Peran Ushul Fiqih bagi Fikih Kontemporer


PERANAN USHUL FIQIH DALAM MENJAWAB PERSOALAN
KONTEMPORER YANG BERSIFAT DINAMIS
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf
A.     Pendahuluan
Islam sebagai agama yang Allah Ta’ala turunkan  untuk mengatur semua jenis interaksi manusia. Baik dimensi interaksi manusia dengan Tuhannya (akidah dan ibadah), dengan dirinya sendiri (akhlak) dan orang lain (muamalah dan ‘uqubat). Islam memberikan sejumlah perangkat sistem kehidupan (nizhâm al hâyah) untuk mengatur interaksi tersebut. Islam juga datang untuk menjawab dan memberikan solusi terhadap semua persoalan manusia sebagai akibat dari interaksi tersebut, khususnya interaksi sesama manusia. Sebagaimana karakter ayat-ayat al Quran yang turun berangsur-angsur untuk menjawab persoalan yang muncul saat itu. Tidaklah setiap persoalan kecuali Allah dan Rasul-Nya telah berikan jawabannya. (QS. An. Nahl: 89). Ketika manusia (baik muslim maupun non musilm) menyandarkan atau mengembalikan setiap persoalan hidup dan kehidupannya kepada Islam, maka jaminan Allah akan terwujud yaitu kehidupan yang diliputi rahmat. Sebaliknya jika Islam ditinggalkan maka kehinaan dan kehidupan yang sempit, sulit, dan penuh dengan kekurasakan akan dialami umat manusia. Hal tersebut sebagaimana yang Allah tegaskan dalam al Quran surah Thaha ayat 124 dan surah ar Rum ayat 41.


Manusia dengan potensi akal sekaligus nafsunya menjadikan senantiasa memiliki kreasi sekaligus ambisi. Selain itu sebagai makhluk sosial senantiasa berinteraksi dengan manusia lain. Akibatnnya terjadi perkembangan yang pesat dan beragam dari interaksi-interkasi tersebut. Selanjutnya muncul beragam persoalan baru yang belum pernah ada di masa sebelumnya. Pada saat yang sama, agar manusia tetap memperoleh kerahmatan dan keberkahan dalam hidupnya maka harus tetap dituntun dan dipandu dengan aturan-aturan Islam. Persoalannya kemudian adalah kitab-kitab Fiqih klasik yang telah dituliskan oleh para ulama pada zamannya belum membahas persoalan kontemporer yang muncul saat ini. Sementara ayat-ayat al Quran dan hadits-hadist Nabi Saw juga tidak secara sharih (jelas) menjawab persoalan kontemporer tersebut. Karena itulah diperlukan ijtihad, yaitu usaha maksimal dari seorang mujtahid untuk menggali hukum syariat dari dalil-dalil syariat atas masalah kontemporer tersebut.
Ijtihad adalah satu-satunya metode syar’i untuk menentukan status hukum atas suatu perbuatan dan benda. Seorang Mujtahid haruslah memiliki kualifikasi dan kompetensi keilmuan tertentu sesuai dengen level status mujtahidnya. Di antara ilmu yang sangat berperan dalam proses ijtihad adalah ilmu Ushul Fiqih. Ia mutlak dikuasai bagi seorang mujtahid. Ushul Fiqih adalah metode/jalan yang harus ditempuh bagi seorang mujtahid agar ijtihadnya benar. Itulah di antara hikmah mengapa Allah mengganjar dua pahala bagi seorang mujtahid yang benar ijtihadnya, karena ia telah menempuh metode dan proses ijtihad yang benar dan hasilnya juga benar, sedang mujtahid yang salah hasil ijtihadnya tetap mendapat satu pahala karena meski hasil ijtihadnya keliru namun ia telah menempuh metode/jalan ijtihad yang benar. Disinilah arti penting ilmu Ushul Fiqih.
Ushul Fiqih adalah warisan kekayaan intelektual Islam yang sangat berharga. Hanya saja ketika warisan ini ditinggalkan umat sebagai akibat tidak diimplementasikannya Islam dalam kancah kehidupan, maka terjadikan kemunduran berpikir di tubuh umat Islam. Dampak selanjutnya mereka dengan sadar atau tidak telah mengadopsi hukum dan aturan hidup warisan penjajah. Jika dirunut kebelakang kemunduran ini dimulai dari ditutupnya pintu ijtihad sejak akhir abad ke-4 H/10 M. Ulama yang menyerukan ditutupnya pintu ijtihad adalah al Qaffal[1] (327-417 H). Hal ini menyebabkan banyak ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan melakukan ijtihad tidak berani melakukannya, seperti yang dilakukan al Imam Taqiyuddin as Subki[2] (w. 756 H). Namun hingga awal abad ke-7 H pemikiran umat Islam masih belum mengalami kemerosotan. Hanya saja, sejak awal abad ke-7 hingga akhir abad ke-13 H, umat Islam mengalami kemerosotan berpikir yang tajam, meski tetap merepresentasikan pemikiran Islam. kemerosotan berpikir ini semakin menjadi-jadi saat Islam tidak lagi diterapkan dalam kancah kehidupan hingga saat ini.[3]
Disinilah, diperlukan usaha keras memecahkan kejumudan berpikir akibat telah lamanya ditinggalkan metode berpikir yang berlandaskan pada Ushul Fiqih (ushuli). Makalah ini mencoba memaparkan peran strategis ilmu Ushul Fiqih dalam menjawab permasalahan kontemporer yang bersifat dinamis sekaligus memetakan tantangan dan tawaran solusi membangun paradigma berpikir Ushuli.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa peran strategis Ushul Fiqih dalam proses ijtihad untuk menjawab masalah kontemporer?
2.      Dimanakah peran Ushul Fiqih pada proses ijtihad untuk menjawab masalah kontemporer?
3.      Apa tantangan dan tawaran solusi membudayakan metode ushuli di era modern saat ini?

C.     Definisi Ushul Fiqih
Ushul Fiqih merupakan tarkib idhafi yang tersusun dari kata ushul dan al fiqh. Kata أُصُول  adalah bentuk jamak dari kata أَصْل. Secara etimologis ashl berarti “dasar bagi yang lain”, baik sesuatu yang sifatnya indrawi (konkrit) maupun maknawi (abstrak).[4] Contoh untuk makna yang bersifat indarawi misalkan pondasi rumah yang menjadi dasar bagi bagian-bagian rumah yang ada di atasnya. Contoh ashl dengan pengertian maknani di antaranya:
Pertama, دَلِيل. Jika seseorang mengatakan, “أَصْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ  (Dasar dalam masalah ini adalah al-Kitab dan Sunnah),” maka yang dia maksud adalah, “Dalil masalah ini adalah al-Kitab dan Sunnah.”
Kedua, القَاعِدَة. Jika seseorang mengatakan, “الأَصْلُ أَنَّ الْفَاعِلَ مَرْفُوْع  (Menurut dasarnya, fa‘il itu harus dibaca marfu‘),” maka maksudnya adalah “Menurut kaidahnya, fa‘il itu marfu”[5]

Sementara fiqh secara etimologis berarti فَهْم  (paham).[6] Penggunaan kata fiqh di dalam al-Quran[7] menunjukkan bahwa fiqh tidak berarti sekadar fahm, melainkan pengetahuan yang mendalam tentang suatu perkara تَعَمُّق (pendalaman), atau الفَهْم الدَّقيق  (pemahaman yang mendalam)[8].. Misalnya, dalam firman Allah (al-Tawbah: 122):
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Kata fiqh pada zaman Rasul saw juga bermakna pemahaman yang mendalam tentang kaidah, aturan, dan tujuan agama Islam. Misalnya, sabda Rasul saw:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْن (متفق عليه)
Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, maka Dia membuat orang itu memiliki pemahaman agama yang mendalam. (Muttafaq ‘alaih)
Dari pengertian tersebut dapat kita katakan bahwa jika pengetahuan manusia tentang sesuatu ada dua macam, yaitu pengetahuan yang dangkal dan yang mendalam, maka kata fiqh menunjuk pada pengetahuan yang mendalam. Ketika Islam menyuruh umatnya untuk tafaqquh fi al-din, ini berarti umat Islam harus memahami Islam berdasarkan pemahaman yang komprehensif.
Seiring perkembangan ilmu di dunia Islam, mulai abad ke-2 H., kata fiqh digunakan dalam pengertian khusus, yaitu berkaitan dengan hukum atau deduksi hukum saja[9]. Kata ini pun memiliki pengertian teknis ilmiah, yaitu:
العِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ilmu tentang hukum syariat praktis yang diperoleh dari dalil yang terperinci.[10] Hukum” secara etimologis berarti penetapan sesuatu atas sesuatu. Dalam definisi ini, yang dimaksud dengan “hukum” adalah “ketetapan yang berasal dari Allah untuk mengatur hidup manusia”.[11] Adanya kata “syariat” selain menegaskan hal tersebut, juga untuk menunjukkan bahwa kajian tentang “hukum-hukum akal”, yaitu yang semata menyandarkan akal semata tidak termasuk dalam bahasan fiqh.[12]
Fiqih membahas hukum “’amaliyah/praktis”. Maksudnya, membahas hukum yang berkaitan dengan “perbuatan” manusia atau pedoman dari Pembuat Syariat Islam atas manusia untuk mengatur kehidupan sosial, relasi antar manusia, serta hak dan kewajiban di antara mereka, juga perintah dan pedoman tentang kewajiban manusia kepada Tuhan dan cara beribadah kepada-Nya. Jadi, hukum syariat yang berkaitan dengan akidahtidak termasuk dalam pembahasan fiqh.[13] Jadi, secara garis besar, fiqh Islam mencakup dua bidang. Pertama, relasi muslim dengan Tuhan (hukum ibadah). Kedua, relasi muslim dengan masyarakat Islam secara khusus maupun masyarakat manusia secara umum (nizam qanuni, legal system).
Hukum Islam bersumber dari “dalil”. Dalil berarti “penunjuk” atau “sesuatu yang darinya hukum disimpulkan”.[14] Dalil itu dapat menjadi penunjuk bagi hukum syariat praktis dengan cara direnungi dengan benar. Kata “terperinci” dalam definisi tersebut artinya “parsial” atau “furu‘”. “Dalil yang terperinci” adalah dalil yang berkaitan dengan masalah tertentu, seperti firman Allah (al-Isra’: 32): وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا  (Dan janganlah kalian mendekati zina), yang secara khusus berkaitan dengan keharaman zina. Ayat ini adalah dalil terperinci yang berkaitan dengan masalah tertentu, yaitu zina.
Kesimpulannya, Ushul Fiqh adalah ilmu yang membahas kaidah mendeduksi hukum syariat Islam dari dalil-dalilnya.[15] Ilmu Ushul Fiqh adalah sekumpulan kaidah umum yang digunakan dalam mendeduksi hukum-hukum furu syariat dari dalil-dalil terperincinya.[16] Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah dan dalil-dalil umum yang mengantarkan kepada fiqh.[17]




D.      Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Ushul Fiqih
Ilmu Ushul Fiqih sebagaimana rumusan ilmu-ilmu syar’i lainnya (seperti ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu bahasa Arab, dll) pada awalnya tidaklah berbentuk sistematis dan siap pakai pada awal perkembangannya. Setidaknya ilmu ini mulai terasa bersifat sistematis pada akhir abad kedua hijriyyah ketika Imam asy Syafi’i (w. 204 H) mulai merumuskannya dalam sebuah karya yang berjudul ar Risalah.
Untuk melihat sejarah perkembagan ilmu Ushul Fiqih, setidaknya bisa dipetakan menjadi beberapa fase. Pertama: Benih Ilmu Ushul Fiqih; Kedua: Sistematisasi awal Ilmu Ushul Fiqih; Ketiga: Sistemastisasi kedua ilmu Ushul Fiqih; Keempat: Masa keemasan (izdihar); Kelima: Pengembangan dalam bentuk syuruh dan mukhtasharat; dan Keenam: Pengembangan dalam bentuk taisir/tashil.
Fase pertama dalam sejarah perkembangan Ilmu Ushul Fiqih dimulai sejak masa kenabian dan berakhir pada masa awal tabi’in. Pada masa ini karya-karya Ilmu Ushul Fiqih belumlah ditemukan dan dirumuskan, namun substansi dari ilmu ini sudah teraplikasikan dengan baik dan utuh. Sebagaimana al Qur’an dan Sunnah yang merupakan objek terpenting dalam kajian Ilmu Ushul Fiqih, maka al Qur’an dan Sunnah sesungguhnya sudah teraplikasikan dengan sangat baik pada masa ini. Bahkan secara implisit maupun eksplisit Nabi Muhammad saw telah pula mengajarkan secara aplikatif dalil qiyas,[18] dan bagaimana meng-ististinbath hukum dari lafal-lafal al Qur’an yang bersifat umum maupun khusus, mutlak maupun muqayyad, dll.
Ijma’ sebagai sumber hukum ketiga telah pula teraplikasikan pada masa shahabat melalaui syura yang dilakukan oleh para khalifah rasyidah.[19] Contohnya keputusan Abu Bakar ash Shiddiq untuk mengumpulkan al Qur’an dalam satu mushaf dan keputusan Utsman bn Affan dalam penyatuan bacaan al Qur’an.
Sedangkan fase kedua dari sejarah perkembangan Ilmu Ushul Fiqih ditandai dengan terpolarisasikan manhaj istinbath hukum para ulama saat itu menjadi dua mazhab besar; Mazhab Ahlu al atsar yang berpusat di Hijaz dan Mazhab Ahlu ar Ra’yi yang berpusat di Irak. Hingga akhirnya ilmu ini mulai tersistematisasikan dalam bentuk awalnya oleh Imam Muhammad bin Idris asy Syafi’i (w. 204 H) melalui karyannya ‘ar Risalah’. Imam Khathib ar Ray ar Razi (w. 606 H) berkata, “Seluruh manusia sepakat bahwa orang yang pertama kali merumuskan ilmu Ushul fiqih adalah imam asy Syafi’i, ialah yang mentertibkan bab-banya dan membeda-bedakan sebagian objeknya atas objek lainnya.”[20] Dan Imam al Isnawi (w. 772 H) berkata:
كَانَ إمامنا الشَّافِعِي رَضِي الله عَنهُ هُوَ المبتكر لهَذَا الْعلم بِلَا نزاع وَأول من صنف فِيهِ بِالْإِجْمَاع
“Imam kami, asy Syafi’i ra adalah orang yang pertama kali menulis ilmu ini berdasarkan ijma’”[21]
Selanjutnya, karya-karya yang bernuansa Ushul Fiqih mulai pula bermunculan pasca masa Imam asy Syafi’i, yang menandai fase ketiga yaitu sistematisasi objek-objek ilmu Ushul fiqih yang kedua. Pada masa ini lahirlah karya-karya semisal: Tha’at ar Rasul karya imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), al Ijma’, Ibthal at Taqlid, Khabar al Wahid, al Khushsuh wa al ‘Umum semuanya karya Dawud bin Ali azh Zhahiri (w. 270 H), Khabar al Wahid, dan Itsbat al Qiyas karya Isa bin Aban al Hanafi (w. 221 H), Risalat fi al Ushul karya Ubaidillah al Karkhi al Hanafi (w. 340 H), dan al Fushul karya Abu Bakar al Jasshash al Hanafi (w. 370 H).[22]
Hingga pada abad ke 5 dan 6 Hijriyyah, mulailah fase keemasan Ilmu Ushul Fiqih yang ditandai dengan bermunculannya karya-karya yang mulai mencakup seluruh objek-objek ilmu Ushul Fiqih sebagaimana dikenal saat ini. Bahkan karya-karya Ushul Fiqih pada fase ini merupakan induk dan pondasi dari keseluruhan kajian Ilmu Ushul Fiqih yang terus dikembangkan pada fase-fase berikutnya dengan corakya masing-masing. Fase ini ditandai dengan munculnya karya-karya semisal: al ‘Umad karya Qadhi Abdul Jabbar al Mu’tazili (415 H), al Mu’tamad karya Abu al Husain al Bashri al Mu’tazili (436 H), al Luma’, Syarah al Luma’, dan at Tabshirah semuanya karya Abu Ishaq asy Syirazi asy Syafi’i (476 H), al Faqih wa al Mutafaqqih karya al Khathib al Baghdadi asy Syafi’i (463 H), al Burhan karya Imam al Haramain al Juwaini asy Syafi’i (478 H), al Mushtashfa, al Mankhul, Syifa’ al Ghalil semuanya karya Abu Hamid al Ghazali asy Syafi’i (505 H), al ‘Uddah karya Qadhi Abu Ya’la al Hanbali (458 H), al Wadhih karya Ibnu ‘Aqil al Hanbali (512 H), at Tamhid karya Abu al Khaththab al Kalwadzani al Hanbali (510 H), al Ushul karya as Sarakhsi al Hanafi (483 H), Kanz al WUshul ila Ma’rifah al Ushul karya al Bazdawi al Hanafi (482 H), Ihkam al FUshul dan al Isyarah semuanya karya Abu al Walid al Baji al Maliki, dll.[23]
Adapun pada abad-abad selanjutnya, karya-karya Ushul Fiqih kemudian dikembangkan dengan corak syuruh atau pemberian komentar-komentar dan penjelasan-penjelasan atas karya-karya sebelumnya. Demikian pula mulai muncul karya-karya yang berbentuk mukhtashar atau ringkasan-ringkasan matan Ushul Fiqih yang dimaksudkan untuk dihafal.[24]
Hingga datanglah masa di mana semangat mendalami ilmu Ushul Fiqih dan dialektika perdebatannya mulai melemah. Dan karya-karya Ushul Fiqih ditulis dalam kerangka studi-studi bagi pemula dan pelajar di universitas-universitas Islam yang mengakibatkan karya-karya Ushul Fiqih ditulis dengan gaya bahasa yang mudah (taisir/tashil) dalam rangka menyesuaikannya dengan kapasitas pembelajarnya.[25]
E.     Cakupan Pembahasan Ushul Fiqih
Secara garis besar, menurut Muhammad Husain Abdullah cakupan pembahasan Ushul Fiqih ada empat, yaitu:
1.      Pembahasan tentang dalil dan yang berkaitan dengannya. Mencakup apa saja yang dapat dijadikan sebagai dalil, baik yang disepakati maupun  yang masih diperdebatkan.
2.      Pembahasan hukum dan yang berkaitan dengannya. Mencakup pembahasan pengertian hukum syariat, jenis-jenis hukum syariat, tujuan (maqashid) hukum syariat, rukun-rukun hukum mencakup al hâkim (siapa yang berhak menjadi sumber hukum), mahkum fih, dan mahkum ‘alaih.
3.      Makna lafadz (dalâlah alfâzh) baik yang ada dalam al Quran maupun as sunnah. Mencakup beberapa point yaitu:
a.    makna lafaz dari sisi kejelasan dan kesamarannya. Dari sisi kejelasannya dibagi menjadi: al muhkam, al mufassar, an nash, dan az-zhahir. Dari sisi kesamarannya dibagi menjadi: al khafi, al musykil, al muhmal, dan al mutasyabih
b.    makna lafaz dari sisi makna-maknanya seperti dalalah isyarah, dalalah ibarah, dan mafhum mukhalafah
c.    makna lafaz dari sisi cakupannya seperti al ‘âm dan al khâs, al mutlak dan al muqayyad
d.    makna lafaz dari sisi redaksi dan maksud tuntutan, mencakup al amr dan konsekuensinya serta an nahyu dan konsekuensinya
4.      Ijtihad dan Taklid. Pembahasan terkait makna  ijtihad, hukum ijtihad, jenis-jenis mujtahid dan syarat-syaratnya.  Termasuk juga pembahasan tentang makna taklid, hukum taklid dan jenis-jenisnya.[26]

F.       Fiqih Kontemporer, Ijtihad Dan Ushul Fiqih
Sudah menjadi sunnatullah, bahwa manusia dengan potensi akal yang diberikan oleh Allah SWT, akan menemukan/mengkreasi hal-hal baru. Banyak hal-hal yang pada masa Rasulullah SAW masih hidup belum ada, ternyata hari ini terjadi, inilah yang dimaksud dengan masalah kontemporer. Tentu saja umat Islam memerlukan jawaban konkrit terkait dengan permasalahan hukum yang sifatnya kontemporer tersebut. Kontemporer dalam KBBI dimaknai dengan “pada masa kini” atau “ dewasa ini”.  Lawan kata kontemporer adalah klasik. Jadi masalah Fiqih kontemporer bisa diartinya dengan kasus atau peristiwa masa kini yang belum terdapat penjelasannya secara tegas dalam al Quran dan as Sunnah serta belum dibahasa status hukumnya olah para ulama di masa lalu (klasik).
Satu-satunya metode yang diakui syari’at untuk menjawab persoalan yang hendak dicari status hukumnya adalah ijtihad, karena metode inilah yang disetujui oleh Nabi Saw saat berdialog dengan Mu’adz bin Jabal saat akan diutus ke Yaman sebagai wali atau hakim bagi penduduk Yaman. Ijtihad menurut ulama Ushul didefinisikan dengan :
استفراغ الوسع في طلب الظن بشئ من الاحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه
Mengerahkan segenap kemampuan dalam mencari dugaan terhadap salah satu hukum syara’ sampai batas dimana seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu.[27]
            Dikatakan “mencari dugaan” karena hukum-hukum qath’i yang dinyatakan di dalam nash tidak memerlukan ijtihad. Dikatakan “atas salah satu hukum syariat” karena ijtihad tidak dilakukan dalam perkara akidah dan pengindraan. Definisi ini juga sekaligus menegaskan bahwa produk ijtihad merupakan hukum syara’. Dia memang Fiqih, namun Fiqih itu sendiri bagian dari syariat Islam. berusaha membedakan Fiqih dengan Syariat dari sisi qath’i dan zhani sejatinya bertentangan dengan definisi ini dan definisi Fiqih itu sendiri. Dikatakan “dalam bentuk dimana seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu” karena ijtihad dari orang yang lalai dan malas, sementara dia masih memungkinkan untuk menggunakan kemampuannya lebih tinggi lagi tidak terkategori ijtihad.
            Ijtihad hukumnya fardhu kifayah. Tidak boleh terjadi kevakuman ijtihad dalam satu masa, jika terjadi kevakuman maka kaum muslimin semuanya berdosa, kecuali mereka yang mengupayakan adanya satu mujtahid atau lebih.[28] Mengapa bisa demikian?. Setidaknya karena dua alasan:
1. Banyak masalah-masalah baru yang tidak ada nash-nya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah secara tegas. Misalnya : kloning, bayi tabung, dll.
2. Manusia wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya, termasuk dalam masalah-masalah baru. Dalil-dalil wajibnya terikat dengan hukum syara’ sangatlah banyak, di antaranya: QS 5:49; QS 4:65, dll.
              Ijtihad bagi yang mampu melakukannya hukumnya wajib berdasarkan kaidah maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib, (kewajiban yang tak terlaksana kecuali dgn sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya). Sebab tanpa ijtihad tak mungkin seseorang terikat dengan hukum syara’ pada masalah-masalah baru.[29]
            Sumber utama ijtihad adalah al Quran dan as Sunnah. Keduanya,  menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H), bagaikan pohon yang senantiasa berbuah. Buahnya sangat bermanfaat dan dibutuhkan manusia. Namun produktivitas pohon tersebut tidak ada artinya jika bisa dipetik. Bahkan, bisa jadi buah pohon tersebut tidak pernah bisa dinikmati, selain hanya dilihat oleh semua orang  yang ada di bawah pohon berbuah lebat tersebut. Disinilah maka sangat diperlukan kehadiran orang yang mampu memetik buah tersebut. Dialah orang yang akan memetik dan menghadirkan ke hadapan orang yang ingin menikmatinya. Pemetik itu tidak lain adalah mujtahid.
          Hanya saja sang pemetik tidak sanggup memetik buah tersebut jika tidak ada alat yang dapat digunakan untuk memetik buah tersebut. Alat itu adalah Ushul Fiqih.[30] Karena itu, adanya alat dan pemetik buah tersebut sama-sama pentingnya. Dari sini kita dapat memahami berapa sangat pentingnya peranan Ushul Fiqih dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang belum ada status hukumnya dalam al Quran dan as Sunnah serta kitab-kitab para ulama terdahulu.
          Semakin jelas lagi perang Ushul Fiqih dalam proses ijtihad untuk menggali hukum jika ditinjau dari prosedur/proses ijtihad. Syaikh ‘Atha Ibnu Khalil juga menjelaskan tentang prosedur atau langkah-langkah ijtihad dilakukan dalam tiga langkah yaitu[31]:
1.    Memahami fakta masalah yang akan dihukumi
Pada langkah ini seorang mujtahid wajib mengkaji fakta-fakta terkait kasus atau peristiwa atau bahkan penomena yang hendak dicari status hukumnya. Semakin lengkap informasi atau fakta yang dikumpulkan maka gambaran terhadap fakta yang akan dihukumi juga semakin komprehensif. Pada langkah ini seorang mujtahid dapat bertanya dengan pihak-pihak yang ahli di bidangnya. Sebagai contoh fakta Kloning (klonasi) adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya pada makhluk hidup tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun manusia. Kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) dari tubuh manusia, kemudian diambil inti selnya (nukleusnya), dan selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita yang telah dihilangkan inti selnya dengan suatu metode yang mirip dengan proses pembuahan atau inse­minasi buatan. Dengan metode semacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara mengambil inti sel dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur yang diambil dari seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus dan kejutan arus listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses penggabungan ini terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel tersebut ditrans­fer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbany­ak diri, berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah itu keturunan yang dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan berkode genetik sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan.[32]
2.    Mengkaji nash-nash syara’ yang terkait dengan masalah yang hendak dicari hukumnya.
Pada langkah ini seorang mujtahid mencari dalil-dali yang relevan sesuai dengan manhaj Ushul Fiqih yang dia adopsi. Misalkan ia hanya membatasi dalil hanya pada dalil-dali yang disepakati (al Quran, as Sunnah, Ijma’ sahabat, dan Qiyas) maka ia hanya akan mencari dalil yang relevan dengan kasus dari sumber tersebut saja. Pada langkah ini semakin banyak dalil yang relevan dengan masalah yang dapat dikumpulkan semakin baik agar tidak terjatuh pada pengabaian dalil. Sebagai contoh tentang kloning, dalil-dalil yang dapat digunakan adalah dalil terkait proses terciptanya manusia adalah suatu yang alami, sebagaimana firman Allah:
أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى (38)
"Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya." (QS. Al Qiyaamah : 37-38)

Proses pembuahan secara alami melibatkan pihak laki-laki dan perempuan, dalam hal ini Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
"Hai manusia, sesunguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan." (QS. Al Hujuraat : 13)
Serta dalil bahwa Islam sangat menjaga kejelasan nasab.Diriway­atkan dari Ibnu 'Abbas RA, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia." (HR. Ibnu Majah)
3.    Mengistinbath hukum syara’ dari nash-nash syara’.
Setelah dalil-dalil yang relevan dikumpulkan semua, langkah selanjutnya adalah mengoperasionalkan dalil-dalil tersebut dengan kaidah-kaidah Ushul Fiqih yang ada. Baik dari sisi rajih marjuhnya, nashikh mansuhnya, mutlak-muqayyad, umum dan khususnya, mujmal dan mubayyannya dan seterusnya. Hingga akhirnya disimpulkan status hukum kasus yang dicari hukumnya. Dalam konteks hukum kloning pada manusia simpukan hukumnya haram karena tiga alasan, yaitu: proses penciptaan manusia tidak berjalan alami, dapat menghilangkan peran laki-laki karena seorang wanita dapat melahirkan bayi tanpa perlu pembuahan dari sperma laki-laki, dan karena berakibat pada kacaunya nasab.[33]

G.    Tantangan Dan Tawaran Solusi Membangun Budaya Ushuli Di Era Modern
Pada pendahuluan makalah ini telah disampaikan bahwa telah kemunduran berpikir Ushuli sejak akhir abad ke-4 H, saat diserukan ditutupnya pintu ijtihad. Seruan tersebut menurut penulis adalah seruan yang tepat/relevan pada saat itu. Karena hampir semua persoalan pada masa itu sudah terjawab dengan fatwa dari pada imam-imam mujtahid pada masa itu. Akhirnya fokus penulisan para ulama pada masa itu fokus pada syarah kitab-kitab imam mujtahid, terkadang bahkan syarah atas kitab syarah yang diistilahkan dengan hasyiyah, bahkan apa yang sudah disyarah diringkas lagi. Hal ini terus terjadi hingga abad ke-7 H. Dan kemunduran berpikir ini semakin menjadi-jadi dari abad ke-7 H hingga ke-13 H, yaitu ketika kaum muslimin tidak lagi menjadikan Islam sebagai aturan hidup mereka. Mereka akhirnya mengadopsi undang-undang produk Barat, khususnya Inggris dan Prancis. Seperti di Turki sebagai pusat kekuasaan Islam yang mengadopsi UU Hukum Pidaan Negara Ustmani pada tahun 1857, UU Keuangan dan Perdagangan pada tahun 1859. Pada tahun 1870 membagi lembaga peradilan menjadi dua yaitu peradilan syariah (mahkamah syariah) dan pengadilan umum/sipil (mahkamah nizhamiyah).[34] Hingga saat institusi yang selama ini menjadi penjaga dan pelaksana syariah di-ebolish oleh Mustafa Kemal atas dukungan Inggris, kaum  muslimin tidak memberikan pembelaan yang optimal.[35]  Kondisi umat Islam saat ini benar-benar dalam kondisi yang memprihatinkan, yaitu kondisi yang jauh dari Syariat karena sulitnya memberikan gambaran gambaran pelaksanaan Syariat yang komprehensif (kaffah).
Tidak diterapkannya Islam dalam kancah kehidupan menjadi faktor utama kemunduran berpikir. Umat kehilangan ghirah untuk terikat pada syariat Islam dalam setiap aktivitasnya. Mereka hanya merasa wajib terikat dengan syariat dalam bidang yang amat sempit seperti shalat, zakat, puasa, haji, nikah, talak, rujuk, waris, dsb. Namun cenderung kurang peduli terhadap kewajiban terikat terhadap aturan Islam dalam bidang politik, ekonomi, hukum, peradilan, sistem sanksi, politik luar negeri, pendidikan, sosial, budaya dan bidang bidang kehidupan yang lain.
            Kondisi ini adalah gambaran dari pandangan sekularisme, pandangan hidup dari Barat yang memisahkan urusan agama dengan urusan kehidupan. Orang-orang yang terpapar paham sekular ini akan mengatakan “jangan campurkan urusan agama dengan politik, karena agama itu suci sedang politik itu kotor”, “agama tidak tidak cocok untuk mengurus negara”, dan ungkapan-ungkapan sejenis lainnya. Ruh sekularisme adalah kebebasan. Kebebasan ini kemudian menjalar dalam segala aspek. Kebebasan dalam bidang beragama menjelma menjadi sinkritisme agama, dalam bidang politik menjelma menjadi kebebasan manusia untuk membuat hukum dan undang-undang (demokrasi), dalam bidang ekonomi menjelma menjadi kapitalisme dan ambisi menguasai faktor-faktor ekonomi, di bidang pendidikan menjadi materialisme (orientasi materi, lembaga pendidikan dibuat mengikuti kebutuhan pasar), di bidang budaya menjadi paham hedonisme (serba boleh),  dan seterusnya.
Atas dasar uraian di atas, tawaran solusi untuk mengembalikan semangat berpikir ushuli (kerangka pikir berdasarkan Ushul Fiqih) harus dimulai dari meng-install pemahaman umat tentang perkara yang paling mendasar yaitu akidah, bahwa manusia adalah hamba Allah, misi utamanya adalah beribadah kepada Allah, beribadah kepada Allah dalam segala aspek kehidupannya, tidak sepotong-sepotong seperti pemahaman kalangan sekularis. Wujudnya adalah keterikatan terhadap hukum-hukum syariat dalam segala bidang. Cara sederhananya adalah mengetahui status hukum atas setiap perbuatannya, termasuk dalam persoalan kontemporer.
Sementara keterikatannya terhadap syariat mewajibkannya untuk belajar kepada yang lebih ‘âlim dan bagi mujtahid ada kewajiban untuk berijtihad. Seiring dengan semakin banyaknya persoalan kontemporer maka kebutuhan akan maujtahid juga semakin banyak. Dengan landasan seperti inilah seorang pengkaji ilmu semestinnya memiliki visi bahwa ia harus menjadi seorang mujtahid, selain motivasi bahwa seorang mujtahid meski hasil ijtihadnya keliru ia tetap mendapatkan pahala. Karena visi yang besar akan mendorong untuk berbuat lebih besar dan lebih bersemangat. Jadilah kajian-kajian bahasa arab, ulumul quran, ulumul hadis, tafsir, sirah, tarikh, Ushul Fiqih, Fiqih dan ilmu-ilmu syariah  lainnya menjadi kajian-kajian yang menarik dan menggairahkan karena dikaitkan dengan visi besar untuk membangkitkan umat dengan metode berpikih ushuli tersebut.

H.    Simpulan
Berdasarkan pemaparan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Peranan Ushul Fiqih dalam menjawab persoalan kontemporer sangatlah startegis, karena ia adalah alat yang utama untuk menggali hukum Islam.
2.    Peran Ushul Fiqih dalam proses ijtihad berada pada dua langkah yaitu: menentukan dalil-dalil yang relevan dan langkah bagaimana menggunakan dalil-dalil tersebut saat meng-istinbat hukum
3.    Membangkitkan umat untuk berpikir ushuli dapat dimulai dari pemahaman mendasar tentang akidah yang berimplikasi pada keterikatan pada syariat Islam dalam segala aspek.


[1] Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Ahmad bin Abdullah, Abu Bakar. Dikenal sebagai al Qaffal al –Marwazi, nisbatnya ke Marwa Asy-Syahajan. Profesinya membuat gembok (Qaffal). Beliau seorang faqih dalam madzhab Syafi’i
[2] Nama lengkapnya adalah Ali bin Abdul Kafi, Abu Hasan Taqiyuddin as Subki, lahir di desa Subki Mesir pada tahun 683. Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i yang tinggal di Mesir. Beliau wafat tahun 756 H di Mesir
[3] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih; Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’, (Bogor: al Azhar Press, 2003), hlm. 1
[4] ‘Atha Ibnu Khalil, Taisir Wushûl ilal Ushûl Dirâsâtun fî Ushûl al Fiqh (Beirut: Dâr al Ummah, 2000),  hlm. 6
[5] Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, cet. I, 1418 H./1997 M., hlm. 11.
[6]  Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 11.
[7] Kata  فقه disebut di dalam al-Quran sebanyak tujuh kali, yaitu di dalam QS. al-An‘am: 25, al-Isra’: 46, al-Kahf: 57, al-Tawbah: 122, al-Kahf: 93, Taha: 28, dan al-Munafiqun: 7. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu‘jam Mufahras li Alfaz al-Qur’an, entri فقه.
[8] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh, Damaskus: Dar al-Qalam dan Beirut: Dar al-Shamiyyah, cet. I, 1416 H./1995 M., h. 9; Murtada Muttahhari, Madkhal ila al-‘Ulum al-Islamiyyah: Fiqh, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’, cet. II, 1432 H./2011 M., hlm. 11-12.
[9]  Murtada Mutahhari, Madkhal ila al-‘Ulum al-Islamiyyah: al-Ushul, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’, cet. I, 2009 M./1430 H., hlm. 11-13
[10] Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 11.
[11] ‘Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Ushul al-Fiqh, hlm. 9.
[12] Di dalam buku al-Tashri‘ al-Islami Manahijuh wa Maqasiduh karya Muhammad Taqi al-Mudarrisi yang disebut-sebut sebagai Neo-Ushul Fiqh, bab pertamanya justru bertema “Akal Dan Shariat”. Bab ini memuat empat subbab: (1) Pengertian akal, (2) Akal mengenalkan kepada syariat, (3) Syariat menyempurnakan akal, (4) Putusan-putusan rasional (al-ahkam al-‘aqliyyah).
[13] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh, h. 10; ‘Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 12.
[14] Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Ushul al-Fiqh, hlm. 17.
[15] Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Ushul al-Fiqh, hlm. 7.
[16] Muhammad Sulayman ‘Abd Allah al-Ashqar, al-Wadih fi Ushul al-Fiqh li al-Mubtadi’in ma‘a As’ilah li al-Munaqashah wa Tamrinat, Kairo: Dar al-Salam, cet. II, 1425 H./2004 M., hlm. 7.
[17] Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 13.

[18] Muhammad Adib Shalih, Tafsir an Nushush, (t.t: al Maktab al Islami, 1404), cet. 3, vol. 2, hlm. 65
[19] Abdul Wahab Abu Sulaiman, al Fikr al Ushuli, (Jeddah: Dar asy Syarq,1404), cet. 2, hlm. 22-29.
[20] Muhammad bin Umar ar Razi, Manaqib asy Syafi’i, (Kairo: Maktabah al Kulliyat al Azhariyyah, 1406), cet. 1, hlm. 153.
[21] Abdurrahman bin al Hasan al Isnawi, at Tamhid fi Takhrij al Furu’ ‘ala al Ushul, (Bairut: Mu’assasah ar Risalah, 1400 H), cet. 1, hlm. 45.
[22] ‘Iyadh bin Nami as Sulami, Ushul al Fiqih allazi Laa Yasa’ al Faqih Jahlahu, (Riyadh: Dar at Tadmuriyyah, 1426/2005), cet. 1, hlm. 8.
[23] ‘Iyadh bin Nami as Sulami, Ushul al Fiqih allazi Laa Yasa’ al Faqih Jahlahu, hlm. 8.
[24] Khalifah Ba Bakr al Hasan, Manahij al Ushuliyyin fi Thuruq Dalalah al Alfazh ‘ala al Ahkam, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), h. 7-10.
[25] ‘Iyadh bin Nami as Sulami, Ushul al Fiqih allazi Laa Yasa’ al Faqih Jahlahu, hlm. 8.
[26] Muhammad Husain Abdullah, al Wadhih fi Ushul al Fiqh, (Beirut: Dâr al-Bayâriq: 1995), hlm. 20
[27] Al Amidi, al Ihkam fi Ushul al Ahkam, (Beirut: al Maktbah al Islami, tt) juz IV, hlm. 162
[28] ‘Atha Ibnu Khalil, Taisir Wushûl ilal Ushûl Dirâsâtun fî Ushûl al Fiqh (Beirut: Dâr al Ummah, 2000),  hal. 290
[29] ibid
[30] Al Ghazali, al Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul,(Beirut: Darul Kutub al ‘Ilmiyah, 1993),  hlm. 7
[31] ‘Atha Ibnu Khalil, Taisir Wushûl ....(Beirut: Dâr al Ummah, 200),  hal. 264-265
[32] Abdul Qadim Zallum, Hukmu al Syar’i fi al Istinsakh, (Beirut: Darul Ummah, 1997), hal. 5
[33] ibid
[34] Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah (Bangil: al-Izzah, 2001), hal. 36
[35] Ibid, hal. 179-185

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB