Gratifikasi Dalam Islam


Konsep Gratifikasi dalam Kitab Nihayah Az-Zain
Karya Syaikh Nawawi al Bantani

A.       Pendahuluan
Syaikh Nawawi al Bantani di antara ulama’ Nusantara yang memiliki kemasyhuran, tidak saja ditingkat nasional tapi juga internasional. Beliau adalah fenomena besar dalam dunia penulisan kitab kuning yang amat (bahkan paling) dikenal di dunia pesantren di Indonesia. Sebagaimana tokoh atau ulama lain ketenaran Syeikh Nawawi al-Bantani tidak mungkin dapat mengemuka tanpa melalui buah karya yang dihasilkan dari pemikirannya. Di samping itu karena kharismanya yang begitu tinggi dan didukung dengan kemulyaan pribadi yang tinggi membuatnya di kemudian hari dikenang orang lain lalu diabadikan dalam sejarah yang tersebar di kalangan masyarakat. Puluhan bahkan ratusan kitab yang mengkaji tentang berbagai cabang keilmuan Islam telah dihasilkan oleh ulama asal Banten ini pada abad ke-19. Dan sampai sekarang kitab-kitab tersebut masih dipelajari oleh generasi muda muslim lebih-lebih para santri di pesantren yang tersebar di pelosok-pelosok Nusantara.
Di antara karya Imam Nawawi al Bantani yang fenomenal adalah kitab Nihayah az-Zain. Kitab Nihayatu Az-Zain (نهاية الزين) adalah salah satu kitab fikih bermazhab Syafi’i yang cukup dikenal oleh kaum muslimin terutama di Indonesia. Dalam forum-forum “bahtsul masa-il” yang diadakan NU, kitab ini biasa dikutip sebagai salah satu rujukan. Sampai-sampai nama kitab ini diadopsi menjadi nama pesantren. Di kampung Tebon Teki, Desa Tegalangus, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia berdiri pondok pesantren yang diberi nama “Ma’had Nihayatuz Zein Al-‘Ashri”.
Nama lengkap kitab ini sebagaimana disebut pengarang dalam muqaddimah adalah “Nihayatu Az-Zain Fi Irsyadi Al-Mubtadi-in” (نهاية الزين في إرشاد المبتدئين). Lafaz “nihayah” bermakna puncak/ujung sesuatu. “Zain” bermakna hiasan. “Irsyad” bermakna membimbing. “Mubtadi-in” bermakna para pemula. Jadi, dengan judul ini seakan-akan pengarang berharap kitabnya bisa membimbing para pemula dalam bentuknya yang paling indah.
Kitab ini adalah syarah dari kitab “Qurrotu Al-‘Ain” karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari Dari sisi posisinya sebagai syarah “Qurrotu Al-‘Ain” berarti kitab ini sama seperti kitab “Fathu Al-Mu’in”, hanya saja “Nihayatu Az-Zain” sedikit lebih tebal sehingga bisa digolongkan syarah “mutawassith” (pertengahan).
Di antara bahasan yang menarik untuk dikaji dalam kitab ini adalah konsep pemberian hadiah kepada hakim (Qadhi). Pembahasan ini terdapat pada bab Qadha (Peradilan). Qadhi adalah jabatan penyelenggara negara yang diangkat oleh kepala negara (Khalifah). Kajian ini juga menjadi penting karena kasus pemberian hadiah pada penyelenggara negara atau istilahnya gratifikasi menjadi sesuatu yang saat ini marak terjadi. Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dalam laporan kinerja tahun 2018 menerima 1.990 laporan dugaan penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara. [1]
Makalah ini akan mengkaji kitab Nihayah az-Zain pada sub bab pemberian hadiah pada Hakim (penyelenggara negara) dan membandingkannya dengan konsep gratifikasi dalam UU Anti Korupsi.

B.  Rumusan Masalah
Sebagai acuan maka dirumuskankah masalah makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana konsep larangan gratifikasi dalam kitab Nihayah az-Zain?
2.      Bagaimana perbandingan konsep gratifikasi dalam kitab Nihayah az-Zain dengan UU Tipikor?

C.       Biografi Penulis
Menurut Ali Muqoddas ada beberapa versi tentang penulisan nama lengkap Syeikh Nawawi al-Bantani ini. Setelah menelaah nama Syaikh Nawawi al Bantani dalam 17 kitab karyanya Ali Muqaddas menyimpulkan bahwa nama asli beliau adalah Muhammad Nawawi.[2]  Pemberian nama “Nawawi” oleh bapaknya adalah karena sebuah cita–cita agar anaknya itu kelak akan menjadi ulama’ besar bermazhab Syafi’i seperti Nawawi tua (Abu Zakaria al-Nawawi al-Dimasyqi).[3] Adapun penyebutan Abu Abdul Mut’thi di depan nama aslinya karena al-Bantani mempunyai anak bernama Abdul Mu’thi. Demikian juga tentang penyebutan “bin Umar bin Arabi” karena beliau putra dari Umar dan kakeknya bernama Arabi.
Syaikh Nawawi al-Bantani lahir di desa Tanara wilayah Banten, Jawa Barat tahun 1230 H bertepatan dengan 1813 M. Mengenai semangat belajarnya yang tinggi agaknya telah terbina dari suasana keluarganya yang terdidik, karena ayahnya Umar bin Arabi adalah seorang ulama dan penghulu di Tanara, Banten. Apalagi silsilah keturunan
ayahnya berasal dari keturunan Maulana Hasanuddin (Sultan Hasanuddin),
putra Maulana Syarif Hidayatullah. Pondasi ilmu keagamaan al-Bantani juga dibangun oleh ayahnya sendiri melalui beberapa pelajaran; ilmu kalam, nahwu, tafsir dan fiqh.
Pendidikan lanjutan diperolehnya dari kyai Sahal di daerah Banten dan Kyai Yusuf di Purwokerto. Hal ini dilakukan bersama dengan saudaranya; Tamim
dan Ahmad.
Ketika al-Bantani umur 15 tahun (kira-kira tahun 1828 M) ia dan
saudara-saudaranya menunaikan ibadah haji ke Makkah dan kemudian
al-Bantani sendiri menetap di sana selama 3 tahun. Rupa-rupanya selama
waktu itu dimanfatkan al-Bantani untuk menempa diri menuntut ilmu di bawah
bimbingan ulama-ulama terkenal seperti Sayyid Ahmad Ibn Sayyid Abdur Rahman al-Nawawi, Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,
ketiganya di Makkah dan Syeikh Muhammad Khatib Sambas al-Hambali di
Madinah. Setelah pulang ke negeri asal beberapa tahun lamanya al Bantani kembali lagi ke Makkah sekitar tahun 1855 M untuk menetap secara permanen di sana. Waktu demi waktu dijalaninya untuk terus aktif menambah ilmunya di semua bidang ilmu Islam hingga mencapai waktu 30 tahun. Dan sejak tahun 1860-an ia mulai mengajarkan ilmunya baik di Madinah maupun di Makkah yang kemudian memperoleh gelar Imam al-Haramain. Pada tahun 1897 M bertepatan dengan tanggal 25 Syawwal tahun 1314 H, Syaikh al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun. Beliau mewariskan banyak karya tulis. Tidak ada kepastian tentang berapa jumlah karya al Bantani. Ada yang mennyebut 22 karya, ada yang menyebut hanya 100, ada juga yang menyebut karyanya mencapai 115 buah. Yang jelas ulama asal Jawa ini
telah berhasil menyusun banyak karya yang tidak saja mengangkat nama baik pribadinya tetapi juga mengharumkan negara tempat ia dilahirkan.
Penghargaan para ulama atas kedalaman dan keluasan ilmu beliau sampai membuatnya digelari “alimul hijaz” (عالم الحجاز)/ orang alim dari Hijaz.
Berikut ini adalah sebagian kitab karya Syaikh Nawawi al Bantani:
1. Marah Labid – Tafsir al-Nawawi, al-Tafsir al-Munir Lima’alim al-Tanzil alMusfir ‘an Wujuh Mahasnr al-Ta’wil . Kitab ini merupakan kitab di bidang tafsir dan bukan kitab syarah, sebagaimana umumnya kitab al-Bantani.
2. Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in – syarah atas kitab Qurrat al-Ain bi Muhimmat al-Din (oleh Zainuddin Abd Aziz al-Malibari) – dibidang fiqh mazhab syafi’i.
3. Kasyifat al-Syaja, syarah atas kitab Safinat al-Naja fi Usul al-Din wa alFiqh (karya salim bin samir), dalam bidang fiqh.
4. Sullam al-Munajat - syarah atas kitab Safinat al-Salah (karya Sayyid Abdullah bin Umar al-Hadramy), kitab di bidang fiqh
5. Tausyih ala Fath al-Qarib (cairo 1305) – syarah atas kitab fath al-Qorib (Muhammd bi al-Qasim al-Bazzi, W. 918 / 1512) sebagai syarah atas kitab Gayah al-taqrib (Abu Syuja’ al-Isfahani).
6. Al-simar al-Yani’ah fi al-Riyad al-Badi’ah - syarah atas kitab al-Riyad alBadi’ah (karya Syaikh Muhammad Hasbullah) dibidang usul al-din dan sebagian memuat fiqh.
7. Bahjat al-Wasail bi Syarhi Masail – syarah atas kitab al-Risalah al-Jami’ah baina Usul al-Din, wa al-Fiqh wa al-Tasawuf (karya Sayid Ahmad bin Zain al-Habsyi)
8. Maraqi al-Ubudiyyah – syarah atas kitab Bidayat al-Hidayah (karya Imam Abu Hamid al-Gazali) dibidang tasawuf. Sebagian peneliti memasukkan kitab ini ke dalam kelompok fiqh, tetapi saya lebih cenderung memasukkannya ke dalam bidang tasawuf, karena berisi tentang etika-etika baik etika dalam ibadah maupun dalam interaksi sosial.
9. Qami’ Tugyan, syarah atas kitab Manzumat fi Syu’b alIman
10.Nasaih al-Ibad - syarah atas kitab al-munabbihat ala al-isti’dab liyaum alma’ad (karya Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-Asqalami) dibidang tasawuf
11.Al-Futuhat al-Madaniyyah - syarah atas kitab al-Syu’b al-Imaniyah ( Muh. Bin Abdillah al-Iji), dalam bidang tauhid.
12.Tijan al-Darari - syarah atas kitab Risalah al-Syaikh Ibrahim al-Bajury fi alTauhid, (karya syaikh Ibrahim al-Bajuri), dalam bidang tauhid.
13.Fath al-Majid - syarah atas kitab al-Durr al-Farid fi Aqa’id Ahli al-Tauhid (karya Syaikh Ahmad bin Sayyid Abdr rahman al-Nahrawy) dalam bidang tauhid.
14.Nur al-Zulam - syarah atas kitab Manzumat Aqidati al-Awam (karya Sayyid Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Makky), dalam bidang tauhid.
15.Qatr al-Gais - syarah atas kitab Masail Abi al-Lais (al-Samarqandi), dalam bidang tauhid.
16.Tanqih al-Qaul al-Hasis - syarah atas kitab Lubab al-Hadits (karya Syaikh al-Hafid Jalal al-Din Abdirrahman Ibn Abi Bakr al-Suyuti), dalam bidang hadits.
17.Madarij al-Su’ud - syarah atas kitab al-Maulid al Nabawi yang populer dengan sebutan kitab al-Barzanji (karya Sayyid Jafar al-Barzanji), dalam bidang sejarah.
18.Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain - syarah atas kitab Risalah tentang huquq al-Zaujain (tidak disebutkan pengarang risalah ini.
19.Syarh Sullam al-Taufiq, yaitu syarah atas kitab matn Sullam al-Taufiq karya syeikh Abdullah bin husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi.
Dengan kapasitas keilmuan  yang mempuni, mengapa yang dilakukan oleh Syaikh Nawawi dalam penulisan kitab-kitabnya mayoritas bercorak syarah, bukan yang lain ?. Jawabannya barang kali bisa dilihat dari tiga hal, yaitu[4]:
Pertama, barangkali dapat dilihat kembali pada sifat, sikap dan pandangan hidup al-Bantani. Al-Bantani terkenal sebagai ulama yang rendah hati, tawadhu dan menghormati para ulama pendahulunya. Bentuk penghargaannya yang tinggi terhadap ulama terdahulu diwujudkan oleh al-Bantani dengan melakukan pensyarahan (penjelasan) terhadap kitab-kitab mereka.
Kedua, al-Bantani sebenarnya ingin menjelaskan pikiran para ulama terdahulu dengan tujuan agar dapat dengan mudah dipelajari dan dipahami oleh para pembaca.
Ketiga, dapat dilihat dari segi kurun waktu saat ia hidup. Bahwa kecenderungan Metode Penulisan Kitab keilmuan Islam pada abad ke-13 H / 19 M masih diliputi dengan tradisi taqlid, maka pantaslah jika kegiatan penulisan al-Bantani adalah gerakan-gerakan pensyarahan. Meskipun demikian tidak berarti al-Bantani tidak memiliki sama sekali
pemikiran yang orisinil atau selalu mengekor dan mengikuti alur pemikiran ulama pendahulunya.
D.    Gambaran Singkat Kitab Nihayah az-Zain
Seperti telah disinggung di pendahuluan makalah ini bahwa nama lengkap kitab ini sebagaimana disebut pengarang dalam muqoddimah adalah “Nihayatu Az-Zain Fi Irsyadi Al-Mubtadi-in” (نهاية الزين في إرشاد المبتدئين). Lafaz “nihayah” bermakna puncak/ujung sesuatu. “Zain” bermakna hiasan. “Irsyad” bermakna membimbing. “Mubtadi-in” bermakna para pemula. Jadi, dengan judul ini seakan-akan pengarang berharap kitabnya bisa membimbing para pemula dalam bentuknya yang paling indah. Kitab ini adalah syarah dari kitab “Qurrotu al-‘Ain” karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari. Karena itulah daftar isi kitab ini mengikuti susunan dalam kitab “Qurrotu al-‘Ain”, yaitu diawali bab salat dan diakhiri bab pembebasan budak. Dari sisi posisinya sebagai syarah “Qurrotu Al-‘Ain” berarti kitab ini sama seperti kitab “Fathu Al-Mu’in”, hanya saja “Nihayatu Az-Zain” sedikit lebih tebal sehingga bisa digolongkan syarah “mutawassith” (pertengahan).
Referensi yang digunakan oleh Syaikh Nawawi saat menyusun kitab ini -sebagaimana diterangkan beliau sendiri dalam muqoddimah- terutama sekali banyak mengutip dari kitab “Nihayatu Al-Amal Liman Roghiba Fi Shihhati Al-‘Aqidah Wa Al-‘Amal’ karya Abu Khudhoir Ad-Dimyathi. Dari kitab ini, Syaikh Nawawi banyak mengambil kutipan terutama untuk syarah pada bagian awal kitab sampai bab “ba’i’” (jual beli). Selain itu, Syaikh Nawawi  juga mengambil rujukan dari kitab “Tuhfatu Al-Muhtaj” karya Ibnu Hajar Al-Haitami, “Nihayatu Al-Muhtaj” karya Ar-Romli, “Fathu Al-Jawad” karya Ibnu Hajar Al-Haitami, “An-Nihayah” karya Waliyyuddin Al-Bashir, dan juga sejumlah hasyiyah. Jadi, berdasarkan fakta ini, kitab “Nihayatu Az-Zain” sesungguhnya adalah hasil kompilasi bacaan berbagai kitab yang disusun ulang. Karena seperti ini metode penyusunannya, maka Syaikh Nawawi  menyatakan bahwa jika ada konten yang benar dalam kitab “Nihayatu Az-Zain” ini, maka keutamaan itu semua kembali penulis kitab yang dijadikan rujukan. Jika ada yang salah, maka hal itu adalah murni kesalahan beliau sehingga beliau berharap ada yang berkenan mengoreksinya.
Sebelum memulai mensyarah lafadz pada topik tertentu, secara umum Syaikh Nawawi akan menjelaskan sejumlah informasi permulaan penting yang terkait dengan topik secara ringkas. Misalnya saat beliau hendak mensyarah bab shalat, beliau awali dengan penjelasan singkat macam-macam salat, posisi shalat sebagai syariat yang “ma’lum minad din bidh dhoruroh”, kapan diwajibkan, dan hubungannya dengan salat para nabi. Saat menjelaskan tentang topik ilmu waris, beliau awali dulu dengan uraian singkat tentang hak-hak tarikah seperti “tajhiz”, membayar utang, pelaksanaan wasiat dan lain-lain. Kemudian beliau jelaskan siapa saja ahli waris itu, bagaimana kondisi-kondisi yang membuat sebagian ahli waris gugur, bagaimana kondisi-kondisi yang mana warisan yang berlebih bisa dikembalikan kepada ahli waris. Pada saat membahas lafaz,  Syaikh Nawawi menguraikan lafaz yang diperkirakan memerlukan penjelasan detail baik secara bahasa maupun makna syar’inya. Sesekali jika diperlukan, Syaikh Nawawi menjelaskan analisis nahwu sebagian ungkapan matan yang dirasa berpotensi ambigu.
E.   Konsep Gratifikasi dalam Kitab Nihayah az-Zain
Pada Bab Qadha (peradilan) di halaman 369 dari kitab Nihayah az-Zain Syaikh Nawawi al Bantani mencantumkan matan kitab Qurratu ‘Ain, sebagai berikut:
وحرُم قبولُه هديةَ من لا عادةَ له قبل ولاية إن كان في محله و من له خصومةٌ و إلا جاز
Haram diharamkan menerima hadiah dari siapa saja yang tidak biasa memberi hadiah pada hakim sebelum diangkat sebagai hakim jika itu ada di wilayah kerja sang hakim. Dan diharam juga menerima hadiah dari orang yang sedang bersengketa, selainnya maka boleh.[5]
Kemudian beliau mensyarah matan ini di halaman 369-370, beikut isi syarahnya:
(وَحرم قبُوله) أَي القَاضِي (هَدِيَّة من لَا عَادَة لَهُ) بِتِلْكَ الْهَدِيَّة (قبل ولَايَة) للْقَضَاء أَو لَهُ عَادَة بهَا وَزَاد عَلَيْهَا قدرا أَو صفة (إِن كَانَ) أَي قبُول الْهَدِيَّة (فِي مَحَله) أَي مَحل ولَايَته (و) حرم قبُوله أَيْضا وَلَو فِي غير محلهَا هَدِيَّة (من لَهُ خُصُومَة) عِنْده وَإِن اعتادها قبل ولَايَته لِأَنَّهَا فِي الْأَخِيرَة توجب الْميل إِلَيْهِ وَفِي غَيرهَا سَببهَا الْولَايَة وَحَيْثُ حرمت الْهَدِيَّة لم يملكهَا (وَإِلَّا) بِأَن كَانَ الْقبُول فِي غير مَحل ولَايَته أَو لم يزدْ الْمهْدي على عَادَته وَلَا خُصُومَة فيهمَا (جَازَ) أَي قبُول هديته

وَالْحَاصِل أَنه إِن كَانَ للمهدي خُصُومَة فِي الْحَال أَو غلب على الظَّن وُقُوعهَا عَن قرب امْتنع قبُول الْهَدِيَّة مُطلقًا سَوَاء كَانَ الْمهْدي من أهل عمله أم لَا وَسَوَاء أَكَانَ لَهُ عَادَة بالهدية أم لَا وَسَوَاء أهْدى لَهُ فِي مَحل ولَايَته أم لَا وَإِن لم يكن لَهُ خُصُومَة وَلَا عَادَة بالهدية امْتنع قبُولهَا أَيْضا سَوَاء أَكَانَ من أهل عمله أم لَا وَإِن كَانَ لَهُ عَادَة بهَا وَزَاد عَلَيْهَا قدرا أَو جِنْسا أَو صفة بعد المنصب أَي وَكَانَ ذَلِك فِي مَحل ولَايَته فِي هَاتين الصُّورَتَيْنِ فَالْمُعْتَمَد إِن تميزت الزِّيَادَة جِنْسا أَو قدرا حرمت الزِّيَادَة وَحدهَا وَإِلَّا حرم الْجَمِيع وَإِن كَانَ لَهُ بهَا عَادَة وَلم يزدْ إِلَّا جِنْسا وَلَا قدرا وَلَا صفة جَازَ

قبُولهَا وَلَا فرق فِي هَذَا التَّفْصِيل بَين الْأَجَانِب وأبعاض القَاضِي على الْمُعْتَمد وَالْأولَى لمن جَازَ لَهُ قبُول الْهَدِيَّة أَن يثيب عَلَيْهَا إِذا قبلهَا أَو يردهَا لمَالِكهَا أَو يَضَعهَا فِي بَيت المَال وَأولى من ذَلِك سد بَاب الْقبُول مُطلقًا حسما للباب والضيافة وَالصَّدَََقَة فرضا أَو نفلا كالهدية وَيجوز لمن حضر ضِيَافَة القَاضِي الْأكل مِنْهَا إِذا قَامَت قرينَة على رضَا الْمَالِك بِأَكْل الْحَاضِرين من ضيافته وَإِلَّا فَلَا يجوز لِأَنَّهُ إِنَّمَا أحضرها للْقَاضِي وَيَأْتِي مثل هَذَا التَّفْصِيل فِي سَائِر الْعمَّال وَمن ذَلِك مَا جرت الْعَادة بِهِ من إِحْضَار طَعَام لشاد الْبَلَد أَو نَحوه من الْمُلْتَزم أَو الْكَاتِب وَالْعَارِية إِن كَانَت مِمَّا يُقَابل بِأُجْرَة كسكنى دَار وركوب دَابَّة فَحكمهَا كالهدية وَإِلَّا فَلَا وَقبُول الرِّشْوَة حرَام وَهِي مَا يبْذل للْقَاضِي ليحكم بِغَيْر الْحق أَو ليمتنع من الحكم بِالْحَقِّ وإعطاؤها كَذَلِك لِأَنَّهُ إِعَانَة على مَعْصِيّة أما لَو رشي ليحكم بِالْحَقِّ جَازَ الدّفع وَإِن كَانَ يحرم على القَاضِي الْأَخْذ على الحكم مُطلقًا أَي سَوَاء أعطي من بَيت المَال أم لَا وَيجوز للْقَاضِي أَخذ الْأُجْرَة على الحكم لِأَنَّهُ شغله عَن الْقيام بِحقِّهِ
“Diharam menerimanya” yaitu bagi Qadhi (Hakim). “Hadiah dari orang yang tidak terbiasa memberi hadiah padanya” dengan hadiah ini. “Sebelum diangkat”, sebagai hakim pengadilan atau terbiasa memberi hadiah namun menambahkan jumlah dan sifat pada hadiah itu. “jika ia” yaitu menerima hadiah, “di wilayahnya” yaitu di wilayah tugas sang hakim maka haram juga menerimanya. “dan” diharamkan juga menerima hadiah meski di luar wilayah kewenangannya dari  “siapa saja yang sedang bersengketa” meskipun sebelumnya sudah biasa memberi hadiah sebelum diangkat sebagai hakim, karena hal itu dapat menjadi sebab cenderungnya padanya (berpihak). “dan selainya” yaitu hadiah dari orang yang berada di luar wilayah kerjanya, tidak menambah jenis dan kadar hadiah dari orang yang biasa memberi hadiah dan bukan orang yang sedang bersengketa maka “boleh” yaitu boleh menerima hadiahnya.
Kesimpulannya untuk orang yang ada kasus sengketa atau diduga kuat akan jatuh pada kasus sengketa maka terlarang menerima hadiahnya secara mutlak. Baik yang memberi hadiah masuk dalam wilayah kerja sang hakim ataukah tidak. Baik ia sebelumnya terbiasa memberi hadiah atau tidak. Jika yang memberi hadiah tidak sedang bersengketa dan tidak biasa memberi hadiah sebelumnya terlarang juga menerimanya baik apakah itu berkaitan dengan pekerjaannya ataukah tidak. Jika yang memberi hadiah sudah biasa memberi dan menambahkan pada hadiahnya tersebut baik kadar, jenis dan sifatnya setelah seseorang diangkat sebagai hakim dan pihak yang memberi berada dalam wilayah kerja sang hakim maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat yang mu’tamad dalam mazdhab Imam Syafi’i adalah jika bisa dibedakan (dipisahkan) tambahan berupa jenis atau kadanya maka yang haram hanya tambahannya saja. Tapi jika tidak bisa dipisahkan antara yang biasa dihadiahkan dengan tambahannya maka haram semuanya. Menurut pendapat yang mu’tamad pula bahwa rincian ini tidak memperhatikan posisi dan jarak hakim dengan yang memberi hadiah. Bagi orang-orang yang diperbolehkan diterima hadiahnya, lebih utama bagi hakim untuk menerima lalu mengembalikannya atau menolaknya sejak awal atau meletakkannya di Baitul Mal (kas negara). Lebih utama lagi adalah menutup semua pintu pemberian pada hakim secara mutlak seperti jamuan makan, sedekah baik wajib maupun nafilah seperti hadiah. Boleh hukumnya memakan hidangan yang disajikan untuk hakim jika ada indikasi (qarinah) bahwa pemilik makanan ridha pada hadirin semuanya. Jika tidak, maka hakim tidak boleh memakannya karena hal tersebut berarti bahwa makanan tersebut khusus dihidangkan untuk hakim. Hal semisal rincian ini bisa terjadi pada semua jabatan publik. Atas dasar ini apa yang menjadi kebiasaan berupa menyajikan makanan bagi penyelenggara negara seperti pimpinan dan sekretaris dan pemungut zakat jika ia sudah mendapat gaji seperti rumah dan kendaraan maka status hukumnya seperti hadiah sebagaimana telah diuraikan di atas, jika tidak mendapatkan gaji atau tunjangan maka bukan hadiah. Menerima suap (risywah) hukumnya haram, karena risywah adalah upaya mempengaruhi Hakim agar menetapkan hukum yang salah (bi ghairi haq) atau mencegah dari menetapkan hukum yang benar. Hal tersebut termasuk dalam membantu kemaksiatan (i’ȃnah ‘ala ma’shiyah). Adapun jika suap bertujuan untuk menetapkan hukum  yang benar maka diperbolehkan. Meskipun tetap haram bagi Hakim menerimanya secara mutlak, baik diberi dari Baitul Mâl atau  bukan. Hakim boleh menerima gaji atas putusan hukum (profesinya) karena ia tersibukkan dengan pekerjaannya terebut.[6]
Berdasarkan syarah dari Syaikh Nawawi al Bantani di atas dapat dipetakan konsep gratifikasi menurut kitab Nihayah az-Zain sebagai berikut:
1.      Jika pihak yang memberi hadiah sudah terbiasa memberi hadiah pada Qadhi (Hakim) sebelum ia diangkat sebagai hakim dan tidak sedang ada kasus  maka hukumnya dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Jika kadar dan sifat hadiahnya sama persis dengan sebelum menjadi hakim maka hukumnya boleh (mubah)
b.      Jika ada tambahan dalam hadiah berupa kadar, jumlah dan sifatnya maka dalam madzhab Syafi’i ada dua pendapat. Pendapat yang mu’tamad (dipedomani) adalah dirinci. Pertama, jika dapat dipisahkan antara hadiah yang biasa diberikan dengan tambahannya maka diperbolehkan menerima hadiah yang biasa diterima, tambahannya hukumnya haram. Kedua,  jika tidak bisa dipisahkan antara yang biasa diterima dengan tambahannya maka semuanya haram diterima.
2.      Jika pihak yang memberi hadiah sedang menjalani kasus tertentu atau diduga kuat akan menjalani kasus sengketa maka menerima hadiah dari pihak ini hukumnya haram meskipun sebelumnya sudah terbiasa memberikan hadiah. Baik yang memberi itu tinggal di wilayah kerja sang hakim atau di luar wilayah kerjanya.
3.      Jika pihak yang memberikan hadiah tidak biasa memberikan hadiah sebelumnya dan tidak sedang menjalani kasus tertentu hukum  menerima hadiah darinya juga haram.
4.      Meski dalam kondisi tertentu Hakim boleh menerima hadiah, yaitu pihak yang biasa memberi hadiah dan tidak sedang dalam kasus sengketa, Syaikh Nawawi juga menjelaskan sikap yang aula (pilihan utama), yaitu mengembalikan pada pihak yang memberi, menolaknya secara langsung atau menerima dan meletakkannya di Baitul Mal. Termasuk pilihan yang utama jika menolak jamuan makan dan sedekah. Meski boleh hukumnya menerima jamuan makan, jika jamuan makan tersebut tidak khusus bagi hakim. Namun jika jamuan tersebut khusus bagi hakim atau penyelenggara negara yang telah mendapat gaji dan tunjangan maka hukumnya haram.
5.      Nampaknya Syaikh Nawawi membedakan antara hadiah pada penyelenggara negara (gratifikasi) dengan suap (risywah).
Meski tidak menyebutkan dalil-dali atas pendapatnya sejatinya pendapat Syaikh Nawawi ini disandarkan pada sejumlah dalil, diantaranya:
Dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda:
هَدَايَا الْعُمَّال غُلُولٌ
Hadiah pada perkerja adalah ghulul (HR. Ahmad)

Hanya saja riwayat ini dinyatakan dhaif oleh Imam Ahmad sendiri.[7] Ghulul secara bahasa artinya adalah khianat. Imam Nawawi mendefinisikan ghulul dengan khianat soal harta secara mutlak, meski pada umumnya digunakan secara khusus dalam kasus menyembunyikan harta rampasan perang (ghanimah).[8]

Dalam redaksi lain dari Anas bin Malik, Nabi Saw bersabda:

 هَدَايَا السُّلْطَانِ سُحْتٌ
Hadiah kepada penguasa adalah suhtun (HR. Khatib al Baghdadi)[9]

As-suht adalah harta yang haram, karena berakibat hilangnya berkah. Risywah (suap) disebut suhtun. Meski as-suht lebih umum dari risywah, karena as-suht adalah semua harta yang diharamkan.[10]

Dalam riwayat lain Nabi Saw pernah memperkerjakan seseorang dari suku Asad untuk memungut harta zakat. Namanya Ibnu Lutbiyah. Ketika ia sampai di Madinah, ia berkata:

هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي


Ini untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku, lalu Nabi Saw bersabda:


فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
"Apakah tidak (sebaiknya) dia tinggal di rumah ayahnya atau ibunya lalu dia lihat apakah benar itu dihadiahkan untuknya atau tidak. Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik".
ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

Kemudia Beliau mengangkat tangan Beliau sehingga terlihat oleh kami ketiak Beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukankah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan"…. sebanyak tiga kali".(HR. Bukhari)

Berkaitan dengan suap (risywah) terdapat hadis lain dari Abdullah bin Amr, dia berkata:

لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَفِي رِوَايَةٍ زِيَادَةُ " وَالرَّائِشَ
Rasulullah melaknat penyuap dan yang disuap. Dalam riwayat lain terdapat yang menjadi perantara suap (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Dalam riwayat dari Buraidah, Nabi Saw bersabda:
من استعملناه على عمل فرزقناه رزقاً، فما أخذه بعد ذلك فهو غلول
Siapa saja yang kami pekerjakan dan ia telah mendapat upah dari pekerjaannya tersebut, maka apa yang dia ambil seliannya adalah ghulul (HR. Abu Dawud)

F.   Membandingkan Konsep Gratifikasi dalam Kitab Nihayah az-Zain dengan UU Pemberantasan Tipikor
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU no. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.[11]
Terdapat perbedaan definisi gratifikasi dengan suap. Menurut Pasal 3 UU no. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap[12]:
Suap adalah barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).
Dari definisi tersebut di atas, tampak bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Jika melihat pada ketentuan-ketentuan tersebut, dalam suap ada unsur “mengetahui atau patut dapat menduga” sehingga ada intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam kebijakan maupun keputusannya. Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
            Mengenai faktor apa yang mendasari adanya perumusan mengenai delik gratifikasi, dijelaskan pada salah satu penjelasan yang dimuat dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam buku tersebut  dijelaskan sebagai berikut[13]:
Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika budaya pemberian dan penerimaan gratifikasi kepada/oleh Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.
Di dalam buku tersebut juga dijelaskan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifi­kasi yang sering terjadi, yaitu[14]:
1.      Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2.      Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari peja­bat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3.      Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4.      Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembe­lian barang dari rekanan
5.      Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pe­jabat
6.      Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7.      Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kun­jungan kerja
8.      Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih kare­na telah dibantu
            Sebagai tambahan di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) terdapat perkecualian tindak gratifikasi, yaitu jika pihak yang menerima gratifikasi melaporkannya pada KPK.  Bunyinya sebagai berikut:  “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahwa terdapat perbedaan dan persamaan antara konsep gratifikasi menurut Syaikh Nawawi dalam kitab Nihayah az-Zain dan No. 20 Tahun 2001, secara ringakas dapat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel Perbandingan Gratifikasi menurut Kitab Nihayah az-Zain dan No. 20 Tahun 2001
Nihayah az-Zain
UU Tipikor
Terdapat rincian bagi yang sebelumnya pernah memberi hadiah sebelum pejabat negara diangkat
Tidak terdapat rincian
Tidak ada rincian sanksinya, karena hal ini masuk dalam bab ta’zîr yang ditetapkan kepala negara
Telah terdapat rincian sanksi
Tidak memasukkan hutang dengan bunga, karena memang semestinya akad hutang (qardh) tidak berbunga
Mencantumkan larangan meminjamkan tanpa bunga, karena dalam pandangan ekonomi kapitalis bunga bagian dalam sistem ekonomi
Tidak mencantumkan larangn diskon dan komisi atas penjualan, karena memang hal-hal tersebut adalah sesuatu yang mubah jika tidak disertai ‘hak istimewa’ atas penyelenggara negara. Seperti pemberian makanan khusus bagi penyelenggara negara
Larangan mendapat diskon dan komisi secara mutlak
Terdapat penjelasan bahwa hadiah yang status hukumnnya boleh bagi penyelenggara negara, lebih utama untuk ditolak
Tidak ada perincian
Bagi orang yang diduga akan ada masalah hukum di masa mendatang maka menerima hadiah (gratifikasi) darinya hukumnya haram
Belum memuat hal ini, pada UU larangan Suap memang ada ketentuan janji memberi termasuk dalam kategori suap





DAFTAR PUSTAKA

Al-Baghdadi, Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali al Khatib. Talkhish al Mutasyabih, juz I, (Damaskus: Thalas, 1985)

Bin Hanbal, Ahmad. Musnal Imam Ahmad bin Hanbal, juz. V , (Kairo: Mausu’ah Qurthubah, tt)

Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi, (Jakarta: KPK, 2014)

Muqoddas, Ali. Syaikh Nawawi al Bantani al Jawi Ilmuwan Spesialis Ahli Syarah Kitab Kuning. Jurnal Trbawi Vo. II (2014)

Nawawi, Abu ‘Abd Mu’thi Muhammad bin ‘Ali. Nihâyah az-Zain fî irsyâdi al-Mubatdi’in, (Surabaya: al Haramain, 2011)

Nawawi, Imam. Syarah Muslim li Nawawi, juz XII, (Beirut: Darul Ihya at Turats al ‘Arabi, 1392 H)

Republik Indonesia, “Undang-Undang R.I  Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap” (Jakarta: 1980)

Republik Indonesia, “Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU no. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor”, (Jakarta: Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum, 2001)

Tim penyusun. Al Masu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah, juz. XXII, (Kuwait: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam, 1404-1427 H)


[2] Ali Muqoddas. Syaikh Nawawi al Bantani al Jawi Ilmuwan Spesialis Ahli Syarah Kitab Kuning. Jurnal Trbawi Vo. II (2014), hal. 7
[3] Nama lengkap beliau adalah Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Marri al Khazami. Nawa adalah salah satu tempat di Damaskus
[4] Ali Muqoddas. Syaikh Nawawi al Bantani al Jawi .... Jurnal, hal. 14-15
[5] Abu ‘Abd Mu’thi Muhammad bin ‘Ali Nawawi, Nihâyah az-Zain fî irsyâdi al-Mubatdi’in, (Surabaya: al Haramain, 2011). Cet. Kedua, h. 369
[6] Ibid, h. 369-370
[7] Ahmad bin Hanbal, Musnal Imam Ahmad bin Hanbal, juz. V , (Kairo: Mausu’ah Qurthubah, tt), h. 424
[8] Imam Nawawi asy-Syafi’i, Syarah Muslim li Nawawi, juz XII, (Beirut: Darul Ihya at Turats al ‘Arabi, 1392 H), h. 216
[9] Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali al Khatib al Baghdadi, Talkhish al Mutasyabih, juz I, (Damaskus: Thalas, 1985), h. 263
[10] Tim penyusun. Al Masu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah, juz. XXII, (Kuwait: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam, 1404-1427 H), h. 220
[11] Republik Indonesia, “Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU no. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor”, (Jakarta: Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum, 2001)
[12] Republik Indonesia, “Undang-Undang R.I  Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap”, (Jakarta: 1980)
[13] Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi, (Jakarta: KPK, 2014) h. 1
[14] Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Memahami Gratifikasi, (Jakarta: KPK, 2014) , h. 19

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB