MUSĀQĀH SAAT GAGAL PANEN
MUSĀQĀH
SAAT GAGAL PANEN
Pertanyaan: Jika pada akad musāqāh,
ternyata terjadi gagal penen. Apakah ‘aamil (orang yang merawat pohon) tidak
mendapatkan apa-apa ataukah ia mendapatkan upah?
Musāqāh secara bahasa
diambil dari kata as-saqyu (mengairi), karena al āmil (orang yang
bekerja merawat pohon) aktivitas utamanya adalah menyirami pohon. Secara syar’i
musāqāh adalah seseorang
bermuamalah pada orang lain untuk merawat tanaman (pohon) dengan pembagian pada buah
yang dihasilkan dari pohon tersebut. Musāqāh ini disyariatkan berdasarkan as sunnah dan
ijma’ sahabat Nabi Saw (al Mu’tamad fi al Fiqh Asy Syafi’i, 3/245-246)
Rukun-rukun musāqāh terdiri
dari:
Pertama, al-mālik. Pemilik
pohon atau orang yang diberi kuasa atas pohon (wilayah ‘ala sy syajar). al
mālik haruslah orang yang diperbolehkan melakukan tasharruf (aktivitas muamalah).
Kedua, al-‘āmil. Yaitu orang
yang bekerja untuk merawat pohon. Syaratnya
harus baligh, berakal, dan tidak sedang di-hijr (dilarang bermuamalah)
Ketiga, al- ījāb. Yaitu pernyataan
dari pemilik pohon untuk memusaqah-kan tanamannya miliknya. Boleh berupa
ucapan yang jelas (sharih), misalnya: “Saya akadkan musāqāh bagi anda untuk merawat pohon Kurma ini dengan
pembagian 50:50”, atau dengan kinayah (tidak langsung), misalnya “Saya pekerjakan
anda untuk merawat pohon Anggur dengan pembagian 60:40”.
Keempat, al-qabūl. Yaitu penyataan
penerimaan dari al ‘āmil, misalnya “Saya ridho”, “Saya terima” dan
sebagainya. Disyaratkan bersambungnya qabul dengan ijab.
Kelima, pohon/tanaman yang dimusāqāh-kan.
Yaitu Kurma, karena inilah yang menjadi praktik musāqāh pada
penduduk Khaibar. Sedangkan Anggur diqiyaskan pada Kurma karena sama-sama buah
yang wajib dikeluarkan zakat berdasarkan nash hadis. Adapun buah-buahan yang
sekali panen seperti semangka, timun dan sejenisnya demikian pula tamana pokok
seperti padi, gandum dan sejenisnya tida berlaku musāqāh. Adapun buah-buahan
yang berbuah berulang kali seperti apel, buah Tin, Mangga dan sejenisnya dalam
madzhab Syafi’i terdapat dua pendapat, menurut pendapat terbaru (qaul jadid)
dan merupakanpendapat yang mu’tamad dalam mazhab Syafi’i musāqāh hanya berlaku pada Kurma dan Anggur saja,
karena musāqāh adalah hukum
khusus yang hanya dikhususkan pada dua jenis buah-buahan ini. Selain dari itu zakat
pada buah-buahan hanya diambil dari dua jenis ini. (al Mu’tamad fi al Fiqh
Asy Syafi’i, 3/249)
Keenan,buah yang dipanen. Yaitu buah
yang dipanen dari pohon yang dirawat. Buah inilah yang dibagi antara pemilik
dan al-‘amil. Diantara kententuan pembagiannya adalah harus jelas
pembagiannya, misalkan 50:50 dan sebagainya sesuai yang disepaki dua pihak yang
berakad.
Ketujuh, pekerjaan. Yaitu hal-hal
yang harus dikerjakan oleh al-āmil yang berkaitan dengan produksi buah
dan peningkatan produksinya seperti menyiram, merawat saluran air, memupuk,
menyemprot zat yang dapat meningkatkan hormon bunga dan buah dan sebagainya. Sedangkan
membuat sumur baru, membangun rumah jaga dsb diluar pekerjaan yang wajib
dikerjakan ‘aamil.
Jika akad musāqāh rusak
(batal), karena hilangnya salah satu dari syarat dan rukun musāqāh seperti
disebutkan dia atas. Misalnya karena gagal panen, padahal ‘amil telah
melaksanakan kewajibannya maka ia berhak
mendapatkan ujrah mitsli, yaitu upah yang setara dengan upah umumnya di
masyarakatnya. Misalkan upah bekerja harian adalah Rp 100.000,- maka ia berhak mendapatkan
upah Rp 100.000 dikalikan banyaknya hari ia bekerja (al Mu’tamad fi al Fiqh
Asy Syafi’i, 3/255)
Kesimpulannya, jika terjadi
gagal panen atau batalnya akad musaqah
yang berakibat tidak dilanjutkannya perawatan tanaman maka ‘amil berhak mendapatkan
ujroh mitsli. Wallahu a’lam bi ash
shawab.
Banjarmasin, 28 Dzulhijjah 1440 H
/ 28 Agustus 2019
Al Faqiir ilaLlah Wahyudi Ibnu
Yusuf
Komentar
Posting Komentar