MENIMBANG KAIDAH HUKUM ASAL MUAMALAH


MENIMBANG KAIDAH FIKIH
“HUKUM ASAL MU’AMALAH ADALAH MUBAH”
Wahyudi Ibnu Yusuf (Mahasiswa S-3 Ilmu Syariah UIN Antasari Banjarmasin)

A.     PENDAHULUAN
Kaidah fikih adalah hukum umum yang dirumuskan dari hukum-hukum fikih yang serupa sehingga dapat diterapkan pada kasus dan cabang yang berbeda dalam lingkup atau cakupan yang sama. Pada hakikatnya kaidah fikih digali berdasarkan dalil-dalil syariat karena hukum-hukum fikih yang diistinbath para mujtahid haruslah bersandar pada dalil-dalil syariat. 

Di antara kaidah fikih yang dirumuskan oleh para ulama adalah kaidah hukum asal muamalah. Menurut Dr. Nayif bin Jam’an al Jaridan, ada 3 kelompok pendapat mengenai hukum asal mu’amlah. Menurut beliau, jumhur ulama berpendapat bahwa hukum asal mu’amalah adalah mubah (boleh) sebelum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa hukum asal muamalah adalah haram sebelum ada dalil yang membolehkannya. Sedang ulama lain menyatakan tawaqquf, artinya hukum asal mu’amalah tidak ditentukan mubah atau haram namun bergantung pada dalil untuk masih-masing akad-akad mu’amalah[1]. Makalah ini hanya memfokuskan pada kajian terhadap pendapat yang menyatakan bahwa hukum asal muamalah adalah mubah.
Secara lengkap kaidah ini dituliskan oleh Dr. Abdurrahman bin Shalih dengan redaksi:
الأصل في المعاملات الجواز و الصحة ولا يحرم منها إلا ما ورد الشرع بتحريمه و إبطاله
Hukum asal dalam mu’amalah adalah boleh dan sah serta tidak haram, terkecuali terdapat dalil syariat yang mengharamkan dan membatalkannya[2].
Masih menurut Dr. Abdurrahman bin Shalih, ini adalah pendapat yang dipilih oleh Az Zaila’i ulama madzhab Hanafi, Imam Asy Syathibi ulama madzhab Maliki, Ibnu Taimiyah dan muridnya Imam Ibnul Qayyim keduanya ulama madzhab Hanbali. Di dalam kitab Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyah al Munazhamah lil Mu’amalati al Maliyah karya syaikh Athiyah ‘Id bin Athiyah Ramadhan juga dikutip pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ibnu ‘Abdil Barr ulama madzhab Maliki. Yang disimpulkan bahwa dua ulama ini menguatkan kaidah ini[3].
Apa yang disebut oleh Dr. Nayif bin Jam’an dan Dr. Abdurrahman bin Shalih bahwa  kaidah hukum asal muamalah adalah mubah merupakan pendapat jumhur ulama, mungkin yang dimaksud adalah ulama kontemporer (mu’ashirah) karena sedangkal penulurusan yang saya lakukan referensi yang dirujuk beliau untuk mendukung kesimpulannya hanya sebagian ulama yang menyatakan secara spesifik dengan redaksi “hukum asal mu’amalah”.
Sebagai sebuah produk ijtihad tentu penulis menerima kaidah ini sebagai ra’yun islamiy (pendapat yang islami). Namun saat diklaim sebagai pendapat mayoritas ulama, maka tentu ditelusuri lebih lanjut?. Hal lain yang perlu dikaji adalah bahwa kaidah ini sering disandarkan pada kaidah “hukum asal benda adalah mubah”. Relevankah penyandaran ini?. Termasuk yang perlu diteliti lebih lanjuta adalah berkaitan dalil-dalil yang menjadi landasan kaidah ini. berdasarkan hal di atas makalah ini mencoba mengkaji dan menimbang kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari tiga aspek, yaitu:
1.      Menimbang kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek relevansi rujukan
2.      Menimbang kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek sandaran pada kaidah “hukum asal benda adalah mubah”
3.      Menimbang kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek dalil (al-Quran dan as-Sunnah) yang dijadikan landasannya

B.     PEMBAHASAN
1.      Menimbang kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek relevansi rujukan
Menurut Dr. Abdurrahman bin Shalih, “hukum asal muamalah adalah mubah”  adalah pendapat yang dipilih oleh Az Zaila’i ulama madzhab Hanafi, Imam Asy Syathibi ulama madzhab Maliki, Ibnu Taimiyah dan muridnya Imam Ibnul Qayyim keduanya ulama madzhab Hanbali. Di dalam kitab Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyah al Munazhamah lil Mu’amalati al Maliyah karya syaikh Athiyah ‘Id bin Athiyah Ramadhan juga dikutip pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ibnu ‘Abdil Barr ulama madzhab Maliki. Yang disimpulkan bahwa dua ulama ini menguatkan kaidah ini[4].
Setelah penulis telusuri inilah kutipan dari kitab-kitab yang beliau sebut dalama catatan kaki bukunya. Imam Zaila’i (Mazhab Hanafi) menyatakan: “Pendapat bahwa hukum asal jual beli adalah haram kami nyatakan tidak tepat, yang tepat adalah bahwa hukum asalnya halal/boleh....”[5] Imam asy Syathibi (Mazhab Hanbafi) setelah menjelaskan perbedaan antara antara ibadah dan mu’amalah. Bahwa mu’amalah termasuk perkara adat/kebiasan. Beliau menyatakan: ”Hal-hal yang termasuk adat/kebiasaan hukum asalnya diizinkan (boleh) hingga ada dalil yang menunjukkan sebaliknya”[6] Ibnu Taimiyah (Mazhab Hanafi) menyatakan: “Yang asal/pokok dalam hal ini adalah bahwa tidak haram atas manusia dari mu’amalat yang mereka perlu terhadapnya kecuali terdapat dalil dari al-Quran dan as-Sunnah yang mengharamkannya”[7] Imam Syafi’i menyatakan: “ Hukum asal jual beli seluruhnya adalah mubah jika ada keridhaan dua pihak yang berakad, kecuali kecuali jual beli yang jelas dilarang oleh Rasulullah[8]. Imam Ibnu ‘Abdil Barr (Mazhab Maliki) menyatakan: “Hukum asal jual beli adalah halal jika jual beli tersebut saling ridha kecuali jual beli yang Allah haramkan atas penjelasn lisan Rasulullah[9].
Berdasarkan beberapa kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian ulama menyatakan  kaidah fikih hukum muamalah dengan redaksi yang lebih umum yaitu muamalah. Sedang sebagian ulama yang lain menggunakan redaksi yang lebih khusus yaitu redaksi jual beli. Memang benar bahwa jual-beli bagian dari mu’amalah, namun demikian tidak bisa digeneralisasi bahwa jika hukum asal jual-beli adalah mubah maka hukum asal muamalah juga adalah mubah. Dari sini juga dapat disimpulkan bahwa simpulan  bahwa jumhur ulama berpendapat “hukum asal muamalah adalah mubah” perlu ditinjau ulang, karena ternyata pilihan  redaksi yang digunakan para ulama berbeda-beda. Perbedaan redaksi ini memiliki konsekuensi yang berbeda pula.
2.      Menimbang kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek sandaran pada kaidah “hukum asal benda adalah mubah”

Di antara alasan bahwa hukum asal muamalah adalah mubah adalah karena kaidah ini adalah cabang dari kaidah:
الاصل في الأشياء الاباحة ما لم يرد الدليل يدل على تحريمه
Biasanya diterjemahkan dengan: “Hukum asal segala sesuatu adalam boleh, hingga terdapat  dalil yang menunjukkan keharamannya”. Sebagaimana  yang diungkapkan oleh Dr. Ali Ahmad an Nadawi[10]
Kaidah ini sebenarnya berkaitan hukum asal pada benda. Padahal kenyataan mu’amalah adalah aktivitas/perbuatan berupa akad-akad maaliyah, bukan benda. Muamalah secara terminologis maknanya adalah hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan urusan dunia. (al ahkam al-syar’iyah al muta’alliqah bi amri ad-dunya)[11]. Yang dimaksud “urusan dunia” adalah interaksi antara manusia dengan manusia lain, seperti jual beli, syirkah, ijarah dan sebagainya. Muamalat secara etimologis (istilah) di antaranya diungkapkan oleh Ibnu ‘Abidin dalam hasyiah-nya yang menyatakan bahwa mu’amalah adalah apa saja yang dimaksudkan pada asalnya untuk memenuhi kemaslahan untuk manusia seperti jual beli, kafalah, hiwalah, dan sejenisnya. Termasuk dalam kategori muamalah adalah salam, ijaroh, wakalah, syirkah, ash-shulhu (pedamaian), muzara’ah, musaqah, ji’alah, dhaman (jaminan), ‘ariyah dan[12]. Imam Syathibi mendefinisikan mu’amalah dengan apa saja yang kembali pada kemaslahatan untuk manusia dengan manusia lainnya seperti peralihan kepemilikan baik dengan atau tanpa kompensasi[13] Muamalah umumnya mencakup segala hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan pengelolaan harta benda (tasharruf fi al-maal). Maka, fiqih muamalah sering disebut juga Fiqih Muamalah Maliyah[14]. Meski ada sebagian ulama yang memasukkan nikah dalam bab mu’amalah, di antara imam Asy Syathibi dan sebagian ulama madzhab Hanafi.
            Bukti bahwa kaidah “al ashl fil asya’a al-ibahah” adalah berkaitan dengan benda adalah dalil-dalil yang dijadikan  sandaran untuk mengkonstruksi kaidah ini. di anatara dalil yang digunakannya. Pengarang kitab Tuhfatul Ahwadzi pada saat mensyarah sabda nabi[15]:
الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
Artinya: Yang halal adalah apa-apa yang telah Allah SWT telah halalkan dalam kitab-Nya (al-qur’an). Begitupula yang haram adalah apa-apa yang telah Allah SWT haramkan dalam kitab-Nya dan apa saja yang didiamkan darinya maka hal itu terkategori yang dimaafkan atasnya (HR. Tirmidzi). Beliau menyatakan ” Hukum asal benda adalah mubah, hal ini diperkuat dengan firman Allah SWT :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
”Dialah (Allah ) yang telah menciptakan bagimu apa saja yang ada di bumi seluruhnya” (TQS: al Baqarah: 29)
Iman Syaukani dalam kitab beliau Nailul Authar pada pembahasan tentang makanan, hewan buruan dan sembelihan membuat bab khusus yang berjudul hukum asal benda dan sesuatu adalah mubah hingga datang dalil yang mencegah atau mewajibkannya.[16]
Pada bab ini beliau mencantumkan beberapa hadist diantaranya hadist Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasnya nabi saw bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
Artinya: sesungguhnya sebesar-besar dosa kaum muslimin adalah siapa saja yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, karena pertanyaannya itu maka perkara tersebut diharamkan (HR. Bukhari).
Pengarang kitab Majma’ul Anhar fi syarhil Multaqa al Abhar (ulama mazdhab Hanafi) menyatakan: ”ketahuilah bahwasanya hukum asal benda-benda seluruhnya kecuali kemaluan adalah mubah berdasarkan firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
Dialah (Allah ) yang telah menciptakan bagimu apa saja yang ada di bumi seluruhnya” (TQS: al Baqarah: 29). Dan firman Allah SWT:
كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
Makanlah oleh kalian dari apa-apa yang ada di bumi yang halal lagi baik (TQS al Baqarah: 168). Ayat ini menunjukan bahwa yang yang ditetapkan haram hanyalah yang berlawanan dengan nash yang mutlak atau hadist yang diriwayatkan. Apabila tidak didapati dalil yang mengharamkannya maka hukumnya mubah.[17]
Kesimpulannya adalah menyandarkan kaidah hukum asal mu’malah pada kaidah hukum asal benda adalah penyandaran yang tidak relevan alias tidak tepat. Wallahu a’lam bi ash-showab.

3.      Menimbang kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek dalil yang menjadi landasannya
Dalil yang dijadikan landasan pihak yang menguatkan kaidah muamalah ini adalah berupa al-Quran dan as-sunnah.
a.       Al-Quran
Ayat Pertama, Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu (QS. An-Nisa [4]: 29)
Ayat ini adalah nash yang membolehkan tijarah (perdagangan). Lafadz tijarah pada ayat ini bersifat umum. Hal ini menunjukkan bahwa hukum asal tijarah (perdagangan) adalah boleh kecuali ada dalil yang mengkhususkannya[18].
Ayat ini topik (maudhu’)-nya adalah tijarah (perdagangan/jual-beli). Memang benar jual beli adalah bagian dari mu’amalah. Namun menyimpulkan hukum asal mu’amalah adalah adalah boleh berdasarkan ayat ini adalah kesimpulan yang tidak tepat, karena redaksi “tijarotan” meski bermakna umum, namu hanya umum untuk tijaroh (perdagangan) bukan bukan pada mu’amalah.
Ayat kedua, Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS. Al-Maidah [5]: 1)
Penunjukkan ayat ini umum tentang wajibnya memenuhi akad dan janji. Hal ini menunjukkan bahwa hukum asal akad adalah mubah. Jika mubah maka berati sah.[19] Ayat ini memang menunjukkan wajibnya memenuhi akad dan janji, namun akad dan janji yang wajib dipenuhi adalah akad dan janji yang dibenarkan syariat. Artinya hukum  asal akad dan  janji adalah terikat dengan hukum syariat.

Dalinya di anataranya, hadis yang diriwayatkan Aisyah, ketika ada seorang budak perempuan yang bernama Barirah dijanjikan kemerdekaannya oleh tuannya dengan menebus biayanya sebesar 9 ‘Uqiyah. Aisyah bersedia membeli untuk dibebaskan. Hanya saja tuan si budak mensyaratkan wala (loyalitas) tetap pada tuan sebelumnya. Peristiwa tersebut kemudian disampaikan kepada Nabi saw. Lalu Nabi bersabda:
مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ

Tidak layak manusia membuat syarat-syarat yag tidak terdapat dalam kitabullah. Siapa saja yang membuat suatu syarat tidak terdapat dalam kitabullah maka syarat tersebut batil. Meskipun ai membuat seratus syarat maka syarat yang ditetapkan Allah lebih berhak (ditunaikan) dan dipenuhi (HR. Bukhari no. 2010)
Ayat ketiga, Allah berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Lafadz al-ba’i (jual beli) pada ayat di atas adalah lafadz yang umum karena ketika isim mufrod (tunggal) yang diawali huruf alif dan lam ahdiyah maka bermakna umum. Keumuman lafadz tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Sebagaimana surah an-Nisa ayat 29, ayat kebolehan jual-beli ini berlaku umum untuk konteks jual beli dan tidak bisa digeneralisir pada muamalah secara umum.
b.      Dalil as-Sunnah
Nabi SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلا تُضَيِّعُوهَا، وَنَهَى عَنْ أَشْيَاءَ فَلا تَنْتَهِكُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلا تَعْتَدُوهَا، وَغَفَلَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلا تَبْحَثُوا عَنْهَا
Sesungguhnya Alah memfardhukan sejumlah kefardhuan, maka janganlah kalian mempersempitnya. Allah juga melarang dari suatu larangan, maka jangan kalian melanggarnya. Dan Allah menetapkan batas-batas, jangan kalian melampauinya dan melewatkan beberapa benda tanpa lupa maka jangan kalian membahasnya (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir no. 18035)
Nabi SAW juga pernah ditanya tentang mentega (samin), keju,  pakaian dari bulu hewan, maka Nabi menjawab
مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya dan apa yang Allah haramkan dalam kita-Nya. Dan apa yang Allah diamkan maka itu adalah apa-apa yang dimaafkan (HR. Tirmidzi no. 1648)
Dua hadis ini menjelaskan bahwa benda-benda kadang kala ada yang halal, ada pula yang haram. Sedang apa yang tidak disebutkan halal atau haramnya maka statusnya dimaafkan dan tidak berdosa menggunakannya. Jelas bahwa dua hadis yang dijadikan sandaran kaidah hukum asal muamalah adalah mubah adalah hadis yang berkaitan dengan benda, bukan perbuatan. Padahal mu’amalah adalah berkaitan dengan perbuatan (akad-akad).
Kesimpulannya, setelah menelaah dalil-dalil berupa al-Quran dan as-Sunnnah yang dijadikan sandaran kaidah fikih “hukum asal mu’amalah adalah mubah” menurut penulis sandaran dalilnya tidak relevan. wallahu Ta’ala a’lam bi ash-showab
C.     MENGKONSTRUKSI KAIDAH HUKUM ASAL PERBUATAN
Mu’amalah adalah perbuatan/af’al manusia, khususnya yang berkaitan dengan akad-akad maaliyah. Maka berlaku padanya hukum perbuatan. Dengan melakukan istiqra’ (penalaran  induktif) terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw dapat disimpulkan bahwa hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat. Sebagaimana yang dirumuskan oleh Syaikh Muhamamd Muhammad Isma’il dalam kitabnya yang berjudul al-fikr al Islami. Beliau menyatakan:
الأصل في الأفعال التقيد بأحكام الشرع وليس الأصل فيها الإباحة ولا التحريم
Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’ bukan mubah atau haram.[20]
Dalil dari kaidah ini adalah:
Pertama, Allah berfirman:
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Hijr [15] : 92-93)
Ats-Tsa’labi di kitab tafsir beliau menjelaskan bahwa Allah akan menanyai semua manusia di hari kiamat tentang perbuatan mereka di dunia.[21]
Al-Qurthubi, setelah menjelaskan panjang lebar perihal tafsir surah al-Hijr ayat 92-93 ini, menyimpulkan bahwa ayat ini berlaku umum untuk seluruh pertanyaan yang merupakan hisab bagi orang-orang kafir dan mu’min kecuali orang-orang yang masuk surga tanpa hisab.[22]
Kedua, Allah berfirman:
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ
Artinya: “Kalian tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Qur’an, dan kalian tidak mengerjakan suatu perbuatan, melainkan Kami menjadi saksi atas kalian di waktu kalian melakukannya.” (QS. Yunus [10]: 61)
Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah menjelaskan bahwa makna ikhbar (berita) dari Allah kepada hamba-Nya bahwa Allah menyaksikan perbuatan mereka adalah Allah akan menghisab dan meminta pertanggungjawaban amal perbuatan mereka.[23]
Ketiga, Nabi bersabda:
من أدحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Artinya: “Barangsiapa yang membuat-buat suatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, maka (perkara) tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Hadits ini merupakan penegasan bahwa kita wajib menyesuaikan perbuatan kita dengan hukum Allah ‘azza wa jalla, dan terlarang bagi kita untuk melakukan bid’ah.
Keempat:
أن عثمان بن مظعون أتى النبي فقال : أتأذن لي في الإختصاء ؟ فقال الرسول : ليس منا من خصى أو اختصى وإن اختصاء أمتي الصيام . قال : يا رسول الله ، أتأذن لي في السياحة ؟ قال : سياحة أمتي الجهاد في سبيل الله . قال : يا رسول الله ، أتأذن لي في الترهب ؟ قال : إن ترهب أمتي الجلوس في المساجد لانتظار الصلاة
Artinya: “Sesungguhnya ‘Utsman ibn Mazh’un menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata, (wahai Rasulullah) apakah Anda mengizinkanku melakukan pengebirian? Rasul bersabda, ‘Bukan termasuk golonganku orang yang melakukan pengebirian dan minta dikebiri. Sesungguhnya pengebirian umatku adalah berpuasa’. ‘Utsman berkata, wahai Rasulullah apakah Anda mengizinkanku melakukan tamasya? Rasul bersabda, ‘Tamasyanya umatku adalah jihad di jalan Allah’. ‘Utsman berkata lagi, wahai Rasulullah apakah Anda mengizinkanku menjadi rahib? Rasul bersabda, ‘Kerahiban umatku adalah duduk di masjid untuk menunggu shalat’.” (HR. Ibnu al-Mubarak)
Kellima:
عن حذيفة بن اليمان قال : كان الناس يسألون رسول الله عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني ، فقلت : يا رسول الله إنا كنا في جاهلية و شر فجاءنا الله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير من شر ؟ قال : نعم . قلت : وهل بعد ذلك الشر من خير ؟ نعم ، وفيه دخن . قلت وما دخنه ؟ قال : قوم يهدون بغير هديي تعرف منهم وتنكر . قلت : فهل بعد ذلك الخير من شر ؟ قال : نعم ، دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها . قلت : يا رسول الله صفهم لنا . قال : هم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا . قلت : فما تأمروني إن أدركني ذلك ؟ قال : تلزم جماعة المسلمين وإمامهم . قلت : فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام ؟ قال : فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك
Artinya: “Dari Hudzaifah ibn al-Yaman, beliau berkata, orang-orang (biasa) bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena aku takut hal itu akan menimpaku. Aku bertanya, wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sebelumnya ada dalam kejahiliahan dan kejahatan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami, apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan? Rasul menjawab, ‘Ya’. Aku bertanya lagi, dan apakah setelah keburukan itu ada kebaikan? Rasul menjawab, ‘Ya, tetapi didalamnya terdapat asap (yang akan menutupinya)’. Aku bertanya, apakah asap tersebut? Rasul menjawab, ‘Kaum yang mendapat petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau akan mengenal mereka dan mengingkari mereka’. Aku bertanya lagi, apakah setelah kebaikan itu akan ada keburukan lagi? Rasul menjawab, ‘Ya, akan ada orang-orang yang mengajak pada pintu-pintu jahannam, barangsiapa yang menyambut (seruan) mereka, maka akan dilemparkan ke dalam jahannam’. Aku berkata, wahai Rasulullah tolong sebutkan ciri-ciri mereka. Rasul bersabda, ‘Mereka itu seperti kita dan berbicara dengan lisan-lisan (bahasa) kita’. Aku bertanya, apa yang Anda perintahkan kepadaku jika aku menjumpainya? Rasul menjawab, ‘Engkau harus berada bersama jamaaatul muslimin dan imam mereka’. Aku bertanya, bagaimana jika tidak ada jama’ah atau imam? Rasul menjawab, ‘Tinggalkanlah firqah-firqah itu semuanya, meskipun engkau harus menggigit akar pohon hingga mati dalam keadaan seperti itu’.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dua hadis di atas merupakan contoh pertanyaan para shahabat radhiyallahu ‘anhum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang aktivitas mereka. Mereka selalu bertanya kepada Rasul tentang aktivitas mereka sebelum mereka melaksanakannya.
Dari ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits diatas, dapat kita simpulkan bahwa asal perbuatan hamba adalah terikat dengan hukum syara. Seorang muslim harus mengetahui hukum Allah tentang suatu perbuatan sebelum mereka mengerjakannya.[24]
D.  PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa kaidah hukum asal muamalah adalah mubah sebelum ada dalil yang menunjukkan keharamannya adalah hasil ijtihad (pendapat) yang lemah. Meski demikian pendapat atau kaidah ini masih termasuk ra’yun islamiyun (pendapat yang Islami), karena merupakan produk ijtihad. Berkaitan dengan kesimpulan di atas penulis merekomendasikan untuk tidak secara gegabah menyimpulkan status hukum perkara muamalah kontemporer. Semata-mata karena tidak menemukan dalil yang mengaharam maka diputuskan hukumnya mubah. Wallahu a’lam bi ash showab.

Selesai ditulis dengan izin dan pertolongan Allah, Semoga Allah alirkan pahala melalui tulisan ini. Aamiin

Alalak, 2 Rajab 1441 H / 26 Februari 2020


[1] Nayif bin Jam’an al Jaridan, al ashlu fil mu’amalah al ibahah, (http://fiqh.islammessage.com/NewsDetails.aspx?id=6639). Diakses 20 Juni 2018
[2] Abdurrahman bin Shalih al Athram, Al wasathah at Tijariyah fil Mu’amalat al Maaliyah, (Riyadh: Dar Isyabaila, 1995), h. 24
[3] Athiyah ‘Id bin Athiyah Ramadhan, Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyah al Munazhamah lil Mu’amalati al Maliyah (Iskandariyah: Dar al Imyan, 2007), h. 137
[4] Athiyah ‘Id bin Athiyah Ramadhan, Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyah al Munazhamah lil Mu’amalati al Maliyah (Iskandariyah: Dar al Imyan, 2007), h. 137
[5] Tabyin al Haqaiq Syarh Kanzul Daqaiq juz 4 hal. 87
[6] Asy Syatibi,  al-Muwafaqat, j. 1 (Dar Ibnu Affan, 1998), h. 284-285
[7] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 28 hal. 386
[8] Imam Asy Syafi’i, al Umm juz 3, (Darul Wafa’, 2001) hal. 3
[9] Ibnu Abdil Barr. al Istidzkar: al Jaami’ li Madzahib Fuqaha al Amshar Ulama’ al Aqthar,  juz 16 (Mesir: Dar al wa’ie, 1993) hal. 419
[10] Ali Ahmad an Nadawi, Mausu’ah la Qawa’id al Fiqhiyya: al hakimah al mu’amalat al maliyah fil fiqhil islamiy, (Riyadh: al Ma’rifa, 1999) h. 224
[11] Al-Mu’jamul Wasith, II/628
[12] Abdurrahman bin Shalih al Athram, Al wasathah..., h. 21
[13] Asy Syatibi,  al-Muwafaqat, juz. 2 (Dar Ibnu Affan, 1998), h. 9-10
[14]Abdurrahman bin Shalih al Athram, Al wasathah at Tijariyah fil Mu’amalat al Maaliyah, (Riyadh: Dar Isyabaila, 1995), h. 23 
[15] Tuhfatul ahwadzi juz 4 hal. 416
[16] Imam asy-Syaukani, Nailul Authar juz 12 hal. 443
[17] Majma’ul anhar juz 8 hal. 263
[18] Ahmad bin Ali ar Razi al Jashash, Ahkamul Quran li Jashash,  juz 2 (Beirut: Dar Ihya, 1992) hal. 182
[19] al qawa’id ad nuraniyah hal. 192
[20] Muhammad Muhammad Ismail. Al Fikr al Islamiy. h. 37
[21] Tafsir ats-Tsa’labi Juz 5 h. 354
[22] Tafsir al-Qurthubi Juz 12 h. 258-260
[23] ‘Atha Abu Rasytah. Taisir Wushul ilal Ushul;Dirasatun Fi Ushul Fiqh, h. 14
[24] Atha’ Abu Rasytah. Taisir Wushul ilal Ushul; Dirastun fi Ushul Fiqh, h. 15

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB