Hukum memakai cadar menurut Mazhab Syafi’i
Hukum memakai cadar menurut Mazhab Syafi’i
Cadar
adalah kain penutup muka atau wajah perempuan.[1] Dalam
bahasa Arab disebut juga dengan niqab. Dalam Kamus Arab-Indonesia karangan
Mahmud Yunus disebutkan bahwa niqab adalah penutup muka perempuan.[2] Lois
Ma’luf, dalam Kamus al-Munjid menjelaskan bahwa niqab itu adalah kain penutup
kepala yang diletakkan oleh para perempuan pada ujung hidungnya dan menutup
wajahnya dengannya.[3]
Sudah menjadi tradisi bagi perempuan Arab dari zaman dahulu menutup wajah
mereka dengan cadar dan ini terus berlanjut sampai orang Arab memeluk Islam
sebagai agama mereka. Setelah Islam menjadi agama bagi orang Arab, diantara mereka
ada yang menganggap cadar sebagai kewajiban bagi setiap perempuan muslimah,
tetapi ada juga yang menganggap sebagai sunnah saja, bukan kewajiban, bahkan ada
yang menganggap cadar tidak ada hubungannya dengan agama, tetapi hanya tradisi
Arab tempo dulu.
Dalam
tulisan ini, kami mencoba menjelaskan hukum menggunakan cadar menurut mazhab
Syafi’i. Membatasi kajian ini menurut mazhab Syafi’i saja karena mengingat mayoritas
masyarakat muslim Indonesia dan sekitarnya adalah bermazhab Syafi’i. Untuk lebih
jelasnya, mari kita perhatikan pendapat para ulama Mazhab Syafi’i tentang
batasan aurat perempuan, sebagai berikut :
1.
Imam
Syafi’i menyatakan dalam al-Um ketika menjelaskan syarat-syarat shalat sebagai
berikut :
وكل المرأة عورة إلا كفيها ووجهها
“Dan setiap tubuh perempuan adalah aurat kecuali telapak tangan dan
wajahnya.”[4]
2.
Ibnu
al-Munzir mengatakan dalam kitabnya, al-Awsath sebagai berikut :
واختلفوا فيما
عليها ان تغطي في الصلاة فقالت طائفة : على المرأة ان تغطي ما سوى وكفيها وجهها. هذا
قول الاوزاعي والشافعي وابي ثور
“Para ulama berbeda pendapat dalam hal kewajiban perempuan menutup
aurat dalam shalat. Sekelompok ulama mengatakan wajib atas perempuan menutup
seluruh badannya kecuali kedua telapak tangan dan wajahnya. Ini merupakan
pendapat al-Auza’i, Syafi’i dan Abu Tsur”[5]
Selanjutnya
Ibnu al-Munzir menyebutkan pendapat ahli tafsir dalam menafsirkan Q.S. al-Nur : 31 sebagai dalil pendapat di
atas. Q.S, al-Nur : 31 tersebut berbunyi
:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Artinya : Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. (Q.S. al-Nur : 31)
Ibnu al-Munzir mengatakan bahwa Ibnu Abbas, ‘Atha’, Makhul dan Said
Bin Jubair berpendapat bahwa maksud dari yang biasa yang nampak itu adalah kedua telapak tangan dan wajahnya.[6]
3.
Abu Ishaq
al-Syairazi mengatakan :
أما
الحرة فجميع بدنها عورة إلا الوجه والكفين لقوله تعالى ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها قال ابن عباس: وجهها وكفيها ولأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى
المرأة في الحرام عن لبس القفازين والنقاب ولو كان الوجه والكف عورة لما حرم
سترهما ولأن الحاجة تدعو إلى إبراز الوجه في البيع والشراء وإلى إبراز الكف للأخذ
والإعطاء فلم يجعل ذلك عورة
Artinya: Adapun wanita merdeka, maka seluruh
tubuhnya merupakan aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka, kecuali yang biasa nampak dari padanya”. Ibnu ‘Abbas berkata
(mengomentari ayat ini), ‘yang dimaksud adalah wajah dan dua telapak
tangannya’. Dasar lainnya adalah karena Nabi SAW melarang wanita ketika ihram
memakai sarung tangan dan cadar. Seandainya wajah dan telapak tangan merupakan
aurat, Rasulullah tidak akan mengharamkan menutupnya. Alasan lainnya adalah
karena adanya keperluan yang menuntut seorang wanita untuk menampakkan wajah dalam
jual beli, dan menampakkan telapak tangan ketika memberi dan menerima sesuatu.
Maka, tidak dijadikan wajah dan telapak tangan sebagai aurat.[7]
4.
Imam
al-Nawawi dalam al-Majmu’ mengatakan :
ان المشهور من
مذهبنا أن عورة الرجل ما بين سرته وركبته وكذلك الامة وعورة الحرة جميع بدنها الا
الوجه والكفين وبهذا كله قال مالك وطائفة وهي رواية عن احمد
“Pendapat yang
masyhur dalam mazhab kami (syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah antara pusar
hingga lutut, begitu pula budak perempuan. Sedangkan aurat perempuan merdeka
adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Demikian pula
pendapat yang dianut oleh Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad.”[8]
5.
Dalam Tuhfah
al-Muhtaj, disebutkan :
(وَ)
عَوْرَةُ (الْحُرَّةِ) وَلَوْ غَيْرَ مُمَيِّزَةٍ وَالْخُنْثَى الْحُرِّ (مَا سِوَى
الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ) ظَهْرُهُمَا وَبَطْنُهُمَا إلَى الْكُوعَيْنِ
لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا أَيْ إلَّا
الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَلِلْحَاجَةِ لِكَشْفِهِمَا وَإِنَّمَا حَرُمَ
نَظَرُهُمَا كَالزَّائِدِ عَلَى عَوْرَةِ الْأَمَةِ لِأَنَّ ذَلِكَ مَظِنَّةٌ
لِلْفِتْنَةِ
Artinya :
Aurat wanita merdeka, meskipun dia itu belum mumayyiz dan aurat khuntsa merdeka
adalah selain wajah dan dua telapak tangan, zhahirnya dan bathinnya sehingga
dua persendiannya, berdasarkan firman Allah : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka,
kecuali yang biasa nampak dari padanya”, yaitu kecuali wajah dan dua telapak
tangan. Alasan lain adalah karena ada keperluan membukanya. Hanya haram menilik
wajah dan kedua telapak tangan seperti halnya yang lebih dari aurat hamba
sahaya wanita, karena yang demikian itu berpotensi menimbulkan fitnah.[9]
6. Al-Ziyadi
mengatakan :
أَنَّ لَهَا ثَلَاثَ عَوْرَاتٍ عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاةِ وَهُوَ
مَا تَقَدَّمَ وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْأَجَانِبِ إلَيْهَا جَمِيعُ
بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَعَوْرَةٌ فِي
الْخَلْوَةِ وَعِنْدَ الْمَحَارِمِ كَعَوْرَةِ الرَّجُلِ
Artinya
: Wanita memiliki tiga jenis aurat: (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah
dijelaskan (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu
seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat
yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti
laki-laki.[10]
7.
Syaikh Taqiyuddin al-Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة
إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما
يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
Artinya
: Makruh
hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula
wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat, kecuali jika di masjid yang
kondisinya sulit terjaga dari pandangan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi
sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab.[11]
8.
Dalam I’anah al-Thalibin disebutkan :
قال في فتح الجواد: ولا
ينافيه، أي ما حكاه الإمام من اتفاق المسلمين على المنع، ما نقله القاضي عياض عن
العلماء أنه لا يجب على المرأة ستر وجهها في طريقها، وإنما ذلك سنة، وعلى الرجال
غض البصر لأن منعهن من ذلك ليس لوجوب الستر عليهن، بل لأن فيه مصلحة عامة بسد باب
الفتنة. نعم، الوجه
وجوبه عليها إذا علمت نظر أجنبي إليها أخذا من قولهم يلزمها ستر وجهها عن الذمية،
ولأن في بقاء كشفه إعانة على الحرام.اه.
Artinya :
Pengarang Fath al-Jawad mengatakan, “Apa yang diceritakan oleh al-Imam bahwa
sepakat kaum muslimin atas terlarang (terlarang wanita keluar dengan terbuka
wajah) tidak berlawanan dengan yang dikutip oleh Qadhi ‘Iyadh dari ulama bahwa
tidak wajib atas wanita menutup wajahnya pada jalan, yang demikian itu hanya
sunnah dan hanyasanya atas laki-laki wajib memicing pandangannya, karena
terlarang wanita yang demikian itu bukan karena wajib menutup wajah atas
mereka, tetapi karena di situ ada maslahah yang umum dengan menutup pintu
fitnah. Namun menurut pendapat yang kuat wajib menutupnya atas wanita apabila
diketahuinya ada pandangan laki-laki ajnabi kepadanya, karena memahami dari
perkataan ulama “wanita wajib menutup wajahnya dari kafir zimmi” dan juga karena
membiarkan terbuka wajah membantu atas sesuatu yang haram.[12]
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapat dipahami
dalam mazhab Syafi’i sebagai berikut :
1. Aurat wanita merdeka
dalam shalat dalam artian wajib ditutupinya adalah seluruh tubuh kecuali wajah
dan telapak tangan
2. Aurat wanita merdeka
di luar shalat dalam artian haram memandangnya oleh laki-laki ajnabi (bukan
mahramnya) adalah seluruh tubuh tanpa kecuali, yaitu termasuk wajah dan telapak
tangan.
3. Aurat wanita merdeka
di luar shalat dalam artian wajib menutupinya sama dengan aurat dalam shalat,
yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
4. wajib menutup
wajah dan telapak tangan di dalam dan diluar shalat atas wanita apabila
diketahuinya ada pandangan laki-laki bukan muhrim kepadanya,
Adapun argumentasi
aurat wanita merdeka dalam shalat dan diluar shalat dalam artian wajib
ditutupinya adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah firman
Allah berbunyi :
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها
Artinya : Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya (Q.S. al-Nur : 31)
Yang dimaksud
dengan “illa maa zhahara minha” adalah wajah dan telapak tangan,
sebagaimana keterangan Ibnu
Abbas, ‘Atha’, Makhul dan Said Bin Jubair yang dikutip oleh Ishaq al-Syairazi dan Ibnu
al-Munzir di atas.
Penjelasan
Imam Syafi’i dan ulama lainnya di atas tidak boleh dipahami bahwa itu hanyalah
masalah aurat perempuan dalam shalat saja, meskipun para ulama tersebut
menjelaskannya dalam bab shalat, bahkan batasan aurat perempuan seluruh tubuh
kecuali wajah dan dua telapak tangan juga berlaku di luar shalat. Hal ini
karena dalil yang mereka gunakan untuk batas aurat perempuan seluruh tubuh
kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah berdasarkan Q.S. al-Nur : 31 di atas
sebagaimana terlihat dalam penjelasan Ibnu al-Munzir, al-Syairazi dan Ibnu
Hajar Haitamy di atas. Sementara sebagaimana dimaklumi Q.S. al-Nur : 31
tersebut berlaku untuk perempuan muslimah, baik dalam shalat maupun di luar
shalat.
Ibnu Katsir
menyebutkan sebab nuzul ayat ini adalah seorang muslimah bernama Asmaa binti
Mursyidah pernah berada di antara kaum Bani Haritsah. Perempuan-perempuan dari Bani
Haritsah menemuinya dalam keadaan tanpa busana yang semestinya, yang nampak
gelang kaki di kaki mereka, dada dan jambul mereka. Asmaa pun berucap : “Alangkah
sangat keji ini”. Maka turun ayat Q.S. al-Nur : 31 ini.[13] Penjelasan
Ibnu Katsir ini juga telah dikemukakan oleh al-Suyuthi dalam kitab Luqab al-Nuqul fii Asbab
al-Nuzul [14] Berdasarkan
asbab al-nuzul-nya ini, maka dapat dipahami bahwa ayat Q.S. al-Nur : 31 ini
tidak mungkin hanya dipahami sebagai penjelasan aurat perempuan dalam shalat
saja, karena sebab nuzulnya tidak mungkin boleh keluar dari maksud ayat
sebagaimana dimaklumi dalam ushul fiqh.
Alhasil pada
dasarnya, aurat perempuan di luar shalat menurut mazhab Syaf’i adalah seluruh
tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Adapun nash sebagian ulama
Syafi’iyah yang menyebutkan aurat perempuan di luar shalat adalah seluruh tubuh
tanpa kecuali, hal itu adalah karena i’tibar faktor luar, seperti fitnah, dapat
mengundang pandangan yang diharamkan atau lainnya sebagaimana sudah disebutkan
dalam butir-butir kesimpulan di atas. Karena itu, kadang-kadang perempuan dalam
kondisi tertentu wajib menutup seluruh tubuhnya tanpa kecuali, namun hukum
dasarnya aurat perempuan tidak termasuk wajah dan telapak tangan.
Argumentasi wajib atas laki-laki menahan matanya dari sengaja memandang
sebagian tubuh wanita termasuk wajahnya, berdasarkan firman Allah berbunyi :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ
Artinya : Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (Q.S. al-Nur :
30)
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa memakai penutup wajah (cadar) dalam pandangan mazhab
Syafi’i adalah tidak wajib. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa memakai
cadar merupakan ekspresi akhlaq yang mulia dan menjadi sunnah, karena
setidaknya hal itu dapat mencegah hal-hal yang menjadi potensi kemungkaran dan
maksiat. Bahkan menjadi wajib kalau diduga kuat (dhan) seandainya membuka
wajah akan mendatangkan pandangan haram laki-laki kepadanya.
sumber: http://kitab-kuneng.blogspot.com/2015/01/hukum-memakai-cadar-menurut-mazhab.html
[1] http://id.wiktionary.org/wiki/cadar
[2] Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, Haida Karya Agung, Jakarta, Hal. 464
[3] Lois Ma’luf,
al-Munjid, Hal. 829
[4] Syafi’i,
al-Um, (Tahqiq dan Takhrij oleh Dr Rifa’at Fauzi Abd al-Mutahallib), Juz.
II, Hal. 201
[5] Ibnu
al-Munzir, al-Awsath, Dar al-Falah, Riyadh, Juz. V, Hal. 53
[6]
Ibnu al-Munzir,
al-Awsath, Dar al-Falah, Riyadh, Juz. V, Hal. 53
[7]
Abu Ishaq
al-Syairazi, al-Muhazzab, dicetak bersama Majmu’ Syarh
al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 173
[8]
Al-Nawawi, Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 174
[9] Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi
Syarwani, Mathba’ah Mushthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 111-112
[10] Syarwani, Hawasyi
Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushthafa Muhammad, Mesir,
Juz. II, Hal. 112
[11] Syaikh Taqiyuddin al-Hushni, Kifayatuul
Akhyar, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut, Hal. 144
[12] Sayyed
al-Bakri al-Syatha, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang,
Juz. III, Hal. 258-259
[13] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VI, Hal. 41
Komentar
Posting Komentar