HUKUM IJAROH PAKET UMROH DARI LKS


HUKUM IJAROH PAKET UMROH DARI LKS

Saat ini marak penawaran umroh dengan pembayaran setelah berangkat umroh. Skemanya adalah pihak penyelenggara umroh bekerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Jika ada calon jamaah umroh datang ke penyelenggara umroh maka mereka akan diarahkan untuk mengurus pembiayaan di lembaga keuangan terlebih dahulu. Akad yang ditawarkan umumnya adalah ijarah, sebagian menggunakan akad kafalah (jaminan). Bagaimana akad seperti ini?


Catatan saya:

Perlu diperjelas dalam akad yang dianggap ijaroh (menjual paket jasa umroh), sebenarnya jamaah umroh (nasabah) berakad pada penyelenggara umroh atau kepada LKS?. Jika kepada penyelenggara umroh, lantas akad pada LKS ijaroh atau pinjaman uang (qardh)?. Jika pada LKS, apakah LKS sudah ‘membeli’ terlebih dahulu paket jasa tersebut pada penyelenggara umroh? Misalkan pihak LKS sudah ‘membeli’ paket jasa umroh pada penyelenggara umroh. Apakah saat itu benar-benar telah terjadi ‘serahterima’ jasa, sehingga pihak LKS dapat ‘menjualnya’ pada jamaah umroh? Pada kenyataannya LKS tidak benar-benar memberikan jasa (manfa’at ‘amal) secara langsung, yang karenanya disebut sebagai ajir, kepada nasabah (musta’jir). Jasa yang diberikan oleh LKS kepada nasabah adalah jasa yang sesungguhnya diberikan oleh pihak lain (dalam hal ini travel penyelenggara umroh. Ini menjadi masalah, ketika LKS “menjual jasa” pihak lain kepada nasabah, padahal jasa tersebut belum diserahterimakan. Dengan kata lain, jasa yang diberikan oleh LKS kepada nasabah adalah jasa yang masih menjadi dzimmah maushufah dari pihak lain, kemudian jasa tersebut diberikan kepada nasabah. Padahal, jasanya tidak ada di tangan. Ini artinya, LKS telah melakukan jual beli hutang dengan hutang, yang jelas diharamkan dalam Islam.   (Wahyudi Ibnu Yusuf, 30 Desember 2019)


Berikut ini saya kutipkan kritik dari KH. Hafidz Abdurrahman dalam bukunya “Raport Merah Bank Syariah”.

Pembiayaan multijasa ini  didefinisikan oleh fatwa DSN MUI sebagai pembiayaan yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah dalam memperoleh manfaat atas suatu jasa. Dalam buku Kodifikasi Produk Perbankan Syaraih (2008), pembiayaan ini dilakukan melalui dua cara:
1-       Akad Ijarah: Transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau jasa, antara pemilik obyek sewa (ajir) termasuk kepemilikan hak pakai atas obyek sewa dengan penyewa (musta’jir) untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakan.
2-     Akad Kafalah: Transaksi penjaminan yang diberikan oleh penanggu (kafil) kepada pihak ketiga atau yang tertanggung (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (makful ‘anhu/ashil).[1]

Produk pembiayaan ini didasarkan pada fatwa DSN MUI No: 44/DSN-MUI/VII/2004 tentang Pembiayaan Multijasa. Dasar yang digunakan oleh fatwa DSN MUI ini adalah al-Qur’an, as-Sunnah dan kaidah fiqh.

Dalam hal ini, al-Qur’an surat al-Baqarah [2]: 233 yang menyatakan:

“…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Surat al-Qashash [28]: 26 yang menyatakan:

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”

Surat Yusuf [12]: 72 yang menyatakan:

“Penyeru-penyeru itu berseru: ‘Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.”

Surat al-Ma’idah [5]: 2 yang menyatakan:

“Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.”

Surat al-Ma’idah [5]: 1 yang menyatakan:  

“Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu…”.

Surat al-Isra’ [17]: 34 yang menyatakan:  

“…Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabannya.”

Dari aspek dalalah, wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal, ayat-ayat di atas menjelaskan tentang hukum Akad Ijarah, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Baqarah [2]: 233, surat al-Qashash [28]: 26 dan surat Yusuf [12]: 72. Sedangkan  surat al-Ma’idah [5]: 2 menjelaskan tentang hukum Takaful (tolong-menolong), dan akad secara umum, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat al-Ma’idah [5]: 1 dan surat al-Isra’ [17]: 34.  

Adapun hadis Nabi saw,  antara lain, hadis riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda: 

“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”

Hadits riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi saw yang menyatakan:  

“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”

Hadits riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:

“Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”

Hadis Nabi riwayat at-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani yang menyatakan:

“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum Muslim kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

adalah hadis-hadis yang menjelaskan tentang Akad Ijarah, yang mengatur tentang kewajiban musta’jir untuk membayar upah ajir, dan memberitahukan kadar upah yang akan dia bayarkan kepadanya. Termasuk larangan menyewakan tanah dengan bagi hasil, dan kebolehan menyewakannya dengan bayaran emas dan perak. Adapun hadis yang terakhir menjelaskan kebolehan menetapkan syarat dalam akad apapun, termasuk Ijarah, dengan catatan tidak melanggar ketentuan syariah.

Sedangkan hadis Nabi riwayat Bukhari yang menyatakan:

“Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw. jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah saw bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.”  

Hadits Nabi riwayat Abu Daud, at-Tirmizi dan Ibn Hibban yang menyatakan: 

“Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.”

adalah hadis-hadis yang menjelaskan praktik Kafalah (penjaminan) yang dilakukan di hadapan Nabi saw, sebagai bentuk ta’awun (tolong-menolong) yang diperintahkan. Dengan demikian, hadis-hadis di atas, dari aspek dalalah, wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal merupakan dalil yang menjelaskan secara umum Akad Ijarah dan Kafalah, berikut syarat-syarat yang ditetapkan di dalamnya selama tidak menyalahi ketentuan syariah.

Mengenai kaidah fiqh yang menyatakan: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Juga kaidah yang menyatakan, “Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.” Kaidah yang menyatakan,  “Kesulitan dapat menarik kemudahan” sebagian telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, sehingga tidak perlu lagi diulas di sini. Hanya saja, secara umum harus ditegaskan, bahwa kaidah fiqh bukanlah dalil, tetapi hukum jadi yang dihasilkan dari dalil. Karena itu, kaidah fiqh itu sendiri bisa benar dan bisa salah. Contoh, kaidah fiqh di atas, “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” juga kaidah yang menyatakan, “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syari’at).” Mengingat statusnya bukan sebagai dalil, maka kaidah ini juga tidak boleh dijadikan sebagai dalil untuk menarik hukum.

Fatwa ini juga mengutip pendapat sejumlah ulama’, antara lain,  penulis kitab I’anah at-Thalibin, jilid III/77-78 yang menyatakan, “Tidak sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban, seperti utang dari akad qardh (hutang) yang akan dilakukan…. Misalnya ia berkata, ‘Berilah orang ini utang sebanyak seratus dan aku menja-minnya.’ Penjaminan tersebut tidak sah, karena utang orang itu belum terjadi. Dalam pasal tentang Qardh, pensyarah telah menuturkan masalah ini --penjaminan terhadap suatu kewajiban (utang) yang belum terjadi-- dan menyatakan bahwa ia sah menjadi penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut: ‘Seandainya seseorang berkata, Berilah orang ini utang sebanyak seratus … dan aku menjaminnya. Kemudian orang yang diajak bicara memberikan utang kepada orang dimaksud sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang tersebut menjadi penjamin menurut pendapat yang paling kuat (arjah).’ Dengan demikian, pernyataan pensyarah di sini (dalam pasal tentang dhaman) yang menyatakan dhaman (terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban) itu tidak sah bertentangan dengan pernyataannya sendiri dalam pasal tentang qardh di atas yang menegaskan bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai) dhaman.”

Juga penulis kitab Mughni al-Muhtajj, jilid II/201-202 yang menyatakan, “(Hal yang dijamin) yaitu utang disyaratkan harus berupa hak yang bersifat tetap pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin utang yang belum menjadi kewajiban… (Qaul qadim --Imam al-Syafi’i-- menyatakan sah penjaminan terhadap utang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan diutangkan. Hal itu karena hajat --kebutuhan orang-- terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut.”

Pendapat penulis kitab  al-Muhadzdzab, juz I/394 yang menyatakan, “Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan… karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Oleh karena akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat.” [2]

Penjelasan para ulama’ mazhab Syafi’i di atas semuanya membahas tentang status dhaman (jaminan) yang diberikan sebelum dan setelah terjadinya akad Qardh (hutang-piutang). Seluruh penjelasan di atas menguatkan Qaul Qadim (pendapat lama) Imam as-Syafi’i tentang keabsahan dhaman terhadap hutang-piutang yang belum terjadi, atau hak yang belum mengikat (pasti). Inilah pendapat yang digunakan dalam fatwa ini untuk menjustifikasi kebolehan Pembiayaan dengan Akad Multijasa, khususnya dengan akad Kafalah.

Ini dari aspek dalalah, wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal. Adapun dari aspek hukum jadi, fatwa ini menjelaskan beberapa ketentuan dalam pembiayaan multijasa tersebut, antara lain, sebagai berikut:

Pertama, menjelaskan ketentuan umum pembiayaan multijasa:
1-       Pembiayaan Multijasa hukumnya boleh (jaiz) dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah.
2-     Dalam hal LKS menggunakan akad Ijarah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam fatwa Ijarah.
3-      Dalam hal LKS menggunakan akad Kafalah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam fatwa Kafalah.
4-     Dalam kedua pembiayaan multijasa tersebut, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee.
5-     Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase.

Kedua: Penyelesaian Perselisihan, bahwa jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Dari penjelasan hukum di atas, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan:
1-       Pembiayaan Multijasa, sebagaimana yang didefinisikan oleh fatwa DSN MUI, sebagai pembiayaan yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah dalam memperoleh manfaat atas suatu jasa, baik dengan Akad Ijarah maupun Kafalah, pada dasarnya merupakan transaksi pembiayaan, tepatnya hutang-piutang, antara Bank dengan nasabah. Hanya saja, karena dalam akad Qardh, tidak diperbolehkan adanya ujrah atau fee, maka Akad Ijarah maupun Kafalah ini bisa menjadi hilah (siasat), agar Bank bisa mendapatkan ujrah atau fee tersebut atas apa yang dinamai dengan akad  Ijarah dan Kafalah.
2-     Dalam Pembiayaan Multijasa, dengan Akad Ijarah, misalnya, Bank tidak benar-benar memberikan jasa (manfa’at ‘amal) secara langsung, yang karenanya disebut sebagai ajir, kepada nasabah (musta’jir). Jasa yang diberikan oleh Bank kepada nasabah adalah jasa yang sesungguhnya diberikan oleh pihak lain, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Ini menjadi masalah, ketika Bank “menjual jasa” pihak lain kepada nasabah, padahal jasa tersebut belum diserahterimakan. Dengan kata lain, jasa yang diberikan oleh Bank kepada nasabah adalah jasa yang masih menjadi dzimmah maushufah dari pihak lain, kemudian jasa tersebut diberikan kepada nasabah. Padahal, jasanya tidak ada di tangan. Ini artinya, Bank telah melakukan jual beli hutang dengan hutang, yang jelas diharamkan dalam Islam. 
3-      Sementara dalam Pembiayaan Multijasa, dengan Akad Kafalah, misalnya, hubungan Bank dengan nasabah juga tidak benar-benar hubungan ta’awun, yang memang didasarkan pada prinsip sosial, bukan prinsip ekonomi dan benefit. Dalam Akad Kafalah atau dhaman, menurut fuqaha’ mazhab manapun, tidak pernah dinyatakan dengan fee, karena hubungan yang terjadi di antara para pihak, yaitu pihak yang dijamin (al-madhmun ‘anhu), dalam hal ini adalah nasabah, dan penjamin (al-dhamin), dalam hal ini adalah Bank, adalah hubungan sosial dan kemanusiaan. Dengan demikian, status fee yang didapatkan oleh Bank dari nasabah dalam Akad Kafalah ini menyalahi fakta Kafalah atau dhaman itu sendiri. Karena itu, praktik Kafalah dan Ijarah dalam Pembiayaan Multijasa ini semakin menguatkan kesimpulan, bahwa keduanya hanya digunakan sebagai hilah (siasat), agar Pembiayaan Multijasa tersebut diperbolehkan.



[1] Lihat, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia, 2008, hal. B-16.  
[2] Lihat, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia, Nomer: 44/DSN-MUI/VII/2004 tentang Pembiayaan Multijasa, hal. 1-5.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB