MENGHADAPI KRIMINALISASI AJARAN ISLAM

 

MENGHADAPI KRIMINALISASI AJARAN ISLAM

Pendahulun

Pada asalnya istilah kriminalisasi atau pemenjahatan (bahasa Inggris: criminalization) dalam ilmu kriminologi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat. Namun saat ini istilah ini mengalami pengembangan makna menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kriminalisasi).

Ajaran islam yang dimaksud adalah seluruh pemikiran Islam yang mencakup dimensi hubungan dengan Allah Ta’ala (seperti akidah dan ibadah), dimensi hubungan dengan diri sendiri (hukum islam terkait makanan, minuman, pakaian dan akhlak), dan dimensi hubungan dengan sama manusia yang mencakup muamalah dan ‘uqubat (sistem sanksi).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa maksud kriminalisasi ajaran Islam bisa diartinya ajaran Islam yang dianggap salah karena tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan, selanjutnya pihak-pihak baik individu atau kelompok yang mendakwahkan ajaran islam yang dianggap tidak sesuai dengan aturan negara juga bisa dijerat dengan sejumlah pasal dan dimejahijaukan.

Kriminalisasi Ajaran Islam; Proyek Deradikalisasi

Ajaran Islam yang saat ini viral menjadi objek kriminalisasi adalah khilafah. Secara aturan perundang-udangan tidak ada satupun produk hukum yang secara tegas/tekstual yang menyatakan bahwa khilafah adalah ajaran terlarang. Namun pada kenyataannya kriminalisasi khilafah sebagai ajaran Islam ini benar-benar terjadi. HTI sebagai kelompok yang getol menyuarakan khilafah dicabut badan hukumnnya, Ustaz Ismail Yusanto selaku Jubir HTI dipolisikan. Postingan di sosial media yang mengkampanyekan khilafah bisa dimejahijaukan seperti yang terjadi pada saudara Despianoor di Kotabaru Kalimantan Selatan. Pengajian yang menyampaikan khilafah dipersekusi dan dibubarkan. Materi khilafah di buku madrasasah ‘Aliyah dihapuskan atau setidaknya digeser ke tema sejarah semata. Dalihnya khilafah adalah kewajiban historis, bukan kewajiban secara fikih. Namun saat viral film “Jejak Khilafah di Nusantara” yang fokus mengkaji aspek sejarah, filmnya dibanded saat penayangan perdana dengan alasan ada konten yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan negara.  

Kriminalisasi ajaran Islam adalah bagian dari proyek deradikalisasi atau perang terhadap radikalisme. Perang terhadap radikalisme sejatinya adalah perang terhadap Islam. Pernyataan ini bukanlah pernyataan yang berlebihan. Buktinya, sering kali proyek deradikalisanya dikaitkan dengan  istilah atau terma Islam. Terbaru Menteri Agama menyebutkan cara faham radikal masuk ke masjid-masjid melalui imam masjid yang “good looking/berpenampilan menarik”, hafal al-Quran, dan fasih berbahasa arab(Rabu, 2/9/2020). Sebelumnya viral istilah “masjid radikal” dan “ustaz radikal”, sementara tidak pernah kita dengar istilah “gereja radikal” dan “pendeta radikal”. Demikian pula ASN yang panjang jenggotnya, bercelana cingkrang, perempuannya bercadar dianggap telah terpapar paham radikal. Sementara kelompok bersenjata “Papua merdeka” yang jelas membahayakan negera tidak pernah dicap radikal, apa karena kurang syarat dan rukunnya?. Cap radikal juga dialamatkan pada sejumlah ajaran Islam seperti jihad dan khilafah, sehingga perlu dihapuskan dalam buku ajar di madrasah ‘Aliyah. Sederet fakta ini sudah menjadi bukti yang cukup bahwa perang melawan radikalisme adalah perang melawan Islam itu sendiri.

Perang terhadap radikalisme ini tidak hanya muncul di Indonesia. Ini adalah proyek global. Setelah Amerika Serikat dipimpin oleh Donald Trump, slogan “Global War on Terrorism diubah menjadi sloganGlobal War on Radicalism, karena Global War on Terrorism tidak lagi bisa menjangkau kelompok-kelompok Islam yang ingin diterapkannya syariah Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah yang menggunakan metode dakwah non kekerasan, maka digunakanlah proyek Global War on Radicalism”. Dewan Keamanan Donald Trump menyatakan, kini Amerika Serikat sedang berperang dengan “terorisme radikal Islam”, atau “Islam radikal”, atau sesuatu yang lebih luas lagi, seperti “Islamisme.”

Mereka menggambarkan perang ini sebagai perjuangan ideologis untuk melestarikan/mempertahankan peradaban Barat, seperti perang melawan Nazisme dan Komunisme. Mereka menyebut, perang ini tidak terbatas pada Muslim ekstremis Sunni atau Syiah ekstremis, tetapi Islam secara menyeluruh, khususnya mereka yang ingin mengambil kekuasaan negara. (Achmad Fathoni dalam jurnal politik dan dakwah al-Wa’ie)

Mendudukkan Istilah Radikal

Sebenarnya, terminologi radikal yang membentuk istilah radikalisme, awalnya berasal dari bahasa Latin radix, radices, yang artinya akar (roots). Istilah radikal dalam konteks perubahan kemudian digunakan untuk menggambarkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Berpikir secara radikal artinya berpikir hingga ke akar-akarnya. Hal ini yang kemudian besar kemungkinan akan menimbulkan sikap-sikap anti kemapanan (Taher, 2004: 21).

Menurut The Concise Oxfort Dictionary (1987), radikal berarti akar, atau asal mula. Dalam kamus Oxford ini disebutkan istilah radical, kalau dikaitkan dengan perubahan atau tindakan, berarti relating to or affecting the fundamental nature of something; far-reachine or through (berhubungan atau yang mempengaruhi sifat dasar dari sesuatu yang jauh jangkauannya dan menyeluruh).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir dan bertindak”. Dalam pengertian yang lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok dan esensial.

Berdasarkan konotasi yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial. Bahkan dalam ilmu kimia dikenal dengan istilah radikal bebas. Adapun istilah radikalisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. Th.1995, Balai Pustaka, didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Menurut Simon Tormey, dalam International Encyclopedia of Social Sciences (V/48), radikalisme merupakan sebuah konsep yang bersifat kontekstual dan posisional. Dalam hal ini, kehadirannya merupakan antitesis dari ortodoksi atau arus utama (mainstream) baik bersifat sosial, sekular, saintifik maupun keagamaan.

Dengan demikian, dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya istilah yang netral, bisa positif bisa negatif. Namun, kini istilah radikalisme dimaknai lebih sempit sehingga memunculkan idiom-idiom seperti “radikalisme agama”, “Islam radikal”, dll. Semuanya cenderung berkonotasi negatif pada Islam. Ini tentu patut disayangkan. Pasalnya, kini istilah radikal menjadi kata-kata politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Penggunaan istilah “Islam radikal” sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis (hanya merujuk pada teks) dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagaman) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk. Istilah radikal menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan “Islam radikal” kemudian digunakan secara sistematis untuk menyebut pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi dan melakukan jihad melawan Barat. Wajar jika ada kesimpulan di masyarakat bahwa istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca runtuhnya Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam.

Sikap Rasulullah Menghadapi “kriminalisasi”

Sepanjang sejarah dakwah Islam, Rasulullah adalah orang pertama yang mengalami “kriminalisasi”, karena risalah Islam yang beliau dakwahkan dianggap bertentangan dengan aturan dan tradisi bangsa arab jahiliyah. Saat bangsa arab menyekutukan Allah dengan menyembah berhala beliau menyampaikan ajaran tauhid yang mengesakan Allah semata. Saat bangsa arab terbiasa curang dalam timbangan, mempraktikkan riba, biasa berzina dan membunuh bayi perempuan hidup-hidup, Nabi Saw diutus untuk mengubah tatanan ideologi, politik, ekonomi dan sosial saat itu. Akibatnya beliau mengalami kriminalisasi dengan berbagai bentuknya seperti persekusi, stigma negatif yang menuduh beliau memecah belah, sebutan majnūn (gila), sāhirul bayān (menyihir dengan kata-kata), hingga embargo dan rencana pembunuhan. Apakah Rasulullah dan para sahabat surut dari dakwah?. Tidak, sama sekali tidak. Satu inchi pun beliau tidak mundur. Beliau bahkan menyatakan:

يَا عَمّ ، وَاَللّهِ لَوْ وَضَعُوا الشّمْسَ فِي يَمِينِي ، وَالْقَمَرَ فِي يَسَارِي عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هَذَا الْأَمْرَ حَتّى يُظْهِرَهُ اللّهُ أَوْ أَهْلِكَ فِيهِ مَا تَرَكْتُهُ

Wahai pamanku, demi Allah seandainya mereka (mampu) meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan dakwah ini. Tidak akan aku tinggalkan dakwah ini, hingga Allah berikan kemenangan atau aku binasa karenanya. (Sirab Ibnu Hisyam).

Rasulullah tetap saja menjelaskan keburukan pemikiran dan tradisi jahiliyah, bahkan ayat al-Quran turun dengan menyebut nama gembong kemusyrikan yang jadi penentang dan penghalang dakwah, Abu Lahab. Menjelaskan kerugiannya di dunia dan akhirat akibat penentangan terhadap dakwah. Tenaga, pikiran, dan harta yang ia dan istrinya curahkan untuk menentang dakwah hanya akan jadi kesia-siaan dan bahan api neraka yang bergejolak. Rasulullah juga terus melakukan aktivitas thalab an-nushrah untuk meng-akselerasi capaian dakwah. Belasan kali beliau melakukan aktivitas ini, beliau tak pernah bergeser darinya, tetap melakukannya meski mendapatkan penolakan dari yang halus hingga yang kasar. Hingga akhirnya pertolongan datang dari dua kabilah kuat Aus dan Khazraj di Yatsrib. Secara internal beliau terus menguatkan para sahabat dengan menyampaikan semakin dekatnya pertolongan Allah. Beliau memotivasi sahabat dengan kisah-kisah Nabi terdahulu yang disiksa, digergaji tubuhnya hingga terbelah, disisir tubuhnya hingga terlihat putih tulangnya (QS. al-Baqarah [2]: 214). Hal inilah yang menjadikan hizb ar-Rasul tetap solid meski badai kriminalisasi makin menjadi-jadi. Dan satu lagi, Rasulullah tak telah berdoa agar Islam dikuatkan dengan orang yang saat itu menjadi penentang dakwah, hingga akhirnya Umar bin Khattab masuk Islam dan menjadi pembelanya.

Kesimpulannya, berdasarkan sirah (perjalanan) dakwah Nabi Saw dapat kita simpulkan beberapa aktivitas penting yang beliau lakukan saat mendapat kriminalisasi dakwah:

1.      Tidak mundur dari dakwah sedikit pun, inilah contoh terbaik yang wajib untuk kita teladani. Bahwa kita tak boleh surut dalam dakwah karena sejatinya kesulitan dakwah ini hanya sebentar, paling lama hingga ajal menjelang, sementara pahala yang akan diraih kekal abadi, in syaa Allah.

2.      Mengokohkan kesolidan hizb ar-Rasul yaitu para sahabat, di antaranya motivasi kemenangan yang makin dekat dan kisah-kisah nyata dari para Nabi dan Rasul terdahulu yang mengalami kriminalisasi saat berdakwah. Termasuk yang tidak kalah penting adalah terus menancapkan keyakinan tentang rizki, tawakkal, dan ajal, yakni dakwah tidak akan mengurangi jatah rizki dan tidak akan mempercepat kematian.

3.      Terus menjelaskan Islam sebagai solusi yang lurus atas berbagai kebobrokan dan kebengkokan sistem jahiliyah. Inilah yang harus kita lakukan saat ini, agar semakin terang benderang bahwa problem dunia saat ini hanya akan terurai dengan Islam.

4.      Terus melakukan aktivitas thalab an-nushrah untuk akselerasi dakwah. Aktivitas ini wajib dilakukan karena inilah thariqah dakwah Nabi, sekaligus untuk menolong aktivis dakwah dan dakwah itu sendiri.

5.      Senantiasa berdoa agar kemenangan Islam segera terwujud, semoga pihak-pihak yang menjadi penentang berbalik arah menjadi pembela.

Banjarmasin, 8 September 2020

Al faqiir ilaLlah Wahyudi Ibnu Yusuf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB