HUKUM EDIT FOTO


SOAL JAWAB AL ‘ALIM AL JALIL SYAIKH ‘ATHA ABU RASYTAH
HUKUM  EDIT FOTO

Pertanyaan :
Saya menjalani profesi yang bersentuhan dengan tashwir (menggambar makhluk bernyawa) . Melalui profesi yang saya tekuni itu saya bersentuhan dengan beberapa aktivitas berikut:
* Memodifikasi gambar dan mengeditnya (seperti menghilangkan keriput, mengganti warna mata atau beberapa fitur wajah, dan sebagainya)
* Menggambar lukisan manusia atau hewan-hewan yang menyerupai kenyataan
* Mencetak lukisan dan gambar yang sudah jadi
* Menggunakan lukisan, gambar atau logo yang dibuat oleh desainer lainnya, tidak saya lukis sendiri
* Menggambar simbol berupa manusia atau hewan (contohnya rambu-rambu di jalan seperti “tempat penyeberangan”, “pintu darurat saat kebakaran” atau “dilarang berjalan bersama anjing”)
* Menggambar bagian badan manusia atau binatang (sebagai contoh menggambar tangan yang bersalaman, jari telunjuk atau kepala kuda sebagai gambar logo)
* Menggambar lukisan manusia atau hewan yang tidak menyerupai kenyataan (karikatur)
* Menggambar tokoh cerita imajiner yang tidak ada dalam kenyataan
Saya mengharapkan penjelasan hukum syara’ mengenai aktivitas-aktivitas tersebut, wa barakaLlaahu fiikum!


Jawaban:
Sebelum sampai pada jawaban atas pertanyaan di atas, terlebih dahulu kami ingin menegaskan dua hal berikut:
Pertama: bahwa jawaban ini membahas tentang hukum syara’ atas perbuatan melukis, atau menggambar dengan tangan, sebagaimana makna yang dikehendaki di dalam hadits, bukan menghasilkan gambar dengan kamera. Adapun mengambil gambar dengan kamera maka hukumnya mubah karena hadits yang ada tidak bisa diterapkan terhadap perbuatan tersebut.
Kedua: Bahwa jawaban ini membahas tentang hukum syara’ atas gambar datar dua dimensi yang tidak memiliki bayangan. Adapun membuat karya yang memiliki bayangan, atau patung, maka dia haram dalam segenap kondisinya karena adanya dalil-dalil syara’ mengenai hal tersebut, dengan pengecualian mainan anak-anak karena adanya dalil yang membolehkannya, sebagaimana nanti akan dijelaskan pada akhir jawaban.

Terkait dengan dua pertanyaan:
* Memodifikasi gambar dan mengeditnya (seperti menghilangkan keriput, mengganti warna mata atau beberapa fitur wajah, dan sebagainya)
* Menggambar lukisan manusia atau hewan-hewan yang menyerupai kenyataan
Sesungguhnya dua pertanyaan ini berkaitan dengan menggambar sesuatu yang memiliki nyawa (ruh), atau melakukan editing terhadap gambar makhluk bernyawa dengan menggunakan tangan seperti menghilangkan keriput atau beberapa ciri di wajah. Dengan demikian, pengharaman yang terdapat dalam dalil-dalil syara’ dapat diterapkan dalam kasus ini, sama saja apakah hal tersebut dilakukan dengan pena, dengan mouse di computer, selama pekerjaan menggambar itu ada usaha manusia (al juhd al basyari) terhadap makhluq yang bernyawa, maka keharaman yang ada pada dalil berlaku atas aktivitas tersebut. Al Bukhori mengeluarkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas –Allah meridhoi keduanya- yang berkata: “Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda : “Barang siapa melukis suatu gambar maka Allah akan mengadzabnya sampai dia mampu meniupkan ruh ke dalam gambar itu, padahal sampai kapan pun dia tidak akan mampu meniupkan ruh ke dalamnya”. Al Bukhori juga mengeluarkan hadits dari jalan Ibnu Umar –semoga Allah meridhoi keduanya- bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,”sesungguhnya orang yang telah membuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka “coba hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!”.

Mengenai dua pertanyaan:
* Mencetak lukisan dan gambar yang sudah jadi
* Menggunakan lukisan, gambar atau logo yang dibuat oleh desainer lainnya, tidak saya lukis sendiri
Dengan kata lain, penanya mengambilnya dari orang lain, tidak menggambarnya sendiri. Dengan demikian, di sini berlaku hukum menggunakan gambar. Dalam hal ini terdapat tiga macam hukum:
Pertama: Apabila anda mengambil gambar itu untuk diletakkan di tempat-tempat ibadah, seperti tempat sujud untuk sholat, atau tirai masjid, iklan (di’aayah) atau pengumuman (i’laan) masjid dan semacamnya, maka itu haram, tidak dibolehkan.
Dalilnya adalah:
Hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau memasukki Ka’bah sehingga gambar-bambar di dalamnya dihapus. Penolakkan Rasul shollalaahu ‘alaihi wa sallam untuk memasuki Ka’bah sampai gambar-gambar di dalamnya dihapus merupakan indikasi adanya larangan tegas untuk meletakkan gambar di tempat-tempat ibadah, maka itu menjadi dalil atas haramnya menaruh gambar di dalam masjid. Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu : Bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau masuk ketika melihat gambar-gambar di dalam rumah –yaitu Ka’bah- , dan memerintahkan agar ia dihapus”.
Kedua: Adapun jika penanya mengambil gambar yang tidak dia gambar sendiri untuk diletakkan di tempat-tempat tertentu selain tempat ibadah, maka dalil-dalil syara’ menjelaskan bahwa itu dibolehkan –dengan disertai kemakruhan (dibenci oleh syara’ –pent) jika gambar itu diambil dan diletakkan di tempat-tempat yang mengandung penghormatan atau pemuliaan, seperti di rumah-rumah, media-media informasi lembaga-lembaga kebudayaan, di kaos atau pakaian, di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, dan di tempat-tempat terbuka lain yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas ibadah, atau digantung di dalam kamar atau dikenakan dalam rangka mempermanis penampilan, maka semua itu hukumnya dibenci (makruuh).

Yang mubah adalah jika gambar diletakkan bukan di tempat ibadah dan bukan tempat yang “terhormat”, seperti karpet yang digelar di bawah, di atas kasur dimana orang tidur di atasnya, atau di bantal yang digunakan untuk bersandar, atau gambar yang ada di lantai yang diinjak-injak dan yang semisalnya, maka semua tu hukumnya mubah. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:
Hadits dari Abu Tholhah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafadz : aku mendengar Raulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “”Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.”; Dalam sebuah riwayat dari sebuah jalan yang diriwayatkan oleh Imam Muslim beliau bersabda “kecuali gambar yang ada di pakaian” Ini menunjukkan adanya pengecualian terhadap gambar yang ada di pakaian, atau gambar yang dilukis.

Ini menunjukkan bahwa gambar dua dimensi seperti gambar yang dilukis di pakaian hukumnya boleh, Sebab Malaikat bersedia memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar dua dimensi. Akan tetapi ada pula hadits-hadits lain yang menjelaskan jenis kemubahan ini:
Hadits dari Aisyah Radiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al Bukhori, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menuju saya sementara di dalam rumah terdapat tirai tipis bergambar, maka warna wajah beliau berubah, kemudian mengambil tirai itu dan merobeknya”

Qirom (kain tipis) merupakan salah satu jenis pakaian yang biasa dipasang sebagai penutup pintu di dalam rumah, hal itu membuat rona wajah Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam berubah (menahan marah) kemudian melepas tirai tersebut. Ini menunjukkan adanya contoh untuk meninggalkan perbuatan memasang tirai sebagai penutup pintu apabila ia bergambar. Apabila hadits ini dikaitkan dengan kebolehan Malaikat untuk memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar yang terlukis di pakaian, maka hal tersebut menunjukkan bahwa larangan untuk memajang gambar dua dimensi itu tidak tegas, atau sekedar dibenci (makruuh), dan juga karena gambar tersebut dipasang sebagai penutup pintu, sedang pintu adalah tempat yang terhormat, dengan demikian, memasang gambar di tempat yang terhormat adalah makruh.

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dari perkataan Jibril ‘alaihis salaam kepada Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam : “perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan dijadikan dua bantal yang diinjak,”. Dengan demikian, Jibril ‘alaihis salam telah memerintahkan kepada rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menghilangkan tirai bergambar dari tempat yang terhormat, dan agar ia dijadikan sebagai dua bantal yang diinjak. Ini berarti, menggunakan gambar yang digambar oleh orang lain di tempat-tempat yang tidak dihormati adalah boleh.

Terkait dengan dua pertanyaan:
* Menggambar simbol berupa manusia atau hewan (contohnya rambu-rambu di jalan seperti “tempat penyeberangan”, “pintu darurat saat kebakaran” atau “dilarang berjalan bersama anjing”)
* Menggambar bagian badan manusia atau binatang (sebagai contoh menggambar tangan yang bersalaman, jari telunjuk atau kepala kuda sebagai gambar logo)

Jawaban untuk dua pertanyaan ini adalah sebagai berikut:
Apabila tanda yang dilukis menggambarkan makhluq bernyawa maka dia haram, sebab hadits-hadits mengharamkan gambar yang menunjukkan adanya sifat memiliki ruh (nyawa). Sifat ini dapat diterapkan kepada setiap gambar makhluq secara utuh maupun, separuh saja, gambar kepala yang disambung dengan bagian tubuh lain seperti kedua tangan dan semisalnya.

Adapun apabila tanda (rambu)nya tidak menunjukkan adanya nyawa, seperti tangan saja, atau gambar jari yang menunjuk kepada sesuatu atau dua tangan yang saling bersalaman atau yang semisalnya, maka keharaman tidak bisa diterapkan terhadapnya.

Adapun gambar kepala yang tidak digabung dengan anggota badan yang lain, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Dan yang paling kuat adalah bahwa kepala saja yang tidak digabung dengan bagian tubuh lain adalah tidak haram. Itu karena ada hadits yang membolehkan untuk memotong kepada patung sehingga tersisa seperti pohon, seperti halnya hadits Abu Hurairah ra. Yang di dalamnya terdapat perkataan Jibril alaihis salam kepada Rasulullah shollalallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa patung itu tidak lagi haram ketika kepalanya dipotong. ..”.. Maka perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat seperti bentuk pohon ..” dikeluarkan oleh Ahmad. Hadits ini berarti bahwa sisa patung dan kepalanya ketika telah dipotong sama-sama tidak haram. Dan ini tidak berarti bahwa yang tidak diharamkan adalah badan patung yang kepalanya sudah terpotong, sedangkan kepala yang terpotong tetap haram. Tidak demikian karena perintah Jibril kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memotong kepala patung menunjukkan bahwa pemotongan itu hukumnya boleh. Dengan demikian, segala hal yang menjadi konsekuensinya/ikutannya adalah boleh.

Dan harap diketahui, bahwa Hanabilah (Ulama madzhab Hanbali) dan Malikiyah (Ulama Madzhab Imam Malik) membolehkan menggambar kepala semata, sedangkan Syafi’iyyah mengalami perbedaan pendapat. Sebagian besar ahli fiqh syafiiyyah menyatakan bahwa gambar kepala saja adalah haram, sementara yang lain membolehkannya.

Adapun terkait dengan dua soal yang terakhir:
* Menggambar lukisan manusia atau hewan yang tidak menyerupai kenyataan (karikatur)
* Menggambar tokoh cerita imajiner yang tidak ada dalam kenyataan

Jawabnya adalah bahwa sesungguhnya selama gambar itu menunjukkan adanya ruh (nyawa) meskipun tidak ada persamaannya di dalam kenyataan, itu tetap haram. Sebab, nash-nash syara’ dapat diterapkan terhadap kasus tersebut. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan Aisyah rodhiyallaahu ‘anhaa untuk melepas tirai yang terpasang di pintu yang bergambar kuda yang memiliki sayap. Padahal dalam kenyataannya tidak ada kuda yang memiliki sayap.

Imam Muslim mengeluarkan hadits dari Aisyah rodhiyallaahu ‘anhaa, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari safar sementara aku menutupi pintuku dengan durnuk yang terdapat gambar kuda-kuda yg memiliki sayap. Maka beliau memerintahkan aku utk mencabut tabir tersebut maka akupun melepasnya” sementara durnuk merupakan salah satu jenis pakaian.

Kemudian, saya hendak mengulang kembali apa yang telah saya ungkapkan di awal, bahwa gambar yang diharamkan adalah gambar yang tidak diperuntukkan bagi anak-anak. Adapun jika diperuntukkan bagi anak-anak, seperti gambar karikatur untuk anak-anak, atau gambar tokoh imajiner untuk anak-anak, untuk permainan atau hiburan mereka, atau untuk pendidikan mereka. Semua itu hukumnya boleh karena adanya dalil yang menyebutkan hal tersebut:

Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, dia berkata: Suatu hari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- pulang dari perang Tabuk atau perang Khoibar. (Saat itu) lemari kecil Aisyah tertutup tirai, lalu berhembuslah angin, yang menyingkap tirai itu, sehingga terlihatlah banyak mainan boneka wanita milik Aisyah. Beliau bertanya: “Apa ini, wahai Aisyah?”, ia menjawab: “Anak-anak perempuanku”.
Hadits Aisyah yang dikeluarkan oleh Al Bukhori, dia berkata, “aku bermain dengan anak-anak perempuanku (boneka) di sisi Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam.. “ yaitu bermain dengan boneka berbentuk anak-anak perempuan.

Demikian juga dengan hadits Ar Robii’ binti Ma’awwid Al Anshoriyyah rodhiyallaahu ‘anhaa yang dikeluarkan oleh Al Bukhori dia berkata, “Kami berpuasa dan memerintahkan anak-anak kecil kami berpuasa. Kami membuatkan mereka mainan dari bulu. Maka, apabila mereka menangis karena lapar, kami berikan mainan itu kepadanya, sampai tiba waktu berbuka”. Maksudnya, menghibur mereka dengan mainan, sampai tiba waktu berbuka.
Semua hadits ini menunjukkan bolehnya mainan anak-anak berbentuk patung makhluk yang memiliki nyawa (boneka), terlebih lagi gambar (dua dimensi) untuk anak-anak dengan berbagai bentuknya maka hukumnya pun boleh.
Sumber : Soal jawab Syaikh ‘Atha Abu Rasytah 12 Syawwal 1431 H / 21 September 2010
Penerjemah : Wahyudi Ibnu Yusuf (diedit pada hari Sabtu, 27 Juli 2019)

السؤال:

إني أعمل في مهنة ذات مساس بالتصوير، وأتعرض خلالها إلى الأعمال التالية:
* تعديل الصور وتصحيحها (أي إزالة التجاعيد، تغيير لون العين أو بعض ميزات الوجه إلخ..).
* رسم صور الأشخاص والحيوانات الشبيهة بالواقع...
* استعمال الصور والرسوم الجاهزة في الطباعة.
* استخدام الصور أو الرسوم أو الشعارات للمصممين الآخرين بدل رسمها بنفسي.
* رسم رموز الناس أو الحيوانات (على سبيل المثال معالم في الطريق مثل "عبور المشاة" أو "الباب عند الحريق" أو "ممنوع التنزه مع الكلاب").
* رسم أجزاء جسم الإنسان أو الحيوان (على سبيل المثال صورة المصافحة أو إصبع سبابة أو رأس الحصان... كشعار).
* رسم صور الأشخاص والحيوانات غير الشبيهة بالواقع (كاريكاتورية).
* رسم أحرف الحكايات الخرافية غير الموجودة في الواقع أصلاً.
أرجو بيان الحكم الشرعي في هذه الأعمال، وبارك الله فيكم؟



الجواب:

قبل الإجابة على أسئلة التصوير نؤكد على أمرين:
الأول: إن الأجوبة أدناه هي عن الحكم الشرعي في التصوير، أي الرسم باليد، فهذا هو المعنى الوارد في الأحاديث، وليس التصوير بالآلة "الكاميرا"، فهذا مباح ولا تنطبق الأحاديث عليه.
الثاني: إن الأجوبة أدناه هي عن الصور المستوية المسطحة التي لا ظل لها، أما التصوير الذي له ظل، أي التماثيل، فإنها حرام في جميع حالاتها للأدلة الشرعية في ذلك باستثناء لعب الأطفال حيث وردت أدلة تجيزها كما هو مبين في آخر الأجوبة.
والآن هذه أجوبة أسئلة التصوير التي أرسلت:


بالنسبة إلى السؤالين:
* تعديل الصور وتصحيحها (أي إزالة التجاعيد، تغيير لون العين أو بعض ميزات الوجه إلخ..).
* رسم صور الأشخاص والحيوانات الشبيهة بالواقع...
فإن هذين السؤالين يتعلقان برسم الأشياء ذوات الأرواح، أو إجراء تعديلات بالرسم اليدوي على صور الأشياء ذوات الأرواح كإزالة التجاعيد وبعض ميزات الوجه... وهذه ينطبق عليها التحريم الوارد في الأدلة، سواء أكان الرسم بالقلم اليدوي أو كان باستعمال "الفارة" على الحاسوب "الكمبيوتر"، فما دام الرسم بالجهد البشري محاكاة لذي روح فالتحريم ينطبق عليه، أخرج البخاري من حديث ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: «مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا». وأخرج من طريق ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال: «إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ».


وبالنسبة إلى السؤالين:
* استعمال الصور والرسوم الجاهزة في الطباعة.
* استخدام الصور أو الرسوم أو الشعارات للمصممين الآخرين بدل رسمها بنفسي.
أي نقلها من الآخرين دون رسمها من قبل السائل، فهذه ينطبق عليها حكم اقتناء الصور، وهي ثلاثة أنواع:
أ- إذا كان نقلك لها لتضعها على ما يستعمل في أماكن العبادة مثل سجادات الصلاة أو ستائر المسجد أو دعاية وإعلان للمساجد، ونحو ذلك... فهذا حرام لا يجوز، ومن الأدلة على ذلك:
حديث ابن عباس أن الرسولصلى الله عليه وآله وسلم أبى أن يدخل الكعبة حتى مُحيت الصور التي فيها، فرفضُ الرسول صلى الله عليه وآله وسلم دخولَ الكعبة إلا بعد أن محيت الصور هو قرينة على الترك الجازم لوضع الصور في أماكن العبادة، فيكون دليلاً على التحريم للصور في المساجد:
أخرج الإمام أحمد عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي الْبَيْتِ يَعْنِي الْكَعْبَةَ لَمْ يَدْخُلْ وَأَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ»
ب- أما إن كان نقلُ السائل للصور المرسومة من غيره، نقلُها لاستعمالها في غير أماكن العبادة، فإن الأدلة الواردة بيّنت أن هذا جائز:
- مع الكراهة إن كان نقل الصور لاستعمالها في أماكن للاحترام أو التعظيم كستائر للبيوت أو وسائل إيضاح للمؤسسات الثقافية أو على قمصان تلبس أو ثياب... أو في المدارس والمكاتب والإعلانات التي لا علاقة لها بالعبادة، أو كأن تعلق في صدر الغرفة أو تلبس لتحسين الهيئة ونحو ذلك... فكل هذا مكروه.
- ومباحة إن كان نقل الصور لاستعمالها في غير أماكن العبادة وفي غير الأماكن المحترمة كأن تكون على بساط أرضي يوطأ أو على "فرشات" يُنام ويستلقى عليها، أو وسائد يتكأ عليها، أو رسومات على الأرض تُداس أو نحوها... فكل هذا مباح.
ومن الأدلة على ذلك:
- حديث أبي طلحة عند مسلم بلفظ سمعت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يقول: «لا تدخل الملائكة بيتاً فيه كلب ولا صورة» وفي رواية من طريقٍ رواها مسلم أنه قال: «إلا رقماً في ثوب» فهذا يدل على استثناء الصورة المرقمة في ثوب، ومفهومه أن الملائكة تدخل البيت الذي فيه رقم في ثوب أي صورة مرسومة رسماً.
وهذا يعني أن الصورة المستوية "رقماً على ثوب" جائزة لأن الملائكة تدخل البيت الذي فيه صور مستوية. ولكن وردت أحاديث أخرى تُبيّن نوع هذا الجواز:
- حديث عائشة رضي الله عنها الذي أخرجه البخاري قَالَتْ: «دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي الْبَيْتِ قِرَامٌ فِيهِ صُوَرٌ فَتَلَوَّنَ وَجْهُهُ ثُمَّ تَنَاوَلَ السِّتْرَ فَهَتَكَهُ» والقرام نوع من الثياب، وكان موضوعاً كساتر على باب البيت، وتلوُّن وجه الرسول صلى الله عليه وآله وسلم ونزع الستار هو بمثالة طلب ترك لوضع الستار على الباب إذا كان فيه صور، فإذا ضُّم هذا مع جواز دخول الملائكة البيت الذي فيه صور "رقماً على ثوب"، فإنه يدل على أن طلب الترك غير جازم، أي مكروه، ولأن مكان الصور هذا كان في ستار منصوب على الباب، وهو مكان محترم، فإذن وضع الصور في مكان محترم مكروه.
- حديث أبي هريرة الذي أخرجه أحمد من قول جبريل عليه السلام للرسول صلى الله عليه وآله وسلم: «وَمُرْ بِالسِّتْرِ يُقْطَعْ فَيُجْعَلَ مِنْهُ وِسَادَتَانِ تُوطَآَنِ»، فجبريل قد أمر الرسول صلى الله عليه وآله وسلم بإزالة الستر عن المكان المحترم، وعمل وسادتين منه توطآن، وهذا يعني أن استعمال الصور المرسومة من آخرين في أماكن غير محترمة مباح.


وبالنسبة للسؤالين:
* رسم رموز الناس أو الحيوانات (على سبيل المثال معالم في الطريق مثل "عبور المشاة" أو "الباب عند الحريق" أو "ممنوع التنزه مع الكلاب").
* رسم أجزاء جسم الإنسان أو الحيوان (على سبيل المثال صورة المصافحة أو إصبع سبابة أو رأس الحصان... كشعار).
إن الجواب على هذين السؤالين هو:
إذا كانت الرموز التي تُرسم تدل على صورة لها روح، فهي حرام، لأن الأحاديث وصفت التحريم المحرم بذي روح، وهذا الوصف ينطبق على الصور الكاملة أو النصفية أو الرأس المتصل به أجزاء واضحة من الجسم كاليدين أو نحو ذلك.
أما إذا كانت الرموز لا تدل على صورة لها روح مثل رسم يد وحدها أو رسم إصبع يشير إلى شيء أو رسم يدين تتصافحان أو نحو ذلك... فلا ينطبق عليها التحريم.
أما رسم رأس وحده دون اتصاله بأجزاء واضحة من الجسم فهذه فيها خلاف فقهي، والذي أرجحه هو عدم تحريم رأس وحده لا يتصل به أي جزء من الجسم، وذلك لأن الأحاديث التي تجيز قطع رأس التمثال ليبقى كالشجرة مثل حديث أبي هريرة الذي يقول فيه جبريل عليه السلام للرسول صلى الله عليه وآله وسلم بأن التمثال لا يعود حراماً إذا قُطع رأسه... «فمر برأس التمثال الذي في باب البيت فليقطع ليصير كهيئة الشجرة»، «... فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ يُقْطَعْ فَيُصَيَّرَ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ...» أخرجه أحمد. هذا الحديث يعني أن الرأس وحده، وباقي التمثال وحده، كل منهما ليس حراماً، ولا يتأتى القول إن عدم التحريم هو لجسم التمثال المقطوع رأسه، وأما الرأس المقطوع فهو حرام، لأن أمر جبريل للرسول صلى الله عليه وآله وسلم بقطع رأس التمثال يعني أن هذا القطع جائز، وبالتالي فإن ما يترتب عليه جائز.
وللعلم فإن الحنابلة والمالكية يجيزون الرأس وحده، وأما الشافعية، فعندهم خلاف... فأكثر فقهائهم في تحريم الرأس وحده، وآخرون منهم يجيزونه.


أما السؤالان الأخيران:
* رسم صور الأشخاص والحيوانات غير الشبيهة بالواقع (كاريكاتورية).
* رسم أحرف الحكايات الخرافية غير الموجودة في الواقع أصلاً.
فإن جوابهما هو أن هذه الصور ما دامت تدل على كائن ذي روح، حتى وإن لم يكن مشابهاً للواقع، فإنه حرام لأن النصوص تنطبق عليه، فالرسول صلى الله عليه وآله وسلم في الحديث الذي أخرجه مسلم أمر عائشة رضي الله عنها أن تنزع السترة التي كانت على الباب لأن عليها صوراً لخيول ذوات أجنحة، وبطبيعة الحال فليس هناك خيولٌ في الواقع ذوات أجنحة.
أخرج مسلم عن عائشة رضي الله عنها قالت: «قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَّرْتُ عَلَى بَابِي دُرْنُوكًا فِيهِ الْخَيْلُ ذَوَاتُ الْأَجْنِحَةِ فَأَمَرَنِي فَنَزَعْتُه» والدرنوك نوع من الثياب.


وأكرر ما قلته في بداية الأسئلة أن الرسوم المحرمة هي التي ليست للأطفال، أما إذا كانت للأطفال، كالرسوم الكاريكاتيرية للأطفال أو الرسوم الخيالية للأطفال، أو في إلهائهم وتسليتهم، أو في تعليمهم... فكل هذا جائز للأدلة الواردة في ذلك ومنها:
أخرج أبو داود عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: «قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ قَالَتْ بَنَاتِي...»
وحديث عائشة رضي الله عنها الذي أخرجه البخاري قَالَتْ: «كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ...». أي بلعب على شكل بنات.
وحديث الربيع بنت معوذ الأنصارية رضي الله عنها الذي أخرجه البخاري «...وَنَجْعَلُ - وفي رواية مسلم ونصنع - لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الْإِفْطَارِ»، أي تلهيهم باللعبة حتى موعد الإفطار.
وكل هذه الأحاديث تجيز لُعب الأطفال حتى وهي على شكل تمثال لذي روح، وبذلك فإنها جائزة من باب أولى وهي على شكل صور مستوية مهما كانت.
12 من شوال 1431
الموافق 2010/09/21م

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB