HUKUM WANITA MENJADI KEPALA DAERAH

 

HUKUM WANITA MENJADI KEPALA DAERAH

Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf

Pendahuluan

Dalam sistem demokrasi tidak ada perbedaan wanita dan laki-laki dalam hal jabatan politik. Tak heran jika banyak wanita yang jadi kepala negara/ pemerintahan dan kepala daerah seperti gurbernur dan bupati/walikota. Berkaitan kedudukan wanita sebagai kepala negara/pemerintahan tidak ada perbedaan di antara ulama akan keharamannya. Namun untuk kepala daerah, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama dan kelompok-kelompok Islam. Tujuan ditulisnya risalah singkat ini adalah untuk menyampaikan pendapat penulis terkait tema ini, karena sedangkal penelusuran penulis tema ini sangat sedikit dibahas. 

 

Hukum Wanita Menjadi Kepala Negara

Telah ijma (sepakat) bahwa seorang wanita haram menjadi kepala negara (imamah ‘uzhma).[1] Dalil keharamannya adalah hadis shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan lainnya, dari Abu Bakrah. Saat sampai berita pada Nabi Saw bahwa rakyat Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai kepala negara, lalu Nabi Saw bersabda:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

Tidak beruntung selamanya kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka pada wanita (HR. Bukhari, no. 4073)

 

Hadis ini merupakan dalil utama yang digunakan para ulama untuk menyimpulkan haramnya seorang wanita menjadi kepala negara. Dalam Tesisnya Syaikh Abdullah bin Umar dan Dumaji menyatakan selain dalil  hadis di atas, terdapat juga sejumlah ayat dalam al Quran yang menunjukkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Diantaranya firman Allah Ta’ala:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ...

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (QS. an-Nisa [4]: 34)

Memahami Konteks Hadits

Apakah hadis di atas hanya terbatas pada urusan pemerintahan/kenegaraan saja, ataukah mencakup semua urusan seperti perusahaan, sekolah, perguruan tinggi, dsb?.

Larangan pemimpin wanita pada hadis di atas hanya terbatas sesuai konteksnya, yaitu hanya perkara pemerintahan/kenegaraan. Tidak mencakup secara umum seperti direktur perusahaan, kepala sekolah, rektor perguruan tinggi dan lainnya. Sesuai dengan konteksnya yang bisa dipahami dari sababul wurud (sebab turunnya) hadis ini, yaitu rakyat Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai pemimpin mereka setelah terjadi krisis kepemimpinan, yang berawal dari perebutan kekuasaan oleh putra mahkota.

Memang benar terdapat kaidah ushul yang menyatakan “al ‘ibrah bi ‘umum al-lafzh laa bi khusush as-sabab” sebuah pengertian diambil dari keumuman lafadz (redaksi nash) bukan dari khususnya sebab, hanya saja keumuman lafadz ini dibatasi oleh konteks (maudhu’) nash, yaitu perkara kekuasaan negara. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab asy-syakhshiyyah al-Islamiyyah juz 3 menyebutkan sebuah kaidah ushuliyah:[2]

عموم اللفظ في خصوص السبب هو عموم في موضوع الحادثة والسؤال وليس عموماً في كل شيء

Keumuman lafadz dalam khususnya sebab adalah umum dalam konteks peristiwa dan konteks pertanyaan bukan umum dalam segala hal

 

Berdasarkan penjelasan di atas maka boleh seorang wanita menjadi direktur perusahaan, kepala sekolah, rektor dsb selain jabatan kekuasan negara/pemerintahan. Wallahu a’lam bi ash-showab

 

Apakah haramnya wanita menjadi kepala negara hanya pada sistem pemerintahan Islam (Khilafah) ataukah berlaku umum?

 

Larangan pada hadis di atas berlaku secara umum, baik dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) maupun selainnya seperti kerajaan, kekaisaran, federasi, maupun republik dalam sistem demokrasi. Karena dua alasan:

Pertama, ditinjau dari sisi kajian sababul wurud. Hadis ini berkaitan kejadian pada sistem pemerintahan di Persia (bukan sistem Islami, karena bangsa Persia adalah penyembah api/’abdu an-nār). Kejadian tersebut kemudian dikomentari Nabi Saw bahwa mereka tidak akan beruntung. Artinya kecaman ini berlaku umum.

Kedua, tinjauan lingusitik-gramatika. Lafadz “qaum” pada hadis ini adalah isim nakiroh (kata benda indefinitif) dalam susunan kalimat negatif (siyaq an-nafyi). Padahal menurut kaidah ushuliyah stuktur kalimat seperti ini menunjukkan makna umum. Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam  kitab al-Qawa’id al Hisan li Tafsir al Quran pada kaidah ke-empat menyebutkan:[3]

إذا وقعت النكرة في سياق النفي أو النهي أو الشرط أو الاستفهام دلت على العموم

Jika isim nakiroh terletak pada susunan kalimat negatif, larangan, syarat, atau tanya maka menunjukkan makna umum

Kesimpulannya, keharaman kepala negara wanita adalah haram secara umum baik selaku khalifah (kepala negara sistem khilafah) maupun kepala negara sistem pemerintahan lain seperti presiden, ratu, perdana menteri, dsb. Wallahu a’lam bi ash-showab

 

Apakah keharamaan wanita menjadi kepala negara juga berlaku bagi kepala daerah?

Ada sejumlah kalangan yang berpendapat bahwa keharaman wanita menjadi kepala negara tidak berlaku bagi kepala daerah seperti gurbernur dan bupati/walikota. Di antara dalil yang mereka sampaikan adalah bahwa Umar bin Khattab pernah mengangkat seorang wanita yang bernama asy-Syifa sebagai salah satu pejabatnya. Kami pribadi menghargai pendapat ini. Hanya saja karena kami memilih pendapat yang berbeda yang menurut kami rajih (lebih kuat), maka perlu disampaikan disini agar menjadi nasihat dan panduan bagi yang memerlukannya serta menjadi hujjah kami kelak di hadapan Allah. Menurut pendapat yang kami pilih keharaman wanita sebagai kepala negara juga berlaku pada kepala daerah dengan tiga alasan:

Pertama, ditinjau dari sisi fakta kesamaan status kepala negara/pemerintahan dengan kepala daerah. Keduanya sama-sama kepala pemerintahan (hukkam). Tugas mereka sama yaitu sebagai pelaksana aturan. Yang membedakan hanya posisi/tingkatan saja, antara pemerintahan di pusat dan daerah. Dari sisi aturan keduanya sama-sama menjalankan aturan yang dibuat boleh wakil rakyat, baik di tingkat pusat (DPR RI) maupun daerah (DPRD). Karena manath al hukm (fakta hukum)nya sama maka status hukum keduanya juga tentunya sama. Dengan kata lain hadis Bukhari dari Abu Bakrah juga dapat diterapkan pada kepala daerah.

Kedua, dalam sistem pemerintahan Islam (Imamah/Khilafah), syarat jabatan wali (setingkat gurbernur) dan ‘amil (setingkat kabupaten/kota) disamakan dengan dengan syarat khalifah/Imam selaku pemimpin tertinggi (Imamah ‘Uzhma). Imam al Mawardi (w. 450 H) dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah menyatakan mengenai syarat wali (gurbernur):[4]

وَإِذَا قَلَّدَ الْخَلِيفَةُ أَمِيرًا عَلَى إقْلِيمٍ أَوْ بَلَدٍ كَانَتْ إمَارَتُهُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : عَامَّةٌ وَخَاصَّةٌ...

Jika khalifah mengangkat seorang pemimpin/gurbenur di suatu wilayah atau negeri, maka jabatannya ada dua: umum dan khusus...

Kemudian al Mawardi melanjutkan penjelasannya:[5]

وَتُعْتَبَرُ فِي هَذِهِ الْإِمَارَةِ وَعُمُومِهَا فِي الْوَزَارَةِ

Dianggap sama pada jabatan gurbernur ini dalam hal syarat dan keumuman dengan wazir tafwidh.

Padahal saat membahas wazir tafwidh, al Mawardi menyatakan:[6]

وَيُعْتَبَرُ فِي تَقْلِيدِ هَذِهِ الْوَزَارَةِ شُرُوطُ الْإِمَامَةِ إلَّا النَّسَبَ وَحْدَهُ لِأَنَّهُ مُمْضِي الْآرَاءِ وَمُنَفِّذُ الِاجْتِهَادِ ....

Dalam hal kriteria wazir tafwidh berlaku sebagaimana syarat-syarat imamah bagi khalifah, kecuali satu syarat yaitu nasab. Karena wazir tafwidh dituntut pendapat dan dilaksanakan ijtihadnya...

Hal serupa juga dinyatakan dalam kitab Ajhizah Daulah Khilafah fi al-hukm wa al-Idarah:[7]

Wali (Gurbernur) adalah seseorang yang diangkat oleh khalifah sebagai hakim (penguasa/jabatan pemerintahan) untuk wilayah (provinsi) tertentu. Wilayah (provinsi) ini dibagi lagi menjadi daerah-daerah yang disebut ‘imalah (kabupaten). Kepala daerah ditingkat provinsi disebut wali atau amir, dan kepala daerah tingkat kabupaten disebut ‘amil atau hakim. Jabatan wali dan ‘amil adalah jabatan kekuasaan (hukkam), maka disyaratkan sebagaimana syarat khalifah yaitu: laki-laki, muslim, merdeka/bukan budak, baligh, berakal/tidak gila, adil dan mampu.

Ketiga, dalil bahwa Umar bin Khattab pernah mengangkat seorang wanita sebagai pejabat negara yaitu Syifa. Perlu ditelusuri jabatan apa yang diserahkan Umar pada Asy-Syifa ini. Asy-Syifa yang dimaksud adalah Ummu Sulaiman. Ia diangkat Umar bin Khattab sebagai qadhi hisbah di pasar atas kaumnya. Sepeti yang dinukilkan Imam Malik dalam kitab al Muwatha’ dan Imam Syafi’i dalam kitab Musnadnya.[8] Qadhi hisbah adalah hakim yang mengadili pelanggaran ringan yang terjadi di tempat-tempat umum seperi pasar. Jabatan qadhi hisbah memang boleh wanita, karena memang tidak disyaratkan laki-laki.

Atas dasar ini maka kesimpulannya, jabatan kepala daerah baik gurbernur maupun bupati/walikota haram dijabat oleh wanita. Wallahu a’lam bi ash showab.

Selesai dengan izin dan pertolongan Allah, saksikanlah ya Allah, hamba telah sampaikan.

Banjarmasin, 03 September 2020

Daftar Rujukan

Abu Rasytah, ’Atha. Ajhizah Daulah al Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah. Beirut, 2005.

As-Sa’di, Abdurrahman. al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir al-Quran. Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1999.

Mawardi, Abu Hasan al-. al-Ahkam as-Sulthaniyah. Kairo: Dar al hadis, t.t.

Nabhani, Taqiyuddin an. asy Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Ushul Fiqh). Vol. III. Beirut: Dar al-Ummah, 2005.

 

 



[1] Ibnu Hazm dalam Maratib al ‘Ijma hal. 125

[2] Taqiyuddin an Nabhani, asy Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Ushul Fiqh), vol. III (Beirut: Dar al-Ummah, 2005). H. 243

[3] Abdurrahman As-Sa’di, al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir al-Quran (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1999). Hal. 16

[4] Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah (Kairo: Dar al hadis, t.t.). h. 62

[5] al-Mawardi. h. 62

[6] al-Mawardi. h.50

[7] ’Atha Abu Rasytah, Ajhizah Daulah al Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah (Beirut, 2005). h. 73

[8] Abu Rasytah.hal. 111

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB