9 SOLUSI SYARIAH TANGANI WABAH
9 SOLUSI
SYARIAH TANGANI WABAH
Pendahuluan
Corona Virus Disease 19 (Covid-19) terus menyebar ke
berbagai arah. Semua disasar. Tak peduli agama, suku, ras, tempat tinggal
maupun status sosial. Per 7 April 2020 sudah mencapai 2.738 kasus positif, 221 meninggal dunia dan 204
sembuh. Artinya, rata-rata tingkat kematiannya (case fatality rate) mencapai 8,
07 %. Angka ini paling tinggi di Asia dan urutan kedua di dunia setelah Italia.
Di Kalsel per 7 April jumlah ODP 1.167 orang, PDP 13, terkonfirmasi positif
Covid-19 sebanyak 22 orang (19 orang dalam perawatan dan 3 orang meninggal)
Ketua Satgas Covid-19 dari Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), Prof. dr. Zubairi Djoerban Sp.PD memprediksi penyebaran Covid-19 ini
seperti gunung es. Artinya, jumlah kasus yang terlihat tampak sedikit, padahal
banyak yang tidak terungkap.
Menurut prediksi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia (FKM UI), yang merupakan bagian draft “Covid-19 Modelling
Scenarios, Indonesia”, tanpa intervensi Negara, lebih kurang 2.500.000 orang
berpotensi terjangkit Covid-19. Bila intervensinya rendah, kurang lebih
1.750.000 orang berpotensi terjangkiti Covid-19. Menurut prediksi
beberapa kalangan, akan terjadi super spreading (penyebaran tak terkendali)
wabah ini pada Ramadhan dan Lebaran tahun ini.
Abainya Negara
Data-data penyebaran dan korban kasus Covid-19 bukan
sekadar data statistik. Di dalamnya ada kepiluan, kelelahan dan tangisan.
Sebabnya, negara tak hadir mengurusi kesehatan rakyatnya.
Saat ini paramedis yang berada di garda terdepan
penanganan Covid-19 sudah mengalami kelelahan. Pasalnya, jumlah pasien lebih
banyak dari kapasitas rumah sakit. Kesediaan alat pelindung diri (APD) bagi
paramedis sangat minim. Mereka harus bertarung di garda terdepan tanpa
perlindungan yang memadai. Karena itu mereka juga rawan terpapar oleh
Covid-19. Beberapa dokter dan tenaga kesehatan telah menjadi korban keganasan
Covid-19. Saat yang sama, kapasitas rumah sakit rujukan terbatas. Tak bisa
melayani semua pasien. Rumah sakit terpaksa harus membuat prioritas.
Yang paling rentan adalah orang-orang yang memiliki
imunitas rendah. Orang tua, anak-anak balita dan orang yang memiliki riwayat
sakit yang berat sangat rawan menjadi korban meninggal ketika terpapar
Covid-19.
Arus perpindahan manusia, barang dan angkutan dari dan
ke zona merah (misalnya Jakarta dan Banjarmasin) terus berlangsung.
Bahkan saat ini terjadi fenomena mudik skala besar dari Jakarta ke daerah asal
karena ekonomi sedang lesu di Jakarta. Hal ini tentu akan menyebabkan
penyebaran Covid-19 semakin tak terkendali.
Sayang, penguasa negeri ini sejak awal menganggap
remeh Covid-19. Mereka mengabaikan pandangan para pakar kesehatan tentang
bahaya penyebaran Covid-19. Akhirnya, rezim penguasa cenderung santai.
Mereka malah membuat pernyataan dan kebijakan yang kontraproduktif. Misalnya,
ingin Corona bisa dimanfaatkan dalam bidang ekonomi dan pariwisata. Di tengah
Corona, rezim negeri ini ingin agar Indonesia bisa mengambil pasar produk yang
sebelumnya impor dari Tiongkok dan membuka lebar pintu Indonesia untuk wisata
bagi turis yang batal ke Tiongkok. Bahkan rezim ini mengeluarkan 72 miliar
untuk membiayai buzzer pariwisata.
Di tengah semua pihak sedang bertarung melawan
Covid-19, rezim ini pun terus membiarkan masuknya ratusan TKA Cina ke negeri
ini. Jelas, ini bukan sekadar pengabaian terhadap kesehatan rakyat, tetapi
sudah termasuk kejahatan kepada rakyat.
Seiring waktu, kasus terkait Covid-19 di Indonesia
semakin meningkat. Beberapa kepala daerah berusaha membuat kebijakan
masing-masing untuk menangani Covid-19. Hampir tak ada kepemimpinan dari pusat
dalam penanganan Covid-19. Desakan untuk lockdown atau karantina wilayah
pun disampaikan oleh banyak kalangan. Namun, rezim bergeming. Rezim cenderung
tak mau menanggung konsekuensi pelaksanaan Pasal 55 ayat 1 UU No. 6 tahun 2018,
yaitu Pemerintah Pusat harus menjamin kebutuhan dasar orang dan makanan hewan
ternak bila karantina wilayah atau lockdown diberlakukan. Pemerintah sangat
jelas ingin menghindar dari tanggung jawab ini.
Ironisnya, rezim negeri ini mengumumkan pemberlakuan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang rencananya akan dibarengi dengan
penetapan UU Darurat Sipil. Jika Darurat Sipil diberlakukan, Pemerintah sama
sekali tidak menjamin pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Saat yang sama,
Pemerintah bisa leluasa bertindak otoriter terhadap rakyatnya. Ini akan semakin
merusak tatanan kehidupan bangsa ini.
Memang, Pemerintah telah mengumumkan akan menambah
anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar 405,1 triliun rupiah. Namun,
ternyata ini akan diperoleh dengan meningkatkan hutang Indonesia. Rezim enggan
menghentikan ambisi pembangunan infrastruktur yang akan menelan anggaran 1600
triliun rupiah. Rezim pun enggan menunda atau menghentikan proyek
infrastruktur ibukota baru. Rezim tidak mau mengalihkan anggarannya untuk
memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya yang terdampak wabah Covid-19.
Bahkan rezim menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 untuk dijadikan payung hukum agar tidak
dipermasalahkan jika terjadi defisit anggaran lebih dari 3% Pendapatan Domestik
Bruto (PDB). Diperkirakan negara akan mengalami defisit anggaran 5,7%
terkait penanganan Covid-19. Solusinya dengan menambah hutang, bukan
merelokasikan anggaran-anggaran lain yang kurang penting.
Di sisi lain, proses pengundangan Omnibus Law yang
penuh pasal-pasal zalim pun terus melaju. Tak peduli Indonesia sedang terkena
wabah Covid-19.
Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa rezim negeri ini
benar-benar tak peduli rakyatnya. Paradigma kapitalisme telah merasuki
sendi-sendi kekuasaan mereka. Mereka lebih mementingkan kekuasaan dan material
ekonomi daripada kesehatan dan nyawa rakyatnya.
Solusi Penanganan Wabah Menurut Syariah
Islam memiliki kekayaan konsep dan pemikiran cemerlang
yang bersifat praktis. Terpancar dari akidah Islam yang sahih dan mengalir dari
telaga kebenaran Alquran dan Sunah serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya.
Bahkan telah teruji kemampuannya di seluruh penjuru dunia selama puluhan abad.
Sehingga, baik di tataran teoretis maupun praktis,
hanya paradigma dan konsep-konsep Islam berupa syariah kafah satu-satunya pembebas
Indonesia dan dunia dari penderitaan ancaman global berbagai wabah juga wabah
2019-nCoV yang mematikan.
Berwujud sistem ekonomi Islam dan sistem politik
Islam, yakni khilafah, yang bila diterapkan secara praktis akan menjadi solusi
segera yang dapat dirasakan dunia kebaikannya. Berikut sejumlah paradigma dan
konsep Islam tersebut.
Pertama, negara dan
pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab melakukan tindakan
pencegahan bahaya apa pun termasuk wabah virus mematikan 2019-nCoV. Yang demikian
itu karena fungsinya yang begitu vital, sebagaimana ditegaskan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam:
فَالأَمِيرُ
الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam
(Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan)
rakyatnya.” (HR Al- Bukhari & Muslim).
Sementara kemudaratan atau bahaya itu sendiri apa pun
bentuknya wajib dicegah, sebagaimana dituturkan dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا ضَرَرَ
وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang
lain” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Sehingga haram negara hanya berfungsi sebagai
regulator dan fasilitator, apa pun alasannya. Namun negara harus hadir dan
menjadi tameng terdepan untuk menjaga keselamatan rakyatnya.
Kedua, negara wajib
melarang masuk warga negara yang terbukti menjadi tempat wabah. Yang pada kasus
ini adalah Cina– karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur
melalui lisannya yang mulia bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ
بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ
بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Jika kalian
mendengar suatu negeri dilanda wabah, maka jangan kalian memasukinya. Jika
wabah itu terjadi di negeri yang kalian berada di dalamnya, maka jangan kalian
keluar darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Inilah kebijakan isolasi yang telah diajarkan baginda
Nabi Saw sejak 14 abad yang lalu. Aturan inilah yang juga dipraktikkan para
sahabat beliau, misalnya di masa Khalifah Umar bin Khattab (18 H). Kebijakan yang
saat ini populer dengan istilah lockdown. Kebijakan ini wajib diikuti dengan
tanggung jawab negara untuk menjamin kebutuhan pokok rakyatnya, karena ini
semua memang tanggung jawab negara yang tak boleh diabaikan.
Ketiga, Negara juga
berkewajiban menyadarkan rakyatnya bahwa isolasi diri atau stay at home
adalah ketentuan syariat. Tidak perlu membenturkan pemahaman tawakkal dengan
ikhtiar, antara takut pada Allah dengan ikhtiar untuk mencegah atau memutus
mata rantai penyebaran wabah. Manusia yang paling baik tawakkalnya saja
memerintahkan:
فِرَّ
مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ
Larilah engkau dari orang yang terkena lepra
sebagaiman engkau lari dari singa (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Keempat, dalam
mengambil kebijakan negara wajib independen dan terbebas dari agenda
imperialisme, karena hal tersebut diharamkan
Allah subhanahu wa ta’ala apa pun bentuknya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
سَبِيلًا
“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada
orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS An-Nisa: 141) Sehingga,
wajib mandiri dalam menyikapi wabah, tidak bergantung pada negara kafir
penjajah dan lembaga yang menjadi kuda tunggangannya, yakni WHO. Contoh paling
nyata kejahatan WHO terkait virus adalah kasus kasus flu burung (H5N1). Dr. Siti Fadilah Supari (Menkes RI 2004-2009)
dalam bukunya yang berjudul “Saatnya Dunia Berubah” menyebutkan 2 jalur
perjalanan virus; (1) virus dari negara yang terkena wabah diserahkan ke WHO
melalui mekanisme GISN (Global Influenza Surviellance Network), lalu entah
dengan mekanisme apa jatuh ke Los Alamos (Laboratorium yang pernah memproduksi
bom Atom Hiroshima), (2) dari WHO, virus diproses menjadi seed lalu
diserahahkan ke perusahaan vaksin.
Dr. Siti menulis, “Kapan akan dibuat vaksin dna kapan
dibuat senjata biologi, barang kali tergantung dari keperluan dan kepentingan
mereka saja. Benar-benar membahayakan nasib manusia sedunia. Beginilah kalau
sistem tidak transparan dan tidak adil.” (hlm. 17)
Kelima, negara harus
terdepan dalam riset dan teknologi tentang kuman, bakteri dan virus penyebab
wabah, alat kedokteran, dan obat-obatan. Baik untuk tujuan pencegahan dan
mengatasi wabah sesegera mungkin, maupun untuk tujuan menimbulkan rasa takut
bagi negara kafir penjajah pelaku kejahatan agenda hegemoni senjata biologi, sebagaimana
diperintah Allah subhanahu wa ta’ala:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ
الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
“Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda
yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah dan musuhmu…”. (QS. al-Anfal: 60)
Keenam, negara wajib
melakukan langkah praktis produktif untuk peningkatan daya tahan tubuh
masyarakat. Berupa pembagian segera asupan bergizi kepada setiap individu
masyarakat terutama yang miskin. Di samping menjamin pemenuhan kebutuhan pokok
individu dan publik yang semua itu penting bagi terwujudnya sistem imun yang
tangguh.
Baik pangan bergizi, sanitasi dan air bersih hingga
perumahan dan pemukiman yang sehat. “Imam(Khalifah) yang menjadi pemimpin
manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab
terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari & Muslim).
Ketujuh, ketersediaan
fasilitas kesehatan terbaik dengan jumlah yang memadai lagi mudah diakses kapan
pun, di mana pun, oleh siapa pun.
Di samping itu juga disertai kelengkapan alat
kedokteran seperti alat pelindung diri (APD) dan obat-obatan terbaik yang
efektif bagi penangan masyarakat yang dicurigai dan atau terinfeksi wabah
termasuk 2019-nCoV. Pelayanan kesehatan berkualitas ini diberikan secara cuma-
cuma. Pola penyebaran wabah sebenarnya adalah pola berulang yang dapat dibaca. Maka
pemimpin negara wajib melakukan antisipasi, bukan malah mengambil kebijakan
blunder dengan ‘mengundang’ wabah.
Kedelapan, anggaran
berbasis Baitul Māl dan bersifat mutlak.
Baitul Māl adalah
institusi khusus pengelola semua harta yang diterima dan dikeluarkan negara
sesuai ketentuan syariat. Sehingga negara memiliki kemampuan finansial memadai
untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya termasuk fungsinya sebagai
pembebas dunia dari penderitaan bahaya wabah.
Bersifat mutlak, maksudnya adalah ada atau tidak ada
harta negara untuk pembiayaan pencegahan dan penanggulangan pelayanan
kemaslahatan masyarakat, yang dalam hal ini untuk sesuatu yang ketiadaannya
berakibat kemudaratan seperti bencana alam dan wabah, maka wajib diadakan
negara. Bila dari pemasukan rutin tidak terpenuhi, diatasi dengan pajak
temporer (dharibah) yang dipungut negara dari orang-orang kaya sejumlah
kebutuhan anggaran mutlak. Bukan dengan utang riba yang menambah kuatnya
cengkeraman penjajah Asing dan Aseng. Pengalihan anggaran dari pembagunan
infrastruktur termasuk pindah ibukota kepada pembiayaan penanganan wabah adalah
kebijakan yang wajib diambil.
Sesuai kaidah fikih دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ “Menghilangkan
kerusakan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan” dan kaidah اَلضَّرَرُ
يُزَالُ “Bahaya harus dihilangkan”. Itu jika pindah ibukota
dianggap sebagai maslahat, nyatanya pindah ibukota hanya mengalihkan satu
masalah menuju masalah yang lain.
Kesembilan, kekuasaan
tersentralisasi, sementara administrasi bersifat desentralisasi.
Ditegaskan oleh Rasulullah saw yang artinya, “Apabila
dibai’at dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR.
Muslim). Aspek ini meniscayakan negara memiliki kewenangan yang memadai untuk
pengambilan tindakan yang cepat dan tepat dalam penanggulangan dan pembebasan
dunia dari serangan wabah mematikan. Konsep ini menjadikan kebijakan bisa
diambil dan dilaksanakan dengan cepat. Tidak seperti saat ini saat ada ‘raja-raja
kecil’ yang memiliki otoritas masing-masing. Di tambah kepentingan dan afiliasi
politik seolah menjadi penghambat eksekusi kebijakan, akibatnya rakyat yang
terabaikan.
Penutup
Pelaksanaan 9 prinsip sahih ini beserta keseluruhan
ketentuan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah, bersamaan
pemanfaatan teknologi terkini meniscayakan segera terwujud Indonesia dan dunia
yang bebas dari serangan berbagai wabah mematikan.
Pada tataran inilah, kembali pada pangkuan syariah
kaffah adalah sebuah keniscayaan. Sementara institusi pelaksananya adalah
Khilafah. Takkan tegak secara sempurna syariah tanpa khilafah. Di sisi lain
khilafah itu sendiri adalah bagian dari syariah. Karena itulah khilafah adalah kebutuhan yang mendesak
bagi bangsa ini dan dunia. Wallahu ta’ala a’lam bi ash-showab. Wahyudi
Ibnu Yusuf, 08 April 2020.
Komentar
Posting Komentar