KONSEP KASB IKHTIARY
MEMAHAMI
KONSEP KASB AL-IKHTIYARI MENURUT MAZHAB AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH
Oleh:
al faqiir ilallah Wahyudi Ibnu Yusuf
Konsep kasb
ikhtiyari termasuk konsep pokok dalam ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah
(Aswaja). Karena itu, konsep ini sangat penting untuk dipahami dan dipetakan
secara tepat. Pada kesempatan ini al faqiir akan nukilkan terjemah bebas dari
kitab ulama Aswaja Syaikh Ahmad bin Muhammad al ‘Adawi atau masyhur dengan nama
Syaikh ad Dardir (w. 1201 H). Penjelasan ini terdapat dalam kitab Syarah al
Kharidah al Bahiyah fi ‘ilm at-Tauhid halaman 61-62. Kitab ini termasuk
kitab yang otoratif untuk menjelaskan konsep tauhid Aswaja.
Ketika
mensyarah nazham berikut:
و الفعل فالتأثير ليس إلا للواحد
القهار جل و علا
Dan
perbuatan, tidak ada yang menentukan pengaruh/dampaknya (at-ta’tsir) kecuali al
wahid al Qahhar yaitu Allah Jalla wa ‘alā.
Syarah:
Jika
anda meyakini bahwa Allah Ta’ala wajib bersifat wahdaniah, maka Allah sajalah
yang mengadakan sesuatu dari tiada. Yakni tidak benar jika ada sesuatu selain
Allah yang mampu mengadakan sesuatu dari ketiadaan. Demikian pula qudrah
(kuasa) kita pada perbuatan yang bersifat ikhtiyari (pilihan) tidak
memberi pengaruh/dampak (at-ta’tsir) pada apapun. Seperti bergerak, diam,
berdiri, duduk dan sebagainya. Semua perbuatan tersebut adalah makhluk
(ciptaan) Allah ta’ala tanpa perantaraan apapun jua. Sebagaimana qudrah
(kuasa/kemampuan) kita itu sendiri adalah makhuk Allah Ta’ala. Allah berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا
تَعْمَلُونَ
Dan
Allahlah yang menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian lakukan (perbuat) (QS:
ash-Shoffat [37]: 96)
Jika
dikatakan: “Jika tidak ada pengaruh pada qudrah/kuasa hamba untuk mengadakan
sesuatu, mengapa amal-perbuatan dinisbatkan pada hamba, demikian pula taklif
dan khithab ditujukan pada hamba?”. Seperti disebutkan dalam dalam banyak ayat
dan hadis, sebagai contoh firman Allah:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ
عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
Dan katakannlah
wahai Muhammad: “Beramal maka Allah, Rasul-Nya dan orang beriman akan melihat
amal-perbuatan kalian (QS: at-Taubah [9]: 105).
Kami
jawab: penisbatan dan khitbab (seruan) kepada kita sebagai hamba adalah dari
sisi kasb dan iktisāb bukan dalam mengadakan
atau menciptakan sesuatu. Iktisāb adalah perbuatan pelaku, sedang kasb adalah pengaruh/hasilnya. Maksudnya, qudrah
(kuasa) Allah dan iradah-Nya saja yang menentukan penciptaan sesuatu dari tiada
menjadi ada itulah yang disebut kuasa yang kekal (qudrah qadimah). Sedangkan
qudrah (kuasa) hamba dan iradah (kehendak)nya yang berkaitan dengan sebagian
perbuatan (yaitu perbuatan yang dalam pilihannya/af’al ikhtiyariyah)
inilah yang disebut al-kasb dan al-iktisab.
Perbuatan
hamba yang bersifat ikhtiari (pilihan) senantiasa berkaitan dengan qudrah yang
kekal (qadimah) dan qudrah terbaharu (haditsah). Qudrah haditsah
tidak memberi pengaruh (at-ta’tsir), tetapi hanya semata
penyertaan/pendampingan (muqaranah). Karena hanya Allah saja yang
mencipta perbuatan (fi’il) dan pegaruh/dampak perbuatan (at-ta’tsir).
Seperti terbakarnya kayu karena api.
Dari
sisi Allahlah yang menciptakan kecenderungan, niat/maksud, dan juga qudrah
(kemampuan) sebagai mushohabah (sesuatu yang menyertai) ketika Allah menciptakan
perbuatan dan pengaruhnya, secara zhahir memang nampak bahwa hambalah yang
mencipta. Namun, secara dalil tauhid Allahlah yang mencipta segala sesuatu.
Jika tidak dipahami dangan pemahaman yang membedakan antara kasb dengan
penciptaan tentu akan dipahami bahwa Allah berserikat dengan hamba saat
menciptakan perbuatan.
Perlu diketahui
bahwa qudrah haditsah pada perbuatan hamba tidak memberi pengaruh (ta’tsir),
meski ia disandarkan pada perbuatan hamba yang
berbuah pahala atau dosa (siksa) sebagai bentuk keadilan Allah. Inilah yang
dinamakan bahwa hamba memiliki ikhtiar (pilihan). Seperti firman Allah ta’ala:
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا
اكْتَسَبَتْ
Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya (QS. al-Baqarah [2]: 286).
Sedangkan
berkaitan dengan penciptaan Allah atas perbuatan hamba tanpa disertai qudrah
(kuasa) dan iradah (kehendak) hamba yang
menyertai perbuatan dinamakan perbuatan yang majbur/ mudhthar (dipaksa) dan
pada kondisi ini hamba bebas dari taklif. Contoh perbuatan ikhtiari seperti
seseorang yang dengan sengaja menggerakkan tangannya untuk menulis sesuatu,
contoh perbuatan yang dipaksa (af’al idhtariyah) adalah gerakan tangan
karena menggigil kedinginan.
Berdasarkan
hal ini maka batillah pendapat Jabariyah yang menyatakan bahwa tidak ada qudrah
(kuasa) hamba yang menyertai perbuatan. Bahwa hamba dipaksa dalam semua
perbuatannya, zhahir dan batin. Bagaikan bulu yang melayang di udara. Batil
pula pendapat Qadariyah yang menyatakan bahwa qudrah haditsah memberi pengaruh
pada perbuatan hamba sesuai dengan
kehendaknya. Bedanya Jabariyah telah
kafir secara pasti karena pendapatnya telah meniadakan taklif yang Rasul datang
untuk tujuan tersebut. Sedang kekafiran Qadariyah masih diperselisihkan, pendapat
yang kuat adalah bahwa mereka tidak kafir. Karena, meski mereka meniscayakan ada
pensyarikatan dengan Allah (dengan menyatakan bahwa qudrah hamba memberikan
pengaruh pada perbuatannya), hanya saja ketika mereka menetapkan bahwa ketika
Allah menciptakan hamba berserta dengan qudrah dan iradahnya, berarti perbuatan
hamba pada hakikatnya adalah makhluk Allah juga.
Menegaskan
penjelasan di atas pendiri Mazhab Ahlu Sunnah Khalaf, Imam Abu Hasan al-Asy’ary
menyatakan:
Sesungguhnya tidak
seorang pun mampu melakukan sesuatu, sebelum Allah menggerakkannya;tidak
seorang pun bebas (independen) dari Allah SWT;tidak seorang pun mampu keluar
dari ilmu Allah SWT. Sesungguhnya tidak ada pencipta selain Allah, dan perbuatan manusia
diciptakan Allah…sesungguhnya manusia tidak mampu menciptakan sesuatu, tetapi
mereka diciptakan (al Ibanah ‘an Ushuli ad-Diyanah hal. 15)
Berdasarkan
pemaparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Mazhab Aswaja membedakan antara
perbuatan yang bisa dipilih hamba yang disebut af’al ikhtiyariyah dan
perbuatan yang hamba dipaksa yang disebut af’al idhthariyah
2. Aswaja membedakan antara qudrah
qadimah pada Allah dengan qudrah
hadtisah pada hamba
4. Kasb ikhtiyari
hanya terjadi pada af’al ikhtariyah, karena pada af’al ikhtariyah
inilah berlaku qudrah dan iradah hamba sedangkan pada af’al idhthariyah
tidak berlaku qudrah dan iradah hamba.
5. Secara zahir memang iradah dan qudrah
hamba memberi pengaruh (ta’tsir) dalam melahirkan perbuatan, namun karena
perbuatan hamba diciptakan oleh Allah sebagai pencipta tunggal maka disimpulkan
oleh Aswaja bahwa iradah dan qudrah hamba hanyalah kasb (sesuatu yang menyertai
perbuatan) bukan ta’tsir atau sesuatu yang mempengaruhi perbuatan.
6. Atas dasar kesimpulan point 5 inilah
maka Aswaja menyatakan Jabariyah dan Qadariyah telah keliru. Jabariyah
dipandang keliru karena menafikkan iradah dan qudrah sama sekali, padahal
disitulah alasan taklif. Sedangkan Qadariyah dipandang keliru karena menafikan
Allah sebagai pencipta perbuatan hamba, meski masih terdapat ihmal
(kemungkinan) bahwa Qadariyah mengakui iradah dan qudrah hamba itu adalah
ciptaan Allah.
Kesimpulan
di atas secara ringkas namun presisi (akurat) disimpulkan oleh Syaikh
Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz 1 hal.
92.
وقال أهل السنة أن أفعال العبد
والخاصيات التي يحدثها العبد في الأشياء يخلقها الله تعالى، ولكنهم قالوا أن الله
يخلقها عند قيام العبد بالفعل وعند إحداث العبد للخاصية. فالله يخلقها عند وجود
قدرة العبد وإرادته لا بقدرة العبد وإرادته
Aswaja
berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan hamba dan khasiat-khasiat pada benda yang
ditimbulkan hamba diciptakan Allah Ta’ala. Akan tetapi mereka berpandangan
bahwa Allah menciptakannya ketika hamba melakukannya secara nyata dan ketika hamba
membuat benda. Maka Allah menciptanya ketika ada kehendak (iradah) dan
kemampuan (qudrah) hamba (‘inda wujudi qudrah al ‘abdi wa iradtuhu),
bukan semata kehendak dan kemampuan hamba itu sendiri (laa bi qudratil ‘abdi
wa iradatihi).
Perlu
ditegaskan sekali lagi, makalah ini hanya mencoba memaparkan konsep kasb ikhtiyari
menurut Aswaja khususnya ‘Asya’irah. In syaa Allah selanjutnya akan dibahas
tentang konsep Aswaja dalam kaitannya pengaruh khasiat pada benda-benda. Tunggu
sambungannya ya...
Banjarmasin,
2 Jumadal Tsani 1441 H/ 28 Januari 2020
Komentar
Posting Komentar