Poligami, Mubah atau Sunnah?


Hukum  Poligami, Mubah atau Sunnah?

Dalam beberapa kitab disebutkan bahwa hukum poligami (seorang laki-laki memiliki dua istri atau lebih) adalah mubah, namun yang pernah saya dengar ada yang mengatakan hukumnya sunnah bahkan wajib. Sebenarnya apa hukum poligami?

Hukum asal poligami bagi yang mampu atau diduga mampu berbuat adil dan memiliki kemampuan finansial adalah mubah. Status hukum mubah ini dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh bahkan haram bergantung pada kondisi orang yang menjalani poligami. 


Dasar kebolehan poligami adalah firman Allah ta’ala:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Maka kawinilah wanita-wanita  yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. an-Nisaa’: 3).

Meski ayat ini menggunakan redaksi perintah (shighah amr) yakni “fankihuu” namun tidak berfaidah wajib atau sunnah. Alasannya karena sebab  turunnya ayat ini untuk membatasi jumlah wanita yang boleh dinikahi. Ayat ini turun di tahun ke delapan hijriyah, dimana menikah dengan banyak wanita (lebih dari empat orang) telah menjadi suatu yang biasa bagi bangsa Arab. Qais  bin Tsabit  ketika masuk Islam istrinya delapan orang[1], Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi istrinya sepuluh orang[2],  Naufal bin Mu’awiyah istrinya lima orang[3]. Kemudian turunlah ayat ini untuk membatasi jumlah istri dalam satu waktu maksimal empat orang. Sehingga ayat ini dipahami bahwa mubah/boleh menikah lebih dari satu yaitu maksimal empat orang istri. 

Alasan lain bahwa hukum asal poligami adalah mubah bahwa diujung ayat ini terdapat redaksi bahwa menikah dengan satu istri lebih dekat pada berbuat adil atau terhindar dari berbuat aniaya. ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya). Makna “alla ta’uluu” adalah agar tidak berbuat aniaya/zalim. Jika dikatakan :
عال الحاكم إذا جار
‘aala al haakim, jika ia (hakim) berbuat zalim.
Dalam hadis yang diriwayatkan bunda ‘Aisyah juga dinyatakan bahwa Nabi Saw bersabda:
"أن لا تعولوا: أن لا تجوروا"
“an laa ta’ulu, yaitu jangan kalian berbuat zalim” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Sahihnya). Artinya meski ayat ini menjelaskan tentang bolehnya berpoligami, namun bagi siapa saja yang khawatir tidak bisa berbuat adil lebih baik baginya untuk membatasi diri dengan hanya satu istri. Inilah yang menjadi pendapat ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali, yaitu mustahabnya seseorang membatasi diri dengan hanya satu istri jika khawatir terjatuh pada sikap aniaya/tidak adil (al mausu’ah al fiqhiyah al Quwaitiyah, 41/220) . Dalilnya adalah hadis Nabi yang menyatakan:
مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ يَمِيل إِلَى إِحْدَاهُمَا عَلَى الأْخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَدُ شِقَّيْهِ مَائِلٌ
Siapa yang memiliki dua istri, dimana ia lebih condong pada salah satunya atas yang lainnya maka ia akan datang pada hari kiamat separo badannya miring (HR. An-Nasaai dan dishahihkan al Hakim dan disetujui azd Dzahabi)

Condong sebagai wajud ketidakadilan yang dimaksud dalam hadis ini adalah tidak berlaku adil dalam perkara yang memungkinkan berlaku adil yaitu dalam hal nafkah materi dan nafkah batin/bermalam, bukan dalam hal yang mustahil  mampu berlaku adil yaitu dalam hal cinta dan perasaan hati. Karena memang seseorang tidak akan mampu berlaku adil dalam artian sama dalam hal cinta dan perasaan, sebagaimana Nabi lebih condong  pada ‘Aisyah dari istrinya yang lain.  Inilah yang maksud dalam firman Allah suarh an-Nisa ayat 129:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nisa: 129)

Sedangkan adil yang dituntut dalam surah an-Nisa ayat 3 adalah adil dalam hal nafkah materi dan nafkah batin. Inilah penafsiran yang tepat terhadap dua ayat ini agar tidak terjadi pertentangan antara satu ayat dengan ayat lain. Karena tidak mungkin Allah di satu ayat membolehkan poligami dengan ketentuan wajib berlaku adil, namun di ayat lain menyatakan mustahil manusia bisa berbuat adil.  

Mengenai hukum berlaku adil terhadap istri-istri, sebagian ulama menyatakan adil dalam surah an Nisa ayat 3 ini menjadi syarat bolehnya poligami (Ta’addud al-Zaujaat fil Islam,  hal. 21).  Meski menurut syaikh Taqiyuddin an Nabhani adil bukan menjadi syarat bolehnya poligami, namun ia menjadi hukum tersendiri yang harus ditunaikan jika seseorang berpoligami. Artinya jika ia sengaja bertindak tidak adil maka ia mendapat dosa atas ketidakadialnnya tersebut (an-Nizham al ijtima’i fil Islam, hal. 122). Alasan, karena redaksi ayat فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ kalimat pada potongan ayat ini telah sempurna. Kemudian dilanjutkan (isti’naf) dengan redaksi فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً. Bukan dalam redaksi syarat. Seandainya dalam redaksi syarat tentu redaksinya akan dinyatakan: فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ إِنْ عَدَلْتُمْ
Maka kawinilah wanita-wanita  yang kalian senangi : dua, tiga atau empat jika kalian bisa berbuat adil. 

Inilah hukum asal poligami yaitu mubah/boleh bagi orang yang diduga mampu berbuat adil dan memiliki kemampuan materi. Hukum ini dapat berubah sesuai dengan kondisi laki-laki yang hendak berpoligami. Bisa menjadi sunnah atau wajib jika ia memang mampu dan seorang istri tak cukup untuk membuatnya bisa menekan syahwatnya atau tak cukup mampu untuk menjaga pandangannya. Namun dapat juga menjadi makruh jika ia ‘memaksakan diri’, karena tidak memiliki kemampuan materi atau bahkan menjadi haram ketika ia diduga kuat tidak akan mampu berlaku adil. Termasuk bagi seorang pengemban dakwah wajib dipertimbangan vitalitas dakwahnya. Jika menambah istri diduga akan mendukung atau bahkan membuat dakwahnya makin kencang tentu dianjurkan, namun jika dengan ‘nambah’ membuat dakwahnya terbengkalai, sebaiknya dipikirkan ulang.

Demikianlah, status hukum asal poligami. Masih banyak hukum-hukum syariah terkait poligami yang wajib diketahui bagi siapa saja yang menjadi praktisi atau calon praktisi poligami. Siapkan dulu ilmu tentangnya, karena ilmu mendahului amal. Semoga bermanfaat.

Al Faqiir ila rahmatiLlah Wahyudi Ibnu Yusuf
Kalua, 27 Desember 2019 (Musim hujan di ujung tahun Masehi)


[1] Sunan Ibnu Majah
[2] Sunan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah
[3] Subul as-Salam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB