BASASULUH, TA'ARUF DAN KHITBAH


TRADISI BASASULUH SUKU BANJAR
PERSPEKTIF TA’ARUF DAN KHITBAH DALAM FIKIH ISLAM
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf


A.     Latar Belakang
Basasuluh merupakan salah satu rangkaian dari upacara-upacara adat dalam kategori upacara pernikahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Suku Banjar. Istilah Basasuluh merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar untuk memperoleh informasi yang pasti mengenai keadaan seorang gadis yang ingin dipinang oleh laki-laki. Selain itu Basasuluh juga berarti menyelidiki segala aspek kehidupan, baik kepada gadis yang dituju untuk dilamar maupun asal-usul keluarganya.[1]
Pada kenyataan yang terjadi dalam pelaksanaan prosesi Basasuluh yang dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki pada tahapan pertama pihak laki-laki harus meminta izin kepada perangkat desa untuk menikahi salah satu perempuan warga di desa setempat, kemudian mengunjungi Tatuha Kampung untuk mencarikan informasi mengenai kondisi dan status dari perempuan yang diinginkan dan selanjutnya menyimpulkan apakah laki-laki tersebut
berjodoh dengan perempuan yang diinginkan berdasarkan perhitungan nama kedua belah pihak yang berbentuk Huruf Arab. Dalam melaksanakan prosesi ini,
Tatuha Kampung yang diutus melakukan penyelidikan terhadap gadis tersebut menyangkut hal-hal tentang agamanya, keturunannya, kemampuan keluarganya dan kecantikan wajahnya.
Dari aspek-aspek yang diselidiki oleh utusan keluarga laki-laki yang menjadi titik tumpu perhatian adalah aspek keagamaan dan keturunan.[2] Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Suku Banjar sangat memegang teguh tentang tingkat religiusitas seseorang yang akan menjalani biduk rumah tangga. Selain itu, aspek keturunan pun menjadi pertimbangan dalam menentukan langkah selanjutnya dalam prosesi pra nikah. Sebab hal ini menjadi tolok ukur
bagi kepribadian seorang gadis yang akan dilamar. Setelah melakukan hal tersebut
Tatuha Kampung juga melakukan perhitungan nama kedua belah pihak yang berbentuk Huruf Arab yang hasil dari perhitungan tersebut menjadi patokan dan kesimpulan bagi Tatuha Kampung dalam menentukan apakah keduabelah pihak tersebut berjodoh dan memiliki kecocokan atau tidak. Apabila keduabelah pihak tidak berjodoh atau tidak memiliki kecocokan berdasarkan
perhitungan tersebut, maka pihak laki-laki harus membatalkan niatnya untuk melamar dan menikahi perempuan tersebut dan mencari perempuan lain yang memiliki kecocokan dengannya, meskipun perempuan tersebut memiliki kriteria yang sesuai dengan keinginan pihak laki-laki. Namun, apabila dari hasil perhitungan tersebut menyatakan dan menyimpulkan bahwa keduabelah pihak memimliki kecocokan dan berjodoh, maka pihak laki-laki dapat melanjutkan pada jenjang tradisi selanjutnya yang ada pada tradisi masyarakat Suku Banjar. Pihak laki-laki yang ingin melamar perempuan tersebut harus mengikuti dan melaksanakan rentetan tahapan yang ada dalam tradisi
Basasuluh serta mengikuti petuah dari Tatuha Kampung, sehingga menjadi anggapan masyarakat bahwa apabila tidak melaksanakan salahsatu tahapan dari tradisi tersebut, kedua belah pihak akan dikucilkan oleh masyarakat sekitar dan ketika menjalani biduk rumah tangga dianggap keluarganya kelak akan mendapat bala bencana. Tradisi Basasuluh ini adalah upaya awal bagi pihak laki-laki dalam mengetahui
segala macam informasi yang berkaitan dengan calon istrinya kelak, sehingga menjadi sebuah kewajiban untuk dilaksanakan dalam fase pra nikah, yang kemudian terkonversi menjadi adat Suku Banjar secara turun-temurun. Makalah ini mencoba mengambarkan tradisi basusuluh dalam adat Banjar serta apa persfektif Hukum Islam, khususnya hukum-hukum terkait ta’aruf dan khitbah.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dinyatakan rumusan masalah makalah ini adalah:
1.      Bagaimana deskripsi tradisi basusuluh dalam budaya adat Banjar?
2.      Apakah terdapat kesesuaian tradisi basusuluh dengan hukum Islam terkait ta’aruf dan khitbah?

C.  Deskripsi Tradisi Basusuluh Masyarakat Banjar
Gambaran Tradisi Basasuluh yang dipaparkan dalam makalah ini adalah tradisi yang ada pada masyarakat Suku Banjar yang berdomisili di Desa Awang Bangkal Barat, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Tradisi ini termasuk dalam upacara pra nikah masyarakat Suku Banjar, yang bertujuan untuk mencari informasi mengenai perempuan yang akan dinikahi.

Dalam tradisi tersebut terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh pihak laki-laki sebelum resmi melamar perempuan yang diinginkan, yaitu:
1.    Bacarian Tatuha Kampung.

Pada tahap awal dalam Tradisi Basasuluh adalah tahap Bacarian Tatuha
Kampung
. Pada tahap ini pihak laki-laki berusaha mencari orang yang dianggap berpengaruh dan sangat mengetahui seluk beluk desa tersebut dan kondisi masyarakatnya melalui perangkat desa setempat. Hal tersebut dilakukan untuk menghormati perangkat desa setempat sebagai representasi masyarakat desa tersebut. Sebab perangkat desa merupakan salah satu orang yang dianggap masyarakat Suku Banjar yang berdomisili di Desa Awang Bangkal Barat sebagai Tatuha Kampung. Namun, strata beliau masih di bawah strata Tatuha Kampung yang dimintai pendapat dan arahan dalam pernikahan. Sebab menurut kepercayaan Suku Banjar Tatuha Kampung tersebut memiliki ilmu kebatinan yang mampu melihat masa depan dari hal yang direncanakan.

Jadi, sebelum menemui Tatuha Kampung, pihak laki-laki harus menemui perangkat desa terlebih dahulu untuk meminta informasi mengenai tempat tinggal Tatuha Kampung. Apabila hal tesebut tidak dilakukan oleh pihak laki-laki, maka akan dikucilkan atau dicibir oleh masyarakat sekitar dan tidak dapat
melanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu
Bapara. Sebab Tatuha Kampung tidak akan menerima keluarga laki-laki di tempat tinggal beliau apabila masih belum mendapatkan izin dari perangkat desa setempat.
2.    Bapara.
Pada tahapan yang kedua dalam Tradisi Basasuluh yang dilakukan oleh masyarakat Suku Banjar yang berdomisili di Desa Awang Bangkal Barat adalah prosesi Bapara. Pada prosesi Bapara ini laki-laki yang telah mendapatkan izin dari perangkat desa dan menerima informasi mengenai nama dan tempat tinggal Tatuha Kampung di Desa Awang Bangkal Barat, mengunjungi tempat tinggal Tatuha Kampung bersama seluruh keluarga dari pihak laki-laki dan ditemani oleh perangkat desa sebagai simbol pemberian izin kepada laki-laki dan keluarganya untuk menikahi salah satu perempuan warga Desa Awang Bangkal Barat.

Maksud dan tujuan dari prosesi ini adalah untuk menyampaikan kepada Tatuha
Kampung
mengenai keinginan pihak keluarga laki-laki untuk menikahi salah satu perempuan warga Desa Awang Bangkal Barat, yang kemudian Tatuha Kampung dapat mencarikan perempuan yang sesuai dengan keinginan dari pihak keluarga laki-laki. Selain itu, pihak laki-laki juga mengharapkan pendapat dan arahan dari Tatuha Kampung mengenai kecocokan dan tingkat perjodohan antara kedua belah pihak, agar hubungan keluarga diantara keduanya dapat langgeng sampai akhir umur mereka. Artinya pihak keluarga laki-laki melimpahkan kuasa terhadap Tatuha Kampung
untuk mencarikan perempuan sesuai dengan kriteria atau ciri-ciri yang diinginkan oleh pihak keluarga laki-laki, yang kemudian perempuan tersebut akan dinikahi oleh laki-laki tersebut.

3.    Tuntung Pandang.

Tahapan yang terakhir dari Tradisi
Basasuluh masyarakat Suku Banjar yang berdomisili di Desa Awang Bangkal Barat adalah prosesi Tuntung Pandang. Pada prosesi ini, Tatuha Kampung sudah mulai menanyakan perihal perempuan yang diinginkan oleh pihak laki-laki kepada keluarganya dan tetanganya. Hal-hal yang ditanyakan Tatuha Kampung kepada keluarga perempuan tersebut merupakan kriteria yang diinginkan oleh pihak laki-laki dan telah diungkapkan ketika berkunjung ke tempat tinggal Tatuha Kampung pada prosesi sebelumnya, yaitu prosesi Bapara.

Hal-hal yang ditanyakan oleh
Tatuha Kampung kepada keluarga perempuan dan tetangga sekitar rumahnya adalah mengenai perekonomian keluarga tersebut, tingkat religiusitas perempuan yang diinginkan pihak laki-laki, perilaku kesehariannya dan pergaulannya dengan tetangga sekitar rumahnya, kecantikan paras wajahnya dan tentunya status perempuan tersebut sudah dalam pinangan orang lain atau tidak. Setelah mendapatkan informasi mengenai hal-hal tersebut, kemudian Tatuha Kampung melakukan perhitungan tingkat kecocokan antara laki-laki dan perempuan yang diinginkannya, dengan cara menulis nama dari laki-laki dan perempuan dalam bentuk huruf Arab, kemudian menjumlahkan titik yang terdapat pada huruf Arab tersebut. Dari hasil penjumlahan itulah Tatuha Kampung mengambil kesimpulan mengenai tingkat kecocokan antara laki-laki dan perempuan tersebut.

Jadi, pada intinya prosesi ini adalah penentuan laki-laki dan perempuan tersebut dapat melangsungkan peminangan atau tidak. Sebab pada prosesi inilah
Tatuha Kampung mengambil kesimpulan bahwa antara laki-laki tersebut dapat berjodoh dengan perempuan pilihannya atau tidak, yang didasari pada hasil perhitungan Tatuha Kampung terhadap jumlah titik yang terdapat pada nama kedua belah pihak dalam bentuk huruf Arab, meskipun hasil pertanyaan mengenai kriteria perempuan yang diinginkan oleh pihak laki-laki menyatakan sesuai dengan keinginan dari pihak laki-laki.

D.  Ta’aruf dan Khitbah
Kata ta’aruf  maknanya adalah saling mengenal satu sama lain. Mengenai makna ta’aruf  terdapat di dalam al-Qur’an Surah Al-Hujurah ayat 13:
Yang artinya:“Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku lit a’ārafū (supaya kamu saling kenal)… sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi amah mengenal.”(QS. Al-Hujurat : 13)
Menurut DR. Fahd bin Abdul Karim, ta’aruf adalah proses  saling mengetahui satu sama lain baik fisik dan kepribadian (non fisik) antara laki-laki dan wanita dengan dengan tujuan untuk menikah. Tujuannya agar memperoleh pasangan yang tepat dan diduga akan tercapai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Menurut beliau hukum asal ta’ruf adalah mubah dan dapat berubah sesuai dengan kondisi saat ta’aruf. [3]
Ta’aruf ini dapat dilakukan baik sebelum khitbah (pinangan) maupun sesudah khitbah. Ta’aruf sebelum pinangan dilakukan untuk mengetahui fisik dan sifat (non fisik) wanita yang hendak dinikahi. Dalam kitab-kitab fikih biasanya dimasukkan dalam bab “memandang calon wanita yang akan di-khitbah(an nazhru ila al-mahkhtubah). Dalam kitab Fiqh as-Sunnah, Sayyid Sabiq menyatakan:
أن ينظر الرجل إلى المرأة قبل الخطبة ليعرف جمالها الذي يدعوه إلى الاقدام على الاقتران بها، أؤ قبحها الذي يصرف عنها إلى غيرها
Hendaklah lelaki memandang wanita yang hendak dinikahinya sebelum meminang, agar ia mengetahui kecantikannya yang dapat mendorongnya untuk memulai hidup  bersamanya atau mengetahui keburukannya yang dapat memalingkan darinya, lalu beralih pada yang lain (membatalkan).[4]
Di antara dalilnya adalah hadis Nabi Saw yang memerintahkan untuk lebih mengenal pasangan (ta’aruf) di antaranya:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَةً فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا فَفَعَلَ فَتَزَوَّجَهَا فَذَكَرَ مِنْ مُوَافَقَتِهَا
Dari Anas bin Malik bahwa Mughirah bin Syu'bah ingin menikahi seorang wanita, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: "Pergi dan lihatlah ia, karena hal itu bisa membuat kekal rumah tangga kalian berdua." Ia pun melakukannya dan menikahinya, serta menyebutkan persetujuannya.“ (HR. Ibnu Majah, an nasaai, dan Tirmidz)
Dalam riwayat lain, Nabi Saw bersabda:
إذا خطب أحدكم امرأة ، فإن استطاع أن ينظر إلى بعض ما يدعوه إلى نكاحها فليفعل
Jika salah seorang dari kalian hendak meminang seorang wanita. Jika dia sanggup untuk melihatnya yang akan mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah (HR. Al Hakim, shahih menurut syarat Imam Muslim)
Mengenai batasan apa yang boleh dipandang para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang boleh dipandang dari wanita yang hendak dipinang hanya wajah dan telapak tangan. Sementara Dawud berpendapat boleh memandang seluruh badan. Al Auza’i menyatakan bolehnya memandang pada tempat tumbuhnya daging.[5] Serupa dengan al Auza’i, Syaikh Taqiyuddin an Nabhani berpendapat bolehnya memandang tempat yang biasa dipasang perhiasan (mahal az zinah) seperti leher, rambut, tangan dan betis. Hanya saja beliau mensyaratkan melihat selain wajah dan telapak tangan hanya boleh dilakukan tanpa sepengetahuan wanita yang hendak dipinang. [6]
Sebab perbedaan pendapat tersebut adalah karena dalam hadis-hadis yang menganjurkan untuk memandang calon istri tidak memberikan penjelasan batasan yang boleh dipandang. Namun terdapat terdapat riwayat dari ‘Abd ar Razzaq dan Sa’id bin Manshūr bahwasanya Umar bin Khattab meminang putri Ali bin Abi Thalib yang bernama Ummu Kultsum, saat itu ia masih kecil. Ali berkata: “Datanglah padanya, jika dia ridha (bersedia) maka ia menjadi istrimu”. Umar lalu mendataginya dan menyingkap betisnya. Ummu Kultsun berkata: “Kalau engkau bukan amirul mukminin niscaya aku colok matamu”.
Selain pengenalan fisik, ta’aruf juga dilakukan untuk mengenal kepribadian, sikap dan sifat calon pasangan. Jika memandang calon pasangan dalam sejumlah riwayat dilakukan langsung/tidak diwakilkan, maka mengetahui kepribadian, sikap dan sifat calon pasangan dapat dilakukan sendiri atau diwakilkan pada orang lain. Orang lain ini bisa saja Tatuha Kampung, tetangga, orang tua, teman, guru dan orang-orang yang pernah bergaul dengan calon pasangan.[7] Nabi Saw pernah mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita, beliau berpesan:
شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا
"Ciumlah bau mulutnya dan amatilah tulang lunak diatas tumitnya (betisnya)." (HR. Ahmad)
Ta’aruf sebelum khitbah adalah juga untuk  memastikan wanita yang akan di-khitbah bukan wanita yang haram dinikahi (mahrom) dan  memastikan wanita yang akan dikhitbah belum dalam ikatan khitbah.
Jika seorang laki-laki telah memperoleh informasi yang cukup mengenai wanita yang akan dipinangnya dan memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya yaitu khitbah (meminang). Meminang adalah pernyataan permintaan untuk menikahi seorang wanita oleh seorang lelaki. Secara fikih pinangan dapat disampaikan pada calon istri atau pada walinya. Khatib asy Syarbini, salah seorang ulama madzhab Syafi’i menyatakan:
الخطبة هي اِلْتِمِاس الخاطب النكاح من المخطوبة أو من وليها
Khitbah adalah permintaan menikah dari pihak peng-khitbah (laki-laki) pada wanita yang di-khitbah atau walinya.[8]
Definisi di atas dibangun berdasarkan sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa pinangan dapat disampaikan pada wanita yang dipinang atau pada walinya. Imam Musim telah mengeluarkan hadis dari Ummu Salamah yang berkata:
لما مات أبو سلمة أَرْسَلَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاطِبَ بْنَ أَبِي بَلْتَعَةَ يَخْطُبُنِي لَهُ فَقُلْتُ إِنَّ لِي بِنْتًا وَأَنَا غَيُورٌ فَقَالَ أَمَّا ابْنَتُهَا فَنَدْعُو اللَّهَ أَنْ يُغْنِيَهَا عَنْهَا وَأَدْعُو اللَّهَ أَنْ يَذْهَبَ بِالْغَيْرَةِ
Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Hatib bin Abu Balta'ah melamarku untuk beliau sendiri. Maka saya pun menjawab, "Bagaimana mungkin, aku telah mempunyai seorang anak wanita, dan aku sendiri adalah seorang pencemburu." Selanjutnya beliau pun menjawab: "Adapun anaknya, maka kita do'akan semoga Allah mencukupkan kebutuhannya, dan aku mendo'akan pula semoga Allah menghilangkan rasa cemburunya itu." (HR. Muslim)
Contoh dalil khitbah yang disampaikan pada wali perempuan adalah Nabi yang melamar ‘Aisyah melalui ayahnya yaitu Abu Bakr as-Shiddiq.
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ عَائِشَةَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ إِنَّمَا أَنَا أَخُوكَ فَقَالَ أَنْتَ أَخِي فِي دِينِ اللَّهِ وَكِتَابِهِ وَهِيَ لِي حَلَالٌ
Dari Urwah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengkhithbah (meminang) Aisyah kepada Abu Bakar. Maka Abu Bakar pun berkata pada beliau, "Sesungguhnya saya adalah saudara Anda." Beliau bersabda: "Yang kumaksudkan kamu adalah saudaraku di dalam Dinullah dan Kitab-Nya, maka Aisyah adalah halal bagiku.“ (HR. Bukhari)
Khitbah (meminang) sebenarnya bukan syarat sahnya pernikahan. Artinya akad nikah tetap dinyatakan sah tanpa melalui proses pinangan (khitbah). Terdapat sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa akad nikah terlaksana tanpa proses khitbah. Di antara dalilnya adalah riwayat Imam Bukhari tentang seorang wanita yang menawarkan dirinya pada Rasulllah Saw, kemudian seorang sahabat meminta dinikahkan dengan wanita tersebut. Rasulullah kemudian menikahkannya dengan  bacaan al Quran yang dihafalnnya, setelah mencari mahar yang lain tidak didapatkan.
Mengenai hukum khitbah sendiri para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama menyatakan hukumnya jaaiz (boleh), pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i menyatakan sunnah, sementara sebagian ulama lain menyatakan hukumnya mengikuti status hukum  menikah, bisa wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.[9]
Terdapat sebuah ketentuan syariat yaitu larangan meminang wanita yang sudah dalam ikat khitbah. Dalilnya adalah hadis Nabi Saw dari Abu Hurairah, Nabi bersabda:
لَا يَخْطُبْ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Janganlah salah seorang di antara kalian meminang pinangan saudaranya, hingga ia menikahinya atau membatalkannya (HR. An Nasaai)
Dalam konteks inilah ta’aruf menjadi sangat penting untuk mengetahui apakah wanita yang akan dipinang sudah dalam ikatan khitbah atau belum. Larangan ini berlaku bagi wanita yang sudah terikat pinangan. Jika masih dalam masa menimbang-nimbang atau belum memutuskan, maka diperbolehkan seorang wanita menerima pinangan dari laki-laki lain. Dalilnya adalah hadis Nabi Saw, dari Fatimah binti Qais ia menemui Nabi Saw dan menceritakan bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya dan belum dijawab oleh Fatimah bin Qais, kemudian ia meminta pertimbangan Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
"Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul -pent), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid." Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: "Nikahlah dengan Usamah." Lalu saya menikah dengan Usamah, Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya hingga bahagia. (HR. Muslim)
Pada riwayat di atas Fathimah bin Qais mendapatkan dua lamaran, sebelum memutuskan jawaban beliau berkonsultasi dengan Rasulullah. Rasulullah kemudian memberikan pertimbangan tentang kedua laki-laki yang meminangnya. Selanjutnya beliau menawarkan laki-laki yang lain. Artinya larangan meminang wanita yang sudah dipinang adalah jika si wanita sudah dalam ikatan khitbah (pinangan).
Selama masa ta’aruf dan khitbah seorang lelaki dan wanita yang telah dipinangnya tetap dibatasi oleh ketentuan syariat. Mereka tidak diperbolehkan ber-khalwat (berdua-dua), karena larangan khalwat berlaku umum baik bagi laki-laki dan wanita yang tidak ada ikatan khitbah maupun yang terdapat ikatan khitbah. [10]

E.   Catatan Akhir
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa basasuluh sebenarnya bagian dari proses ta’aruf dalam Islam. Bedanya dalam tradisi basasuluh ‘wajib’ melibatkan Tatuha Kampung, sementara dalam ta’aruf dapat melibatkan siapa saja yang dipandang mampu dan dapat dipercaya  baik laki-laki maupun wanita.

Meminta pertimbangan kepada Tatuha Kampung sangatlah dianjurkan, sebagaimana Fatimah binti Qais yang meminta pertimbangan Rasulullah Saw. Karena itu basusuluh dengan melibatkan Tatuha Kampung bukanlah hal yang terlarang bahkan sebaiknya dilakukan jika memungkinkan dan tidak menyulitkan.

Meski diperbolehkan ta’aruf dengan tanpa melibatkan tokoh agama/Tatuha Kampung, namun proses ta’aruf wajib tetap terikat dengan aturan syari’at seperti ada batasan yang diperbolehkan untuk dilihat dan tidak boleh terjadi khalwat. Terkait pendapat yang membolehkan memandang selain wajah dan telapak tangan tentu proses ‘memandang’ tidak dilakukan di tempat umum, karena seorang wanita wajib menutup auratnya di tempat umum. Adanya kebolehan memandang selain wajah dan telapak tangan hanya terbatas untuk keperluan ta’aruf dan khitbah dengan tujuan pernikahan. Hal ini hanya mungkin terjadi di tempat khusus misalnya di rumah keluarga perempuan. Itupun dilakukan tanpa sepengetahuan si wanita.

Mengenai tradisi babilang ngaran (menghitung kecocokan nama), hal ini tidak pernah kami temukan dasarnya dalam hadis-hadis Nabi Saw. Berdasarkan hadis yang diuraikan di atas tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa Nabi Saw menghitung bilangan nama calon suami dan istri. Namun pada tradisi basasuluh hal ini menjadi faktor vital yang sangat menentukan. Sehingga misalkan sudah terdapat kecocokan antara seorang laki-laki dan wanita, namun tidak mendapat restu dari Tatuha Kampung maka wajib dibatalkan.

F.   Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik dua kesimpulan:
1.    Basasuluh dalam tradisi Suku Banjar terdiri dari tiga langkah, yaitu: bacarian Tatuha Kampung, Bapara dan Tuntung Pandang
2.    Pada umumnya tradisi Basasuluh sudah sesuai dengan proses ta’aruf dalam Islam, hanya saja ada proses yang tidak sesuai hukum Islam yaitu tradisi menghitung kecocokan nama.

DAFTAR PUSTAKA
Fahd bin Abdul Karim. at-Ta’aruf wa at-Ta’rif  lil Zawaj, Situs: fiqh.islammessage.com
Nida’ Abu Ahmad. Al-Khitbah Ahkāmun wa adābun.
Sayyid Sabiq. Fiqh as-Sunnah. (Mesir: Darul Fath, 1995)
Surinsyah Ideham dan Sjarifuddin (eds), Urang Banjar dan Kebudayaannya (Banjarmasin: Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, 2007)

Syamsiar seman, Perkaawinan Adat Banjar Kalimantan Selatan, (Cet. 6; Banjarmasin: Lembaga Pengkajian & Pelestarian Budaya Banjar, 2011)

Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al Khatīb Asy Syarbini Asy Syāfi’i, Mughni al Muhtāj ila Ma’rifah Ma’ānī alfādz al Minhāj, (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, 1994)
Taqiyuddin an Nabhani. Al-Nizhām al-Ijtimā’i fi al-Islām (Beirut: Darul Ummah, 2013)



[1] Surinsyah Ideham dan Sjarifuddin (eds), Urang Banjar dan Kebudayaannya (Banjarmasin: Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, 2007), h. 50
[2] Syamsiar seman, Perkaawinan Adat Banjar Kalimantan Selatan, (Cet. 6; Banjarmasin: Lembaga Pengkajian & Pelestarian Budaya Banjar, 2011), h. 2
[3] Fahd bin Abdul Karim. at-Ta’aruf wa at-Ta’rif  lil Zawaj, Situs: fiqh.islammessage.com

[4] Sayyid Sabiq. Fiqh as-Sunnah. (Mesir: Darul Fath, 1995), juz 2/120
[5] Ibid.  juz 2/120
[6] Taqiyuddin an Nabhani. Al-Nizhām al-Ijtimā’i fi al-Islām (Beirut: Darul Ummah, 2013), h. 41-43
[7] Sayyid Sabiq. Fiqh as-Sunnah. (Mesir: Darul Fath, 1995), juz 2/121
[8] Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al Khatīb Asy Syarbini Asy Syāfi’i, Mughni al Muhtāj ila Ma’rifah Ma’ānī alfādz al Minhāj, (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, 1994), juz 3 hal. 135

[9] Nida’ Abu Ahmad. Al-Khitbah Ahkāmun wa adābun. Hal. 1
[10] Taqiyuddin an Nabhani. Al-Nizhām al-Ijtimā’i fi al-Islām (Beirut: Darul Ummah, 2013), h. 42

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB