaran, agar amal kebaikanmu tidak sirna”. Sa’id bin Jubair, ia berdialog dengan Hajjaj bin Yusuf (Wali Makkah yang zalim), menasihatinya dengan hujjah yang kokoh tak terbantahkan, hal itu membuat kekalahan intelektul bagi Hajjaj, hingga Hajjaj memerintahkan membunuh Sa’id bin Jubair dengan cara disembelih. Mengomentari hal tersebut Imam Hasan al Bashri berdoa: “Yaa Allah, azab-Mu atas orang orang fasiq dari Tsaqif itu. Demi Allah, seandainya seluruh manusia dari Timur dan Barat bergabung untuk membunuh Sa’id, pasti Allah akan sungkurkan mereka semua ke dalam neraka Jahannam”. Benar saja, beberapa hari kemudian Hajjaj mati, dan jelang kematiannya ia berkata “Sa’id bin Jubair telah membunuhku”. Demikian pula Imam Ja’far as-Shadiq, Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam as-Syafi’i, Imam Bukhari, Sulthanul Ulama al-‘Izz bin Abdussalam, Imam Ibnu Taimiyah dan sederet ulama lain yang teguh dalam menasihati peguasa. Kisah-kisah nyata penuh heroik ini di antaranya bisa dibaca dalam kitab al-Islam baina al-’Ulama wa al-Hukkam  karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz al Badri,[xi] seorang ulama mujahid pejuang syariah dan khilafah yang menemukan syahidnya karena siksaan di penajara rezim Komunis Iraq. Semoga Allah Ta’ala istiqamahkan kita di jalan perjuangan, menyusuri jalan pada ulama yang shalih, berjuang menyambut bisyarah Rasulillah, khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Aamiin yaa rabb.

Banjarmasin, 9 Desember 2020

Al faqiir ilaLlah WIY

 



[i] al Hafidz Abu Zakaria  an Nawawi al Asy’ari asy- Syafi’I, at Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, hal 13

[ii] KH. Hāsyim Asy’ari. Irsyad as-Sāriy  fī jam’i Mushannafāt asy-Syaikh Hāsyim Asy’ari. h. 12

[iii] Abu Hamid al-Ghazali, Ihyā ‘Ulūmiddīn, vol. 1 (Mesir: Syirkah al-Quds, 2012). H. 19. Hadis ini menurut takhrij al hafizh al-‘Iraqi sadanya dha’if

[iv] HR. Imam Bukhari dan Muslim, lihat Syarah Muslim li Imam an Nawawi, juz 1 hal. 144

[v] HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Redaksi dari Imam Ahmad dalam kitab musnadnya

[vi] HR. Al Hakim dalam al Mustadaknya, beliau menyatakan sanad hadis ini shahih meski Imam Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya

[vii] Badruddin Ibnu Jama’ah, Tadzkirah as-Sāmi’ wal Mutakallim fī Adab al-‘āalim wal muta’allim (Mesir: Maktabah Ibn Abbas, 2005). H. 70

[viii] al-Ghazali, Ihyā ‘Ulūmiddīn. Juz 2. H. 191

[ix] Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, Mausu’ah  al-Fiqhiyah al Kuwaitiyah, (Mesir: Dar Salasil, 1427 H). Juz 8 hal. 130

[x] https://mtaufiknt.wordpress.com/2012/11/23/mengoreksi-penguasa-dengan-terang-terangan-merupakan-cara-khowarij/

[xi] ‘Abdul ‘Aziz al Badri. Al-Islam baina al-’Ulama wa al-Hukkam. (Madinah: Maktabah al-‘Ilmiyah, tt)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB