Walimah Campur Baur, Wajibkah hadir?


WAJIBKAH MENGHADIRI WALIMAH ‘URS YANG BERCAMPUR ANTARA TAMU LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN?

Para ulama berbeda pendapat mengenai kukum menghadiri undangan walimah ‘urs. Jumhur Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah menyatakan hukumnya wajib. Lalu Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah membuat rincian sesuai dengan redaksi undangan. Jika undangannya bersifat pribadi misalkan kepada Bapak Riduan dan istri maka hukum menghadirinya fardhu ‘ain (kewajiban yang sifatnya personal). Jika undangan bersifat umum misakan kepada Guru SMPIT Sabilal Muhtadin maka hukum menghadirinya fardhu kifayah. Artinya jika sudah ada sebagian guru yang menghadirinya, maka gugurlah kewajiban yang lainnya. (al-Mu’tamad fil fiqh asy Syafi’i 4/76-77, al-Masu’ah al-fiqhiyah al-Quwaitiyah 45/235). Di antara dalilnya adalah hadis  dari Ibnu Umar, Nabi Saw bersabda:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
Jika salah seorang dari kalian diundang menghadiri walimah (‘urs) maka hadirilah (HR. Bukhari dan Muslim)


Sementara sebagian ulama yang lain menyatakan hukumnya sunnah dan sebagian yang lainnya fardhu kifayah. (al-masu’ah al-fiqhiyah al-Quwaitiyah, 45/236)

Hanya saja kewajiban ini menjadi gugur karena sejumlah sebab. Di antara sebabnya adalah jika di dalam pelaksanaan walimahan tersebut terdapat kemungkaran. Diantara bentuk kemungkaran adalah adanya ikhtilat atau campur baur antara tamu undangan laki-laki dan wanita. Mereka mengambil makananan dari meja yang sama, lalu duduk, makan dan berinteraksi dalam satu lingkaran meja yang sama, dsb. Dalam kondisi seperti ini maka gugurlah kewajiban menghadiri undangan tersebut, bahkan haram hukumnya hadir disana jika tidak sanggup mengubah kemungkaran yang terjadi. (al-Mu’tamad fil fiqh asy Syafi’i, 4/78). Dalilnya adalah diqiyas dengan tidak bolehnya duduk di meja makan yang dihidangkan khamr. Dari Jabir bin Abdullah, Nabi Saw bersabda:
ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يجلس على مائدة يدار عليها الخمر
Siapa saja yang beriman pada Allah dan hari kiamat maka janganlah ia duduk di meja makan yang dihidangkan padanya khamr (HR. Al Hakim dalam al Mustadrak, beliau nyatakan hadis ini shalih menurut syarat Imam  Muslim) 

Pendapat serupa juga disebutkan dalam kitab al masu’ah al fiqhiyah al Quwaitiyyah:
مِنْ شُرُوطِ إِجَابَةِ الدَّعْوَةِ أَنْ لاَ يَكُونَ بِمَكَانِ الْوَلِيمَةِ اخْتِلاَطُ النِّسَاءِ بِالرِّجَال
Di antara syarat wajibnya memenuhi undangan walimah ‘urs adalah hendaklah tempat diadakannya walimah tersebut tidak terjadi ikhtilat (campur baur) antara perempuan dan laki-laki (al-masu’ah al-fiqhiyah al-Quwaitiyah, 45/242)

Selain dalil hadis dari Jabir di atas alasan keharamannya adalah bahwa dalam Islam pada asalnya kehidupan laki-laki dan perempuan dipisah. Diperbolehkan adanya interaksi jika memang terdapat hajat yang ditetapkan syariat. Di antara dalil bahwa hukum asal kehidupan dan perempuan dipisah adalah bahwa shaf laki-laki dan perempuan dipisah dalam shalat, perintah untuk menundukkan pandangan, kewajiban perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan dan wajib mengenakan jilbab (baju kurung panjang yang longgar) ketika mereka memasuki kehidupan umum. Dan diperbolehkan adanya interaksi pada aktivitas yang diperbolehkan syariat, mencakup aktivitas wajib, mandub, dan mubah yang menghajatkan adanya interaksi laki-laki dan perempuan. Aktivitas Wajib seperti ibadah haji, menunaikan zakat,  pendidikan, dll. Aktivitas mandub/sunnah seperti  sedekah sunnah, membantu orang miskin,  mengobati orang sakit, dll. Aktivitas yang hukumnya mubah seperti  jual beli, ijaroh, wakalah, kafalah, dll. Dengan syarat tetap menutup aurat sempurna, tidak tabarruj, dan tidak khalwat (berduaan). (Muqaddimah ad-Dustur pasal 133 juz 1 hal. 321-322). Hukum menghadiri walihah ‘urs memang wajib atau wajib kifayah, namun dari sisi adanya interaksi antara  tamu undangan laki-laki dan perempuan adalah bukan sesuatu yang menghajatkan adanya interaksi. Berbeda dengan panitia walimah ‘urs antara panitia ikhwan dan akhwat terkadang diperlukan interaksi untuk kelancaran acara. Atas dasar inilah maka ulama-ulama kita dalam beberapa kitab yang kami kutip di atas menyatakan haramnya adanya ikhtilat (campur baur) dalam acara walimah ‘urs dan gugur kewajiban menghadirinya. Wallahu ta’ala a’lam bi ash-shawab.

Sebagai penutup tulisan ini, saya sering nasihatkan kepada siapapun yang akan melangsungkan walimah ‘urs untuk memisahkan tamu undangan laki-laki dan wanita. Pernikahan dan walimah ‘urs adalah sunnah Nabi yang kita inginkan diraih keberkahan di dalamnya. Jangan sampai keberkahan tersebut dicabut karena kemaksiatan yang ada di dalamnya. Semoga kita dapat menata dan meniti hidup kita sesuai sunnah Baginda Nabi. Aamiin.

Alalak, 19 Agustus 2019 / 18 Dzulhijjah 1440 H
Al faqiir ilaLLah Wahyudi Ibnu Yusuf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB