BASASULUH, TA'ARUF DAN KHITBAH
TRADISI BASASULUH SUKU BANJAR
PERSPEKTIF TA’ARUF DAN KHITBAH DALAM FIKIH
ISLAM
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf
A.
Latar
Belakang
Basasuluh merupakan salah satu
rangkaian dari upacara-upacara adat dalam kategori upacara pernikahan yang
dilaksanakan oleh masyarakat Suku Banjar. Istilah Basasuluh merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar untuk memperoleh informasi
yang pasti mengenai keadaan seorang gadis yang ingin dipinang oleh laki-laki.
Selain itu Basasuluh juga berarti menyelidiki segala aspek kehidupan, baik kepada gadis
yang dituju untuk dilamar maupun asal-usul keluarganya.[1]
Pada kenyataan yang terjadi dalam pelaksanaan prosesi Basasuluh yang dilakukan oleh
masyarakat Suku Banjar, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh
pihak keluarga laki-laki pada tahapan pertama pihak laki-laki harus meminta
izin kepada perangkat desa untuk menikahi salah satu perempuan warga di desa
setempat, kemudian mengunjungi Tatuha
Kampung untuk mencarikan informasi mengenai
kondisi dan status dari perempuan yang diinginkan dan selanjutnya menyimpulkan
apakah laki-laki tersebut
berjodoh dengan perempuan yang diinginkan berdasarkan perhitungan nama kedua belah pihak yang berbentuk Huruf Arab. Dalam melaksanakan prosesi ini, Tatuha Kampung yang diutus melakukan penyelidikan terhadap gadis tersebut menyangkut hal-hal tentang agamanya, keturunannya, kemampuan keluarganya dan kecantikan wajahnya.
berjodoh dengan perempuan yang diinginkan berdasarkan perhitungan nama kedua belah pihak yang berbentuk Huruf Arab. Dalam melaksanakan prosesi ini, Tatuha Kampung yang diutus melakukan penyelidikan terhadap gadis tersebut menyangkut hal-hal tentang agamanya, keturunannya, kemampuan keluarganya dan kecantikan wajahnya.
Dari aspek-aspek yang diselidiki oleh utusan keluarga laki-laki
yang menjadi titik tumpu perhatian adalah aspek keagamaan dan keturunan.[2] Hal ini
menggambarkan bahwa masyarakat Suku Banjar sangat memegang teguh tentang
tingkat religiusitas seseorang yang akan menjalani biduk rumah tangga. Selain
itu, aspek keturunan pun menjadi pertimbangan dalam menentukan langkah
selanjutnya dalam prosesi pra nikah. Sebab hal ini menjadi tolok ukur
bagi kepribadian seorang gadis yang akan dilamar. Setelah melakukan hal tersebut Tatuha Kampung juga melakukan perhitungan nama kedua belah pihak yang berbentuk Huruf Arab yang hasil dari perhitungan tersebut menjadi patokan dan kesimpulan bagi Tatuha Kampung dalam menentukan apakah keduabelah pihak tersebut berjodoh dan memiliki kecocokan atau tidak. Apabila keduabelah pihak tidak berjodoh atau tidak memiliki kecocokan berdasarkan
perhitungan tersebut, maka pihak laki-laki harus membatalkan niatnya untuk melamar dan menikahi perempuan tersebut dan mencari perempuan lain yang memiliki kecocokan dengannya, meskipun perempuan tersebut memiliki kriteria yang sesuai dengan keinginan pihak laki-laki. Namun, apabila dari hasil perhitungan tersebut menyatakan dan menyimpulkan bahwa keduabelah pihak memimliki kecocokan dan berjodoh, maka pihak laki-laki dapat melanjutkan pada jenjang tradisi selanjutnya yang ada pada tradisi masyarakat Suku Banjar. Pihak laki-laki yang ingin melamar perempuan tersebut harus mengikuti dan melaksanakan rentetan tahapan yang ada dalam tradisi Basasuluh serta mengikuti petuah dari Tatuha Kampung, sehingga menjadi anggapan masyarakat bahwa apabila tidak melaksanakan salahsatu tahapan dari tradisi tersebut, kedua belah pihak akan dikucilkan oleh masyarakat sekitar dan ketika menjalani biduk rumah tangga dianggap keluarganya kelak akan mendapat bala bencana. Tradisi Basasuluh ini adalah upaya awal bagi pihak laki-laki dalam mengetahui
segala macam informasi yang berkaitan dengan calon istrinya kelak, sehingga menjadi sebuah kewajiban untuk dilaksanakan dalam fase pra nikah, yang kemudian terkonversi menjadi adat Suku Banjar secara turun-temurun. Makalah ini mencoba mengambarkan tradisi basusuluh dalam adat Banjar serta apa persfektif Hukum Islam, khususnya hukum-hukum terkait ta’aruf dan khitbah.
bagi kepribadian seorang gadis yang akan dilamar. Setelah melakukan hal tersebut Tatuha Kampung juga melakukan perhitungan nama kedua belah pihak yang berbentuk Huruf Arab yang hasil dari perhitungan tersebut menjadi patokan dan kesimpulan bagi Tatuha Kampung dalam menentukan apakah keduabelah pihak tersebut berjodoh dan memiliki kecocokan atau tidak. Apabila keduabelah pihak tidak berjodoh atau tidak memiliki kecocokan berdasarkan
perhitungan tersebut, maka pihak laki-laki harus membatalkan niatnya untuk melamar dan menikahi perempuan tersebut dan mencari perempuan lain yang memiliki kecocokan dengannya, meskipun perempuan tersebut memiliki kriteria yang sesuai dengan keinginan pihak laki-laki. Namun, apabila dari hasil perhitungan tersebut menyatakan dan menyimpulkan bahwa keduabelah pihak memimliki kecocokan dan berjodoh, maka pihak laki-laki dapat melanjutkan pada jenjang tradisi selanjutnya yang ada pada tradisi masyarakat Suku Banjar. Pihak laki-laki yang ingin melamar perempuan tersebut harus mengikuti dan melaksanakan rentetan tahapan yang ada dalam tradisi Basasuluh serta mengikuti petuah dari Tatuha Kampung, sehingga menjadi anggapan masyarakat bahwa apabila tidak melaksanakan salahsatu tahapan dari tradisi tersebut, kedua belah pihak akan dikucilkan oleh masyarakat sekitar dan ketika menjalani biduk rumah tangga dianggap keluarganya kelak akan mendapat bala bencana. Tradisi Basasuluh ini adalah upaya awal bagi pihak laki-laki dalam mengetahui
segala macam informasi yang berkaitan dengan calon istrinya kelak, sehingga menjadi sebuah kewajiban untuk dilaksanakan dalam fase pra nikah, yang kemudian terkonversi menjadi adat Suku Banjar secara turun-temurun. Makalah ini mencoba mengambarkan tradisi basusuluh dalam adat Banjar serta apa persfektif Hukum Islam, khususnya hukum-hukum terkait ta’aruf dan khitbah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dinyatakan rumusan
masalah makalah ini adalah:
1.
Bagaimana deskripsi tradisi basusuluh dalam budaya adat Banjar?
2.
Apakah terdapat kesesuaian
tradisi basusuluh dengan hukum Islam terkait ta’aruf dan khitbah?
C. Deskripsi Tradisi Basusuluh Masyarakat Banjar
Gambaran Tradisi Basasuluh
yang dipaparkan dalam makalah ini adalah tradisi yang ada pada
masyarakat Suku Banjar yang berdomisili di Desa Awang Bangkal Barat, Kecamatan
Karang Intan, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Tradisi ini termasuk
dalam upacara pra nikah masyarakat Suku Banjar, yang bertujuan untuk mencari informasi
mengenai perempuan yang akan dinikahi.
Dalam tradisi tersebut terdapat beberapa tahapan yang harus
dilakukan oleh pihak laki-laki sebelum resmi melamar perempuan yang diinginkan,
yaitu:
1.
Bacarian Tatuha Kampung.
Pada tahap awal dalam Tradisi Basasuluh adalah tahap Bacarian Tatuha
Kampung. Pada tahap ini pihak laki-laki berusaha mencari orang yang dianggap berpengaruh dan sangat mengetahui seluk beluk desa tersebut dan kondisi masyarakatnya melalui perangkat desa setempat. Hal tersebut dilakukan untuk menghormati perangkat desa setempat sebagai representasi masyarakat desa tersebut. Sebab perangkat desa merupakan salah satu orang yang dianggap masyarakat Suku Banjar yang berdomisili di Desa Awang Bangkal Barat sebagai Tatuha Kampung. Namun, strata beliau masih di bawah strata Tatuha Kampung yang dimintai pendapat dan arahan dalam pernikahan. Sebab menurut kepercayaan Suku Banjar Tatuha Kampung tersebut memiliki ilmu kebatinan yang mampu melihat masa depan dari hal yang direncanakan.
Jadi, sebelum
menemui Tatuha Kampung, pihak laki-laki harus menemui perangkat desa terlebih dahulu
untuk meminta informasi mengenai tempat tinggal Tatuha Kampung. Apabila hal tesebut
tidak dilakukan oleh pihak laki-laki, maka akan dikucilkan atau dicibir oleh
masyarakat sekitar dan tidak dapat
melanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu Bapara. Sebab Tatuha Kampung tidak akan menerima keluarga laki-laki di tempat tinggal beliau apabila masih belum mendapatkan izin dari perangkat desa setempat.
melanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu Bapara. Sebab Tatuha Kampung tidak akan menerima keluarga laki-laki di tempat tinggal beliau apabila masih belum mendapatkan izin dari perangkat desa setempat.
2.
Bapara.
Pada tahapan yang kedua dalam Tradisi Basasuluh yang dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar yang berdomisili di Desa Awang Bangkal Barat adalah prosesi Bapara. Pada prosesi Bapara ini laki-laki yang telah mendapatkan izin dari perangkat desa dan menerima informasi mengenai nama dan tempat tinggal Tatuha Kampung di Desa Awang Bangkal Barat, mengunjungi tempat tinggal Tatuha Kampung bersama seluruh keluarga dari pihak laki-laki dan ditemani oleh perangkat desa sebagai simbol pemberian izin kepada laki-laki dan keluarganya untuk menikahi salah satu perempuan warga Desa Awang Bangkal Barat.
Pada tahapan yang kedua dalam Tradisi Basasuluh yang dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar yang berdomisili di Desa Awang Bangkal Barat adalah prosesi Bapara. Pada prosesi Bapara ini laki-laki yang telah mendapatkan izin dari perangkat desa dan menerima informasi mengenai nama dan tempat tinggal Tatuha Kampung di Desa Awang Bangkal Barat, mengunjungi tempat tinggal Tatuha Kampung bersama seluruh keluarga dari pihak laki-laki dan ditemani oleh perangkat desa sebagai simbol pemberian izin kepada laki-laki dan keluarganya untuk menikahi salah satu perempuan warga Desa Awang Bangkal Barat.
Maksud
dan tujuan dari prosesi ini adalah untuk menyampaikan kepada Tatuha
Kampung mengenai keinginan pihak keluarga laki-laki untuk menikahi salah satu perempuan warga Desa Awang Bangkal Barat, yang kemudian Tatuha Kampung dapat mencarikan perempuan yang sesuai dengan keinginan dari pihak keluarga laki-laki. Selain itu, pihak laki-laki juga mengharapkan pendapat dan arahan dari Tatuha Kampung mengenai kecocokan dan tingkat perjodohan antara kedua belah pihak, agar hubungan keluarga diantara keduanya dapat langgeng sampai akhir umur mereka. Artinya pihak keluarga laki-laki melimpahkan kuasa terhadap Tatuha Kampung
untuk mencarikan perempuan sesuai dengan kriteria atau ciri-ciri yang diinginkan oleh pihak keluarga laki-laki, yang kemudian perempuan tersebut akan dinikahi oleh laki-laki tersebut.
Kampung mengenai keinginan pihak keluarga laki-laki untuk menikahi salah satu perempuan warga Desa Awang Bangkal Barat, yang kemudian Tatuha Kampung dapat mencarikan perempuan yang sesuai dengan keinginan dari pihak keluarga laki-laki. Selain itu, pihak laki-laki juga mengharapkan pendapat dan arahan dari Tatuha Kampung mengenai kecocokan dan tingkat perjodohan antara kedua belah pihak, agar hubungan keluarga diantara keduanya dapat langgeng sampai akhir umur mereka. Artinya pihak keluarga laki-laki melimpahkan kuasa terhadap Tatuha Kampung
untuk mencarikan perempuan sesuai dengan kriteria atau ciri-ciri yang diinginkan oleh pihak keluarga laki-laki, yang kemudian perempuan tersebut akan dinikahi oleh laki-laki tersebut.
3.
Tuntung Pandang.
Tahapan yang terakhir dari Tradisi Basasuluh masyarakat Suku Banjar yang berdomisili di Desa Awang Bangkal Barat adalah prosesi Tuntung Pandang. Pada prosesi ini, Tatuha Kampung sudah mulai menanyakan perihal perempuan yang diinginkan oleh pihak laki-laki kepada keluarganya dan tetanganya. Hal-hal yang ditanyakan Tatuha Kampung kepada keluarga perempuan tersebut merupakan kriteria yang diinginkan oleh pihak laki-laki dan telah diungkapkan ketika berkunjung ke tempat tinggal Tatuha Kampung pada prosesi sebelumnya, yaitu prosesi Bapara.
Hal-hal yang ditanyakan oleh Tatuha Kampung kepada keluarga perempuan dan tetangga sekitar rumahnya adalah mengenai perekonomian keluarga tersebut, tingkat religiusitas perempuan yang diinginkan pihak laki-laki, perilaku kesehariannya dan pergaulannya dengan tetangga sekitar rumahnya, kecantikan paras wajahnya dan tentunya status perempuan tersebut sudah dalam pinangan orang lain atau tidak. Setelah mendapatkan informasi mengenai hal-hal tersebut, kemudian Tatuha Kampung melakukan perhitungan tingkat kecocokan antara laki-laki dan perempuan yang diinginkannya, dengan cara menulis nama dari laki-laki dan perempuan dalam bentuk huruf Arab, kemudian menjumlahkan titik yang terdapat pada huruf Arab tersebut. Dari hasil penjumlahan itulah Tatuha Kampung mengambil kesimpulan mengenai tingkat kecocokan antara laki-laki dan perempuan tersebut.
Jadi, pada intinya prosesi ini adalah penentuan laki-laki dan perempuan tersebut dapat melangsungkan peminangan atau tidak. Sebab pada prosesi inilah Tatuha Kampung mengambil kesimpulan bahwa antara laki-laki tersebut dapat berjodoh dengan perempuan pilihannya atau tidak, yang didasari pada hasil perhitungan Tatuha Kampung terhadap jumlah titik yang terdapat pada nama kedua belah pihak dalam bentuk huruf Arab, meskipun hasil pertanyaan mengenai kriteria perempuan yang diinginkan oleh pihak laki-laki menyatakan sesuai dengan keinginan dari pihak laki-laki.
D.
Ta’aruf dan Khitbah
Kata
ta’aruf maknanya adalah saling
mengenal satu sama lain. Mengenai makna ta’aruf terdapat di dalam al-Qur’an Surah Al-Hujurah
ayat 13:
Yang artinya:“Hai
manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku lit a’ārafū
(supaya
kamu saling kenal)… sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi amah mengenal.”(QS.
Al-Hujurat : 13)
Menurut DR. Fahd bin Abdul Karim, ta’aruf adalah proses saling mengetahui satu sama lain baik fisik
dan kepribadian (non fisik) antara laki-laki dan wanita dengan dengan tujuan
untuk menikah. Tujuannya agar memperoleh pasangan yang tepat dan diduga akan
tercapai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Menurut
beliau hukum asal ta’ruf adalah mubah dan dapat berubah sesuai dengan kondisi
saat ta’aruf. [3]
Ta’aruf ini dapat
dilakukan baik sebelum khitbah (pinangan) maupun sesudah khitbah.
Ta’aruf sebelum pinangan dilakukan untuk mengetahui fisik dan sifat (non
fisik) wanita yang hendak dinikahi. Dalam kitab-kitab fikih biasanya dimasukkan
dalam bab “memandang calon wanita yang akan di-khitbah” (an nazhru
ila al-mahkhtubah). Dalam kitab Fiqh as-Sunnah, Sayyid Sabiq menyatakan:
أن ينظر الرجل إلى
المرأة قبل الخطبة ليعرف جمالها الذي يدعوه إلى الاقدام على الاقتران بها، أؤ
قبحها الذي يصرف عنها إلى غيرها
Hendaklah lelaki memandang wanita yang hendak dinikahinya sebelum
meminang, agar ia mengetahui kecantikannya yang dapat mendorongnya untuk
memulai hidup bersamanya atau mengetahui
keburukannya yang dapat memalingkan darinya, lalu beralih pada yang lain
(membatalkan).[4]
Di antara dalilnya adalah hadis Nabi Saw yang memerintahkan untuk
lebih mengenal pasangan (ta’aruf) di antaranya:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ
الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَةً فَقَالَ لَهُ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا
فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا فَفَعَلَ فَتَزَوَّجَهَا فَذَكَرَ
مِنْ مُوَافَقَتِهَا
Dari Anas bin Malik bahwa Mughirah bin Syu'bah ingin menikahi
seorang wanita, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya:
"Pergi dan lihatlah ia, karena hal itu bisa membuat kekal rumah tangga
kalian berdua." Ia pun melakukannya dan menikahinya, serta menyebutkan
persetujuannya.“ (HR. Ibnu Majah, an
nasaai, dan Tirmidz)
Dalam riwayat lain, Nabi Saw bersabda:
إذا خطب أحدكم امرأة
، فإن استطاع أن ينظر إلى بعض ما يدعوه إلى نكاحها فليفعل
Jika salah seorang dari kalian hendak meminang seorang
wanita. Jika dia sanggup untuk melihatnya yang akan mendorongnya untuk
menikahinya maka lakukanlah (HR. Al Hakim, shahih menurut syarat Imam Muslim)
Mengenai batasan apa yang boleh dipandang para ulama berbeda
pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang boleh dipandang dari wanita yang
hendak dipinang hanya wajah dan telapak tangan. Sementara Dawud berpendapat
boleh memandang seluruh badan. Al Auza’i menyatakan bolehnya memandang pada
tempat tumbuhnya daging.[5]
Serupa dengan al Auza’i, Syaikh Taqiyuddin an Nabhani berpendapat bolehnya
memandang tempat yang biasa dipasang perhiasan (mahal az zinah) seperti
leher, rambut, tangan dan betis. Hanya saja beliau mensyaratkan melihat selain
wajah dan telapak tangan hanya boleh dilakukan tanpa sepengetahuan wanita yang
hendak dipinang. [6]
Sebab perbedaan pendapat tersebut adalah karena dalam hadis-hadis
yang menganjurkan untuk memandang calon istri tidak memberikan penjelasan
batasan yang boleh dipandang. Namun terdapat terdapat riwayat dari ‘Abd ar
Razzaq dan Sa’id bin Manshūr bahwasanya Umar bin Khattab meminang putri Ali bin
Abi Thalib yang bernama Ummu Kultsum, saat itu ia masih kecil. Ali berkata:
“Datanglah padanya, jika dia ridha (bersedia) maka ia menjadi istrimu”. Umar
lalu mendataginya dan menyingkap betisnya. Ummu Kultsun berkata: “Kalau engkau
bukan amirul mukminin niscaya aku colok matamu”.
Selain pengenalan fisik, ta’aruf juga dilakukan untuk
mengenal kepribadian, sikap dan sifat calon pasangan. Jika memandang calon
pasangan dalam sejumlah riwayat dilakukan langsung/tidak diwakilkan, maka
mengetahui kepribadian, sikap dan sifat calon pasangan dapat dilakukan sendiri
atau diwakilkan pada orang lain. Orang lain ini bisa saja Tatuha Kampung,
tetangga, orang tua, teman, guru dan orang-orang yang pernah bergaul dengan
calon pasangan.[7]
Nabi Saw pernah mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita, beliau
berpesan:
شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي
إِلَى عُرْقُوبِهَا
"Ciumlah bau mulutnya dan amatilah tulang lunak diatas tumitnya
(betisnya)." (HR. Ahmad)
Ta’aruf sebelum khitbah
adalah juga untuk memastikan wanita yang
akan di-khitbah bukan wanita yang haram dinikahi (mahrom) dan memastikan wanita yang akan dikhitbah
belum dalam ikatan khitbah.
Jika seorang laki-laki telah memperoleh informasi yang cukup
mengenai wanita yang akan dipinangnya dan memutuskan untuk melanjutkan ke
jenjang selanjutnya yaitu khitbah (meminang). Meminang adalah pernyataan
permintaan untuk menikahi seorang wanita oleh seorang lelaki. Secara fikih
pinangan dapat disampaikan pada calon istri atau pada walinya. Khatib asy
Syarbini, salah seorang ulama madzhab Syafi’i menyatakan:
الخطبة هي اِلْتِمِاس الخاطب النكاح من المخطوبة أو من وليها
Khitbah adalah permintaan
menikah dari pihak peng-khitbah (laki-laki) pada wanita yang di-khitbah
atau walinya.[8]
Definisi di atas dibangun berdasarkan sejumlah dalil yang
menunjukkan bahwa pinangan dapat disampaikan pada wanita yang dipinang atau
pada walinya. Imam Musim telah mengeluarkan hadis dari Ummu Salamah yang
berkata:
لما مات أبو سلمة أَرْسَلَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاطِبَ بْنَ أَبِي بَلْتَعَةَ يَخْطُبُنِي لَهُ فَقُلْتُ
إِنَّ لِي بِنْتًا وَأَنَا غَيُورٌ فَقَالَ أَمَّا ابْنَتُهَا فَنَدْعُو اللَّهَ
أَنْ يُغْنِيَهَا عَنْهَا وَأَدْعُو اللَّهَ أَنْ يَذْهَبَ بِالْغَيْرَةِ
Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus
Hatib bin Abu Balta'ah melamarku untuk beliau sendiri. Maka saya pun menjawab,
"Bagaimana mungkin, aku telah mempunyai seorang anak wanita, dan aku
sendiri adalah seorang pencemburu." Selanjutnya beliau pun menjawab:
"Adapun anaknya, maka kita do'akan semoga Allah mencukupkan kebutuhannya,
dan aku mendo'akan pula semoga Allah menghilangkan rasa cemburunya itu." (HR. Muslim)
Contoh dalil khitbah yang disampaikan pada wali perempuan
adalah Nabi yang melamar ‘Aisyah melalui ayahnya yaitu Abu Bakr as-Shiddiq.
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَطَبَ عَائِشَةَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ إِنَّمَا أَنَا
أَخُوكَ فَقَالَ أَنْتَ أَخِي فِي دِينِ اللَّهِ وَكِتَابِهِ وَهِيَ لِي حَلَالٌ
Dari Urwah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengkhithbah
(meminang) Aisyah kepada Abu Bakar. Maka Abu Bakar pun berkata pada beliau,
"Sesungguhnya saya adalah saudara Anda." Beliau bersabda: "Yang
kumaksudkan kamu adalah saudaraku di dalam Dinullah dan Kitab-Nya, maka Aisyah adalah
halal bagiku.“ (HR. Bukhari)
Khitbah (meminang)
sebenarnya bukan syarat sahnya pernikahan. Artinya akad nikah tetap dinyatakan
sah tanpa melalui proses pinangan (khitbah). Terdapat sejumlah dalil
yang menunjukkan bahwa akad nikah terlaksana tanpa proses khitbah. Di
antara dalilnya adalah riwayat Imam Bukhari tentang seorang wanita yang
menawarkan dirinya pada Rasulllah Saw, kemudian seorang sahabat meminta
dinikahkan dengan wanita tersebut. Rasulullah kemudian menikahkannya
dengan bacaan al Quran yang dihafalnnya,
setelah mencari mahar yang lain tidak didapatkan.
Mengenai hukum khitbah sendiri para ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama menyatakan hukumnya jaaiz (boleh), pendapat yang
mu’tamad dalam madzhab Syafi’i menyatakan sunnah, sementara sebagian ulama lain
menyatakan hukumnya mengikuti status hukum
menikah, bisa wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.[9]
Terdapat sebuah ketentuan syariat yaitu larangan meminang wanita
yang sudah dalam ikat khitbah. Dalilnya adalah hadis Nabi Saw dari Abu
Hurairah, Nabi bersabda:
لَا يَخْطُبْ
أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Janganlah salah seorang di antara kalian meminang pinangan
saudaranya, hingga ia menikahinya atau membatalkannya (HR. An Nasaai)
Dalam konteks inilah ta’aruf menjadi sangat penting untuk
mengetahui apakah wanita yang akan dipinang sudah dalam ikatan khitbah atau
belum. Larangan ini berlaku bagi wanita yang sudah terikat pinangan. Jika masih
dalam masa menimbang-nimbang atau belum memutuskan, maka diperbolehkan seorang
wanita menerima pinangan dari laki-laki lain. Dalilnya adalah hadis Nabi Saw,
dari Fatimah binti Qais ia menemui Nabi Saw dan menceritakan bahwa Mu’awiyah
dan Abu Jahm telah meminangnya dan belum dijawab oleh Fatimah bin Qais,
kemudian ia meminta pertimbangan Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda:
أَمَّا أَبُو
جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا
مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي
أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
"Abu Jahm adalah
orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul
-pent), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta,
karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid." Namun saya tidak menyukainya,
beliau tetap bersabda: "Nikahlah dengan Usamah." Lalu saya menikah
dengan Usamah, Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya hingga bahagia.
(HR. Muslim)
Pada riwayat di atas Fathimah bin Qais mendapatkan dua lamaran,
sebelum memutuskan jawaban beliau berkonsultasi dengan Rasulullah. Rasulullah
kemudian memberikan pertimbangan tentang kedua laki-laki yang meminangnya.
Selanjutnya beliau menawarkan laki-laki yang lain. Artinya larangan meminang
wanita yang sudah dipinang adalah jika si wanita sudah dalam ikatan khitbah
(pinangan).
Selama masa ta’aruf dan khitbah seorang lelaki dan
wanita yang telah dipinangnya tetap dibatasi oleh ketentuan syariat. Mereka
tidak diperbolehkan ber-khalwat (berdua-dua), karena larangan khalwat
berlaku umum baik bagi laki-laki dan wanita yang tidak ada ikatan khitbah
maupun yang terdapat ikatan khitbah. [10]
E.
Catatan Akhir
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa basasuluh sebenarnya bagian dari
proses ta’aruf dalam Islam. Bedanya dalam tradisi basasuluh
‘wajib’ melibatkan Tatuha Kampung, sementara dalam ta’aruf dapat
melibatkan siapa saja yang dipandang mampu dan dapat dipercaya baik laki-laki maupun wanita.
Meminta
pertimbangan kepada Tatuha Kampung sangatlah dianjurkan, sebagaimana
Fatimah binti Qais yang meminta pertimbangan Rasulullah Saw. Karena itu basusuluh
dengan melibatkan Tatuha Kampung bukanlah hal yang terlarang bahkan
sebaiknya dilakukan jika memungkinkan dan tidak menyulitkan.
Meski
diperbolehkan ta’aruf dengan tanpa melibatkan tokoh agama/Tatuha
Kampung, namun proses ta’aruf wajib tetap terikat dengan aturan
syari’at seperti ada batasan yang diperbolehkan untuk dilihat dan tidak boleh
terjadi khalwat. Terkait pendapat yang membolehkan memandang selain wajah dan
telapak tangan tentu proses ‘memandang’ tidak dilakukan di tempat umum,
karena seorang wanita wajib menutup auratnya di tempat umum. Adanya kebolehan
memandang selain wajah dan telapak tangan hanya terbatas untuk keperluan ta’aruf
dan khitbah dengan tujuan pernikahan. Hal ini hanya mungkin terjadi di
tempat khusus misalnya di rumah keluarga perempuan. Itupun dilakukan tanpa
sepengetahuan si wanita.
Mengenai
tradisi babilang ngaran (menghitung kecocokan nama), hal ini
tidak pernah kami temukan dasarnya dalam hadis-hadis Nabi Saw. Berdasarkan
hadis yang diuraikan di atas tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa
Nabi Saw menghitung bilangan nama calon suami dan istri. Namun pada tradisi basasuluh
hal ini menjadi faktor vital yang sangat menentukan. Sehingga misalkan sudah
terdapat kecocokan antara seorang laki-laki dan wanita, namun tidak mendapat
restu dari Tatuha Kampung maka wajib dibatalkan.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik dua kesimpulan:
1.
Basasuluh dalam tradisi Suku Banjar terdiri dari tiga langkah, yaitu: bacarian
Tatuha Kampung, Bapara dan Tuntung Pandang
2.
Pada
umumnya tradisi Basasuluh sudah sesuai dengan proses ta’aruf dalam
Islam, hanya saja ada proses yang tidak sesuai hukum Islam yaitu tradisi menghitung
kecocokan nama.
DAFTAR PUSTAKA
Fahd bin Abdul Karim. at-Ta’aruf wa at-Ta’rif lil Zawaj, Situs: fiqh.islammessage.com
Nida’
Abu Ahmad. Al-Khitbah Ahkāmun wa adābun.
Sayyid
Sabiq. Fiqh as-Sunnah. (Mesir: Darul Fath, 1995)
Surinsyah Ideham dan Sjarifuddin (eds), Urang Banjar
dan Kebudayaannya (Banjarmasin: Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan,
2007)
Syamsiar seman, Perkaawinan Adat Banjar Kalimantan
Selatan, (Cet. 6; Banjarmasin: Lembaga Pengkajian & Pelestarian Budaya Banjar,
2011)
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al Khatīb Asy Syarbini Asy Syāfi’i, Mughni
al Muhtāj ila Ma’rifah Ma’ānī alfādz al Minhāj, (Beirut: Darul Kutub al
Ilmiyah, 1994)
Taqiyuddin an Nabhani. Al-Nizhām al-Ijtimā’i fi al-Islām
(Beirut: Darul Ummah, 2013)
[1] Surinsyah Ideham dan Sjarifuddin (eds), Urang Banjar dan
Kebudayaannya (Banjarmasin: Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, 2007),
h. 50
[2] Syamsiar seman, Perkaawinan Adat Banjar Kalimantan Selatan,
(Cet. 6; Banjarmasin: Lembaga Pengkajian & Pelestarian Budaya Banjar,
2011), h. 2
[3] Fahd bin Abdul Karim. at-Ta’aruf wa at-Ta’rif lil Zawaj, Situs: fiqh.islammessage.com
[4] Sayyid Sabiq. Fiqh
as-Sunnah. (Mesir: Darul Fath, 1995), juz 2/120
[5] Ibid. juz 2/120
[6] Taqiyuddin an
Nabhani. Al-Nizhām al-Ijtimā’i fi al-Islām (Beirut: Darul Ummah, 2013),
h. 41-43
[7] Sayyid Sabiq. Fiqh
as-Sunnah. (Mesir: Darul Fath, 1995), juz 2/121
[8] Syamsuddin
Muhammad bin Ahmad al Khatīb Asy Syarbini Asy Syāfi’i, Mughni al Muhtāj ila
Ma’rifah Ma’ānī alfādz al Minhāj, (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, 1994),
juz 3 hal. 135
[9] Nida’ Abu
Ahmad. Al-Khitbah Ahkāmun wa adābun. Hal. 1
[10] Taqiyuddin an
Nabhani. Al-Nizhām al-Ijtimā’i fi al-Islām (Beirut: Darul Ummah, 2013),
h. 42
Komentar
Posting Komentar