MENIMBANG KAIDAH HUKUM ASAL MUAMALAH
MENIMBANG KAIDAH FIKIH
“HUKUM ASAL MU’AMALAH ADALAH MUBAH”
Wahyudi Ibnu Yusuf (Mahasiswa S-3
Ilmu Syariah UIN Antasari Banjarmasin)
A.
PENDAHULUAN
Kaidah fikih adalah hukum umum yang dirumuskan dari hukum-hukum
fikih yang serupa sehingga dapat diterapkan pada kasus dan cabang yang berbeda
dalam lingkup atau cakupan yang sama. Pada hakikatnya kaidah fikih digali
berdasarkan dalil-dalil syariat karena hukum-hukum fikih yang diistinbath para
mujtahid haruslah bersandar pada dalil-dalil syariat.
Di antara kaidah fikih yang dirumuskan oleh para ulama adalah
kaidah hukum asal muamalah. Menurut Dr. Nayif bin Jam’an al Jaridan, ada 3
kelompok pendapat mengenai hukum asal mu’amlah. Menurut beliau, jumhur ulama
berpendapat bahwa hukum asal mu’amalah adalah mubah (boleh) sebelum ada dalil
yang mengharamkannya. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa hukum asal muamalah
adalah haram sebelum ada dalil yang membolehkannya. Sedang ulama lain
menyatakan tawaqquf, artinya hukum asal mu’amalah tidak ditentukan mubah
atau haram namun bergantung pada dalil untuk masih-masing akad-akad mu’amalah[1]. Makalah
ini hanya memfokuskan pada kajian terhadap pendapat yang menyatakan bahwa hukum
asal muamalah adalah mubah.
Secara lengkap kaidah ini dituliskan oleh Dr. Abdurrahman bin
Shalih dengan redaksi:
الأصل في المعاملات
الجواز و الصحة ولا يحرم منها إلا ما ورد الشرع بتحريمه و إبطاله
Hukum asal dalam mu’amalah adalah boleh dan sah serta tidak haram,
terkecuali terdapat dalil syariat yang mengharamkan dan membatalkannya[2].
Masih menurut Dr. Abdurrahman bin Shalih, ini adalah pendapat yang
dipilih oleh Az Zaila’i ulama madzhab Hanafi, Imam Asy Syathibi ulama madzhab
Maliki, Ibnu Taimiyah dan muridnya Imam Ibnul Qayyim keduanya ulama madzhab
Hanbali. Di dalam kitab Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyah al Munazhamah lil
Mu’amalati al Maliyah karya syaikh Athiyah ‘Id bin Athiyah Ramadhan juga
dikutip pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ibnu ‘Abdil Barr ulama madzhab Maliki.
Yang disimpulkan bahwa dua ulama ini menguatkan kaidah ini[3].
Apa yang disebut oleh Dr. Nayif bin Jam’an dan Dr. Abdurrahman bin
Shalih bahwa kaidah hukum asal muamalah
adalah mubah merupakan pendapat jumhur ulama, mungkin yang dimaksud adalah
ulama kontemporer (mu’ashirah) karena sedangkal penulurusan yang saya lakukan
referensi yang dirujuk beliau untuk mendukung kesimpulannya hanya sebagian
ulama yang menyatakan secara spesifik dengan redaksi “hukum asal mu’amalah”.
Sebagai sebuah produk ijtihad tentu penulis menerima kaidah ini
sebagai ra’yun islamiy (pendapat yang islami). Namun saat diklaim sebagai pendapat
mayoritas ulama, maka tentu ditelusuri lebih lanjut?. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bahwa kaidah ini sering disandarkan pada kaidah “hukum asal benda
adalah mubah”. Relevankah penyandaran ini?. Termasuk yang perlu diteliti lebih
lanjuta adalah berkaitan dalil-dalil yang menjadi landasan kaidah ini. berdasarkan
hal di atas makalah ini mencoba mengkaji dan menimbang kaidah “hukum asal
muamalah adalah mubah” dari tiga aspek, yaitu:
1.
Menimbang
kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek relevansi rujukan
2.
Menimbang
kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek sandaran pada kaidah
“hukum asal benda adalah mubah”
3.
Menimbang
kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek dalil (al-Quran dan
as-Sunnah) yang dijadikan landasannya
B.
PEMBAHASAN
1.
Menimbang
kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek relevansi rujukan
Menurut Dr.
Abdurrahman bin Shalih, “hukum asal muamalah adalah mubah” adalah pendapat yang dipilih oleh Az Zaila’i
ulama madzhab Hanafi, Imam Asy Syathibi ulama madzhab Maliki, Ibnu Taimiyah dan
muridnya Imam Ibnul Qayyim keduanya ulama madzhab Hanbali. Di dalam kitab Mausu’ah
al Qawa’id al Fiqhiyah al Munazhamah lil Mu’amalati al Maliyah karya syaikh
Athiyah ‘Id bin Athiyah Ramadhan juga dikutip pendapat Imam Syafi’i dan Imam
Ibnu ‘Abdil Barr ulama madzhab Maliki. Yang disimpulkan bahwa dua ulama ini
menguatkan kaidah ini[4].
Setelah penulis
telusuri inilah kutipan dari kitab-kitab yang beliau sebut dalama catatan kaki
bukunya. Imam Zaila’i (Mazhab Hanafi) menyatakan: “Pendapat bahwa hukum asal
jual beli adalah haram kami nyatakan tidak tepat, yang tepat adalah bahwa
hukum asalnya halal/boleh....”[5] Imam
asy Syathibi (Mazhab Hanbafi) setelah menjelaskan perbedaan antara antara ibadah
dan mu’amalah. Bahwa mu’amalah termasuk perkara adat/kebiasan. Beliau
menyatakan: ”Hal-hal yang termasuk adat/kebiasaan hukum asalnya diizinkan
(boleh) hingga ada dalil yang menunjukkan sebaliknya”[6] Ibnu
Taimiyah (Mazhab Hanafi) menyatakan: “Yang asal/pokok dalam hal ini adalah
bahwa tidak haram atas manusia dari mu’amalat yang mereka perlu terhadapnya
kecuali terdapat dalil dari al-Quran dan as-Sunnah yang mengharamkannya”[7] Imam Syafi’i menyatakan: “ Hukum
asal jual beli seluruhnya adalah mubah jika ada keridhaan dua pihak yang
berakad, kecuali kecuali jual beli yang jelas dilarang oleh Rasulullah[8]. Imam
Ibnu ‘Abdil Barr (Mazhab Maliki) menyatakan: “Hukum asal jual beli adalah
halal jika jual beli tersebut saling ridha kecuali jual beli yang Allah
haramkan atas penjelasn lisan Rasulullah[9].
Berdasarkan
beberapa kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian ulama menyatakan kaidah fikih hukum muamalah dengan redaksi
yang lebih umum yaitu muamalah. Sedang sebagian ulama yang lain menggunakan
redaksi yang lebih khusus yaitu redaksi jual beli. Memang benar bahwa jual-beli
bagian dari mu’amalah, namun demikian tidak bisa digeneralisasi bahwa jika
hukum asal jual-beli adalah mubah maka hukum asal muamalah juga adalah mubah.
Dari sini juga dapat disimpulkan bahwa simpulan
bahwa jumhur ulama berpendapat “hukum asal muamalah adalah mubah” perlu
ditinjau ulang, karena ternyata pilihan
redaksi yang digunakan para ulama berbeda-beda. Perbedaan redaksi ini
memiliki konsekuensi yang berbeda pula.
2.
Menimbang
kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek sandaran pada kaidah
“hukum asal benda adalah mubah”
Di antara alasan bahwa hukum asal muamalah adalah mubah adalah
karena kaidah ini adalah cabang dari kaidah:
الاصل في الأشياء الاباحة ما لم يرد الدليل يدل على تحريمه
Biasanya diterjemahkan dengan: “Hukum asal segala sesuatu adalam
boleh, hingga terdapat dalil yang
menunjukkan keharamannya”. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Dr. Ali Ahmad an Nadawi[10]
Kaidah ini sebenarnya
berkaitan hukum asal pada benda. Padahal kenyataan mu’amalah adalah
aktivitas/perbuatan berupa akad-akad maaliyah, bukan benda. Muamalah secara
terminologis maknanya adalah hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan urusan
dunia. (al ahkam al-syar’iyah al muta’alliqah bi amri ad-dunya)[11]. Yang dimaksud “urusan dunia” adalah interaksi antara manusia dengan manusia lain, seperti jual beli, syirkah, ijarah dan
sebagainya. Muamalat secara etimologis (istilah) di antaranya diungkapkan oleh
Ibnu ‘Abidin dalam hasyiah-nya yang menyatakan bahwa mu’amalah adalah
apa saja yang dimaksudkan pada asalnya untuk memenuhi kemaslahan untuk manusia
seperti jual beli, kafalah, hiwalah, dan sejenisnya. Termasuk dalam
kategori muamalah adalah salam, ijaroh, wakalah, syirkah, ash-shulhu
(pedamaian), muzara’ah, musaqah, ji’alah, dhaman (jaminan), ‘ariyah
dan[12].
Imam Syathibi mendefinisikan mu’amalah dengan apa saja yang kembali pada
kemaslahatan untuk manusia dengan manusia lainnya seperti peralihan kepemilikan
baik dengan atau tanpa kompensasi[13] Muamalah
umumnya mencakup segala hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan pengelolaan
harta benda (tasharruf fi al-maal). Maka, fiqih muamalah sering
disebut juga Fiqih Muamalah Maliyah[14]. Meski
ada sebagian ulama yang memasukkan nikah dalam bab mu’amalah, di antara imam
Asy Syathibi dan sebagian ulama madzhab Hanafi.
Bukti bahwa kaidah
“al ashl fil asya’a al-ibahah” adalah berkaitan dengan benda adalah
dalil-dalil yang dijadikan sandaran
untuk mengkonstruksi kaidah ini. di anatara dalil yang digunakannya. Pengarang
kitab Tuhfatul Ahwadzi pada saat mensyarah sabda nabi[15]:
الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ
مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا
عَنْهُ
Artinya:
Yang halal adalah apa-apa yang telah Allah SWT telah halalkan dalam kitab-Nya
(al-qur’an). Begitupula yang haram adalah apa-apa yang telah Allah SWT haramkan
dalam kitab-Nya dan apa saja yang didiamkan darinya maka hal itu terkategori
yang dimaafkan atasnya (HR. Tirmidzi). Beliau menyatakan ” Hukum asal benda
adalah mubah, hal ini diperkuat dengan firman Allah SWT :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
”Dialah
(Allah ) yang telah menciptakan bagimu apa saja yang ada di bumi seluruhnya”
(TQS: al Baqarah: 29)
Iman
Syaukani dalam kitab beliau Nailul Authar pada pembahasan tentang makanan,
hewan buruan dan sembelihan membuat bab khusus yang berjudul hukum asal benda
dan sesuatu adalah mubah hingga datang dalil yang mencegah atau mewajibkannya.[16]
Pada bab ini
beliau mencantumkan beberapa hadist diantaranya hadist Sa’ad bin Abi Waqqash,
bahwasnya nabi saw bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ
شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
Artinya:
sesungguhnya sebesar-besar dosa kaum muslimin adalah siapa saja yang bertanya
tentang sesuatu yang tidak diharamkan, karena pertanyaannya itu maka perkara
tersebut diharamkan (HR. Bukhari).
Pengarang
kitab Majma’ul Anhar fi syarhil Multaqa al Abhar (ulama mazdhab Hanafi)
menyatakan: ”ketahuilah bahwasanya hukum asal benda-benda seluruhnya kecuali
kemaluan adalah mubah berdasarkan firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
Dialah
(Allah ) yang telah menciptakan bagimu apa saja yang ada di bumi seluruhnya”
(TQS: al Baqarah: 29). Dan firman Allah SWT:
كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
Makanlah
oleh kalian dari apa-apa yang ada di bumi yang halal lagi baik (TQS al Baqarah:
168). Ayat ini menunjukan bahwa yang yang ditetapkan haram hanyalah yang
berlawanan dengan nash yang mutlak atau hadist yang diriwayatkan. Apabila tidak
didapati dalil yang mengharamkannya maka hukumnya mubah.[17]
Selengkapanya pembahasan tentang kaidah hukum asal benda adalah
mubah dapat dibaca di link berikut: https://www.blogger.com/u/1/blogger.g?blogID=6915936028232500517#editor/target=post;postID=7832403025500879649;onPublishedMenu=publishedposts;onClosedMenu=publishedposts;postNum=0;src=postname
Kesimpulannya adalah menyandarkan
kaidah hukum asal mu’malah pada kaidah hukum asal benda adalah penyandaran yang
tidak relevan alias tidak tepat. Wallahu a’lam bi ash-showab.
3.
Menimbang
kaidah “hukum asal muamalah adalah mubah” dari aspek dalil yang menjadi
landasannya
Dalil yang dijadikan landasan pihak
yang menguatkan kaidah muamalah ini adalah berupa al-Quran dan as-sunnah.
a.
Al-Quran
Ayat Pertama,
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu (QS. An-Nisa [4]: 29)
Ayat
ini adalah nash yang membolehkan tijarah (perdagangan). Lafadz tijarah
pada ayat ini bersifat umum. Hal ini menunjukkan bahwa hukum asal tijarah
(perdagangan) adalah boleh kecuali ada dalil yang mengkhususkannya[18].
Ayat
ini topik (maudhu’)-nya adalah tijarah (perdagangan/jual-beli).
Memang benar jual beli adalah bagian dari mu’amalah. Namun menyimpulkan hukum
asal mu’amalah adalah adalah boleh berdasarkan ayat ini adalah kesimpulan yang
tidak tepat, karena redaksi “tijarotan” meski bermakna umum, namu hanya
umum untuk tijaroh (perdagangan) bukan bukan pada mu’amalah.
Ayat kedua, Allah
berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang
yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS. Al-Maidah [5]: 1)
Penunjukkan
ayat ini umum tentang wajibnya memenuhi akad dan janji. Hal ini menunjukkan
bahwa hukum asal akad adalah mubah. Jika mubah maka berati sah.[19] Ayat ini memang menunjukkan wajibnya memenuhi akad dan janji,
namun akad dan janji yang wajib dipenuhi adalah akad dan janji yang dibenarkan
syariat. Artinya hukum asal akad
dan janji adalah terikat dengan hukum
syariat.
Dalinya di
anataranya, hadis yang
diriwayatkan Aisyah, ketika ada seorang budak perempuan yang bernama Barirah
dijanjikan kemerdekaannya oleh tuannya dengan menebus biayanya sebesar 9
‘Uqiyah. Aisyah bersedia membeli untuk dibebaskan. Hanya saja tuan si budak mensyaratkan
wala (loyalitas) tetap pada tuan sebelumnya. Peristiwa tersebut kemudian
disampaikan kepada Nabi saw. Lalu Nabi bersabda:
مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَ
فِي كِتَابِ اللَّهِ مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ
بَاطِلٌ وَإِنْ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ
Tidak layak manusia membuat syarat-syarat yag tidak terdapat dalam
kitabullah. Siapa saja yang membuat suatu syarat tidak terdapat dalam
kitabullah maka syarat tersebut batil. Meskipun ai membuat seratus syarat maka
syarat yang ditetapkan Allah lebih berhak (ditunaikan) dan dipenuhi (HR.
Bukhari no. 2010)
Ayat ketiga, Allah
berfirman:
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Lafadz
al-ba’i (jual beli) pada ayat di atas adalah lafadz yang umum karena
ketika isim mufrod (tunggal) yang diawali huruf alif dan lam ahdiyah
maka bermakna umum. Keumuman lafadz tetap berlaku selama tidak ada dalil yang
mengkhususkannya. Sebagaimana surah an-Nisa ayat 29, ayat kebolehan jual-beli
ini berlaku umum untuk konteks jual beli dan tidak bisa digeneralisir pada
muamalah secara umum.
b.
Dalil
as-Sunnah
Nabi SAW
bersabda:
إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ
فَرَائِضَ فَلا تُضَيِّعُوهَا، وَنَهَى عَنْ أَشْيَاءَ فَلا تَنْتَهِكُوهَا،
وَحَدَّ حُدُودًا فَلا تَعْتَدُوهَا، وَغَفَلَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ
نِسْيَانٍ فَلا تَبْحَثُوا عَنْهَا
Sesungguhnya Alah memfardhukan sejumlah kefardhuan, maka janganlah
kalian mempersempitnya. Allah juga melarang dari suatu larangan, maka jangan
kalian melanggarnya. Dan Allah menetapkan batas-batas, jangan kalian
melampauinya dan melewatkan beberapa benda tanpa lupa maka jangan kalian
membahasnya (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir no. 18035)
Nabi SAW juga pernah ditanya tentang mentega (samin), keju, pakaian dari bulu hewan, maka Nabi
menjawab
مَا
أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ
وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya dan apa yang Allah haramkan
dalam kita-Nya. Dan apa yang Allah diamkan maka itu adalah apa-apa yang
dimaafkan (HR. Tirmidzi no. 1648)
Dua hadis ini
menjelaskan bahwa benda-benda kadang kala ada yang halal, ada pula yang haram.
Sedang apa yang tidak disebutkan halal atau haramnya maka statusnya dimaafkan
dan tidak berdosa menggunakannya. Jelas bahwa dua hadis yang dijadikan sandaran
kaidah hukum asal muamalah adalah mubah adalah hadis yang berkaitan dengan
benda, bukan perbuatan. Padahal mu’amalah adalah berkaitan dengan perbuatan
(akad-akad).
Kesimpulannya,
setelah menelaah dalil-dalil berupa al-Quran dan as-Sunnnah yang dijadikan
sandaran kaidah fikih “hukum asal mu’amalah adalah mubah” menurut penulis
sandaran dalilnya tidak relevan. wallahu Ta’ala a’lam bi ash-showab
C.
MENGKONSTRUKSI
KAIDAH HUKUM ASAL PERBUATAN
Mu’amalah
adalah perbuatan/af’al manusia, khususnya yang berkaitan dengan akad-akad maaliyah.
Maka berlaku padanya hukum perbuatan. Dengan melakukan istiqra’ (penalaran induktif) terhadap ayat-ayat al-Quran dan
hadis-hadis Nabi Saw dapat disimpulkan bahwa hukum asal perbuatan manusia
adalah terikat dengan hukum syariat. Sebagaimana yang dirumuskan oleh Syaikh
Muhamamd Muhammad Isma’il dalam kitabnya yang berjudul al-fikr al Islami.
Beliau menyatakan:
الأصل في الأفعال التقيد بأحكام الشرع وليس الأصل فيها الإباحة ولا التحريم
Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’ bukan
mubah atau haram.[20]
Dalil dari kaidah ini adalah:
Pertama, Allah berfirman:
فَوَرَبِّكَ
لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, Kami
pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Al-Hijr [15] : 92-93)
Ats-Tsa’labi di kitab tafsir beliau
menjelaskan bahwa Allah akan menanyai semua manusia di hari kiamat tentang
perbuatan mereka di dunia.[21]
Al-Qurthubi, setelah menjelaskan
panjang lebar perihal tafsir surah al-Hijr ayat 92-93 ini, menyimpulkan bahwa
ayat ini berlaku umum untuk seluruh pertanyaan yang merupakan hisab bagi
orang-orang kafir dan mu’min kecuali orang-orang yang masuk surga tanpa hisab.[22]
Kedua, Allah berfirman:
وَمَا
تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ
عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ
Artinya: “Kalian tidak berada
dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Qur’an, dan kalian
tidak mengerjakan suatu perbuatan, melainkan Kami menjadi saksi atas kalian di
waktu kalian melakukannya.” (QS. Yunus [10]: 61)
Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah
menjelaskan bahwa makna ikhbar (berita) dari Allah kepada hamba-Nya
bahwa Allah menyaksikan perbuatan mereka adalah Allah akan menghisab dan
meminta pertanggungjawaban amal perbuatan mereka.[23]
Ketiga, Nabi bersabda:
من أدحدث في
أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Artinya: “Barangsiapa yang
membuat-buat suatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, maka (perkara)
tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan
Ahmad)
Hadits ini merupakan penegasan bahwa
kita wajib menyesuaikan perbuatan kita dengan hukum Allah ‘azza wa jalla, dan
terlarang bagi kita untuk melakukan bid’ah.
Keempat:
أن عثمان بن مظعون أتى النبي فقال :
أتأذن لي في الإختصاء ؟ فقال الرسول : ليس منا من خصى أو اختصى وإن اختصاء أمتي
الصيام . قال : يا رسول الله ، أتأذن لي في السياحة ؟ قال : سياحة أمتي الجهاد في
سبيل الله . قال : يا رسول الله ، أتأذن لي في الترهب ؟ قال : إن ترهب أمتي الجلوس
في المساجد لانتظار الصلاة
Artinya: “Sesungguhnya ‘Utsman
ibn Mazh’un menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata,
(wahai Rasulullah) apakah Anda mengizinkanku melakukan pengebirian? Rasul
bersabda, ‘Bukan termasuk golonganku orang yang melakukan pengebirian dan minta
dikebiri. Sesungguhnya pengebirian umatku adalah berpuasa’. ‘Utsman berkata,
wahai Rasulullah apakah Anda mengizinkanku melakukan tamasya? Rasul bersabda,
‘Tamasyanya umatku adalah jihad di jalan Allah’. ‘Utsman berkata lagi, wahai
Rasulullah apakah Anda mengizinkanku menjadi rahib? Rasul bersabda, ‘Kerahiban
umatku adalah duduk di masjid untuk menunggu shalat’.” (HR. Ibnu
al-Mubarak)
Kellima:
عن حذيفة بن اليمان قال : كان الناس
يسألون رسول الله عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني ، فقلت : يا رسول
الله إنا كنا في جاهلية و شر فجاءنا الله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير من شر ؟
قال : نعم . قلت : وهل بعد ذلك الشر من خير ؟ نعم ، وفيه دخن . قلت وما دخنه ؟ قال
: قوم يهدون بغير هديي تعرف منهم وتنكر . قلت : فهل بعد ذلك الخير من شر ؟ قال :
نعم ، دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها . قلت : يا رسول الله صفهم
لنا . قال : هم من جلدتنا
ويتكلمون بألسنتنا . قلت : فما تأمروني إن أدركني ذلك ؟ قال
: تلزم جماعة المسلمين وإمامهم . قلت : فإن لم يكن لهم
جماعة ولا إمام ؟ قال : فاعتزل تلك
الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك
Artinya: “Dari Hudzaifah ibn
al-Yaman, beliau berkata, orang-orang (biasa) bertanya kepada Rasulullah
tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena
aku takut hal itu akan menimpaku. Aku bertanya, wahai Rasulullah, sesungguhnya
kami sebelumnya ada dalam kejahiliahan dan kejahatan, kemudian Allah
mendatangkan kebaikan ini kepada kami, apakah setelah kebaikan ini akan ada
keburukan? Rasul menjawab, ‘Ya’. Aku bertanya lagi, dan apakah setelah
keburukan itu ada kebaikan? Rasul menjawab, ‘Ya, tetapi didalamnya terdapat
asap (yang akan menutupinya)’. Aku bertanya, apakah asap tersebut? Rasul
menjawab, ‘Kaum yang mendapat petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau akan
mengenal mereka dan mengingkari mereka’. Aku bertanya lagi, apakah setelah
kebaikan itu akan ada keburukan lagi? Rasul menjawab, ‘Ya, akan ada orang-orang
yang mengajak pada pintu-pintu jahannam, barangsiapa yang menyambut (seruan)
mereka, maka akan dilemparkan ke dalam jahannam’. Aku berkata, wahai Rasulullah
tolong sebutkan ciri-ciri mereka. Rasul bersabda, ‘Mereka itu seperti kita dan
berbicara dengan lisan-lisan (bahasa) kita’. Aku bertanya, apa yang Anda
perintahkan kepadaku jika aku menjumpainya? Rasul menjawab, ‘Engkau harus
berada bersama jamaaatul muslimin dan imam mereka’. Aku bertanya, bagaimana
jika tidak ada jama’ah atau imam? Rasul menjawab, ‘Tinggalkanlah firqah-firqah
itu semuanya, meskipun engkau harus menggigit akar pohon hingga mati dalam
keadaan seperti itu’.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dua hadis di atas merupakan contoh
pertanyaan para shahabat radhiyallahu ‘anhum kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang aktivitas mereka. Mereka selalu bertanya kepada Rasul
tentang aktivitas mereka sebelum mereka melaksanakannya.
Dari ayat-ayat al-Qur’an dan
al-Hadits diatas, dapat kita simpulkan bahwa asal perbuatan hamba adalah
terikat dengan hukum syara. Seorang muslim harus mengetahui hukum Allah tentang
suatu perbuatan sebelum mereka mengerjakannya.[24]
D. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa kaidah hukum asal muamalah
adalah mubah sebelum ada dalil yang menunjukkan keharamannya adalah hasil
ijtihad (pendapat) yang lemah. Meski demikian pendapat atau kaidah ini masih
termasuk ra’yun islamiyun (pendapat yang Islami), karena merupakan produk
ijtihad. Berkaitan dengan kesimpulan di atas penulis merekomendasikan untuk
tidak secara gegabah menyimpulkan status hukum perkara muamalah kontemporer. Semata-mata
karena tidak menemukan dalil yang mengaharam maka diputuskan hukumnya mubah.
Wallahu a’lam bi ash showab.
Selesai ditulis dengan izin dan pertolongan Allah, Semoga Allah alirkan
pahala melalui tulisan ini. Aamiin
Alalak, 2 Rajab
1441 H / 26 Februari 2020
[1] Nayif bin
Jam’an al Jaridan, al ashlu fil mu’amalah al ibahah, (http://fiqh.islammessage.com/NewsDetails.aspx?id=6639). Diakses 20
Juni 2018
[2] Abdurrahman
bin Shalih al Athram, Al wasathah at Tijariyah fil Mu’amalat al Maaliyah, (Riyadh: Dar Isyabaila, 1995), h. 24
[3] Athiyah ‘Id
bin Athiyah Ramadhan, Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyah al Munazhamah lil
Mu’amalati al Maliyah (Iskandariyah: Dar al Imyan, 2007), h. 137
[4] Athiyah ‘Id
bin Athiyah Ramadhan, Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyah al Munazhamah lil
Mu’amalati al Maliyah (Iskandariyah: Dar al Imyan, 2007), h. 137
[5] Tabyin al
Haqaiq Syarh Kanzul Daqaiq juz 4 hal. 87
[7] Ibnu Taimiyah,
Majmu’ Fatawa, juz 28 hal. 386
[8] Imam Asy
Syafi’i, al Umm juz 3, (Darul Wafa’, 2001) hal. 3
[9] Ibnu Abdil
Barr. al Istidzkar: al Jaami’ li Madzahib Fuqaha al Amshar Ulama’ al Aqthar, juz 16 (Mesir: Dar al wa’ie, 1993) hal. 419
[10] Ali Ahmad an
Nadawi, Mausu’ah la Qawa’id al Fiqhiyya: al hakimah al mu’amalat al maliyah
fil fiqhil islamiy, (Riyadh: al Ma’rifa, 1999) h. 224
[12] Abdurrahman
bin Shalih al Athram, Al wasathah..., h. 21
[14]Abdurrahman bin
Shalih al Athram, Al wasathah at Tijariyah fil Mu’amalat al Maaliyah, (Riyadh: Dar Isyabaila, 1995), h. 23
[15] Tuhfatul ahwadzi juz 4 hal. 416
[16] Imam asy-Syaukani, Nailul Authar juz
12 hal. 443
[17] Majma’ul anhar juz 8 hal. 263
[18] Ahmad bin Ali
ar Razi al Jashash, Ahkamul Quran li Jashash, juz 2 (Beirut: Dar Ihya, 1992) hal. 182
[20] Muhammad
Muhammad Ismail. Al Fikr al Islamiy. h. 37
[21] Tafsir ats-Tsa’labi Juz 5 h. 354
[22] Tafsir al-Qurthubi Juz 12 h. 258-260
[23] ‘Atha
Abu Rasytah. Taisir Wushul ilal Ushul;Dirasatun Fi Ushul Fiqh, h. 14
[24] Atha’
Abu Rasytah. Taisir Wushul ilal Ushul; Dirastun fi Ushul Fiqh, h. 15
Komentar
Posting Komentar