MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

 

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf (Mahad Darul Ma’arif Banjarmasin)

Menurut asy Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani perkara yang termasuk dalam cakupan “mâ lâ yatimmu al-wâjib” atau “sesuatu yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengan sesuatu itu” ada dua jenis:

Pertama, kewajiban itu merupakan suatu yang tergantung pada syarat tertentu atau disebut masyrûth. Contohnya shalat adalah masyrûth yang menghajatkan thaharah sebagai syarat. Maka thaharah misalnya wudhu bagi yang berhadas kecil merupakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib” untuk pelaksanaan sholat (ada’u ash-shalah). Hanya saja kewajiban wudhu sebagai syarat ini tidak ditetapkan berdasarkan wajibnya seruan (khithab) shalat. Namun harus ada dalil tersendiri (munfasil) yang mewajibkannya. Jadi wajibnya wudhu tidak mengikut pada dalil perintah shalat. Misalkan firman Allah ta’ala:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ

Dan tegakkanlah shalat (QS. An-Nur: 56).

Ayat ini merupakan ayat yang berisi khitâb (seruan) wajibnya shalat. Maka wajibnya wudhu tidak bersandar pada dalil ini. Namun berdasarkan dalil yang lain, yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban shalat (ada’u wujûb ash-shalah), yaitu firman Allah Ta’ala:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak melaksanakn shalat maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian hingga siku....(QS. al-Maidah: 6)

Termasuk dalam jenis pertama ini adalah as-sabab bagi musabbab. Dimana as-sabab menjadi kondisi yang menyempurnakan terwujudnya hukum musabbab. Contoh, terlihatnya hilal menjadi sebab pelaksanaan shaum di bulan Ramadhan.

Kedua, kewajiban itu merupakan suatu yang tidak tergantung pada syarat tertentu atau disebut ghairu masyrûth, artinya kewajiban tersebut bersifat mutlak, tanpa dibatasi oleh syarat atau sebab tertentu. Jenis ini dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu: kewajiban yang dalam kadar kesanggupan mukallaf dan kewajiban yang  berada di luar kesanggupan mukallaf. Untuk kewajiban yang berada dalam ranah kesanggupan mukallaf maka keadaan atau “mâ lâ yatimmu al-wâjib”   yang bergantung padanya sempurnanya kewajiban ditetapkan berdasarkan khithâb/seruan yang ada pada kewajiban itu sendiri. Sebagai contoh, membasuh kedua siku saat berwudhu, tidak sempurna pembasuhan siku kecuali dengan membasuh bagian dari kedua siku tersebut. Dalam kondisi ini maka membasuh bagian siku adalah wajib karena membasuh siku hukumnya wajib berdasarkan nash (QS. al-Maidah: 6). Dalam konteks  ini wajibnya membasuh bagian siku tidak memerlukan dalil khusus, namun ia tercakup dalam dalâlah al-iltizâm yang ada pada nash (QS. al-Maidah: 6).

Contoh lain adalah, mendirikan kelompok dakwah yang berjuang untuk menegakkan khilafah dan mengoreksi penguasa hukumnya adalah wajib, karena menegakkan khilafah dan mengoreksi penguasa hukumnya wajib. Kewajiban mendirikan kelompok dakwah seperti ini tidak memerlukan dalil khusus, namun cukup dengan dalâlah al-iltizâm atau makna lafadz yang secara pasti menuntut adanya sesuatu untuk merealisasi tuntutan yang ada pada nash. Nash-nash tentang wajibnya menegakkan khilafah dan mengoreksi penguasa sudah jelas, sementara untuk merealisasikannya tidak mungkin dilakukan sendirian. Dengan kata lain tidak sanggup diwujudkan sendirian. Dengan demikian wajib menghimpun berbagai potensi dan kekuatan dalam sebuah jamaah dakwah, hal inilah yang meniscayakan adanya jamaah atau kelompok dakwah.

Adapun jika kondisi “mâ lâ yatimmu al-wâjib”  berada di luar kesanggupan mukallaf (ghairu maqdûr) maka status hukum “mâ lâ yatimmu al-wâjib”-nya tidak wajib. Hal ini  karena Allah Ta’ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kesanggupannya (QS. al-Baqarah: 286)

Juga berdasarkan hadis Nabi:

وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Dan jika aku perintahkan kalian dengan suatu perintah, maka lakukanlah darinya sesuai kesanggupan kalian (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Dalam kitab Al-Wajîz fî îdhâh Qawâ’id al-Kulliyah juz 1 hal 393-394 diberikan contoh “mâ lâ yatimmu al-wâjib”  yang  ghairu maqdûr adalah jumlah jamaah shalat jumat. Dalam madzhab Imam Syafii minimal jumlahnya 40 jamaah. Namun memastikan hadirnya 40 jamaah ini di luar kesanggupan masing-masing jamaah.

Kesimpulannya, kaidah “mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa wâjib”  berlaku pada dua keadaan. Pada kewajiban mutlak (kewajiban yang tidak memerlukan syarat atau sebab), maka berlaku berdasarkan dalâlah al-iltizâm (berdasarkan khithab itu sendiri). Kedua pada kewajiban yang memerlukan syarat dan sebab, maka untuk menentukan “mâ lâ yatimmu al-wâjib” memerlukan dalil tersendiri (bukan berdasarkan dalil khitab wajib).

Wallahu Ta’ala a’lam bi ash-Shawab

Banjarmasin, 11 Sya’ban 1442 H/ 25 Maret 2021 M

Rujukan:

Al-Wajîz fî îdhâh Qawâ’id al-Kulliyah, Syaikh Muhammad Shidqiy al-Burnu, hal 393-394

Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-juz at-tsalits, Syaikh Taqiyuddin Nabhani, hal. 42-44

Taisir Wushul ilal Ushul Dirastun fii Ushul al-Fiqh, Syaikh ‘Atha’ Ibn Khalil hal. 47-48

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB