KHASIAT/POTENSI PADA BENDA MENURUT ASWAJA
KHASIAT/POTENSI PADA BENDA MENURUT MAZHAB
AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH
Pada artikel
sebelumnya telah dibahas tentang konsep kasb ikhtiari menurut Aswaja. Pembahasan
yang berkaitan ketika membahas tentang qadha dan qadar adalah tentang khasiat
pada benda-benda. Karena pada kenyataanya manusia (hamba) ketika melakukan
perbuatan umumnya melibatkan benda-benda seperti pisau untuk memotong, api
untuk membakar, nasi untuk dimakan, air untuk diminum, obat untuk terapi dsb. Bahkan
perbuatan manusia itu sendiri melibatkan hajatul ‘udhwiyah, gharizah, dan akalnya
dengan khasiatnya masing-masing. Nah, apakah potensi (khasiat, dalam kitab
Syaikh ad-Dardir diistilahkan dengan al-quwwah) ini memberikan pengaruh (ta’tsir)
pada perbuatan, atau tetap Allah semata yang memberi pengaruh?. Makalah ini mencoba
membahasnya. Hanya saja dikhususkan membahas syarah dari nazham kitab “ilm
tauhid” yang dikutip oleh KH. Idrus Ramli yang menyatakan HT adalah ahlul bid’ah
karena menyelisi pendapat Aswaja.
Pada kesempatan
ini al faqiir masih menukil syarah karya Syaikh Ahmad bin Muhammad al ‘Adawi
atau masyhur dengan nama Syaikh ad Dardir (w. 1201 H yang berjudul Syarah al
Kharidah al Bahiyah fi ‘ilm at-Tauhid halaman 66.
Nazham
yang dimaksud:
ومن يقل بالقوة المودعة فذالك بدعي فلا
تلتفت
Barang siapa
yang menyatakan bahwa disebabkan khasiat (potensi) yang mendorongnya untuk
berbuat, maka yang demikian itu adalah bid’ah, jangan engakau menoleh (pada
pendapat ini, pent).
Syarah:
Syaikh ad-Dardir
menyifati dengan istilah ahl az-zaigh terhadap orang-orang yang berpendapat bahwa potensi
(khasiat) yang Allah tetapkan pada benda-benda memberi pada perbuatan/kejadian.
Seperti bahwa hamba dengan qudrah haditsah-nya yang Allah ciptakan
memberi pengaruh pada amalnya atau meyakini bahwa api memberi pengaruh membakar
dengan khasiat yang Allah tetapkan, dst.
Orang yang
berpendapat seperti ini menurut Syaikh Dardir disebut ahl bid’ah yang
menyelisihi sunnah. Yaitu menyelisihi sunnah salafus shalih yang diambil dari
sunnah Nabi Saw. Tetapi mereka ini tidaklah jatuh pada kekafiran menurut
pendapat yang shahih. Hanya saja, pendapat mereka ini jangan ditoleh, namun
cukup berpegang pada pendapat Aswaja yang menyatakan bahwa tidak ada yang
menetapkan/memberi pengaruh selain Allah semata.
Jika dikatakan
bahwa sebagian ulama Aswaja berpendapat bahwa adanya pengaruh (at-ta’tsir)
dengan perantaaran khasiat (potensi) yang Allah tetapkan. Yang menguatkan
pendapat ini adalah Hujjatul Islam Imam al Ghazali dan Imam as-Subki
sebagaimana dinukil oleh Imam Suyuthi. Maka bagaimana bisa dikatakan mereka ahl bid’ah?.
Syaikh
ad-Dardir menjawab: Makna dari pengaruh disebabkan adanya khasiat menurut
sebagaimana pendapat sebagian imam kita adalah bahwa Allah Ta’ala yang memberi pengaruh dan subjek (Mu’atstsir
wa faa’il), karena khasiat-khasiat pada benda ini Allah juga yang ciptakan.
Artinya pengaruh tetap di sisi Allah, meski dengan perantaraan khasiat pada
benda-benda tersebut. Dari dua pendapat antar ulama Aswaja ini Syaikh ad-Dardir
menguatkan pendapat pertama, yaitu yang memberi pengaruh hanyalah Allah semata
tanpa perantaraan khasiat pada benda-benda.
Berdasarkan
kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi terjadi ikhtilaf antar
ulama Aswaja dalam memahami apakah khasiat pada benda memberi pengaruh atau
tidak. Ikhtilaf yang seperti ini adalah ikhtilaf yang mu’tabar yang semestinya
tidak menghantarkan pada saling membid’ahkan atau tuduhan ahl fasiq. Bagaimana bisa
selevel imam Ghazali dan imam as-Subki dikatakan ahl bid’ah karena perbedaan
dalam masalah ini?
Adapun tuduhan
KH. Idrus Ramli pada HT dan memvonisnya ahl bid’ah dengan mengutip karya Syaikh
ad-Dardir ini adalah tuduhan yang salah alamat. Karena pendapat HT dalam hal
ini mirip dengan pendapat sebagian Ulama Aswaja sebagaimana dikutip di atas.
Berikut ini kami kutipkan dari kita Nizham al-Islam karya Syaikh Taqiyuddn
an-Nabhani hal. 19:
وإنَّهُ وإنْ كانتْ خاصِّيَّاتُ
الأشياءِ، وخاصِّيَّاتُ الغرائزِ، والحاجاتُ العضويَّةُ الَّتي قدَّرَهَا اللهُ
فيها وجعلَها لازمةً لها، هيَ الَّتي كانَ لها الأثرُ في نتيجةِ الفعلِ،
لكنَّ هذهِ الخاصِّيَّاتِ لا تُحْدِثُ هي عملاً، بلْ الإنسانُ حينَ يستعمِلُهَا
هوَ الَّذي يُحْدِثُ العملَ بهَا ، فالميْلُ الجِنْسِيُّ الموجودُ في غريزةِ النوعِ فيهِ قابليَّةٌ
للخيرِ والشرِّ، والجوعُ الموجودُ في الحاجةِ العضويَّةِ فيهِ قابليَّةٌ للخيرِ
والشرِّ، لكنَّ الَّذي يفعلُ الخيرَ والشرَّ هوَ الإنسانُ وليستْ الغريزةَ أوِ
الحاجةَ العضويَّةَ، وذلكَ أنَّ اللهَ سبحانَهُ وتعالى خلقَ لِلإنسانِ العقلَ
الَّذي يميِّزُ، وجعلَ في طبيعةِ العقلِ هذا الإدراكَ و التمييزَ
Meskipun
khasiat-khasiat yang ada pada benda mati, naluri, serta kebutuhan jasmani yang
telah ditaqdirkan oleh Allah dan dijadikannya bersifat baku, mempunyai
efek/pengaruh yang menghasilkan suatu perbuatan, akan tetapi bukan
khasiat-khasiat ini yang melakukan perbuatan, melainkan manusialah yang
melakukannya pada saat ia menggunakan khasiat-khasiat itu. Sebagai contoh,
dorongan seksual yang ada pada gharizatun-nau', memang mempunyai potensi
kebaikan atau keburukan. Begitu pula rasa lapar yang ada pada kebutuhan
jasmani, juga mempunyai potensi kebaikan atau keburukan. Akan tetapi yang
melakukan perbuatan baik atau buruk adalah manusianya itu sendiri, bukan
instink atau kebutuhan jasmaninya. Sebab, Allah SWT telah menciptakan akal bagi
manusia. Dan di dalam tabiat akal diciptakan kemampuan memahami serta
mempertimbangkan.
Jika
redaksi “mempunyai efek/pengaruh yang
menghasilkan suatu perbuatan” dipahami bahwa HT telah menyimpang karena
menggangap khasiat benda memberi pengaruh, maka sejatinya pendapat HT ini sama
dengan pendapat ulama Aswaja seperti Imam Ghazali dan Imam as-Subki, karena HT
juga menegaskan bahwa khasiat-khasiat pada benda termasuk pada diri manusia
adalah ketetapan (qadar) Allah. Hal ini bisa dipahami dari redaksi الَّتي قدَّرَهَا اللهُ فيها
وجعلَها
لازمةً لها
Selain
itu, dari kutipan di atas nampak pula bahwa fokus pembahasan Syaikh Taqiyuddin
adalah berkaitan khasiat pada benda atau potensi pada manusia yang digunakan
manusia saat beramal. Jadi fokusnya tetap pada perbuatan manusia apakah dipaksa
atau bebas yang berkonsekuensi pada dosa dan pahala, hanya saja kontesknya
adalah berkaitan dengan khasiat pada benda atau potensi pada manusia yang
digunakan saat beramal. Jadi tidak membahas apakah khasiat membakar pada api
disebabkan khasiat pada api itu (baik dengan berdiri sendiri atau ditetapkan
Allah) atau semata-mata Allah saja yang memberi pengaruh terbakarnya sesuatu,
dst.
Demikian
artikel ini, semoga bermanfaat. In syaa Allah pada kesempatan selanjutnya akan
dibahas konsep HT terkait pembahasan qadha dan qadar yang sering disalahpahami
dikarena tidak memahami alias gagal paham terhadap konteks dan latar belakang
pembahasannya. Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam bi ash-showab.
Banjarmasin,
2 Jumadal Tsani 1441 H/ 28 Januari 2020
Al
faqiir ila hudaLlah Wahyudi Ibnu Yusuf
Komentar
Posting Komentar