Hukum Bermain Catur
Hukum Bermain Catur
Bermain catur (اللّعب
بالشّطرنج) hukumnya haram apabila
tercampur dengan yang haram seperti taruhan/judi, ada unsur kebohongan ataupun
menghantarkan pada dharar seperti permusuhan dsb. Termasuk yang menyebabkan
keharamannya adalah apabila melalaikan dari melaksanakan yang wajib seperti
melalaikan shalat. Pendapat seperti ini telah menjadi kesepakatan para ulama
(Al mausu’ah al fiqhiyah juz 2 hal 12946, halal haram dalam Islam hal.375,
fiqhul islam wa adillatuhu 4/212)
Hal ini dapat difahami karena terdapat kaidah ushul fikih yang
menyatakan: al washilah ila haram fahuwa haramun (sarana yang
menghantarkan pada keharam maka sarana tersebut hukumnya haram). Selain itu
juga terdapat kaidah fikih yang menyatakan: idza ijtma’a al halal wal haram
faghulib al haram (jika terkumpul antara yang halal dengan yang haram maka
yang dimenangkan adalah yang haram) (Abdul karim Zaidan, 100 kaidah fikih)
Bagaimana hokum bermain catur apabila tidak tercampur dengan yang
haram dan tidak melalaikan dari kewajiban?
Dalam hal ini ada tiga pendapat antara mubah, makruh dan haram. (Al mausu’ah al fiqhiyah juz 2 hal 12946, halal haram dalam Islam
hal.374)
Mazdhab Maliki, Hanafi dan sebagian Ulama Syafi’iyyah menyatakan
haram secara mutlak. Semikian pula sebagian sahabat seperti Ali bin Abi Thalib,
Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Sa’id bin Musayyab dll. Mereka radhiyallhu
‘anhum berdalil dengan satu atsar dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya beliau
berjalan melewati sekelompok orang yang sedang bermain catur. Kemudian beliau
menegur dengan menyatakan:
ما هذه التّماثيل الّتي أنتم لها عاكفون ؟ لأن يمسّ جمراً حتّى يطفى
خير من أن يمسّها
Bukankah patung ini (catur) yang kalian dilarang (memainkanya).
Karena menyentuh kerikil hingga tawaf adalah lebih baik dari menyentuhnya.
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau menjadi wali
harta anak yatim kemudian beliau menemukan catur maka beliau membakarnya.
Dalil lain pengharaman catur adalah diqiyas pada keharaman dadu.
Padahal catur lebih menyibukan fikiran dari pada dadu dan dapat melalaikan dari
mengingat Allah. (Al mausu’ah al fiqhiyah juz 2 hal 12946)
Sedangkan madzab hanafi, Syafi’I dan sebagian ulama malikyyah
menyatakan bahwa hukumnya makruh. Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Amir
dari nabi saw, beliau bersabda:
كل شيءٍ ليس من ذكر اللّه عزّ وجلّ فهو لهوٌ أو سهوٌ إلا أربع خصالٍ
: مشي الرّجل بين الغرضين ، وتأديبه فرسه ، وملاعبة أهله ، وتعلم السّباحة
Segala sesuatu yang bukan terkategori mengingat Allah maka ia
adalah hiburan atau melenakan kecuali empat kebiasaan: laki-laki yang berjalan
antara dua tujuan, menunggang kuda, bersendagurau dengan keluarganya, dan
belajar berenang.
Dan hadist dari uqbah bin Amir, Nabi saw bersabda:
ليس من اللّهو ثلاثة : تأديب الرّجل فرسه ، وملاعبته زوجه ، ورميه
بنبله عن قوسه
Tidak termasuk dalam lahwun (hiburan yang dilarang) pada tiga hal:
laki-laki yang belajar menunggang kuda, bercumburayu dengan dengan istri dan memanah.
Sedangkan pendapat ketiga menyatakan mubah. Ini adalah pendapat
Abu Yusuf dan sebagian ulama madzhab Syafi’I dan Maliki. Alasannya adalah
kaidah:
الأصل الإباحة ولم يرد بتحريمه نص ولا هو في معنى المنصوص عليه
Hokum asal (benda) adalah mubah sebelum ada dalil yang
mengharamkannya
Kaidah ini serupa dengan kaidah:
الأصل
في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم
Hokum asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang
mengharamkan
Menurut kami pendapat yang rajih adalah yang menyatakan mubah. Karena
beberapa alasan:
1.
Pendapat sahabat selama tidak menjadi ijma (konsensus) sahabat
maka statusnya bukanlah dalil tapi pendapat pribadi sahabat. Sehingga berdalil
dengan pendapat Imam Ali ataupun Ibnu Abbas tidaklah tepat karena pendapat
keduanya bukanlah dalil.
2.
Tentang pendapat menyatakan makruh maka hadist-hadist diatas
tidaklah menunjukan pelarangan yang lainnya. Hal ini dapat difahami apabila
kita mengumpulkan dua hadist diatas. Hadist pentama menyatakan: Segala sesuatu
yang bukan terkategori mengingat Allah maka ia adalah hiburan atau melenakan
kecuali empat kebiasaan: laki-laki yang berjalan antara dua tujuan, menunggang
kuda, bersendagurau dengan keluarganya, dan belajar berenang). Tapi nyatanya
dalam hadist yang lain menyatakan anjuran untuk belajar memanah. Padahal
memanah tidak termasuk dalam empat hal yang disebutkan dalam hadist diatas.
3.
Bermain catur tidak bisa diqiyas pada bermain dadu. Karena dua hal: dadu lebih dekat pada al azlam
(mengundi nasib) dan dalam permaian catur terdapat pelajaran tentang taktik
perang hal ini serupa dengan memanah dan menunggang kuda (Al mausu’ah al fiqhiyah juz 2 hal 12946, halal dan haram dalam
islam oleh Syaikh Yusuf al Qardhawi hal. 375)
Kalau ada yang mengatakan. Bukankah dalam catur
ada unsur hadharahnya yaitu bentuk salib pada makkota raja. Maka menurut kami
bentuk mahkota raja bukanlah bentuk salib karena apabila itu bentuk salib
tentulah para sahabat dan ulama mengharamkannya secara mutlak dengan alasan
adanya unsur kukufuran. Sebagaimana nabi saw melarang sahabat Adi
bin Hatim yang berkata:
أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ
فَقَالَ يَا عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ
Aku
pernah datang kepada Nabi saw., sementara di leherku bergantung salib yang
terbuat dari emas. Nabi saw. Lalu bersabda, “Wahai Adi, campakkan berhala itu
dari tubuhmu!” (Sunan at Tirmidzi 10/361).
Tapi
kenyataannya tidak satupun ulama yang menyatakan haram atau makruh beralasan
bahwa haram atau makruhnya karena ada unsure kekufuran yaitu salib. Hal ini
menunjukan bahwa bentuk mahkota raja bukanlah salib tapu tanda kros (tambah) biasa.
Yogyakarta,
17 April 2010
Al
Faqir ilaLLAH Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Komentar
Posting Komentar