Benarkah Perubahan Ijtihad Imam Syafi'i Disebabkan Faktor Sosial-Budaya?


IMAM ASY- SYAFI’I; HISTORISITAS, SETTING SOSIAL DAN PENGARUHNYA PADA HASIL IJTIHAD IMAM SYAFI’I


A.     Latar Belakang
Imam Syafi’i (w. 204 H) adalah peletak dasar mazhab Syafi’i. Sebuah mazhab yang eksis hingga saat ini dan tersebar di banyak negara. Asy-Syafi’i sendirilah yang menyebarluaskan mazhabnya di Irak dan di Mesir. Kemudian murid-muridnya pun mengikutinya hingga mengantarkan mazhab Syafi’i menja­di dominan di daerah pantai Mesir, sebagian besar negeri-ne­geri Syam, sebagian negeri Yaman, Hijaz, dan Asia Tengah.[1] Eksistensi dan pengaruh mazhab ini jelas tidak bisa dipungkiri, khususnya di Indonesia.
Dalam proses pembentukan mazhab ini sebagai seorang ulama mujtahid Imam Syafi’i menjalani proses pengembaraan ilmu. Beliau berguru pada Imam Malik (w. 179 H) yang dikenal sebagai tokoh ahl al-hadits dan juga kepada Muhammad bin al-Hasan al-Shayban sebagai murid dari Imam Abu Hanifah yang dikenal sebagai tokoh ahl ar-ra’yi. Dari dua madrasah ilmu yang berbeda inilah kemudian ‘terlahir’ seorang mujtahid mutlaq yang kemudian menjadi peletak awal ilmu ushul fiqh yang dibukukan dalam sebuah kita monumental yang bernama ar-Risālah. Dengan mengkaji kitab ini dan kitab lain karya Syafi’i khususnya kitab al-umm kita akan menyimpulkan bahwa Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak yang mustaqil (independen) yang memiliki konsep instinbath al-ahkam yang mandiri.
Dalam perkembangan pemikirannya, Imam asy-Syafi’i mempunyai dua pendapat yang berbeda. Kedua pendapat ini biasa dikenal dengan istilah qaul qadīm dan qaul jadīd. Berbagai tafsiran muncul berkisar hal ini, ada yang menyelidiki kemungkinan pengaruh sosio-kultural yang sangat kontras antara Irak dan Mesir sebagaimana nanti akan diutarakan, dan ada juga yang melihatnya sebagai peristiwa ralat biasa yang disebabkan penemuan hadits baru yang lebih kuat. Untuk dapat menyimpulkan dari dua faktor tersebut mana yang lebih dominan perlu kiranya dikaji aspek historis, setting sosial, dan produk hukum Islam hasil ijtihad Imam Syafi’i.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan makalah ini adalah:
1.      Bagaimana gambaran sejarah, setting sosial dan produk hukum Islam Imam Syafi’i?
2.      Apa yang menjadi faktor dominan perubahan pendapat (qaul) Imam Syafi’i dari qaul qadīm menjadi qaul jadīd ?

C.     Pengembaraan Intelektual dan Produk Hukum Islam  Imam Asy-Syafi’i
Nama lengkap Imam asy-Syafi’i adalah Muhammad Ibn Idris al-'Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi’i Ibn al-Sa'ib Ibn `Ubaid Ibn `Abd Yazid ibn Hasyim Ibn `Abd al-Muthalib Ibn `Abd Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H., kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekkah, dan beliau meninggal di Mesir pada ta­hun 204 H.
Pendidikan asy-Syafi’i dimulai sejak ia berada di Makkah. Ia menghafalkan al-Qur'an dan mempelajari al-Hadits. Menjelang usia 9 tahun, asy-Syafi’i telah menyelesaikan pelajaran baca tulis, bahkan telah mampu menghafal al-Qur'an 30 juz serta menguasai sejumlah hadits Nabi. ia mempunyai minat yang sangat tinggi dalam belajar bahasa Arab sehingga mendorong untuk meninggalkan ibunya pergi ke perkampungan Bani Hudzayl, suatu kabilah yang masih murni bahasa Arabnya, guna mendalami bahasa Arab.[2] Asy-Syafi’i memperoleh fasāhah dari mereka, menghafal banyak syair dari mereka, sehingga dibuat pepatah tentang kefasihannya.[3]
Beranjak dewasa, ia belajar fiqh ahl al-hadits kepada Imam Malik di Madinah, kemudian mempelajari fiqh ahl al-ra’y kepada Muhammad bin al-Hasan al-Shayban di Irak. Dengan demikan, ia menguasai dua corak fiqh, yaitu fiqh ahl al-hadits dan fiqh ahl al-ra’y.[4]
Asy-Syafi’i belajar ilmu fiqh di Mekah pada Syaikh al-Haram dan muftinya, yaitu Muslim bin Khalid, kemudian merantau ke Madinah setelah menghapal Al-Muwatta, di sana beliau membaca kitab tersebut di hadapan Imam Malik, dan dia mengambil ilmu darinya. Jadi, Imam Malik sebagai guru besarnya yang kedua.
Ketika Imam Malik meninggal dunia pada tahun 179 H., Imam asy-Syafi’i ingin mem­perbaiki taraf hidupnya. Secara kebetulan, ketika itu Gubernur Yaman datang ke Mekkah, atas bantuan beberapa orang Quraisy, Imam asy-Syafi’i diangkat oleh Gubernur tersebut menjadi pegawai (juru tulis) di Yaman. Nasib baik Imam asy-Syafi’i untuk memperbaiki taraf hidupnya tidak berjalan lama. Gubernur Yaman—yang mengangkatnya menjadi pegawai—menuduh Imam asy-Syafi’i bersekongkol dengan Ahl al-Bayt (Alawiyin) untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahannya. Pada tahun 184 H., Khalifah Harun al-Rasyid memerintahkan supaya Imam asy-Syafi’i didatangkan ke Baghdad bersama sembilan orang lainnya. Akan tetapi Imam asy-Syafi’i dapat melepaskan diri dari tuduhan tersebut, atas bantuan seorang qadhi (hakim) di Bagdad yang ber­nama Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani (teman dan pengikut Abu Hanifah). Kemudian ia berguru kepada Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani dan yang lainnya untuk mempelajari fikih Irak. [5]
Asy-Syafi’i tinggal di rumah Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sebagaimana sebelumnya tinggal di kediaman Imam Malik. Sama halnya ketika ia membaca kitab al-Muwattha di hadapan Malik, ia juga membaca karya Muhammad bin Hasan tentang fikih Irak di hadapannya. Dengan demikian, Asy-Syafi’i telah menguasai fikih negeri Hijaz dan Irak. [6]
Sebenarnya saat di Baghdad, Imam Syafi’i tidak hanya mempelajari ra’yu dan Qiyas dari Muhammad bin Hasan, namun juga riwayat hadis yang tidak diriwayatkan ulama Hijaz. Imam Syafi’i berkata: “ Muhammad bin Hasan telah berkata pada kami dari Ya’qub bin Ibrahim (Abu Yusuf) dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwa Nabi bersabda....”[7] Dari sini nampak bahwa istilah ahl al-ra’yi tidak sepenuhnya hanya mengandalkan penalaran semata, namun nalar yang dibangun berdasarkan dalil.
Setelah dua tahun tinggal di Baghdad, Imam Syafi’i kembali ke Makkah. Di sinilah beliau merenung, menelaah dan mengkaji dengan membandingkan dua madrasah Hijaz dan Baghdad. Meski Syafi’i tetap menjaga adab dengan kedua gurunya namun tak mengurangi sikap kritisnya. Terhadap pendapat yang tidak beliau setujui dari Imam Malik beliau menulis khita Khilaf Malik, sedang terhdap ulama Irak beliau menulis kitab Khilaf para ulama Iraq (Khilaf al-Iraqiyyin). [8] Kemudian selama 9 tahun beliau mengajarkan pandanganya di Makkah, khususnya kaidah dan metode istinbath hukum. beliau berdiskusi dengan para ulama dari berbagai penjuru negeri, khususnya pada musin haji.
Karena pada saat itu Baghdad merupakan pusat Kekhilafahan ‘Abassiyah sekaligus mercusuar ilmu pengetahuan, maka hal itu membuat Imam Syafi’i tertarik untuk kembali ke Baghdad dan mengajarkan ilmunya di sana. Di Baghdad babak ini, beliau menyebarluaskan mazhab qadīm-nya. Asy- Syafi’i mengajar dengan membawa dan metode baru. Metode yang tidak diajarkan oleh pendahulunya. Metode itu adalah metode Ushul Fiqh yang dijelaskan dengan rinci dan mengungkapkan makna-makna yang tersembunyi dalam lafazh, sehingga Ibnu Ishab bin Rahawaih berkomentar: “Sebelum belajar pada Syafi’i kami tidak mengenal nasikh dan mansukh. Di Baghdad inilah imam Syafi’i menulis kitab yang berjudul al-Kutub al-Baghdadiyah. Di kota ini pula dihimpung tulisan-tulisannya dalam kitab yang terkenal, al-Umm yang dinamai al-mabsuth. Kitab ini dihimpun oleh muridnya yang bernama az-Za’farani.  Beliau juga mengajarkan ushul fikih, yang kemudian dihimpun oleh az-Za’farani dan diberi judul ar-Risalah.
Sya'ban Muhammad Isma'il mengatakan bahwa pada tahun 195 H., Imam asy-Syafi’i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, Imam asy-Syafi’i banyak belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ra’yi. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam asy-Syafi’i dan ber­hasil dipengaruhi olehnya adalah: (a) Ahmad Ibn Hanbal; (b) al-Kara­bisi; (c) al-Za'farani; dan (d) Abu Tsaur.
Imam Syafi’i tinggal di Baghdad lebih dari dua tahun, lalu pulang ke Makkah untuk ziarah ke Baitullah dan berkunjung pada para Syaikhnya lalu kembali ke Baghdad pada tahun 198 H. Kali ini Imam Asy-Syafi’i, tak lama tinggal di Baghdad. Menurut Syaikh Abu Zahroh sebabnya adalah karena di tahun 198 H kekhilafahan beralih pada Abdullah Ma’mun bin Rasyid Ar-Rasyid setelah terjadi peperangan antara bangsa Arab dan Persia yang berakhir dengan terbunuhnya al–Amin. Setelah al Ma’mun berkuasa ada dua hal yang membuat Imam Syafi’i merasa tidak nyaman: (1) Kemenangan diraih oleh bangsa Persia yang berada di belakang al Ma’mun, sementara Imam Syafii berkebangsaan Arab. (2) Ma’mun adalah seorang filosof dan ahli ilmu kalam. Bahkan al Ma’mun menyatakan dirinya pengikut Mu’tazilah demikian pula para pejabatnya. Imam Syafi’i termasuk yang menolak pandangan Mu’tazilah yang pada periode selanjutnya banyak para ulama mendapat hukuman karena perdebatan seputar al Quran makhluk atau kalamullah.[9]
Imam Syafi’i lalu hijrah ke ke Mesir pada tahun 198 H. dan tinggal di kota Al-Fustat, yang di dalam kota itu terdapat Jami 'Amr bin Al-Ash dan di sana dia menyebarluaskan ilmunya di kalangan orang-orang Mesir. Di Mesir, ia bertemu dengan—dan berguru kepada—ulama Mesir yang pada umumnya adalah sahabat Imam Malik. Imam Malik adalah penerus fiqh ulama Madinah atau ahl al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam asy-Syafi’i mengubah beberapa penda­patnya yang kemudian disebut qaul jadīd.[10] Imam Syafi’i tetap tinggal di Mesir hingga Allah mewafatkan beliau pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. [11]
Terkait guru-guru imam Asy-Syafi’i yang memiliki dua corak pemikiran, beliau melihat kelebihan pada masing-masing aliran tersebut sebagai kekuatan yang bermanfaat bagi pemikiran Hukum Islam. Oleh karenanya, aliran-aliran tersebut harus dikawinkan. Sehingga fiqh al- Syafi’i di­kenal berada di antara fiqh ahl al-hadīts dan fiqh ahl al-ra’y.[12]
Tentang persoalan al-qaul al-qadīm dan al-qaul al jadīd, sebagian ulama masih berpegang dan berfatwa pada pendapat-pendapat tertentu dari al-qaul al qadīm yang mereka anggap sahih. Mayoritas otoritas Syafi’iyah berpedoman bahwa, jika suatu pendapat dari al-qaul al-qadīm didukung oleh hadits yang sahih, sedangkan pada al-qaul al jadīd hanya didukung oleh hasil qiyās (pada hal yang sama), maka al-qaul al qadīmlah yang harus dipakai. Hal ini sesuai dengan prinsip asy-Syafi’i “kalau suatu hadits telah sahih, maka adalah mazhabku".
Apabila suatu pendapat al-qaul al-qadīm tidak didukung oleh hadits sebagaimana tersebut di atas, maka sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat itu boleh dipilih melalui otoritas mujtahid fi al-mazhab. Pendapat ini muncul berdasarkan alasan bahwa jika seorang imam yang mempunyai pendapat baru, dimana pendapat baru tersebut berbeda dengan pendapat lama, maka ia tidak boleh dianggap telah mencabut pendapat yang lama. Tetapi, imam tersebut harus dianggap bahwa pada masa­lah yang sama ia mempunyai pendapat yang berbeda. Sementara itu, sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa mujtahid fi al-mazhab tidak boleh memilih al qadīm dengan alasan bahwa itu adalah mazhab al-Syafi’i, sebab al-qadīm dan al jadīd berlaku sebagai dua diktum yang bertentangan yang tidak mungkin dikom­promikan, sehingga pendapat yang harus dipakai adalah pendapat yang terbaru. Hal ini sesuai dengan maklumat yang dikeluarkan oleh asy-Syafi’i sendiri ketika ia men­cabut al-qadīm, "saya tak punya kaitan dengan orang­-orang yang berpegang pada kitabku versi Baghdad (al-qadīm).[13]
Terlepas dari pernyataan asy-Syafi’i di atas, sebenarnya sebagian ulama Syafi’iyah melakukan tarjih ulang dan ternyata ada beberapa masalah yang dinilai lebih kuat pendapat lama daripada pendapat baru. Bila pendapat lama dinilai lebih kuat sandaran haditsnya, maka pendapat lama yang dipakai, bukannya pendapat baru. Satu contoh dari pentarjihan yang demikian adalah pendapat tentang pengakhiran waktu shalat isya’. Dalam qaul qadīm, Syafi’í berfatwa bahwa sholat Isya’ sebaiknya dilakukan di awal waktu. Sedangkan dalam qaul jadid, beliau berfatwa bahwa shalat isya’ di akhir waktu lebih utama. [14]
Tentang pendapat-pendapat qaul qadīm yang lebih diunggulkan oleh ulama Syafi’iyah daripada  qaul jadīd, sebagian ulama menyebutkan ada sekitar dua puluh masalah, namun sebenarnya terdapat lebih dari itu. Tentang perincian pendapat-pendapat yang dikecualikan ini dapat dibaca selengkapnya dalam al-Majmu’, karya fundamental al-Nawāwy, sang mujtahid Mazhab Syafi’i yang paling diakui.[15]
Imam Syafi’i memiliki banyak karya yang didiktekannya pada muridnya. Di antaranya Al-Umm (kitab Induk), kitab ini bernilai tinggi dan sangat bermanfaat. Kitab ini dicetak di Mesir dan dijadikan sebagai dasar bagi mazhabnya. Di antara kebesaran Asy-Syafi’i yang menonjol ialah kitabnya tentang ilmu Usul Fiqh, yang berjudul kitab Al-Risalah, yang sangat terkenal itu. Dengan usahanya ini, ditetapkan cara-cara berijtihad dan pengambilan hukum, serta upaya menjauhi kekacauan hukum. Karya-karya beliau menurut Abu Muhammad Al-Husain Al-Marwazy secara keseluruhan mencapai 113 kitab, yang terdiri dari kitab tafsir, fiqh, sastra dan lainnya. Adapun karya-karya yang mengomentari karangan beliau tak terhitung jumlahnya.[16]

D.    Setting Sosial dan Politik di Masa Imam Syafi’i
Imam asy-Syafi’i merupakan manusia dua zaman: lahir pada zaman pemerintahan Umayah dan meninggal pada zaman pemerintahan Abbassiyah. Ketika Imam asy-Syafi’i berumur 19 (sem­bilas belas) tahun, Muhammad al-Mandi diganti oleh Musa al-Mandi (169-170 H./785-786 M.). Ia berkuasa hanya satu tahun. Kemudian ia digantikan oleh Harun al-Rasyid (170-194 H./786-809 M.). Pada awal kekuasaan Harun al-Rasyid, Imam asy-Syafi’i berusia 20 (dua puluh) tahun. Harun al-Rasyid digantikan oleh al-Amin (194-198 H./809-813 M.), dan Amin digantikan oleh al-Makmun (198-218 H./813-833 M.).[17]
Pada masa stabilitas 'Abbasiyah, para khalifah bersemangat mem­berikan dukungan untuk kemajuan ilmu pengetahuan kepada para ulama. Misalnya, mereka mendorong gerakan penerjemahan buku-buku Yunani, Persia, India dan lain-lain ke dalam bahasa Arab, sehingga memungkinkan pemikiran Arab-Islam berkenalan dengan dan mengambil manfaat dari alam pikiran Yunani kuno. Asy-Syafi’i juga sempat menyaksikan saat meluasnya daerah kekuasaan Islam, menjangkau Andalusia (Spanyol) di Eropa Selatan sampai ke India dan Cina. Daerah kekuasaan Islam dengan demikian merupakan masyarakat majemuk yang terdiri atas berbagai suku dan bangsa maupun ras yang mempunyai adat dan kebudayaan yang berbeda-beda dari Persia, Romawi, India, Kurdi, Turkmen sampai Turki, Maka, kemudian terjadilah proses dialog maupun asimilasi antara kekuatan-kekuatan budaya ini dengan kebudayaan Islam. Boleh jadi, ini berarti diperlukannya sebuah aliran fiqh baru yang tetap konsisten dengan dasar-dasar pokok Islam, berpegang kepada al-Qur'an dan Sunnah, serta dalam waktu yang sama memperluas wawasan dalam ijtihad guna menjawab kenyataan sosial, ekonomi dan politik yang timbul pada masyarakat yang majemuk semacam itu.[18]
Sebagaimana disebutkan di atas, produk hukum Islam hasil ijtihad Imam Syafi’i digolongkan menjadi dua yaitu qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim ketika beliau di Baghdad, sementara qaul jadid ketika beliau di Mesir. Sebagian kalangan berkesimpulan bahwa perbedaan kondisi sosial budayalah yang menjadi faktor dominan dalam perubahan pemikiran asy-Syafi’i. Karena itu perlu untuk menyebutkan latar belakang historis tempat kedua qaul beliau lahir guna membuka jalan bagi bermacam asumsi tentang munculnya kedua qaul tersebut.
Baghdad merupakan pusat perkembangan pengetahuan pada masa itu. Beberapa disiplin ilmu lahir dan berkembang disana, bersamaan dengan penerjemahan beberapa karya dari Yunani, Persia, India dan sebagainya. Beberapa mazhab fiqh dan kalam juga mengalami perkembangan, dan pengikut mereka sangat fanatik pada mazhab yang diikutinya. Mazhab fiqh yang berkembang pada saat itu adalah mazhab Hanafi di Irak dan mazhab Malik.' di Madinah. Sementara itu, dalam bidang kalam, Mu'tazilah berkembang dengan pesat, khususnya pada masa al-Ma'mun.[19]
Baghdad juga merupakan pusat pergolakan politik, sehingga banyak terjadi fitnah yang menimbulkan perubahan-perubahan hadits. Hal ini karena kota itu merupakan benteng/pusat pertahanan golongan syiah dan tempat tinggal golongan Khawarij.
Para ahli fiqh Irak sudah menyaksikan keberanian orang yang memalsukan dan mengubah hadits, satu hal yang tidak disaksikan oleh ahli fiqh Hijaz. Oleh sebab itu, mereka (ahli fiqh Irak) harus berhati-hati dalam menerima periwayatan hadits, dan untuk menerimanya, mereka mewajibkan hadits yang sudah terkenal di kalangan ahli fiqh. Kalau mereka menemui hadits yang pemahamannya tidak cocok dengan tujuan penentuan hukum dari syara’', mereka menakwilkannya atau meninggalkannya.[20]
Hadits-hadits Nabi dan fatwa-fatwa sahabat tidak banyak terdapat di Irak, tetapi kebanyakan terdapat di Hijaz. Karena ahli fiqh Irak tidak memiliki perbendaharaan seperti ini, mereka harus memeras akal pikirannya dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memahami pengertian nas serta sebab-sebab penetapan suatu hukum dari syara’’ agar pengertian hukum tersebut dapat mencakup apa-apa yang tidak bisa dicakup oleh ungkapan bahasanya. Dalam hal ini, mereka mengambil contoh dari guru besar mereka, yaitu Abdullah bin Mas'ud[21]
Berbeda dengan Irak, Mesir adalah kawasan yang memiliki tingkat kemaju­an budaya yang lebih tinggi ketimbang Irak. Mesir kaya dengan warisan adat istiadat, tradisi dan budaya serta peradaban dan pemikiran, seperti kebudayaan Fir'aun, Yunani, Persia, Romawi dan Arab. Watak alami bangsa Mesir adalah menyukai sikap moderat dan membenci sikap ekstrem.

E.     Faktor Penyebab Perubahan Pendapat Imam Syafi’i
Dalam hal ini, penulis menemukan dua pendapat yang berbeda. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebab terbentuknya qaul qadīm dan qaul jadīd adalah karena perubahan kondisi sosial-budaya. Mun'im A. Sirry berkesimpulan bahwa qaul jadīd merupakan suatu refleksi dari kehidupan sosial yang berbeda.[22] Senada dengannya, Abdul Mun’im Shaleh juga mengatakan bahwa fiqh asy-Syafi’i merupakan fiqh yang lahir karena pengaruh kondisi masyarakatnya, terutama Mesir. Dengan demikian, ia juga merupakan refleksi zamannya. [23]
Berbeda dengan pendapat di atas, sebagian melihat bahwa perubahan fatwa asy-Syafi’i tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi sosial, namun karena Imam Syafi’i menemukan hadits yang tidak ditemukan sebelumnya. Dimana Imam asy-Syafi’i mendengar—dan menemukan—hadits dan fiqh yang diriwayatkan ulama Mesir yang tergolong ahl al-hadits.[24] Syaikh Abu Zahroh juga menyatakan: “Jika ada dua pendapat ia (Imam Syafi’i) merajihkan salah satunya, atau hanya menyebutkan keduanya, atau bahkan meninggalkan keduanya dan mendatangkan pendapat ketiga. Hal ini karena ditemukannya hadits baru yang sebelumnya luput dari pengamatannya atau karena qiyas baru yang menurutnya lebih rajih”.[25]
Menurut hemat penulis, untuk memilih atau menarik kesimpulan dari dua pendapat di atas perlu kiranya disajikan sejumlah pendapat yang berubah dan kemudian menganalisanya. Berikut ini adalah beberapa contoh yang kiranya mewakili sekian banyak contoh yang dapat disajikan:
  1. Dalam qaul jadīd, orang yang ihram tanpa menentukan pilihan antara haji atau umrah tidak dapat memilih antara haji atau umrah, tetapi harus melaksanakan haji dengan utuh. Dalam qaul qadīm, orang yang bersangkutan disunahkan melakukan niat qirān karena mencakup keseluruhan. [26]
  2. Dalam qaul qadīm, orang yang tidur dalam posisi duduk tidak batal wudlunya secara mutlak. Dalam qaul jadīd masih dibedakan antara duduk yang posisinya tetap dan tidak tetap. Bila tetap posisinya, maka tidak batal, dan bila berubah, maka batal. [27]
  3. Tentang arti kalimat ذلك لمن لم يكن أهله حاضري المسجد الحرام , menurut qaul qadīm, arti dari حاضري المسجد الحرام adalah orang-orang Makkah yang bertempat tinggal selain di miqāt. Menurut qaul jadīd, artinya adalah orang jarak tempuhnya dari rumahnya ke Makkah sepanjang jarak dibolehkannya qashar shalat. [28]
  4. Orang yang sengaja menggauli isterinya yang sedang haidh harus membayar kafarat/denda dalam qaul qadīm. Sedangkan dalam qaul jadīd tidak wajib. Alasan perubahannya karena masalah kesahihan hadits. [29]
  5. Dalam qaul qadīm, waktu maghrib adalah sampai hilangnya mega merah sebagaimana biasa kita kenal. Sedangkan dalam qaul jadīd, maghrib tidak mempunyai waktu yang khusus kecuali sekedar cukup melakukan shalat dan persiapannya.[30]
  6. Dalam qaul qadīm, zakat tidak perlu menghiraukan nishab, tetapi dalam qaul jadīd, nishab zakat adalah salah satu pertimbangan wajib tidaknya zakat.[31]
Dalam hal orang ihram yang tidak menentukan niat tersebut misalnya, perubahan pendapat asy-Syafi’i  bisa saja tetap terjadi tak peduli dimana beliau tinggal. Dalam kasus tersebut, kesemuanya karena kecenderungan qiyās belaka. Dalam qaul qadīm kasus orang tersebut diqiyāskan pada lupa menentukan arah kiblat dan dalam qaul jadīd diqiyāskan pada lupa jumlah rakaat shalat.[32]
Alasan lainnya adalah fakta bahwa kebanyakan pendapat yang diralat adalah pendapat tentang ‘ubudiyah seperti beberapa contoh di atas. Sudah maklum bahwa dalam hal ‘ubudiyah, hukum tidak mengenal kata tawar menawar dengan ijtihad yang bersifat sosial. Hukum-hukum ‘ubudiyah tersebut haruslah berlandaskan pada teks-teks Qur’an-hadits karena itu bukanlah wilayah akal, tapi wahyu.
Seandainya saja benar bahwa Imam Asy-Syafi’i  mengubah pendapatnya karena perubahan sosio-kultural, maka itu berarti Imam Asy-Syafi’i  mengalami kemunduran intelektual karena wilayah Irak adalah wilayah kosmopolitan yang tentunya penuh dengan peristiwa hukum yang lebih kompleks dari sudut pandang sosial, sedangkan kehidupan sosial Mesir lebih sederhana karena Mesir pada waktu itu adalah daerah pinggiran, bukannya Ibu Kota kekhilafahan. Mengubah pendapat yang lahir dari kekomplekan sosial diganti dengan pendapat yang lahir dari kesederhanaan sosial berarti kemunduran dan pengabaian terhadap banyak hal yang kompleks.
Selain itu, dalam kaidah hukum Islam dikenal kaidahاذا زالت العلة  زال الحكم المتعلق بها  [33] (Bila suatu latar belakang hukum telah hilang, maka hilang pula hukum yang tergantung padanya). Dalam kasus Imam Asy-Syafi’i , bila benar qaul qadīm diralat karena faktor eksternal, seharusnya beliau berfatwa bahwa qaul jadīd tidak diberlakukan untuk warga Irak dan bilamana beliau atau murid-muridnya kembali ke Irak, maka yang berlaku tetap qaul qadīm karena qaul qadīm adalah pendapat yang sesuai dengan kehidupan Irak. Kenyataannya, Imam Asy-Syafi’i  berpesan pada murid-muridnya agar menghapus qaul qadīm untuk selamanya dan tidak memfatwakannya kembali pada siapapun dan di manapun, termasuk pada warga Irak. Sebagian ulama Shafi’iyah, seperti Imam al-Haramain, bahkan menganggap bahwa qaul qadīm tidaklah termasuk mazhab Shafi’i lagi karena Imam Shafi’i sendiri telah rujū’ (meralat) pendapat tersebut.[34]
Jaih Mubarok telah melakukan penelitian tentang kuantitas alasan yang melatarbelakangi perubahan qaul Imam Asy-Syafi’i. Hasil penelitiannya adalah; kebanyakan perubahan tersebut didasarkan pada rasio, yaitu mencapai 72 topik, sedangkan yang berlandaskan hadits hanya berjumlah 44 topik.[35] Terlepas dari kenyataan bahwa sebenarnya penelitian Jaih Mubarok tidak lengkap, dia telah keliru mengambil kesimpulan bahwa lebih banyaknya perubahan yang didasarkan pada rasio berarti alasan utama Imam Asy-Syafi’i  mengubah qaul-nya adalah faktor sosial. Kalau kita mau berpikir cermat, perubahan argumen rasio tidaklah selalu karena dipengaruhi faktor luar, bisa saja seseorang berubah pikiran dengan berlalunya waktu. Bukankah tidak ada hubungannya kondisi Irak ataupun Mesir dengan berubahnya keputusan tentang lamanya waktu maghrib, hal-ihwal haji, arti dari “penduduk Masjidil Haram”, batal tidaknya wudlunya orang yang tidur sewaktu duduk dan sebagainya? Bilasaja faktor sosial yang menjadi alasannya, maka untuk apa sebagian Mujtahid Mazhab masih mengunggulkan beberapa qaul qadīm untuk diamalkan? bukankah itu berarti pengabaian terhadap masahah sosial?.
Dari ulasan tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa timbulnya qaul jadīd sebagai ralat terhadap qaul qadīm disebabkan perubahan sosial antara Irak dan Mesir merupakan argumen yang lemah dan terkesan dibesar-besarkan. Dengan ini, telah tertolak argumen sebagian orang yang ingin merubah hukum islam sesuai seleranya sendiri karena dianggap tidak relevan lagi dengan berlandaskan fenomena  perubahan qaul qadīm ke qaul jadīd ini.
F.      Simpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Imam Syafi’i adalah mujtahid mutlaq pendiri mazhab Syafi’i yang ‘mengawinkan’ corak fikih ahl al-hadits dan ahl ar-ra’yi yang menghasilkan kaidah istinbath hukum yang khas dengan metode ushul fiqh. Metode ushul fiqh ini sangat mewarnai produk hukum Islam hasil ijtihad Imam Syafi’i baik yang termasuk dalam qaul qadim maupun qaul jadid
2.      Faktor utama yang mempengaruhi perubahan pendapat Imam Syafi’i dari qaul qadim menjadi qaul jadid adalah berdasarkan hadits ‘baru’ dan penerapan qiyas yang berbeda, bukan disebabkan perubahan sosial-budaya karena tempat yang berbeda.




DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mun’in Saleh, Madhhab Syafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001)

Abdul Wahab Khallaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)

Ahmad Nahrawi `Abd al-Salam, al-Imam al-Syafi'i fi Madzhabaih fi al-Qa­dim wa al-Jadid, (Kairo: Dar al-Kutub, 1994), h. 90.

Ibnu Hajar al-Asqālany, Fath al-Bāry, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979 H)

Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002)

Mohammad Hasan Bisyri, “Pengaruh Faktor Sosio–Kultural Terhadap Metode Istinbat Al-Shafi`I Menjadi Qawl Qadim Dan Qawl Jadid”, Antologi Kajian Islam, seri 1

Muhammad Abu Zahroh. Fiqih Islam,  Mazhab dan Aliran. (Tangerang Selatan: Gaya Media Pratama, 2014)

Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973)

Yahya bin Sharaf al-Nawāwy, al-Majmū’ Syarh al Muhazdzdab, (Mesir: Maktabah Taufqiyah, 2016)

Yahya bin Sharaf al-Nawāwy, Sharh al-Nawāwy ‘ala Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turath al ‘Araby, 1392 H)


[1] Abdul Wahab Khallaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 97-98.
[2] Abdul Mun’in Saleh, Madhhab Syafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 8.
[3] Abdul Wahab Khallaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 97.
[4] Mohammad Hasan Bisyri, “Pengaruh Faktor Sosio–Kultural Terhadap Metode Istinbat Al-Shafi`I Menjadi Qawl Qadim Dan Qawl Jadid”, Antologi Kajian Islam, seri 1, h. 155.
[5] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002),  h. 28.
[6] Muhammad Abu Zahroh. Fiqih Islam,  Mazhab dan Aliran. (Tangerang Selatan: Gaya Media Pratama, 2014), h. 184-185
[7] Ibid, h. 185
[8] Ibid, h. 186
[9] Ibid, h. 188
[10] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam h. 9.
[11] Abdul Wahab Khallaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 97-98.
[12] Abdul Mun’in Saleh, Mazhab Al-Shafi’i, h. 15.
[13] Ibid, h. 22.
[14] Ibnu Hajar al-Asqālany, Fath al-Bāry, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979 H), juz II, h. 49.
[15] Yahya bin Sharaf al-Nawāwy, al-Majmū’Syarh Muhadzdzab, (Mesir: Maktabah Taufqiyah, 2016), juz I, h. 66-67.
[16] Yahya bin Sharaf al-Nawāwy, al-Majmū’, (Mesir: Maktabah Taufqiyah, 2016), juz I, h. 12.
[17] Ahmad Nahrawi `Abd al-Salam, al-Imam al-Syafi'i fi Madzhabaih fi al-Qa­dim wa al-Jadid, (Kairo: Dar al-Kutub, 1994), h. 90.
[18] Abdul Mun’in Saleh, Mazhab Al-Shafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 30-31.
[19] Mohammad Hasan Bisyri, “Pengaruh Faktor Sosio–Kultural Terhadap Metode Istinbat Al-Shafi`I Menjadi Qawl Qadim Dan Qawl Jadid”, Antologi Kajian Islam, seri 1, h. 157.
[20] Abdul Wahab Khallaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, h. 86.
[21] Khallaf, Abdul Wahab, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, h. 86.
[22] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, h. 10.
[23] Abdul Mun’in Saleh,, Mazhab Al-Shafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah, h. 30-31.
[24] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, h. 9.
[25] Muhammad Abu Zahroh. Fiqih Islam,  Mazhab dan Aliran, h. 213
[26] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, h. 220.
[27] Ibnu Hajar al-Asqālany, Fath al-Bāry, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979), juz. I, h. 314.
[28] Ibnu Hajar al-Asqālany, Fath al-Bāry, juz. III, h. 434.
[29] Yahya bin Sharaf al-Nawāwy, Sharh al-Nawāwy ‘ala Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turath al ‘Araby), 1392 H, III, 204.
[30] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973), juz. I, h. 73-74.
[31] Yahya bin Sharaf al-Nawāwy, al-Majmū’ Syarh al Muhazdzdab, (Mesir: Maktabah Taufqiyah, 2016), juz. I, h. 67.
[32] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, h. 220.
[33] Abdus Salam, et.al, al-Musawwidah, (Kairo: al-Madani, tt), 193.
[34] Yahya bin Sharaf al-Nawāwy, al-Majmū’, juz I, h. 67.
[35] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, h. 308.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB