KRITIK FATWA DSN-MUI TENTANG AKAD MURABAHAH, SALAM, DAN ISTISHNA’


MENGKAJI FATWA DSN-MUI TENTANG AKAD MURABAHAH,
SALAM, DAN ISTISHNA’
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf 


A.  Latar Belakang
Sejak tahun 90-an geliat ekonomi syariah, khususnya keuangan syariah mengalami geliat yang cukup signifikan. Pertumbuhan ekonomi syariah ditandai dengan meningkatnya jumlah lembaga keuangan syariah (LKS) dan jumlah serta model produk yang ditawarkan. Pertumbuhan perbankan syariah tergolong paling cepat dibanding keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, dan pasar modal syariah. Sejak pertama kali berdiri tahun 1991 dengan lahirnya Bank Muamalat, bank syariah terus tumbuh dari tahun ke tahun. Data menunjukkan hingga Juni 2019 sudah berdiri 14 Bank Umum Syariah (BUS), 20 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 164 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Keinginan menjaga keberkahan harta rupanya menjadi alasan paling mendasar bagi masyarakat. Hal ini menjadi peluang tersendiri bagi pelaku bisnis ekonomi syariah. Di sisi lain masyarakat menginginkan jaminan kesesuaian produk-produk perbankan syariat dengan syariat Islam. Dalam hal ini diperlukan panduan hukum Islam terkait produk-produk pelaku ekonomi syariah. Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) adalah pihak yang ditunjuk oleh pemerintah berdasarkan UU no. 21 tahun 2018 untuk mengeluarkan fatwa terkait keuangan atau ekonomi syariah.
Berdasarkan UU no. 21 tahun 2008, otoritas keuangan dan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) wajib terikat dengan fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI. Fatwa DSN MUI dijadikan pedoman oleh otoritas keuangan dan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam kegiatan ekonomi syariah. Fatwa dijadikan standar untuk memastikan kesyariahan produk dan operasional keuangan syariah. Bahkan bisa dikatakan dijadikan satu-satunya sandaran jika terjadi perselisihan pendapat antara LKS dengan nasabah.
Sejak dibentuknya DSN-MUI pada tahun 1999 hingga Februari 2018, DSN-MUI telah mengeluarkan produk fatwa sebanyak 122 buah. Bentuk dari fatwa berupa isi fatwa dan penjelasan atas isi dari fatwa tersebut. Bagian fatwa yang berupa isi, mengandung konsideran menimbang, mengingat, memperhatikan dan memutuskan. Konsideran mengingat berisi dasar-dasar hukum yang digunakan yaitu Al-qur’an, hadis, ijma, qiyas dan kaidah fikih
Hanya saja banyak kalangan mempertanyakan Fatwa DS-MUI, khususnya dalam aspek relevansi penggunaan dalil al –Quran dan hadis dengan subtansi fatwa dan keabsahan pengunaan kaidah fikih khususnya kaidah fikih “hukum asal mu’amalah adalah mubah”. Pada kajian ini hanya dibatasi pada fatwa DSN-MUI tentang murabahah, salam dan istishna’.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah makalah ini adalah:
1.    Bagaimana deskripsi dalil dan kaidah fikih yang dijadikan sandaran Fatwa DSN-MUI pada akad murabahah, salam dan istishna’?.
2.    Bagaimana relevansi penggunaan dalil dan hukum jadi dengan subtansi fatwa Fatwa DSN-MUI pada akad murabahah
3.    Bagaimana relevansi penggunaan dalil dan hukum jadi dengan subtansi fatwa Fatwa DSN-MUI pada akad salam
4.    Bagaimana relevansi penggunaan dalil dan hukum jadi dengan subtansi fatwa Fatwa DSN-MUI pada akad istishna’?.

C.       Deskripsi Fatwa DSN-MUI pada Akad Murabahah, Salam dan Istishna’

1.      Akad Murabahah

Murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin/keuntungan yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga pembelian kepada pembeli.[1]

Fatwa DSN-MUI  yang menjelaskan akad  Murabahah ini cukup banyak, bahkan bisa dikatakan yang paling banyak. Berikut ini adalah fatwa tentang akad Murabahah dan fatwa turunannya: fatwa DSN-MUI No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Murabahah, fatwa No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah, fatwa No: 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah, fatwa No: 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon dalam Murabahah, fatwa No: 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah, fatwa No: 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah, fatwa No: 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah yang Tidak Mampu Membayar, fatwa No: 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah, fatwa No: 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah.[2]

Dalam fatwa tersebut, DSN-MUI menjelaskan ketentuan umum tentang Pembiayaan Murabahah ini sebagai berikut:
1)      Bank dan nasabah harus melakukan Akad Murabahah yang bebas riba.
2)      Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3)      Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4)      Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama Bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5)      Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6)      Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7)      Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8)      Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak Bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9)      Jika Bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik Bank.

Selain ketentuan umum di atas, fatwa ini juga menjelaskan ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1)      Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada Bank.
2)      Jika Bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3)      Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4)      Dalam jual beli ini Bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5)      Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6)      Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, Bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7)      Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:
a)      Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b)      Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Selain ketentuan di atas, fatwa ini juga menjelaskan Jaminan dalam Murabahah yang diberikan oleh nasabah:
1)      Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2)      Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

Karena status Akad Murabahah ini adalah utang, maka fatwa ini juga menjelaskan status Utang dalam Murabahah:
1)      Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada Bank.
2)      Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3)      Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

Sebagaimana status pembiayaan ini merupakan utang, maka fatwa ini juga menjelaskan tentang Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1)      Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2)      Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Bahkan, fatwa ini juga telah menjelaskan klausul kebangkrutan nasabah yang masih terikat dengan pembiayaan Murabahah. Dijelaskan,  jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, Bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.[3]

Fatwa DSN-MUI Nomer: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Murabahah merupakan fatwa inti, yang kemudian dikuatkan dan didukung dengan fatwa lain sebagai penjelasan tambahan ketika praktik Murabahah tersebut di lapangan mengalami kendala teknis, baik dalam proses jual beli, sehingga dikeluarkanlah fatwa tentang Wakalah, maupun pasca proses jual beli, yaitu pengembalian utang dengan cicilan, sehingga dikeluarkan sejumlah fatwa sebagaimana disebutkan di atas.

Dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain, nas-nas al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak dan pendapat ulama’. Fatwa ini menggunakan al-Qur’an, surat an-Nisa’ [4]: 29, “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”. Surat al-Baqarah [2]: 275, “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….” Surat al-Ma’idah [5]: 1, “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” Surat al-Baqarah [2]: 280,  “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…”

Juga hadis Nabi saw, “Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (H.r. al-Baihaqi dan Ibn Majah, dan dinyatakan sahih oleh Ibn Hibban). Hadis Nabi riwayat Ibn Majah,  “Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (saling menghutangi), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (H.r. Ibn Majah dari Shuhaib). Hadis Nabi riwayat Tirmidzi,  “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslim, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.r. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf). Hadis Nabi riwayat Jama’ah, “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…” Hadis Nabi riwayat an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad, “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” Hadis Nabi riwayat ‘Abd al-Razaq dari Zaid bin Aslam, “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.” Ijmak ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara Murabahah (Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, II/161; Al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, V/220-222).

Selain itu, fatwa ini juga menggunakan kaidah fiqh, “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

2.      Akad Salam

Fatwa DSN-MUI yang membahas Akad  Salam adalah fatwa DSN-MUI No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.[4] Fatwa ini mendefinisikan Akad  Salam, sebagai jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.[5] Dalam fatwa tersebut, selain menjelaskan definisi jual beli Salam, fatwa yang sama menjelaskan Ketentuan Pembayaran dalam Akad Salam ini:
1)      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2)      Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3)      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.


Selain ketentuan tentang pembayaran, fatwa tersebut juga menjelaskan tentang Ketentuan Barang:
1)      Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2)      Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3)      Penyerahannya dilakukan kemudian.
4)      Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5)      Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6)      Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

Selain ketentuan pembayaran dan barang, fatwa ini juga menjelaskan ketentuan tentang Salam Paralel, dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama. Fatwa ini juga menjelaskan Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1)      Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2)      Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
3)      Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4)      Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5)      Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a)      membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
b)      menunggu sampai barang tersedia.

Fatwa ini juga menjelaskan mekanisme Pembatalan Kontrak, yang menegaskan bahwa pembatalan Salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak. Terakhir, fatwa ini memuat tentang klausul Perselisihan, dengan menyatakan: Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain, nas-nas al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak dan pendapat ulama’. Fatwa ini menggunakan al-Qur’an,  surat al-Baqarah [2]: 282 yang menyatakan, “Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...”. Surat al-Ma’idah [5]: 1 yang menyatakan, “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” Selain itu, juga hadis Nabi saw. Yang menyatakan,  “Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (H.r. al-Baihaqi dan Ibn Majah, serta dinilai shahih oleh Ibn Hibban). Juga hadis riwayat Bukhari dari Ibn ‘Abbas, dimana Nabi bersabda, “Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui" (H.r. Bukhari). Juga hadis Nabi riwayat jama’ah yang menyatakan, “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…” Juga hadis Nabi riwayat an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad yang menyatakan,  “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” Serta hadis Nabi riwayat at-Tirmizi yang menyatakan,  “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslim kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.r. at-Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).

Selain al-Qur’an dan hadits di atas, fatwa tersebut didasarkan pada ijmak, sebagaimana yang dinukil dari penjelasan Ibn al-Munzir yang menyatakan, bahwa ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan jual beli dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat. [6]  

Selain itu, fatwa ini juga menggunakan dasar kaidah fiqh yang menyatakan, “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”




3.      Akad Istishna’

Pembiayaan atas dasar Akad Istishna’ ini didefinisikan dengan transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. [7]
Fatwa DSN-MUI terkait Akad Istishna’ adalah Fatwa DSN-MUI No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Istishna’. Fatwa ini memberikan definisi Akad Istishna’  sebagai  akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni’) dengan penjual (pembuat/shani’).[8]
Dalam fatwa tersebut, selain menjelaskan definisi jual beli Istishna’, fatwa yang sama menjelaskan Ketentuan Pembayaran dalam Akad Istishna’ ini:
1)      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2)      Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3)      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Selain ketentuan tentang pembayaran, fatwa tersebut juga menjelaskan tentang Ketentuan Barang:
1)      Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2)      Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3)      Penyerahannya dilakukan kemudian.
4)      Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5)      Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6)      Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
7)      Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

Selain ketentuan pembayaran dan barang, fatwa ini juga menjelaskan ketentuan lain:
1)      Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
2)      Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli Istishna’.
3)      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah

Dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain, as-Sunnah dan pendapat ulama’. Hadits yang digunakan adalah hadis Nabi riwayat at-Tirmizi yang menyatakan, “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslim kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.r. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf). Juga hadis Nabi yang menyatakan, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (H.r. Ibn Majah, ad-Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri). Selain itu juga kaidah fiqih yang menyatakan,  “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Selain hadits dan kaidah fiqih, fatwa ini juga menggunakan pendapat ulama’ mazhab, yaitu pendapat mazhab Hanafi, Istishna’ hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat Muslim sejak masa awal, tanpa ada pihak (ulama’) yang mengingkarinya.

D.  Catatan atas Fatwa DSN-MUI pada Akad Murabahah, Salam, dan Istishna’

Catatan terkait subtansi Fatwa DSN-MUI pada akad Murabahah, Salam dan Istishna’ ini dikaji dengan tiga aspek pembahasan: Pertama, dalil-dalil yang digunakan sebagai pertimbangan dalam fatwa tersebut. Kedua, relevansi antara dalil dan kesimpulan, dalam hal ini meliputi dalalah, wajh ad-dalalah dan thariqu al-istidlal. Ketiga, produk jadi hukumnya.

1.      Fatwa DSN MUI tentang  Akad Murabahah

Dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain, nas-nas al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak dan pendapat ulama’. Fatwa ini menggunakan al-Qur’an, surat an-Nisa’ [4]: 29:  
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.

Surat al-Baqarah [2]: 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
 “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”

Surat al-Ma’idah [5]: 1:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
 “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”

Surat al-Baqarah [2]: 280:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…”

Dari aspek dalalah, wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal, ayat-ayat di atas membahas dua hal: Pertama, perniagaan (tijarah), yaitu jual (bai’) dan beli (syira’). Surat al-Baqarah [2]: 275 dengan tegas menyatakan tentang legalitas perdagangan, yaitu jual-beli, dan mengharamkan riba. Sedangkan surat an-Nisa’ [4]: 29 menegaskan syarat sahnya akad jual beli (perdagangan) yang harus dilakukan dengan sukarela. Kedua, hutang piutang sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Baqarah [2]: 280, dimana dalam kondisi orang yang berhutang mempunyai kesulitan, maka diperintahkan untuk diberi tangguh hingga berkelapangan.  Karena itu, dalil-dalil di atas sebenarnya membahas tentang bai’ bi ad-dain wa at-taqsith (jual beli dengan hutang dan cicilan).




Adapun hadis-hadis yang dijadikan dalil, antara lain, hadis:
عن أَبَي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (H.r. al-Baihaqi dan Ibn Majah, dan dinyatakan sahih oleh Ibn Hibban).
Hadis Nabi riwayat Ibn Majah, Nabi bersabda:  
ثَلاَثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ: الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ وَأَخْلاَطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لِلْبَيْتِ، لاَ لِلْبَيْعِ
“Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (saling menghutangi), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (H.r. Ibn Majah dari Shuhaib).

Hadis Nabi riwayat Tirmidzi, dimana Nabi menyatakan, “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslim, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.r. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).

Hadis Nabi riwayat Jama’ah:
مَطْلُ الغَنيِّ ظُلمٌ
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”

Hadis Nabi riwayat an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
ليُّ الوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”





Hadis Nabi riwayat ‘Abd al-Razaq dari Zaid bin Aslam:
أَنَّهُ سُئِلَ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْعَرْباَنِ فِي الْبَيْعِ فَأَحَلَّهُ
“Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘arbun (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.”

Dari aspek dalalah, wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal, hadis Abi Sa’id al-Khudri dari al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban di atas menjelaskan tentang keharusan adanya aspek suka rela dalam transaksi perdagangan (jual beli). Sedangkan hadis Ibn Majah dari Shuhaib menjelaskan kebolehan jual beli dengan cicilan (bai’ ila ajal atau bai’ bi ad-dain wa at-taqsith). Adapun hadis Jama’ah, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad menjelaskan keharaman menangguh-nangguhkan pembayaran hutang bagi orang yang mampu membayar dan sudah jatuh tempo. Ini berlaku, baik bagi orang yang berhutang biasa, atau hutang dalam jual beli dengan cicilan. Mengenai hadits Zaid bin Aslam dari ‘Abd ar-Razaq, hadis ini menjelaskan tentang kebolehan praktik ‘arbun dalam jual beli, yaitu syarat yang disepakati oleh penjual dan pembeli terkait dengan uang muka, bahwa jika jual beli tersebut tidak jadi, maka uang muka yang telah dibayarkan pembeli dinyatakan hangus. 

Selain dalil-dalil di atas, yaitu al-Qur’an dan hadis, juga Ijmak ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara Murabahah.[9] Keseluruhan dalil di atas sebenarnya menjelaskan kebolehan jual beli dengan hutang atau cicilan (bai’ bi ad-dain wa at-taqsith), atau yang disebut Murabahah.

Adapun dari aspek hukum jadi, fatwa DSN-MUI ini menjelaskan beberapa ketentuan hukum, antara lain: Pertama, ketentuan umum tentang Pembiayaan Murabahah:
1)      Bank dan nasabah harus melakukan Akad Murabahah yang bebas riba.
2)      Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3)      Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4)      Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama Bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5)      Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6)      Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7)      Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8)      Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak Bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9)      Jika Bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik Bank.

Kedua, fatwa ini juga menjelaskan ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1)      Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada Bank.
2)      Jika Bank menerima permohonan tersebut, Bank harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3)      Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4)      Dalam jual beli ini Bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5)      Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6)      Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, Bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7)      Jika uang muka memakai kontrak ‘arbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:
a)      Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b)      Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Ketiga, fatwa ini juga menjelaskan Jaminan dalam Murabahah yang diberikan oleh nasabah:
1)      Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2)      Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

Keempat, karena status Akad Murabahah ini adalah utang, maka fatwa ini juga menjelaskan status Utang dalam Murabahah:
1)      Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada Bank.
2)      Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3)      Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

Kelima, sebagaimana status pembiayaan ini merupakan utang, maka fatwa ini juga menjelaskan tentang Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1)      Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2)      Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Bahkan, fatwa ini juga telah menjelaskan klausul kebangkrutan nasabah yang masih terikat dengan pembiayaan Murabahah. Dijelaskan,  jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, Bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.[10]

Dari beberapa fakta hukum jadi yang dinyatakan dalam fatwa di atas, ada beberapa catatan:
1)      Hukum murabahah yang diperbolehkan dalam Islam sebenarnya berdiri di atas fakta jual beli yang dilakukan dengan hutang dan cicilan, bukan pembiayaan. Nasabah sebagai pembeli dan Bank sebagai penjual. Karena itu, seluruh ketentuan yang berlaku di dalam jual beli dan hutang piutang berlaku dalam Akad Murabahah ini. Misalnya, tidak diperbolehkannya jual beli terhadap barang yang belum dimiliki, termasuk hak khiyar dalam jual beli, antara meneruskan dan membatalkan jual beli. Ini berbeda, jika status akad yang dinyatakan sebagai Akad Murabahah ini merupakan akad pembiayaan, sehingga fakta yang berlaku di dalamnya adalah hutang piutang murni, minus jual beli. Seperti tidak adanya hak khiyar, antara membatalkan dan meneruskan akad.
2)      Kenyataannya, fakta Akad Murabahah ini adalah jual beli yang dilakukan dengan hutang dan cicilan dalam satu paket, sehingga di dalamnya berlaku fakta jual beli dan hutang piutang secara simultan. Karena itu, fatwa yang menyatakan, Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinyaini seharusnya tidak boleh ada, sebab ini bertentangan dengan fakta Bank sebagai penjual, yang menjual barangnya kepada pembeli, yang tidak lain adalah nasabah. Sebab, dengan membiayai sebagian, berarti sebagian lagi harus dibayar oleh pembeli (nasabah) sendiri, yang berarti Bank di sini bertindak sebagai pihak yang menghutangi pembeli (nasabah) tersebut.
3)      Dengan kata lain, Akad Murabahah di sini bukan jual beli dengan hutang, tetapi hutang piutang murni. Masalahnya, jika akad Murabahah ini adalah akad hutang piutang, maka Bank tidak boleh menetapkan “harga beli plus keuntungannya”, karena statusnya adalah hutang. Hutang tidak boleh dibayar, kecuali dengan jumlah yang sama. Jika tidak, maka hutang piutang tersebut mengandung riba.
4)      Fatwa yang menyatakan, Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.Catatan kritisnya adalah bahwa janji untuk membeli belum bisa disebut akad. Sebab, akad itu harus dilakukan terhadap barang dan jasa, sedangkan janji bukanlah barang dan jasa. Akibat dari klausul ini, maka lahir fatwa berikutnya, Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka tersebut.Padahal, dalam akad jual beli yang jelas-jelas mengikat saja, masih ada khiyar (pilihan melanjutkan akad atau tidak), sementara apa yang dilakukan oleh Bank dengan calon pembeli tadi baru sebatas komitmen atau janji. Jika sudah terjadi akad saja masih ada khiyar, baik dengan syarat uang muka hangus, seperti ‘arbun atau tidak, maka tentu lebih boleh lagi untuk melakukan khiyar jika akad tersebut belum terjadi.
5)      Selanjutnya, ada klausul Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, Bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. Klausul ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari klausul di atas, yang merupakan bentuk ‘arbun. Tetapi, harus ditegaskan bahwa dalam ‘arbun, yang hangus adalah uang muka yang telah dibayarkan oleh calon pembeli kepada penjual (Bank). Lebih dari itu, tidak ada kewajiban bagi calon pembeli untuk membayar kerugian yang diderita oleh Bank, akibat dari akad yang tidak jadi. Karena itu, klausul ini jelas fasid, dan merusak akad Murabahah.
6)      Mengenai status jaminan, klausul fatwa ini menyatakan, Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.” Catatannya adalah bahwa jaminan itu diberikan karena seseorang mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan, seperti hutang piutang. Atas dasar apa, jaminan diwajibkan terhadap sesuatu yang tidak wajib ditunaikan, yaitu “janji membeli”? Karena itu, syarat adanya jaminan di sini juga merupakan syarat yang bertentangan dengan fakta rahn (agunan) maupun dhaman (jaminan). Syarat seperti ini tidak diperbolehkan, dan jelas merusak akad Murabahah.

2.    Fatwa DSN MUI tentang Akad Salam

Dari aspek dalalah, wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal, dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain, nas-nas al-Qur’an,  yaitu surat al-Baqarah [2]: 282:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...”.




Surat al-Ma’idah [5]: 1:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”

Surat al-Baqarah [2]: 282 sebenarnya membahas tentang perintah mencatat hutang piutang, dan bukan dalil yang menjelaskan legalitas akad Salam. Hanya saja, karena di dalam akad Salam terdapat aspek hutang piutang, yaitu barang yang menjadi tanggungan penjual (dzimah muslam ilaih al-maushufah) dan belum diberikan kepada pembeli (muslim)-nya, maka Ibn ‘Abbas menyatakan, isi ayat ini juga berlaku untuk akad Salam. Karena, ayat ini juga dijadikan dalil akad Salam oleh sebagian ulama’, seperti Ibn Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni.[11] Sedangkan surat al-Ma’idah [5]: 1, seperti yang kita ketahui dalam pembahasan sebelumnya, adalah dalil umum tentang kewajiban menunaikan akad. Tidak hanya khusus dalam jual beli, hutang piutang, syarikah tetapi semua akad.

Adapun dalil lain, selain itu adalah hadis Nabi saw. yang menyatakan:
عن أَبَي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (H.r. al-Baihaqi dan Ibn Majah, dan dinyatakan sahih oleh Ibn Hibban).

Juga hadis riwayat Bukhari dari Ibn ‘Abbas, dimana Nabi bersabda:
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِيْ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
“Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui" (H.r. Bukhari).

Juga hadis Nabi riwayat jama’ah yang menyatakan:

“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”

Juga hadis Nabi riwayat an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad yang menyatakan: 

“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”

Serta hadis Nabi riwayat at-Tirmizi yang menyatakan:  

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslim kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.r. at-Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).

Dari sekian nas hadis, satu-satunya yang relevan dengan akad Salam, sebenarnya hanya hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas. Selebihnya, adalah dalil-dalil yang menyatakan tentang syarat yang dibuat dalam akad secara umum, keharusan adanya aspek suka rela dalam jual beli, dan kewajiban membayar hutang tepat pada waktunya bagi yang mampu.  

Mengenai dalil lain, seperti Ijmak ulama’, kaidah fiqh dan lain-lain adalah hal yang sama dengan dasar fatwa-fatwa sebelumnya, karena itu apa yang telah dijelaskan di atas telah cukup untuk mendudukan dalil-dalil tersebut.

Ini dari aspek dalalah, wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal, sedangkan dari aspek hukum jadi yang dinyatakan dalam fatwa ini, selain menjelaskan definisi jual beli Salam sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, fatwa yang sama juga menjelaskan ketentuan pembayaran dalam Akad Salam ini:
1)      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2)      Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3)      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Selain ketentuan tentang pembayaran, fatwa tersebut juga menjelaskan tentang Ketentuan Barang:
1)      Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2)      Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3)      Penyerahannya dilakukan kemudian.
4)      Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5)      Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6)      Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

Selain ketentuan pembayaran dan barang, fatwa ini juga menjelaskan ketentuan tentang Salam Paralel, dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama. Fatwa ini juga menjelaskan Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1)      Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2)      Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
3)      Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4)      Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5)      Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a)      membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
b)      menunggu sampai barang tersedia.

Fatwa ini juga menjelaskan mekanisme Pembatalan Kontrak, yang menegaskan bahwa pembatalan Salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak. Terakhir, fatwa ini memuat tentang klausul Perselisihan, dengan menyatakan: “Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.

Dari aspek hukum jadi yang difatwakan dalam fatwa DSN MUI tersebut ada beberapa hal yang perlu diberikan catatan:
1)      Kebolehan akad Salam tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’, dimana Shahibus Salam atau Muslam (pembeli) dan Muslam Ilaih (penjual) sepakat mengadakan akad jual beli terhadap barang tertentu (muslam fih) yang tidak ada di tempat (ghaira mu’ayyan), tetapi dideskripsikan dengan sejumlah deskripsi tertentu (fi dzimmah maushufah), dengan harga dibayar di muka. Inilah ketentuan yang disepakati oleh para ulama’. Al-Khathib as-Syarbini, dalam kitabnya, al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syujja’, menegaskan bahwa “Sebab, kalau serah-terima (harga) tersebut boleh ditangguhkan, maka statusnya sama dengan jual beli hutang dengan hutang, jika uang pokok (harga)-nya masih dalam jaminan (pembeli) -- belum dibayarkan di muka.”[12] Hanya saja, dalam praktiknya Bank tidak pernah menjadi pembeli (Muslam) yang sesungguhnya bagi nasabah (Muslam ilaih), terlebih dalam transaksi pembiayaan. Juga, karena Bank tidak akan melakukan transaksi riil. Jadi, tujuan Bank melakukan Salam ini sebenarnya untuk di-Salam-kan lagi dengan nasabah lain.
2)      Posisi Bank dalam akad Salam ini sebagai pembeli (Muslam atau Shahibus Salam), sedangkan nasabah sebagai penjual (Muslam ilaih). Dalam akad ini, Bank membayar tunai harga barang yang dipesan (Muslam fih) dari nasabah. Ini akad Salam pertama. Pada waktu yang sama, Bank bertindak sebagai penjual (Muslam ilaih) kepada nasabah lain yang bertindak sebagai pembeli (Muslam) terhadap barang yang sama (Muslam fih), yang dipesan oleh Bank dari nasabah sebelumnya. Ini adalah akad Salam kedua. Kedua akad Salam ini ---yang pertama menempatkan Bank sebagai pembeli (Muslam) dan kedua menempatkan Bank sebagai penjual (Muslam ilaih)--- dilakukan secara simultan, dan inilah yang disebut Salam Paralel. Akad ini, sekalipun dinyatakan dalam fatwa tersebut terjadi secara terpisah, tetapi faktanya akad Salam kedua tidak akan pernah ada, jika akad Salam pertama tidak ada.
3)      Salam Paralel ini jelas haram. Pertama, ini merupakan jenis hawalah (pemindahan hak hutang) dalam bentuk Muslam fih (barang yang dipesan) dari Bank kepada nasabah lain. Ibn Qudamah menyatakan, akad seperti ini haram. Sebab, hawalah hanya boleh dilakukan terhadap hutang yang tetap (mustaqirr). Sementara Salam, dengan tujuan untuk dibatalkan (dipindahkan lagi kepada pihak lain), termasuk dalam kategori hutang yang tidak tetap (ghair mustaqirr). Selain itu, ini juga merupakan jual-beli Muslam fih yang dilakukan sebelum serah terima, padahal tidak boleh menjual sesuatu sebelum dilakukan serah terima.[13] Kedua, menjual Muslam fih dari penjualnya, sebagaimana Bank menjual Muslam fih dari nasabah A, sekali penjual, kepada nasabah B, sekali pembeli dalam kasus Salam Pararel, sama dengan mengambil “sesuatu di luar Muslam fih” sebagai kompensasi dari Muslam fih tersebut, baik Muslam fih tersebut ada atau tidak. Ini hukumnya haram. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan as-Syafi’i.[14]
4)      Selain itu, dalam akad Salam kedua pada Salam Paralel, Bank sebagai penjual (Muslam ilaih) tidak mendapatkan pembayaran penuh dari pembeli (Muslam), tetapi dengan skim cicilan atau Murabahah. Dalam kasus akad Salam kedua ini berarti telah terjadi jual beli hutang dengan hutang. Hutang pertama adalah Muslam fih yang masih dipesan oleh pembeli dari Bank, sedangkan hutang kedua adalah hutang pembeli (Muslam) ketika melakukan pemesanan (salam), yang harus dibayar dengan skim Murabahah tersebut. Akad seperti ini jelas batil. Menurut Ibn Mundir, seluruh ahli ilmu sepakat, bahwa jual beli hutang dengan hutang hukumnya haram.[15]

3.    Fatwa DSN MUI tentang Akad Istishna’
Dasar yang digunakan dalam fatwa ini, antara lain, as-Sunnah dan pendapat ulama’. Hadits yang digunakan adalah hadis Nabi riwayat at-Tirmizi yang menyatakan:

Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslim kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.r. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf).

Juga hadis Nabi yang menyatakan:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (H.r. Ibn Majah, ad-Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).

Hadis-hadis yang digunakan dalam fatwa ini sebenarnya bukanlah hadis yang secara spesifik, baik dari aspek dalalah, wajh al-istidlal maupu thariq al-istidlal bisa digunakan untuk membangun legalitas akad Istishna’. Meski demikian, tidak berarti akad Istishna’ ini tidak boleh. Akad ini boleh, karena Rasulullah pernah memesan untuk dibuatkan cincin (H.r. al-Bukhari dari Anas dan ‘Abdullah bin ‘Umar). Dalam riwayat lain, Rasul juga pernah meminta seorang wanita agar memerintahkan anaknya yang tukang kayu  untuk membuatkan mimbar (H.r. al-Bukhari dari Sahal). Selain itu, juga diamnya Nabi terhadap praktik istishna’ di masa itu. Inilah dalil-dalil yang menjadi dasar kebolehan praktik akad Istishna’ ini.

Selain hadits dan kaidah fiqih, fatwa ini juga menggunakan pendapat ulama’ mazhab, yaitu pendapat mazhab Hanafi, Istishna’ hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat Muslim sejak masa awal, tanpa ada pihak (ulama’) yang mengingkarinya.

Ini dari aspek dalil, dalalah, wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal. Adapun dari aspek hukum jadi yang dinyatakan dalam fatwa tersebut, selain menjelaskan definisi jual beli Istishna’, fatwa yang sama menjelaskan Ketentuan Pembayaran dalam Akad Istishna’ ini:
1)      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2)      Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3)      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Selain ketentuan tentang pembayaran, fatwa tersebut juga menjelaskan tentang Ketentuan Barang:
1)      Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2)      Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3)      Penyerahannya dilakukan kemudian.
4)      Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5)      Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6)      Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
7)      Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

Selain ketentuan pembayaran dan barang, fatwa ini juga menjelaskan ketentuan lain:
1)      Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
2)      Semua ketentuan dalam jual beli Salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli Istishna’.
3)      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah

Dari aspek hukum jadi yang dinyatakan dalam fatwa tersebut, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan:
1)      Meski ada kemiripan dengan akad Salam, tetapi akad Istishna’ berbeda. Karena di dalam Istishna’, barang yang dipesan merupakan produk perakitan, pembentukan, pembangunan atau pengolahan yang tidak mungkin lagi dipisahkan konstruksinya, dengan bahan baku yang berasal dari pembuat (shani’), bukan dari pemesan (mustashni’). Contohnya, seperti jual beli meja, kursi, lemari dan sebagainya. Karena itu, meski ada beberapa persamaan hukum dengan Salam, namun tidak semua hukum dalam Salam berlaku dalam akad Istishna’.
2)      Dalam Salam tidak ada khiyar, termasuk khiyar ru’yah, setelah barang diserahkan. Berbeda dengan Istishna’, di dalamnya berlaku khiyar ru’yah setelah barang diserahkan, sehingga ketika pembeli yang sekaligus pemesan (Mustashni’) merasa tidak cocok dengan barang pesanan (Mustashna’ fih)-nya, maka dia berhak membatalkan akadnya, atau diganti dengan barang lain yang sesuai dengan spesifikasi yang dipesannya.[16] 
3)      Fatwa yang menyatakan, Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.  sebenarnya berlaku dalam kasus Salam, dan kesimpulan ini merupakan hasil analogi (qiyas). Jumhur ulama menyamakan istishn’ dengan jual beli salam, sementara ulama madzhab Hanafi membedakannya. Dalilnya adalah taqrir Nabi terhadap praktik Istishna’ yang telah berlangsung pada zaman itu, termasuk praktik jual beli hutang dengan hutang (bai’ ad-dain bi ad-dain) di dalamnya. Ini sekaligus mengecualikan dari larangan jual beli hutang dengan hutang dalam Salam.[17]
4)      Demikian juga dengan fatwa, Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.sebagaimana dalam klausul Salam, padahal Istishna’ berbeda dengan Salam. Karena itu, menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan ini tidak berlaku dalam akad Istishna’.[18] Meski, menurut mazhab Maliki, klausul “Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan” dan Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati juga berlaku dalam akad Istishna’.[19]


E.   Kesimpulan
1.    Dalil yang digunakan pada Fatwa DSN-MUI tentang akad Murabahah, Salam dan Istishna’ berupa ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis Nabi, Ijma’ ulama dan kaidah fikih
2.    Akad murobahah, dari sisi dalalah, wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal telah terdapat kesesuaian dengan subtansi fatwa  yiatu menjelaskan kebolehan jual beli dengan hutang atau cicilan (bai’ bi ad-dain wa at-taqsith), atau yang disebut Murabahah, namun dari sisi hukum jadi terdapat sejumlah catatan.
3.    Akad salam, dari sisi dalalah, wajh al-istidlal dan thariq al-istidlal ayat al Quran yang relevan adalan surah al-Baqarah ayat 282 sisanya adalah ayat-ayat umum yang tidak spesifik untuk akad salam. Untuk hadis hanya satu hadis relevan yaitu hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas. Selebihnya, adalah dalil-dalil yang menyatakan tentang syarat yang dibuat dalam akad secara umum, keharusan adanya aspek suka rela dalam jual beli, dan kewajiban membayar hutang tepat pada waktunya bagi yang mampu. Dari sisi hukum jadi terdapat sejumlah catatan, khususnya pada fatwa salam pararel
4.    Akad Istishna’, dari aspek dalalah, wajh al-istidlal maupu thariq al-istidlal hadis-hadis yang digunakan dalam fatwa akad istishna’ ini sebenarnya bukanlah hadis yang secara spesifik dan tidak bisa digunakan untuk membangun legalitas akad Istishna’. Meski demikian, tidak berarti akad Istishna’ ini tidak boleh, karena terdapat hadis lain yang secara tegas membolehkan akad istishna’.  Dari sisi hukum jadi, perbedaan pandangan di antara ulama apakah akad istishna’ sama dengan akad salam atau berbeda menyebabkan perbedaan pada konsekuensi hukum lanjutannya.

DAFTAR PUSTAKA

 ‘Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’ as-Shana’i fi tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996)

Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al Hanbali.  al-Mughni

Al-Khathib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syujja’, (Kairo: Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi, 1359 H/1940 M)

as-Shawi al-Maliki, Hasyiyah as-Shawi, al-Marja’ al-Akbar, t.t.

Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Direktorat PerBanksan Syariah, Bank Indonesia, 2008

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia, N0 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia, Nomer: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia, Nomer: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam
Syamsuddin Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl As-Sarakhshi, al-Mabsuth. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993)

Wahbah Zuhaily, al fiqh al Islami wa adillatuhu. (Damaskus: Darul Fikri, Juz 6. 2010)

Ziyad Ghazzal, Buku Pintar Bisnis Syar’i: Rancangan Undang-undang Perdagangan Negara Khilafah, (Bogor: al-Azhar Press, 1432 H/2011 M)




[1]  Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Direktorat PerBanksan Syariah, Bank Indonesia, 2008.  hal. B-6.  
[2] Ibid, hal. B-6-B-7.  
[3] Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia, Nomer: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, hal. 1-5.  
[4] Lihat, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia, Nomer: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam, hal. 1-4.  
[5] Lihat, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia, Nomer: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam, hal. 1.  
[6]  Wahbah Zuhaily, al fiqh al Islami wa adillatuhu. (Damaskus: Darul Fikri, Juz 6. 2010), juz IV, hal. 598

[7] Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Direktorat PerBanksan Syariah, Bank Indonesia, 2008.  hal. B-10.  
[8] Lihat, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia, N0 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’, hal. 1.  
[9] ‘Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’ as-Shana’i fi tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), V/220-222
[10] Lihat, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia, Nomer: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, hal. 1-5.  
[11]  Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al Hanbali.  al-Mughni, Juz I, hal. 930.  
[12] Al-Khathib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syujja’, (Kairo: Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi, 1359 H/1940 M), Juz I, hal. 261.  
[13] Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al Hanbali, al-Mughni, Juz I, hal. 942.  
[14] Ibid, hal. 942.  
[15] Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz I, hal. 831.  
[16] Syamsuddin Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl As-Sarakhshi, al-Mabsuth. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), Juz XV, hal. 84.
[17] Lihat, Syaikh Ziyad Ghazzal, Buku Pintar Bisnis Syar’i: Rancangan Undang-undang Perdagangan Negara Khilafah, (Bogor: al-Azhar Press, 1432 H/2011 M), hal. 134-135.
[18] ‘Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-Hanafi, Badai’ as-Shana’i fi tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), Juz V, hal. 3.
[19] as-Shawi al-Maliki, Hasyiyah as-Shawi, al-Marja’ al-Akbar, t.t..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB