KRITIK FATWA DSN-MUI TENTANG AKAD MURABAHAH, SALAM, DAN ISTISHNA’
MENGKAJI FATWA DSN-MUI TENTANG AKAD MURABAHAH,
SALAM, DAN ISTISHNA’
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf
A. Latar Belakang
Sejak tahun
90-an geliat ekonomi syariah, khususnya keuangan syariah mengalami geliat yang
cukup signifikan. Pertumbuhan
ekonomi syariah ditandai dengan meningkatnya jumlah lembaga keuangan syariah (LKS) dan jumlah serta model produk yang ditawarkan. Pertumbuhan perbankan syariah tergolong paling cepat dibanding keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, dan pasar modal syariah. Sejak pertama kali berdiri tahun 1991 dengan lahirnya
Bank Muamalat, bank syariah terus tumbuh dari tahun ke tahun. Data menunjukkan hingga Juni 2019
sudah berdiri 14 Bank Umum Syariah
(BUS), 20
Unit Usaha Syariah
(UUS), dan 164 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Keinginan
menjaga keberkahan harta rupanya menjadi alasan paling mendasar bagi
masyarakat. Hal ini menjadi peluang tersendiri bagi pelaku bisnis ekonomi
syariah. Di sisi lain masyarakat menginginkan jaminan kesesuaian produk-produk
perbankan syariat dengan syariat Islam. Dalam hal ini diperlukan panduan hukum
Islam terkait produk-produk pelaku ekonomi syariah. Dewan Syari’ah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) adalah pihak yang ditunjuk oleh pemerintah berdasarkan
UU no. 21 tahun 2018 untuk mengeluarkan fatwa terkait keuangan atau ekonomi
syariah.
Berdasarkan UU no. 21 tahun 2008, otoritas
keuangan dan Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) wajib terikat dengan fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI. Fatwa DSN MUI dijadikan pedoman oleh otoritas keuangan dan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam kegiatan ekonomi syariah. Fatwa dijadikan standar untuk memastikan kesyariahan produk dan operasional keuangan syariah. Bahkan bisa dikatakan dijadikan
satu-satunya sandaran jika terjadi perselisihan pendapat antara LKS dengan
nasabah.
Sejak dibentuknya DSN-MUI pada tahun 1999
hingga Februari 2018, DSN-MUI telah mengeluarkan produk fatwa sebanyak 122
buah. Bentuk dari fatwa berupa isi fatwa dan penjelasan atas isi dari
fatwa tersebut. Bagian fatwa yang berupa isi, mengandung konsideran menimbang,
mengingat, memperhatikan dan memutuskan. Konsideran mengingat berisi dasar-dasar
hukum yang digunakan yaitu Al-qur’an, hadis, ijma, qiyas dan kaidah fikih
Hanya saja banyak kalangan mempertanyakan Fatwa DS-MUI, khususnya
dalam aspek relevansi penggunaan dalil al –Quran dan hadis dengan subtansi
fatwa dan keabsahan pengunaan kaidah fikih khususnya kaidah fikih “hukum asal
mu’amalah adalah mubah”. Pada kajian ini hanya dibatasi pada fatwa DSN-MUI
tentang murabahah, salam dan istishna’.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah makalah ini
adalah:
1.
Bagaimana deskripsi dalil dan kaidah fikih yang dijadikan
sandaran Fatwa DSN-MUI pada akad murabahah,
salam dan istishna’?.
2.
Bagaimana relevansi
penggunaan dalil dan
hukum jadi dengan subtansi fatwa Fatwa DSN-MUI pada akad murabahah
3.
Bagaimana relevansi penggunaan
dalil dan hukum jadi dengan subtansi fatwa Fatwa DSN-MUI pada akad salam
4.
Bagaimana relevansi
penggunaan dalil dan
hukum jadi dengan subtansi fatwa Fatwa DSN-MUI pada akad istishna’?.
C.
Deskripsi Fatwa DSN-MUI pada Akad Murabahah, Salam dan Istishna’
1. Akad Murabahah
Murabahah
adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga
perolehan barang ditambah dengan margin/keuntungan yang disepakati oleh para
pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga pembelian kepada
pembeli.[1]
Fatwa
DSN-MUI yang menjelaskan akad Murabahah ini cukup banyak, bahkan bisa
dikatakan yang paling banyak. Berikut ini adalah fatwa tentang akad Murabahah
dan fatwa turunannya: fatwa DSN-MUI No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Murabahah,
fatwa No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah, fatwa No:
13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah, fatwa No:
16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon dalam Murabahah, fatwa No:
23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah, fatwa
No: 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah, fatwa No:
47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah
yang Tidak Mampu Membayar, fatwa No: 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan
Kembali Tagihan Murabahah, fatwa No: 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi
Akad Murabahah.[2]
Dalam fatwa tersebut, DSN-MUI
menjelaskan ketentuan umum tentang Pembiayaan Murabahah ini
sebagai berikut:
1) Bank dan nasabah harus
melakukan Akad Murabahah yang bebas riba.
2) Barang yang diperjualbelikan
tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3) Bank membiayai sebagian atau
seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4) Bank membeli barang yang
diperlukan nasabah atas nama Bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas
riba.
5) Bank harus menyampaikan semua
hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara
utang.
6) Bank kemudian menjual barang
tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus
keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok
barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7) Nasabah membayar harga barang
yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah
disepakati.
8) Untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak Bank dapat mengadakan
perjanjian khusus dengan nasabah.
9) Jika Bank hendak mewakilkan
kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah
harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik Bank.
Selain ketentuan umum di atas, fatwa ini juga menjelaskan
ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1) Nasabah mengajukan permohonan
dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada Bank.
2) Jika Bank menerima permohonan
tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah
dengan pedagang.
3) Bank kemudian menawarkan aset
tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan
janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat;
kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4) Dalam jual beli ini Bank
dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani
kesepakatan awal pemesanan.
5) Jika nasabah kemudian menolak
membeli barang tersebut, biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6) Jika nilai uang muka kurang
dari kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, Bank dapat meminta kembali sisa
kerugiannya kepada nasabah.
7) Jika uang muka memakai
kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:
a) Jika nasabah memutuskan untuk
membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b) Jika nasabah batal membeli,
uang muka menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh
Bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah
wajib melunasi kekurangannya.
Selain ketentuan di atas, fatwa ini juga menjelaskan Jaminan
dalam Murabahah yang diberikan oleh nasabah:
1) Jaminan dalam murabahah
dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2) Bank dapat meminta nasabah
untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Karena status Akad Murabahah ini adalah
utang, maka fatwa ini juga menjelaskan status Utang dalam Murabahah:
1) Secara prinsip, penyelesaian
utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan
transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut.
Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian,
ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada Bank.
2) Jika nasabah menjual barang
tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh
angsurannya.
3) Jika penjualan barang
tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya
sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau
meminta kerugian itu diperhitungkan.
Sebagaimana status pembiayaan ini merupakan utang, maka fatwa
ini juga menjelaskan tentang Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1) Nasabah yang memiliki
kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2) Jika nasabah menunda-nunda
pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Bahkan, fatwa ini juga telah menjelaskan klausul
kebangkrutan nasabah yang masih terikat dengan pembiayaan Murabahah.
Dijelaskan, jika nasabah telah
dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, Bank harus menunda tagihan
utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.[3]
Fatwa DSN-MUI Nomer: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Murabahah merupakan fatwa inti, yang kemudian dikuatkan dan
didukung dengan fatwa lain sebagai penjelasan tambahan ketika praktik Murabahah
tersebut di lapangan mengalami kendala teknis, baik dalam proses jual beli,
sehingga dikeluarkanlah fatwa tentang Wakalah, maupun pasca proses jual
beli, yaitu pengembalian utang dengan cicilan, sehingga dikeluarkan sejumlah
fatwa sebagaimana disebutkan di atas.
Dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain, nas-nas
al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak dan pendapat ulama’. Fatwa ini menggunakan
al-Qur’an, surat an-Nisa’ [4]: 29, “Hai orang yang beriman! Janganlah
kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”. Surat
al-Baqarah [2]: 275, “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba….” Surat al-Ma’idah [5]: 1, “Hai orang yang beriman!
Penuhilah akad-akad itu….” Surat al-Baqarah [2]: 280, “Dan jika (orang berutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…”
Juga hadis Nabi saw, “Dari Abu Sa’id
al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus
dilakukan suka sama suka.” (H.r. al-Baihaqi dan Ibn Majah, dan
dinyatakan sahih oleh Ibn Hibban). Hadis Nabi riwayat Ibn Majah, “Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung
berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (saling menghutangi),
dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual.” (H.r. Ibn Majah dari Shuhaib). Hadis Nabi riwayat Tirmidzi,
“Perdamaian dapat dilakukan di antara
kaum Muslim, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.r. Tirmizi
dari ‘Amr bin ‘Auf). Hadis Nabi riwayat Jama’ah, “Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…” Hadis
Nabi riwayat an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad, “Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan
pemberian sanksi kepadanya.” Hadis Nabi riwayat ‘Abd al-Razaq dari Zaid bin
Aslam, “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli,
maka beliau menghalalkannya.” Ijmak ulama tentang kebolehan jual beli
dengan cara Murabahah (Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, II/161;
Al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, V/220-222).
Selain itu, fatwa ini juga
menggunakan kaidah fiqh, “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
2. Akad Salam
Fatwa
DSN-MUI yang membahas Akad Salam adalah
fatwa DSN-MUI No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.[4]
Fatwa ini mendefinisikan Akad Salam, sebagai
jual beli barang dengan cara
pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.[5] Dalam fatwa tersebut, selain menjelaskan definisi jual
beli Salam, fatwa yang sama menjelaskan Ketentuan Pembayaran dalam Akad Salam
ini:
1) Alat bayar harus diketahui
jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2) Pembayaran harus dilakukan
pada saat kontrak disepakati.
3) Pembayaran tidak boleh dalam
bentuk pembebasan hutang.
Selain ketentuan tentang pembayaran, fatwa
tersebut juga menjelaskan tentang Ketentuan Barang:
1) Harus jelas ciri-cirinya dan
dapat diakui sebagai hutang.
2) Harus dapat dijelaskan
spesifikasinya.
3) Penyerahannya dilakukan
kemudian.
4) Waktu dan tempat penyerahan
barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5) Pembeli tidak boleh menjual
barang sebelum menerimanya.
6) Tidak boleh menukar barang,
kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Selain ketentuan pembayaran dan barang, fatwa ini
juga menjelaskan ketentuan tentang Salam Paralel, dengan syarat, akad
kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama. Fatwa ini juga
menjelaskan Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1) Penjual harus menyerahkan
barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2) Jika penjual menyerahkan
barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan
harga.
3) Jika penjual menyerahkan
barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia
tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4) Penjual dapat menyerahkan
barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah
barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5) Jika semua atau sebagian
barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan
pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a) membatalkan kontrak dan
meminta kembali uangnya,
b) menunggu sampai barang
tersedia.
Fatwa ini juga menjelaskan mekanisme Pembatalan
Kontrak, yang menegaskan bahwa pembatalan Salam boleh dilakukan, selama
tidak merugikan kedua belah pihak. Terakhir, fatwa ini memuat tentang klausul
Perselisihan, dengan menyatakan: Jika terjadi perselisihan di antara kedua
belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain, nas-nas
al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak dan pendapat ulama’. Fatwa ini menggunakan
al-Qur’an, surat al-Baqarah [2]: 282
yang menyatakan, “Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak
secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...”. Surat
al-Ma’idah [5]: 1 yang menyatakan, “Hai orang yang beriman! Penuhilah
akad-akad itu….” Selain itu, juga hadis Nabi saw. Yang menyatakan, “Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah
SAW bersabda, ‘Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (H.r.
al-Baihaqi dan Ibn Majah, serta dinilai shahih oleh Ibn Hibban). Juga hadis
riwayat Bukhari dari Ibn ‘Abbas, dimana Nabi bersabda, “Barang siapa
melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran
yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui" (H.r.
Bukhari). Juga hadis Nabi riwayat jama’ah yang menyatakan, “Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…” Juga
hadis Nabi riwayat an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad yang
menyatakan, “Menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan
pemberian sanksi kepadanya.” Serta hadis Nabi riwayat at-Tirmizi yang
menyatakan, “Perdamaian dapat
dilakukan di antara kaum Muslim kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram; dan kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram” (H.r. at-Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).
Selain al-Qur’an dan hadits di atas, fatwa
tersebut didasarkan pada ijmak, sebagaimana yang dinukil dari penjelasan Ibn
al-Munzir yang menyatakan, bahwa ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan jual beli
dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh
masyarakat. [6]
Selain itu, fatwa ini juga menggunakan dasar
kaidah fiqh yang menyatakan, “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
3. Akad Istishna’
Pembiayaan atas dasar Akad Istishna’ ini
didefinisikan dengan transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. [7]
Fatwa DSN-MUI
terkait Akad Istishna’ adalah Fatwa DSN-MUI No: 06/DSN-MUI/IV/2000
tentang Istishna’. Fatwa ini memberikan definisi Akad Istishna’ sebagai
akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni’) dengan penjual
(pembuat/shani’).[8]
Dalam fatwa tersebut, selain menjelaskan
definisi jual beli Istishna’, fatwa yang sama menjelaskan Ketentuan
Pembayaran dalam Akad Istishna’ ini:
1) Alat bayar harus diketahui
jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2) Pembayaran harus dilakukan
pada saat kontrak disepakati.
3) Pembayaran tidak boleh dalam
bentuk pembebasan hutang.
Selain ketentuan tentang pembayaran, fatwa
tersebut juga menjelaskan tentang Ketentuan Barang:
1) Harus jelas ciri-cirinya dan
dapat diakui sebagai hutang.
2) Harus dapat dijelaskan
spesifikasinya.
3) Penyerahannya dilakukan
kemudian.
4) Waktu dan tempat penyerahan
barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5) Pembeli tidak boleh menjual
barang sebelum menerimanya.
6) Tidak boleh menukar barang,
kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
7) Dalam hal terdapat cacat atau
barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak
memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Selain ketentuan pembayaran dan barang, fatwa ini
juga menjelaskan ketentuan lain:
1) Dalam hal pesanan sudah
dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
2) Semua ketentuan dalam jual
beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli Istishna’.
3) Jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
Dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain,
as-Sunnah dan pendapat ulama’. Hadits yang digunakan adalah hadis Nabi riwayat at-Tirmizi
yang menyatakan, “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslim kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.r. Tirmizi dari ‘Amr bin
‘Auf). Juga hadis Nabi yang menyatakan, “Tidak boleh membahayakan diri
sendiri maupun orang lain” (H.r. Ibn Majah, ad-Daraquthni, dan yang lain
dari Abu Sa’id al-Khudri). Selain itu juga kaidah fiqih yang
menyatakan, “Pada dasarnya, semua
bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Selain hadits dan kaidah
fiqih, fatwa ini juga menggunakan pendapat ulama’ mazhab, yaitu pendapat mazhab
Hanafi, Istishna’ hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah
dilakukan oleh masyarakat Muslim sejak masa awal, tanpa ada pihak (ulama’) yang
mengingkarinya.
D. Catatan atas Fatwa DSN-MUI pada Akad Murabahah, Salam, dan Istishna’
Catatan terkait
subtansi Fatwa DSN-MUI pada akad Murabahah, Salam dan Istishna’ ini dikaji
dengan tiga aspek
pembahasan: Pertama, dalil-dalil yang
digunakan sebagai pertimbangan dalam fatwa tersebut. Kedua, relevansi
antara dalil dan kesimpulan, dalam hal ini meliputi dalalah, wajh ad-dalalah
dan thariqu al-istidlal. Ketiga, produk jadi hukumnya.
1. Fatwa DSN MUI tentang Akad Murabahah
Dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain, nas-nas
al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak dan pendapat ulama’. Fatwa ini menggunakan
al-Qur’an, surat an-Nisa’ [4]: 29:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang yang beriman! Janganlah
kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
Surat al-Baqarah [2]: 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
“…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba….”
Surat al-Ma’idah [5]: 1:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad
itu….”
Surat al-Baqarah [2]: 280:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ
إِلَى مَيْسَرَةٍ
“Dan jika (orang berutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…”
Dari aspek dalalah, wajh
al-istidlal dan thariq al-istidlal, ayat-ayat di atas membahas dua
hal: Pertama, perniagaan (tijarah), yaitu jual (bai’) dan
beli (syira’). Surat al-Baqarah [2]: 275 dengan tegas menyatakan tentang legalitas
perdagangan, yaitu jual-beli, dan mengharamkan riba. Sedangkan surat an-Nisa’ [4]: 29 menegaskan syarat sahnya akad jual beli (perdagangan) yang
harus dilakukan dengan sukarela. Kedua, hutang piutang sebagaimana yang
dinyatakan dalam surat al-Baqarah [2]: 280, dimana dalam kondisi orang yang berhutang
mempunyai kesulitan, maka diperintahkan untuk diberi tangguh hingga
berkelapangan. Karena itu, dalil-dalil
di atas sebenarnya membahas tentang bai’ bi ad-dain wa at-taqsith (jual
beli dengan hutang dan cicilan).
Adapun hadis-hadis yang dijadikan dalil, antara lain, hadis:
عن أَبَي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (H.r. al-Baihaqi dan Ibn
Majah, dan dinyatakan sahih oleh Ibn Hibban).
Hadis Nabi riwayat Ibn Majah, Nabi bersabda:
ثَلاَثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ:
الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ وَأَخْلاَطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ
لِلْبَيْتِ، لاَ لِلْبَيْعِ
“Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara
tunai, muqaradhah (saling menghutangi), dan mencampur gandum dengan jewawut
untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (H.r. Ibn Majah dari
Shuhaib).
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi, dimana Nabi
menyatakan, “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslim, kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.r. Tirmizi dari ‘Amr bin
‘Auf).
Hadis Nabi riwayat Jama’ah:
مَطْلُ الغَنيِّ ظُلمٌ
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu
adalah suatu kezaliman…”
Hadis Nabi riwayat an-Nasa’i, Abu Dawud,
Ibu Majah, dan Ahmad:
ليُّ الوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu
menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
Hadis Nabi riwayat ‘Abd al-Razaq dari
Zaid bin Aslam:
أَنَّهُ سُئِلَ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنِ الْعَرْباَنِ فِي الْبَيْعِ فَأَحَلَّهُ
“Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘arbun (uang muka) dalam jual beli, maka
beliau menghalalkannya.”
Dari aspek dalalah, wajh
al-istidlal dan thariq al-istidlal, hadis Abi Sa’id al-Khudri dari
al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban di atas menjelaskan tentang keharusan
adanya aspek suka rela dalam transaksi perdagangan (jual beli). Sedangkan hadis Ibn Majah dari Shuhaib menjelaskan
kebolehan jual beli dengan cicilan (bai’ ila ajal atau bai’ bi
ad-dain wa at-taqsith). Adapun hadis Jama’ah, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn
Majah dan Ahmad menjelaskan keharaman menangguh-nangguhkan pembayaran hutang bagi orang yang mampu
membayar dan sudah jatuh tempo. Ini berlaku, baik bagi orang yang berhutang
biasa, atau hutang dalam jual beli dengan cicilan. Mengenai hadits Zaid bin
Aslam dari ‘Abd ar-Razaq, hadis ini menjelaskan tentang kebolehan praktik ‘arbun
dalam jual beli, yaitu syarat yang disepakati oleh penjual dan pembeli terkait
dengan uang muka, bahwa jika jual beli tersebut tidak jadi, maka uang muka yang
telah dibayarkan pembeli dinyatakan hangus.
Selain dalil-dalil di atas,
yaitu al-Qur’an dan hadis, juga Ijmak ulama tentang kebolehan jual beli dengan
cara Murabahah.[9]
Keseluruhan dalil di atas sebenarnya menjelaskan kebolehan
jual beli dengan hutang atau cicilan (bai’ bi ad-dain wa at-taqsith),
atau yang disebut Murabahah.
Adapun dari aspek hukum jadi,
fatwa DSN-MUI ini menjelaskan beberapa ketentuan hukum, antara lain: Pertama, ketentuan umum
tentang Pembiayaan Murabahah:
1) Bank dan nasabah harus
melakukan Akad Murabahah yang bebas riba.
2) Barang yang diperjualbelikan
tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3) Bank membiayai sebagian atau
seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4) Bank membeli barang yang
diperlukan nasabah atas nama Bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan
bebas riba.
5) Bank harus menyampaikan semua
hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara
utang.
6) Bank kemudian menjual barang
tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus
keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok
barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7) Nasabah membayar harga barang
yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah
disepakati.
8) Untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak Bank dapat mengadakan
perjanjian khusus dengan nasabah.
9) Jika Bank hendak mewakilkan
kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah
harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik Bank.
Kedua, fatwa ini juga menjelaskan ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1) Nasabah mengajukan permohonan
dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada Bank.
2) Jika Bank menerima permohonan
tersebut, Bank harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah
dengan pedagang.
3) Bank kemudian menawarkan aset
tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan
janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat;
kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4) Dalam jual beli ini Bank
dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani
kesepakatan awal pemesanan.
5) Jika nasabah kemudian menolak
membeli barang tersebut, biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6) Jika nilai uang muka kurang
dari kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, Bank dapat meminta kembali sisa
kerugiannya kepada nasabah.
7) Jika uang muka memakai
kontrak ‘arbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:
a) Jika nasabah memutuskan untuk
membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b) Jika nasabah batal membeli,
uang muka menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh
Bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah
wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga, fatwa ini juga menjelaskan Jaminan dalam Murabahah yang diberikan
oleh nasabah:
1) Jaminan dalam murabahah
dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2) Bank dapat meminta nasabah
untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat, karena status Akad Murabahah ini adalah utang, maka fatwa ini
juga menjelaskan status Utang dalam Murabahah:
1) Secara prinsip, penyelesaian
utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan
transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut.
Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian,
ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada Bank.
2) Jika nasabah menjual barang
tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh
angsurannya.
3) Jika penjualan barang
tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya
sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau
meminta kerugian itu diperhitungkan.
Kelima, sebagaimana status pembiayaan ini merupakan utang, maka fatwa ini juga
menjelaskan tentang Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1) Nasabah yang memiliki
kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2) Jika nasabah menunda-nunda
pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Bahkan, fatwa ini juga telah menjelaskan klausul
kebangkrutan nasabah yang masih terikat dengan pembiayaan Murabahah.
Dijelaskan, jika nasabah telah
dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, Bank harus menunda tagihan
utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.[10]
Dari beberapa fakta hukum jadi yang dinyatakan
dalam fatwa di atas, ada beberapa catatan:
1) Hukum murabahah yang diperbolehkan dalam Islam sebenarnya berdiri
di atas fakta jual beli yang dilakukan dengan hutang dan cicilan, bukan
pembiayaan. Nasabah sebagai pembeli dan Bank sebagai penjual. Karena itu,
seluruh ketentuan yang berlaku di dalam jual beli dan hutang piutang berlaku
dalam Akad Murabahah ini. Misalnya, tidak diperbolehkannya jual beli
terhadap barang yang belum dimiliki, termasuk hak khiyar dalam jual
beli, antara meneruskan dan membatalkan jual beli. Ini berbeda, jika status
akad yang dinyatakan sebagai Akad Murabahah ini merupakan akad
pembiayaan, sehingga fakta yang berlaku di dalamnya adalah hutang piutang
murni, minus jual beli. Seperti tidak adanya hak khiyar, antara
membatalkan dan meneruskan akad.
2) Kenyataannya, fakta Akad Murabahah ini adalah jual beli yang
dilakukan dengan hutang dan cicilan dalam satu paket, sehingga di dalamnya
berlaku fakta jual beli dan hutang piutang secara simultan. Karena itu, fatwa
yang menyatakan, “Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian
barang yang telah disepakati kualifikasinya” ini seharusnya tidak boleh ada, sebab ini bertentangan dengan
fakta Bank sebagai penjual, yang menjual barangnya kepada pembeli, yang tidak
lain adalah nasabah. Sebab, dengan membiayai sebagian, berarti sebagian lagi
harus dibayar oleh pembeli (nasabah) sendiri, yang berarti Bank di sini
bertindak sebagai pihak yang menghutangi pembeli (nasabah) tersebut.
3) Dengan kata lain, Akad Murabahah di sini bukan jual beli dengan
hutang, tetapi hutang piutang murni. Masalahnya, jika akad Murabahah ini
adalah akad hutang piutang, maka Bank tidak boleh menetapkan “harga beli plus keuntungannya”, karena statusnya adalah hutang. Hutang tidak
boleh dibayar, kecuali dengan jumlah yang sama. Jika tidak, maka hutang piutang
tersebut mengandung riba.
4) Fatwa yang menyatakan, “Bank kemudian menawarkan aset tersebut
kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji
yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian
kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.” Catatan kritisnya adalah bahwa janji untuk membeli belum bisa disebut akad.
Sebab, akad itu harus dilakukan terhadap barang dan jasa, sedangkan janji
bukanlah barang dan jasa. Akibat dari klausul ini, maka lahir fatwa berikutnya,
“Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil Bank
harus dibayar dari uang muka tersebut.” Padahal, dalam akad jual beli yang jelas-jelas mengikat saja,
masih ada khiyar (pilihan melanjutkan akad atau tidak), sementara apa
yang dilakukan oleh Bank dengan calon pembeli tadi baru sebatas komitmen atau
janji. Jika sudah terjadi akad saja masih ada khiyar, baik dengan syarat
uang muka hangus, seperti ‘arbun atau tidak, maka tentu lebih boleh lagi
untuk melakukan khiyar jika akad tersebut belum terjadi.
5) Selanjutnya, ada klausul “Jika nilai uang muka kurang
dari kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, Bank dapat meminta kembali sisa
kerugiannya kepada nasabah.” Klausul ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari klausul di
atas, yang merupakan bentuk ‘arbun. Tetapi, harus ditegaskan bahwa dalam
‘arbun, yang hangus adalah uang muka yang telah dibayarkan oleh calon
pembeli kepada penjual (Bank). Lebih dari itu, tidak ada kewajiban bagi calon
pembeli untuk membayar kerugian yang diderita oleh Bank, akibat dari akad yang
tidak jadi. Karena itu, klausul ini jelas fasid, dan merusak akad Murabahah.
6) Mengenai status jaminan, klausul fatwa ini menyatakan, “Jaminan dalam murabahah
dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.” Catatannya adalah bahwa jaminan itu diberikan karena seseorang
mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan, seperti hutang piutang. Atas dasar
apa, jaminan diwajibkan terhadap sesuatu yang tidak wajib ditunaikan, yaitu
“janji membeli”? Karena itu, syarat adanya jaminan di sini juga merupakan
syarat yang bertentangan dengan fakta rahn (agunan) maupun dhaman
(jaminan). Syarat seperti ini tidak diperbolehkan, dan jelas merusak akad Murabahah.
2. Fatwa DSN MUI tentang Akad Salam
Dari aspek dalalah, wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal,
dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain, nas-nas
al-Qur’an, yaitu surat al-Baqarah [2]: 282:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang yang beriman! Jika kamu
bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara
tertulis...”.
Surat al-Ma’idah [5]: 1:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang yang beriman! Penuhilah
akad-akad itu….”
Surat al-Baqarah [2]: 282 sebenarnya membahas tentang perintah mencatat
hutang piutang, dan bukan dalil yang menjelaskan legalitas akad Salam.
Hanya saja, karena di dalam akad Salam terdapat aspek hutang piutang,
yaitu barang yang menjadi tanggungan penjual (dzimah muslam ilaih
al-maushufah) dan belum diberikan kepada pembeli (muslim)-nya, maka
Ibn ‘Abbas menyatakan, isi ayat ini juga berlaku untuk akad Salam.
Karena, ayat ini juga dijadikan dalil akad Salam oleh sebagian ulama’,
seperti Ibn Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni.[11] Sedangkan surat al-Ma’idah [5]: 1, seperti yang kita ketahui dalam pembahasan
sebelumnya, adalah dalil umum tentang kewajiban menunaikan akad. Tidak hanya
khusus dalam jual beli, hutang piutang, syarikah tetapi semua akad.
Adapun dalil lain, selain itu adalah hadis Nabi saw. yang menyatakan:
عن أَبَي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (H.r. al-Baihaqi dan Ibn
Majah, dan dinyatakan sahih oleh Ibn Hibban).
Juga hadis riwayat Bukhari dari Ibn
‘Abbas, dimana Nabi bersabda:
مَنْ
أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِيْ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ
مَعْلُوْمٍ
“Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka
waktu yang diketahui" (H.r. Bukhari).
Juga hadis Nabi riwayat jama’ah yang
menyatakan:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang
dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
Juga hadis Nabi riwayat an-Nasa’i, Abu
Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad yang menyatakan:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang
dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi
kepadanya.”
Serta hadis Nabi riwayat at-Tirmizi yang
menyatakan:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara
kaum Muslim kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.r. at-Tirmizi dari ‘Amr
bin ‘Auf).
Dari sekian nas hadis, satu-satunya yang relevan
dengan akad Salam, sebenarnya hanya hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas. Selebihnya, adalah dalil-dalil yang menyatakan
tentang syarat yang dibuat dalam akad secara umum, keharusan adanya aspek suka
rela dalam jual beli, dan kewajiban membayar hutang tepat pada waktunya bagi
yang mampu.
Mengenai dalil lain, seperti Ijmak ulama’, kaidah
fiqh dan lain-lain adalah hal yang sama dengan dasar fatwa-fatwa sebelumnya,
karena itu apa yang telah dijelaskan di atas telah cukup untuk mendudukan
dalil-dalil tersebut.
Ini dari aspek dalalah, wajh al-istidlal
dan thariq al-istidlal, sedangkan dari aspek hukum jadi yang dinyatakan
dalam fatwa ini, selain menjelaskan definisi jual beli Salam sebagaimana
yang telah dikemukakan di atas, fatwa yang sama juga menjelaskan ketentuan
pembayaran dalam Akad Salam ini:
1) Alat bayar harus diketahui
jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2) Pembayaran harus dilakukan
pada saat kontrak disepakati.
3) Pembayaran tidak boleh dalam
bentuk pembebasan hutang.
Selain ketentuan tentang pembayaran, fatwa tersebut
juga menjelaskan tentang Ketentuan Barang:
1) Harus jelas ciri-cirinya dan
dapat diakui sebagai hutang.
2) Harus dapat dijelaskan
spesifikasinya.
3) Penyerahannya dilakukan
kemudian.
4) Waktu dan tempat penyerahan
barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5) Pembeli tidak boleh menjual
barang sebelum menerimanya.
6) Tidak boleh menukar barang,
kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Selain ketentuan pembayaran dan barang, fatwa ini
juga menjelaskan ketentuan tentang Salam Paralel, dengan syarat, akad
kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama. Fatwa ini juga
menjelaskan Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1) Penjual harus menyerahkan
barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2) Jika penjual menyerahkan
barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan
harga.
3) Jika penjual menyerahkan
barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia
tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4) Penjual dapat menyerahkan
barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah
barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5) Jika semua atau sebagian
barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan
pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a) membatalkan kontrak dan
meminta kembali uangnya,
b) menunggu sampai barang
tersedia.
Fatwa ini juga menjelaskan mekanisme Pembatalan
Kontrak, yang menegaskan bahwa pembatalan Salam boleh dilakukan, selama
tidak merugikan kedua belah pihak. Terakhir, fatwa ini memuat tentang klausul
Perselisihan, dengan menyatakan: “Jika terjadi perselisihan di antara kedua
belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.
Dari aspek hukum jadi yang
difatwakan dalam fatwa DSN MUI tersebut ada beberapa hal yang perlu diberikan
catatan:
1) Kebolehan akad Salam tidak ada ikhtilaf di kalangan
ulama’, dimana Shahibus Salam atau Muslam (pembeli) dan Muslam
Ilaih (penjual) sepakat mengadakan akad jual beli terhadap barang tertentu
(muslam fih) yang tidak ada di tempat (ghaira mu’ayyan), tetapi
dideskripsikan dengan sejumlah deskripsi tertentu (fi dzimmah maushufah),
dengan harga dibayar di muka. Inilah ketentuan yang disepakati oleh para
ulama’. Al-Khathib as-Syarbini, dalam kitabnya, al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi
Syujja’, menegaskan bahwa “Sebab, kalau serah-terima (harga) tersebut
boleh ditangguhkan, maka statusnya sama dengan jual beli hutang dengan hutang,
jika uang pokok (harga)-nya masih dalam jaminan (pembeli) -- belum dibayarkan
di muka.”[12]
Hanya saja, dalam praktiknya Bank tidak pernah menjadi pembeli (Muslam)
yang sesungguhnya bagi nasabah (Muslam ilaih), terlebih dalam transaksi
pembiayaan. Juga, karena Bank tidak akan
melakukan transaksi riil. Jadi, tujuan Bank melakukan Salam ini
sebenarnya untuk di-Salam-kan lagi dengan nasabah lain.
2) Posisi Bank dalam akad Salam
ini sebagai pembeli (Muslam atau Shahibus Salam), sedangkan
nasabah sebagai penjual (Muslam ilaih). Dalam akad ini, Bank membayar
tunai harga barang yang dipesan (Muslam fih) dari nasabah. Ini akad Salam
pertama. Pada waktu yang sama, Bank bertindak sebagai penjual (Muslam ilaih)
kepada nasabah lain yang bertindak sebagai pembeli (Muslam) terhadap
barang yang sama (Muslam fih), yang dipesan oleh Bank dari nasabah
sebelumnya. Ini adalah akad Salam kedua. Kedua akad Salam ini ---yang pertama menempatkan Bank
sebagai pembeli (Muslam) dan kedua menempatkan Bank sebagai penjual (Muslam
ilaih)--- dilakukan secara simultan, dan inilah yang disebut Salam
Paralel. Akad ini, sekalipun dinyatakan dalam fatwa tersebut terjadi secara
terpisah, tetapi faktanya akad Salam kedua tidak akan pernah ada, jika
akad Salam pertama tidak ada.
3) Salam Paralel ini jelas haram. Pertama, ini merupakan jenis hawalah (pemindahan
hak hutang) dalam bentuk Muslam fih (barang yang dipesan) dari Bank
kepada nasabah lain. Ibn Qudamah menyatakan, akad seperti ini haram. Sebab, hawalah
hanya boleh dilakukan terhadap hutang yang tetap (mustaqirr).
Sementara Salam, dengan tujuan untuk dibatalkan (dipindahkan lagi kepada
pihak lain), termasuk dalam kategori hutang yang tidak tetap (ghair
mustaqirr). Selain itu, ini juga merupakan jual-beli Muslam fih yang
dilakukan sebelum serah terima, padahal tidak boleh menjual sesuatu sebelum
dilakukan serah terima.[13] Kedua, menjual Muslam
fih dari penjualnya, sebagaimana Bank menjual Muslam fih dari
nasabah A, sekali penjual, kepada nasabah B, sekali pembeli dalam kasus Salam
Pararel, sama dengan mengambil “sesuatu di luar Muslam fih” sebagai
kompensasi dari Muslam fih tersebut, baik Muslam fih tersebut ada
atau tidak. Ini hukumnya haram. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan
as-Syafi’i.[14]
4) Selain itu, dalam akad Salam
kedua pada Salam Paralel, Bank sebagai penjual (Muslam ilaih)
tidak mendapatkan pembayaran penuh dari pembeli (Muslam), tetapi dengan
skim cicilan atau Murabahah. Dalam kasus akad Salam kedua ini
berarti telah terjadi jual beli hutang dengan hutang. Hutang pertama adalah Muslam
fih yang masih dipesan oleh pembeli dari Bank, sedangkan hutang kedua
adalah hutang pembeli (Muslam) ketika melakukan pemesanan (salam),
yang harus dibayar dengan skim Murabahah tersebut. Akad seperti ini
jelas batil. Menurut Ibn Mundir, seluruh ahli ilmu sepakat, bahwa jual beli
hutang dengan hutang hukumnya haram.[15]
3. Fatwa DSN MUI tentang Akad Istishna’
Dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain,
as-Sunnah dan pendapat ulama’. Hadits yang digunakan adalah hadis Nabi riwayat at-Tirmizi
yang menyatakan:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara
kaum Muslim kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.r. Tirmizi
dari ‘Amr bin ‘Auf).
Juga hadis Nabi yang menyatakan:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (H.r. Ibn Majah,
ad-Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).
Hadis-hadis yang digunakan
dalam fatwa ini sebenarnya bukanlah hadis yang secara spesifik, baik dari aspek
dalalah, wajh al-istidlal maupu thariq al-istidlal bisa digunakan
untuk membangun legalitas akad Istishna’. Meski demikian, tidak berarti
akad Istishna’ ini tidak boleh. Akad ini boleh, karena Rasulullah pernah
memesan untuk dibuatkan cincin (H.r. al-Bukhari dari Anas dan ‘Abdullah bin
‘Umar). Dalam riwayat lain, Rasul juga pernah meminta seorang wanita agar
memerintahkan anaknya yang tukang kayu
untuk membuatkan mimbar (H.r. al-Bukhari dari Sahal). Selain itu, juga diamnya Nabi terhadap praktik istishna’
di masa itu. Inilah dalil-dalil yang menjadi dasar kebolehan praktik akad Istishna’
ini.
Selain hadits dan kaidah
fiqih, fatwa ini juga menggunakan pendapat ulama’ mazhab, yaitu pendapat mazhab
Hanafi, Istishna’ hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah
dilakukan oleh masyarakat Muslim sejak masa awal, tanpa ada pihak (ulama’) yang
mengingkarinya.
Ini dari aspek dalil, dalalah,
wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal. Adapun dari aspek hukum
jadi yang dinyatakan dalam
fatwa tersebut, selain menjelaskan definisi jual beli Istishna’, fatwa
yang sama menjelaskan Ketentuan Pembayaran dalam Akad Istishna’ ini:
1) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang,
atau manfaat.
2) Pembayaran harus dilakukan
pada saat kontrak disepakati.
3) Pembayaran tidak boleh dalam
bentuk pembebasan hutang.
Selain ketentuan tentang pembayaran, fatwa tersebut juga
menjelaskan tentang Ketentuan Barang:
1) Harus jelas ciri-cirinya dan
dapat diakui sebagai hutang.
2) Harus dapat dijelaskan
spesifikasinya.
3) Penyerahannya dilakukan
kemudian.
4) Waktu dan tempat penyerahan
barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5) Pembeli tidak boleh menjual
barang sebelum menerimanya.
6) Tidak boleh menukar barang,
kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
7) Dalam hal terdapat cacat atau
barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak
memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Selain ketentuan pembayaran dan barang, fatwa ini
juga menjelaskan ketentuan lain:
1) Dalam hal pesanan sudah
dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
2) Semua ketentuan dalam jual
beli Salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli Istishna’.
3) Jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
Dari aspek hukum jadi yang
dinyatakan dalam fatwa tersebut, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan:
1) Meski ada kemiripan dengan
akad Salam, tetapi akad Istishna’ berbeda. Karena di dalam Istishna’,
barang yang dipesan merupakan produk perakitan, pembentukan, pembangunan atau
pengolahan yang tidak mungkin lagi dipisahkan konstruksinya, dengan bahan baku
yang berasal dari pembuat (shani’), bukan dari pemesan (mustashni’).
Contohnya, seperti jual beli meja,
kursi, lemari dan sebagainya. Karena itu, meski ada
beberapa persamaan hukum dengan Salam, namun tidak semua hukum dalam Salam
berlaku dalam akad Istishna’.
2) Dalam Salam tidak ada khiyar,
termasuk khiyar ru’yah, setelah barang diserahkan. Berbeda dengan Istishna’,
di dalamnya berlaku khiyar ru’yah setelah barang diserahkan, sehingga
ketika pembeli yang sekaligus pemesan (Mustashni’) merasa tidak cocok
dengan barang pesanan (Mustashna’ fih)-nya, maka dia berhak membatalkan
akadnya, atau diganti dengan barang lain yang sesuai dengan spesifikasi yang
dipesannya.[16]
3) Fatwa yang menyatakan, “Pembayaran harus dilakukan pada saat
kontrak disepakati.” sebenarnya berlaku dalam kasus Salam,
dan kesimpulan ini merupakan hasil analogi (qiyas). Jumhur ulama menyamakan istishn’ dengan jual beli salam,
sementara ulama madzhab Hanafi membedakannya. Dalilnya adalah taqrir Nabi terhadap
praktik Istishna’ yang telah berlangsung pada zaman itu, termasuk
praktik jual beli hutang dengan hutang (bai’ ad-dain bi ad-dain) di
dalamnya. Ini sekaligus mengecualikan dari larangan jual beli hutang dengan
hutang dalam Salam.[17]
4) Demikian juga dengan fatwa, “Waktu dan tempat penyerahan
barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.” sebagaimana dalam klausul Salam,
padahal Istishna’ berbeda dengan Salam. Karena itu, menurut Imam
Abu Hanifah, ketentuan ini tidak berlaku dalam akad Istishna’.[18] Meski, menurut mazhab Maliki, klausul “Waktu dan tempat penyerahan barang harus
ditetapkan berdasarkan kesepakatan” dan “Pembayaran harus dilakukan
pada saat kontrak disepakati” juga berlaku dalam akad Istishna’.[19]
E. Kesimpulan
1. Dalil yang digunakan pada Fatwa DSN-MUI tentang akad
Murabahah, Salam dan Istishna’ berupa ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis Nabi,
Ijma’ ulama dan kaidah fikih
2. Akad murobahah, dari sisi dalalah, wajh al-istidlal dan thariq
al-istidlal telah terdapat kesesuaian dengan subtansi fatwa yiatu menjelaskan kebolehan jual beli dengan
hutang atau cicilan (bai’ bi ad-dain wa at-taqsith), atau yang disebut Murabahah,
namun dari sisi hukum jadi terdapat sejumlah catatan.
3. Akad salam, dari sisi dalalah, wajh al-istidlal dan thariq
al-istidlal ayat al Quran yang relevan adalan surah
al-Baqarah ayat 282 sisanya adalah ayat-ayat umum yang tidak spesifik untuk
akad salam. Untuk hadis hanya satu hadis relevan yaitu hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas. Selebihnya, adalah dalil-dalil yang menyatakan
tentang syarat yang dibuat dalam akad secara umum, keharusan adanya aspek suka
rela dalam jual beli, dan kewajiban membayar hutang tepat pada waktunya bagi
yang mampu. Dari sisi hukum jadi terdapat sejumlah catatan, khususnya pada
fatwa salam pararel
4. Akad Istishna’, dari
aspek dalalah, wajh al-istidlal maupu thariq al-istidlal
hadis-hadis yang digunakan dalam fatwa akad istishna’ ini sebenarnya
bukanlah hadis yang secara spesifik dan tidak bisa digunakan untuk
membangun legalitas akad Istishna’. Meski demikian, tidak berarti akad Istishna’
ini tidak boleh, karena terdapat hadis lain yang secara tegas membolehkan akad istishna’. Dari sisi
hukum jadi, perbedaan pandangan di antara ulama apakah akad istishna’ sama
dengan akad salam atau berbeda menyebabkan perbedaan pada konsekuensi hukum
lanjutannya.
DAFTAR PUSTAKA
‘Alauddin Abu Bakar
bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’ as-Shana’i fi tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996)
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al Hanbali. al-Mughni
Al-Khathib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi
Syujja’, (Kairo: Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi, 1359 H/1940 M)
as-Shawi al-Maliki, Hasyiyah
as-Shawi, al-Marja’ al-Akbar, t.t.
Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Direktorat
PerBanksan Syariah, Bank Indonesia, 2008
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama’ Indonesia, N0 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Jual Beli Istishna’
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama’ Indonesia, Nomer: 04/DSN-MUI/IV/2000
tentang Murabahah
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama’ Indonesia, Nomer: 05/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Salam
Syamsuddin Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl As-Sarakhshi, al-Mabsuth. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993)
Wahbah Zuhaily, al fiqh al Islami wa
adillatuhu. (Damaskus: Darul Fikri, Juz 6. 2010)
Ziyad Ghazzal, Buku Pintar Bisnis Syar’i: Rancangan
Undang-undang Perdagangan Negara Khilafah, (Bogor: al-Azhar Press, 1432 H/2011 M)
[1] Bank Indonesia, Kodifikasi
Produk Perbankan Syariah, Direktorat PerBanksan Syariah, Bank Indonesia,
2008. hal. B-6.
[2] Ibid, hal. B-6-B-7.
[3] Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia,
Nomer: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, hal. 1-5.
[4] Lihat, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’
Indonesia, Nomer: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam, hal.
1-4.
[5] Lihat, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’
Indonesia, Nomer: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam, hal.
1.
[6] Wahbah Zuhaily,
al fiqh al Islami wa adillatuhu. (Damaskus: Darul Fikri, Juz 6. 2010),
juz IV, hal. 598
[7] Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Direktorat
PerBanksan Syariah, Bank Indonesia, 2008. hal. B-10.
[8] Lihat, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’
Indonesia, N0 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’, hal.
1.
[9] ‘Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’ as-Shana’i fi tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), V/220-222
[10] Lihat, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’
Indonesia, Nomer: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, hal. 1-5.
[12] Al-Khathib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi
Syujja’, (Kairo: Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi, 1359 H/1940 M), Juz
I, hal. 261.
[16] Syamsuddin Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl As-Sarakhshi, al-Mabsuth. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), Juz XV, hal. 84.
[17] Lihat, Syaikh Ziyad Ghazzal, Buku Pintar Bisnis
Syar’i: Rancangan Undang-undang Perdagangan Negara Khilafah, (Bogor: al-Azhar Press, 1432 H/2011 M), hal. 134-135.
[18] ‘Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’ as-Shana’i fi tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), Juz V, hal. 3.
Komentar
Posting Komentar