Peran Ushul Fiqih bagi Fikih Kontemporer
PERANAN USHUL FIQIH DALAM MENJAWAB PERSOALAN
KONTEMPORER YANG BERSIFAT DINAMIS
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf
A.
Pendahuluan
Islam
sebagai agama yang Allah Ta’ala turunkan
untuk mengatur semua jenis interaksi manusia. Baik dimensi interaksi
manusia dengan Tuhannya (akidah dan ibadah), dengan dirinya sendiri (akhlak) dan
orang lain (muamalah dan ‘uqubat). Islam memberikan sejumlah perangkat sistem
kehidupan (nizhâm al hâyah) untuk mengatur interaksi tersebut.
Islam juga datang untuk menjawab dan memberikan solusi terhadap semua persoalan
manusia sebagai akibat dari interaksi tersebut, khususnya interaksi sesama
manusia. Sebagaimana karakter ayat-ayat al Quran yang turun berangsur-angsur
untuk menjawab persoalan yang muncul saat itu. Tidaklah setiap persoalan
kecuali Allah dan Rasul-Nya telah berikan jawabannya. (QS. An. Nahl: 89).
Ketika manusia (baik muslim maupun non musilm) menyandarkan atau mengembalikan
setiap persoalan hidup dan kehidupannya kepada Islam, maka jaminan Allah akan
terwujud yaitu kehidupan yang diliputi rahmat. Sebaliknya jika Islam
ditinggalkan maka kehinaan dan kehidupan yang sempit, sulit, dan penuh dengan
kekurasakan akan dialami umat manusia. Hal tersebut sebagaimana yang Allah
tegaskan dalam al Quran surah Thaha ayat 124 dan surah ar Rum ayat 41.
Manusia
dengan potensi akal sekaligus nafsunya menjadikan senantiasa memiliki kreasi sekaligus
ambisi. Selain itu sebagai makhluk sosial senantiasa berinteraksi dengan
manusia lain. Akibatnnya terjadi perkembangan yang pesat dan beragam dari
interaksi-interkasi tersebut. Selanjutnya muncul beragam persoalan baru yang
belum pernah ada di masa sebelumnya. Pada saat yang sama, agar manusia tetap
memperoleh kerahmatan dan keberkahan dalam hidupnya maka harus tetap dituntun
dan dipandu dengan aturan-aturan Islam. Persoalannya kemudian adalah
kitab-kitab Fiqih klasik yang telah dituliskan oleh para ulama pada zamannya
belum membahas persoalan kontemporer yang muncul saat ini. Sementara ayat-ayat
al Quran dan hadits-hadist Nabi Saw juga tidak secara sharih (jelas)
menjawab persoalan kontemporer tersebut. Karena itulah diperlukan ijtihad,
yaitu usaha maksimal dari seorang mujtahid untuk menggali hukum syariat dari
dalil-dalil syariat atas masalah kontemporer tersebut.
Ijtihad
adalah satu-satunya metode syar’i untuk menentukan status hukum atas suatu
perbuatan dan benda. Seorang Mujtahid haruslah memiliki kualifikasi dan kompetensi
keilmuan tertentu sesuai dengen level status mujtahidnya. Di antara ilmu yang
sangat berperan dalam proses ijtihad adalah ilmu Ushul Fiqih. Ia mutlak
dikuasai bagi seorang mujtahid. Ushul Fiqih adalah metode/jalan yang harus
ditempuh bagi seorang mujtahid agar ijtihadnya benar. Itulah di antara hikmah
mengapa Allah mengganjar dua pahala bagi seorang mujtahid yang benar
ijtihadnya, karena ia telah menempuh metode dan proses ijtihad yang benar dan
hasilnya juga benar, sedang mujtahid yang salah hasil ijtihadnya tetap mendapat
satu pahala karena meski hasil ijtihadnya keliru namun ia telah menempuh
metode/jalan ijtihad yang benar. Disinilah arti penting ilmu Ushul Fiqih.
Ushul
Fiqih adalah warisan kekayaan intelektual Islam yang sangat berharga. Hanya
saja ketika warisan ini ditinggalkan umat sebagai akibat tidak diimplementasikannya
Islam dalam kancah kehidupan, maka terjadikan kemunduran berpikir di tubuh umat
Islam. Dampak selanjutnya mereka dengan sadar atau tidak telah mengadopsi hukum
dan aturan hidup warisan penjajah. Jika dirunut kebelakang kemunduran ini
dimulai dari ditutupnya pintu ijtihad sejak akhir abad ke-4 H/10 M. Ulama yang
menyerukan ditutupnya pintu ijtihad adalah al Qaffal[1]
(327-417 H). Hal ini menyebabkan banyak ulama yang sebenarnya memiliki
kemampuan melakukan ijtihad tidak berani melakukannya, seperti yang dilakukan
al Imam Taqiyuddin as Subki[2]
(w. 756 H). Namun hingga awal abad ke-7 H pemikiran umat Islam masih belum
mengalami kemerosotan. Hanya saja, sejak awal abad ke-7 hingga akhir abad ke-13
H, umat Islam mengalami kemerosotan berpikir yang tajam, meski tetap
merepresentasikan pemikiran Islam. kemerosotan berpikir ini semakin
menjadi-jadi saat Islam tidak lagi diterapkan dalam kancah kehidupan hingga
saat ini.[3]
Disinilah,
diperlukan usaha keras memecahkan kejumudan berpikir akibat telah lamanya
ditinggalkan metode berpikir yang berlandaskan pada Ushul Fiqih (ushuli).
Makalah ini mencoba memaparkan peran strategis ilmu Ushul Fiqih dalam menjawab
permasalahan kontemporer yang bersifat dinamis sekaligus memetakan tantangan
dan tawaran solusi membangun paradigma berpikir Ushuli.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
peran strategis Ushul Fiqih dalam proses ijtihad untuk menjawab masalah
kontemporer?
2.
Dimanakah
peran Ushul Fiqih pada proses ijtihad untuk menjawab masalah kontemporer?
3.
Apa
tantangan dan tawaran solusi membudayakan metode ushuli di era modern
saat ini?
C.
Definisi Ushul Fiqih
Ushul Fiqih merupakan tarkib
idhafi yang tersusun dari kata ushul dan al fiqh. Kata أُصُول adalah bentuk jamak
dari kata أَصْل. Secara etimologis ashl berarti
“dasar bagi yang lain”, baik sesuatu yang sifatnya indrawi (konkrit) maupun
maknawi (abstrak).[4]
Contoh untuk makna yang bersifat indarawi misalkan pondasi rumah yang menjadi
dasar bagi bagian-bagian rumah yang ada di atasnya. Contoh ashl dengan pengertian
maknani di antaranya:
Pertama, دَلِيل. Jika seseorang mengatakan, “أَصْلُ
هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ (Dasar dalam masalah ini adalah al-Kitab dan Sunnah),” maka yang dia maksud
adalah, “Dalil masalah ini adalah al-Kitab dan Sunnah.”
Kedua, القَاعِدَة. Jika seseorang mengatakan, “الأَصْلُ
أَنَّ الْفَاعِلَ مَرْفُوْع (Menurut dasarnya, fa‘il itu harus dibaca marfu‘),” maka maksudnya adalah
“Menurut kaidahnya, fa‘il itu marfu”[5]
Sementara fiqh secara
etimologis berarti فَهْم (paham).[6]
Penggunaan kata fiqh di dalam al-Quran[7] menunjukkan bahwa fiqh tidak berarti sekadar fahm, melainkan pengetahuan
yang mendalam tentang suatu perkara تَعَمُّق (pendalaman), atau الفَهْم
الدَّقيق (pemahaman yang
mendalam)[8].. Misalnya, dalam firman Allah (al-Tawbah: 122):
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Kata fiqh pada zaman Rasul saw juga bermakna pemahaman yang mendalam
tentang kaidah, aturan, dan tujuan agama Islam. Misalnya, sabda Rasul saw:
مَنْ يُرِدِ
اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْن (متفق عليه)
Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, maka Dia membuat orang itu
memiliki pemahaman agama yang mendalam. (Muttafaq ‘alaih)
Dari pengertian
tersebut dapat kita katakan bahwa jika pengetahuan manusia tentang sesuatu ada
dua macam, yaitu pengetahuan yang dangkal dan yang mendalam, maka kata fiqh
menunjuk pada pengetahuan yang mendalam. Ketika Islam menyuruh umatnya untuk tafaqquh
fi al-din, ini berarti umat Islam harus memahami Islam berdasarkan
pemahaman yang komprehensif.
Seiring perkembangan ilmu di dunia Islam, mulai abad ke-2 H., kata fiqh
digunakan dalam pengertian khusus, yaitu berkaitan dengan hukum atau deduksi
hukum saja[9].
Kata ini pun memiliki pengertian teknis ilmiah, yaitu:
العِلْمُ
بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا
التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ilmu tentang hukum syariat praktis yang diperoleh dari dalil yang
terperinci.[10] Hukum” secara etimologis berarti penetapan
sesuatu atas sesuatu. Dalam definisi ini, yang dimaksud dengan “hukum” adalah
“ketetapan yang berasal dari Allah untuk mengatur hidup manusia”.[11] Adanya kata “syariat” selain menegaskan hal
tersebut, juga untuk menunjukkan bahwa kajian tentang “hukum-hukum akal”, yaitu yang semata menyandarkan akal semata tidak termasuk dalam bahasan fiqh.[12]
Fiqih membahas hukum “’amaliyah/praktis”. Maksudnya, membahas hukum yang
berkaitan dengan “perbuatan” manusia atau pedoman dari Pembuat Syariat Islam
atas manusia untuk mengatur kehidupan sosial, relasi antar manusia, serta hak
dan kewajiban di antara mereka, juga perintah dan pedoman tentang kewajiban
manusia kepada Tuhan dan cara beribadah kepada-Nya. Jadi, hukum syariat yang
berkaitan dengan akidahtidak termasuk dalam pembahasan fiqh.[13] Jadi, secara garis besar, fiqh Islam mencakup dua bidang. Pertama, relasi
muslim dengan Tuhan (hukum ibadah). Kedua, relasi muslim dengan masyarakat Islam
secara khusus maupun masyarakat manusia secara umum (nizam qanuni, legal
system).
Hukum Islam bersumber dari “dalil”. Dalil berarti “penunjuk” atau “sesuatu
yang darinya hukum disimpulkan”.[14] Dalil itu dapat menjadi penunjuk bagi hukum
syariat praktis dengan cara direnungi dengan benar. Kata “terperinci” dalam
definisi tersebut artinya “parsial” atau “furu‘”. “Dalil
yang terperinci” adalah dalil yang berkaitan dengan masalah tertentu, seperti
firman Allah (al-Isra’: 32): وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا (Dan janganlah kalian mendekati zina), yang secara khusus berkaitan dengan
keharaman zina. Ayat ini adalah dalil terperinci yang berkaitan dengan masalah
tertentu, yaitu zina.
Kesimpulannya, Ushul Fiqh adalah ilmu yang membahas kaidah
mendeduksi hukum syariat Islam dari dalil-dalilnya.[15] Ilmu Ushul Fiqh adalah sekumpulan kaidah umum
yang digunakan dalam mendeduksi hukum-hukum furu syariat dari dalil-dalil
terperincinya.[16] Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah dan dalil-dalil
umum yang mengantarkan kepada fiqh.[17]
D.
Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Ushul Fiqih
Ilmu Ushul Fiqih
sebagaimana rumusan ilmu-ilmu syar’i lainnya (seperti ilmu tafsir, ilmu hadist,
ilmu bahasa Arab, dll) pada awalnya tidaklah berbentuk sistematis dan siap
pakai pada awal perkembangannya. Setidaknya ilmu ini mulai terasa bersifat
sistematis pada akhir abad kedua hijriyyah ketika Imam asy Syafi’i (w. 204 H)
mulai merumuskannya dalam sebuah karya yang berjudul ar Risalah.
Untuk melihat sejarah
perkembagan ilmu Ushul Fiqih, setidaknya bisa dipetakan menjadi beberapa fase. Pertama:
Benih Ilmu Ushul Fiqih; Kedua: Sistematisasi awal Ilmu Ushul Fiqih; Ketiga:
Sistemastisasi kedua ilmu Ushul Fiqih; Keempat: Masa keemasan (izdihar);
Kelima: Pengembangan dalam bentuk syuruh dan mukhtasharat;
dan Keenam: Pengembangan dalam bentuk taisir/tashil.
Fase pertama dalam
sejarah perkembangan Ilmu Ushul Fiqih dimulai sejak masa kenabian dan berakhir
pada masa awal tabi’in. Pada masa ini karya-karya Ilmu Ushul Fiqih belumlah
ditemukan dan dirumuskan, namun substansi dari ilmu ini sudah teraplikasikan
dengan baik dan utuh. Sebagaimana al Qur’an dan Sunnah yang merupakan objek
terpenting dalam kajian Ilmu Ushul Fiqih, maka al Qur’an dan Sunnah
sesungguhnya sudah teraplikasikan dengan sangat baik pada masa ini. Bahkan
secara implisit maupun eksplisit Nabi Muhammad saw telah pula mengajarkan secara
aplikatif dalil qiyas,[18]
dan bagaimana meng-ististinbath hukum dari lafal-lafal al Qur’an yang
bersifat umum maupun khusus, mutlak maupun muqayyad,
dll.
Ijma’ sebagai sumber
hukum ketiga telah pula teraplikasikan pada masa shahabat melalaui syura
yang dilakukan oleh para khalifah rasyidah.[19]
Contohnya keputusan Abu Bakar ash Shiddiq untuk mengumpulkan al Qur’an dalam
satu mushaf dan keputusan Utsman bn Affan dalam penyatuan bacaan al Qur’an.
Sedangkan fase kedua
dari sejarah perkembangan Ilmu Ushul Fiqih ditandai dengan terpolarisasikan manhaj
istinbath hukum para ulama saat itu menjadi dua mazhab besar; Mazhab Ahlu
al atsar yang berpusat di Hijaz dan Mazhab Ahlu ar Ra’yi yang
berpusat di Irak. Hingga akhirnya ilmu ini mulai tersistematisasikan dalam
bentuk awalnya oleh Imam Muhammad bin Idris asy Syafi’i (w. 204 H) melalui
karyannya ‘ar Risalah’. Imam Khathib ar Ray ar Razi (w. 606 H) berkata,
“Seluruh manusia sepakat bahwa orang yang pertama kali merumuskan ilmu Ushul
fiqih adalah imam asy Syafi’i, ialah yang mentertibkan bab-banya dan
membeda-bedakan sebagian objeknya atas objek lainnya.”[20]
Dan Imam al Isnawi (w. 772 H) berkata:
كَانَ إمامنا
الشَّافِعِي رَضِي الله عَنهُ هُوَ المبتكر لهَذَا الْعلم بِلَا نزاع وَأول من صنف
فِيهِ بِالْإِجْمَاع
“Imam kami, asy Syafi’i
ra adalah orang yang pertama kali menulis ilmu ini berdasarkan ijma’”[21]
Selanjutnya,
karya-karya yang bernuansa Ushul Fiqih mulai pula bermunculan pasca masa Imam
asy Syafi’i, yang menandai fase ketiga yaitu sistematisasi objek-objek ilmu Ushul
fiqih yang kedua. Pada masa ini lahirlah karya-karya semisal: Tha’at ar
Rasul karya imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), al Ijma’, Ibthal at
Taqlid, Khabar al Wahid, al Khushsuh wa al ‘Umum semuanya
karya Dawud bin Ali azh Zhahiri (w. 270 H), Khabar al Wahid, dan
Itsbat al Qiyas karya Isa bin Aban al Hanafi (w. 221 H), Risalat fi al
Ushul karya Ubaidillah al Karkhi al Hanafi (w. 340 H), dan al Fushul
karya Abu Bakar al Jasshash al Hanafi (w. 370 H).[22]
Hingga pada abad ke 5
dan 6 Hijriyyah, mulailah fase keemasan Ilmu Ushul Fiqih yang ditandai dengan
bermunculannya karya-karya yang mulai mencakup seluruh objek-objek ilmu Ushul
Fiqih sebagaimana dikenal saat ini. Bahkan karya-karya Ushul Fiqih pada fase
ini merupakan induk dan pondasi dari keseluruhan kajian Ilmu Ushul Fiqih yang
terus dikembangkan pada fase-fase berikutnya dengan corakya masing-masing. Fase
ini ditandai dengan munculnya karya-karya semisal: al ‘Umad karya Qadhi
Abdul Jabbar al Mu’tazili (415 H), al Mu’tamad karya Abu al Husain al
Bashri al Mu’tazili (436 H), al Luma’, Syarah al Luma’, dan at
Tabshirah semuanya karya Abu Ishaq asy Syirazi asy Syafi’i (476 H), al
Faqih wa al Mutafaqqih karya al Khathib al Baghdadi asy Syafi’i (463 H), al
Burhan karya Imam al Haramain al Juwaini asy Syafi’i (478 H), al
Mushtashfa, al Mankhul, Syifa’ al Ghalil semuanya karya Abu
Hamid al Ghazali asy Syafi’i (505 H), al ‘Uddah karya Qadhi Abu Ya’la al
Hanbali (458 H), al Wadhih karya Ibnu ‘Aqil al Hanbali (512 H), at
Tamhid karya Abu al Khaththab al Kalwadzani al Hanbali (510 H), al Ushul
karya as Sarakhsi al Hanafi (483 H), Kanz al WUshul ila Ma’rifah al Ushul
karya al Bazdawi al Hanafi (482 H), Ihkam al FUshul dan al Isyarah
semuanya karya Abu al Walid al Baji al Maliki, dll.[23]
Adapun pada abad-abad
selanjutnya, karya-karya Ushul Fiqih kemudian dikembangkan dengan corak syuruh
atau pemberian komentar-komentar dan penjelasan-penjelasan atas karya-karya
sebelumnya. Demikian pula mulai muncul karya-karya yang berbentuk mukhtashar
atau ringkasan-ringkasan matan Ushul Fiqih yang dimaksudkan untuk dihafal.[24]
Hingga datanglah masa
di mana semangat mendalami ilmu Ushul Fiqih dan dialektika perdebatannya mulai
melemah. Dan karya-karya Ushul Fiqih ditulis dalam kerangka studi-studi bagi
pemula dan pelajar di universitas-universitas Islam yang mengakibatkan karya-karya
Ushul Fiqih ditulis dengan gaya bahasa yang mudah (taisir/tashil)
dalam rangka menyesuaikannya dengan kapasitas pembelajarnya.[25]
E.
Cakupan Pembahasan Ushul Fiqih
Secara
garis besar, menurut Muhammad Husain Abdullah cakupan pembahasan Ushul Fiqih
ada empat, yaitu:
1.
Pembahasan
tentang dalil dan yang berkaitan dengannya. Mencakup apa saja yang dapat
dijadikan sebagai dalil, baik yang disepakati maupun yang masih diperdebatkan.
2.
Pembahasan
hukum dan yang berkaitan dengannya. Mencakup pembahasan pengertian hukum
syariat, jenis-jenis hukum syariat, tujuan (maqashid) hukum syariat, rukun-rukun
hukum mencakup al hâkim (siapa yang berhak menjadi sumber hukum), mahkum
fih, dan mahkum ‘alaih.
3.
Makna
lafadz (dalâlah alfâzh) baik yang ada dalam al Quran maupun as sunnah.
Mencakup beberapa point yaitu:
a.
makna
lafaz dari sisi kejelasan dan kesamarannya. Dari sisi kejelasannya dibagi
menjadi: al muhkam, al mufassar, an nash, dan az-zhahir. Dari
sisi kesamarannya dibagi menjadi: al khafi, al musykil, al muhmal, dan
al mutasyabih
b.
makna
lafaz dari sisi makna-maknanya seperti dalalah isyarah, dalalah ibarah, dan
mafhum mukhalafah
c.
makna
lafaz dari sisi cakupannya seperti al ‘âm dan al khâs, al mutlak dan
al muqayyad
d.
makna
lafaz dari sisi redaksi dan maksud tuntutan, mencakup al amr dan
konsekuensinya serta an nahyu dan konsekuensinya
4.
Ijtihad
dan Taklid. Pembahasan terkait makna
ijtihad, hukum ijtihad, jenis-jenis mujtahid dan syarat-syaratnya. Termasuk juga pembahasan tentang makna taklid,
hukum taklid dan jenis-jenisnya.[26]
F.
Fiqih Kontemporer, Ijtihad
Dan Ushul Fiqih
Sudah menjadi sunnatullah, bahwa manusia dengan
potensi akal yang diberikan oleh Allah SWT, akan menemukan/mengkreasi
hal-hal baru. Banyak hal-hal yang pada masa Rasulullah SAW masih hidup
belum ada, ternyata hari ini terjadi, inilah yang dimaksud dengan masalah
kontemporer. Tentu saja umat Islam memerlukan jawaban
konkrit terkait dengan permasalahan hukum yang sifatnya kontemporer tersebut. Kontemporer dalam KBBI dimaknai dengan “pada masa kini” atau “
dewasa ini”. Lawan kata kontemporer
adalah klasik. Jadi masalah Fiqih kontemporer bisa diartinya dengan kasus atau
peristiwa masa kini yang belum terdapat penjelasannya secara tegas dalam al
Quran dan as Sunnah serta belum dibahasa status hukumnya olah para ulama di
masa lalu (klasik).
Satu-satunya
metode yang diakui syari’at untuk menjawab persoalan yang hendak dicari status
hukumnya adalah ijtihad, karena metode inilah yang disetujui oleh Nabi Saw saat
berdialog dengan Mu’adz bin Jabal saat akan diutus ke Yaman sebagai wali atau
hakim bagi penduduk Yaman. Ijtihad menurut ulama Ushul didefinisikan dengan :
استفراغ الوسع في طلب
الظن بشئ من الاحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه
Mengerahkan
segenap kemampuan dalam mencari dugaan terhadap salah satu hukum syara’ sampai
batas dimana seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu.[27]
Dikatakan “mencari dugaan” karena
hukum-hukum qath’i yang dinyatakan di dalam nash tidak memerlukan ijtihad.
Dikatakan “atas salah satu hukum syariat” karena ijtihad tidak dilakukan dalam
perkara akidah dan pengindraan. Definisi ini juga sekaligus menegaskan bahwa
produk ijtihad merupakan hukum syara’. Dia memang Fiqih, namun Fiqih itu
sendiri bagian dari syariat Islam. berusaha membedakan Fiqih dengan Syariat
dari sisi qath’i dan zhani sejatinya bertentangan dengan definisi ini dan
definisi Fiqih itu sendiri. Dikatakan “dalam bentuk dimana seorang mujtahid
merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu” karena ijtihad dari orang
yang lalai dan malas, sementara dia masih memungkinkan untuk menggunakan
kemampuannya lebih tinggi lagi tidak terkategori ijtihad.
Ijtihad hukumnya fardhu kifayah.
Tidak boleh terjadi kevakuman ijtihad dalam satu masa, jika terjadi kevakuman
maka kaum muslimin semuanya berdosa, kecuali mereka yang mengupayakan adanya
satu mujtahid atau lebih.[28]
Mengapa bisa demikian?. Setidaknya karena dua alasan:
1. Banyak masalah-masalah baru yang tidak ada
nash-nya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah
secara tegas. Misalnya : kloning, bayi tabung, dll.
2. Manusia wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya,
termasuk dalam masalah-masalah baru. Dalil-dalil wajibnya terikat dengan hukum
syara’ sangatlah banyak, di antaranya: QS 5:49; QS 4:65, dll.
Ijtihad bagi
yang mampu melakukannya hukumnya wajib berdasarkan kaidah maa laa yatimmul
wajibu illa bihi fahuwa wajib, (kewajiban yang tak terlaksana kecuali dgn
sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya). Sebab tanpa ijtihad tak mungkin seseorang
terikat dengan hukum syara’ pada masalah-masalah baru.[29]
Sumber utama
ijtihad adalah al Quran dan as Sunnah. Keduanya, menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H), bagaikan
pohon yang senantiasa berbuah. Buahnya sangat bermanfaat dan dibutuhkan manusia.
Namun produktivitas pohon tersebut tidak ada artinya jika bisa dipetik. Bahkan,
bisa jadi buah pohon tersebut tidak pernah bisa dinikmati, selain hanya dilihat
oleh semua orang yang ada di bawah pohon
berbuah lebat tersebut. Disinilah maka sangat diperlukan kehadiran orang yang
mampu memetik buah tersebut. Dialah orang yang akan memetik dan menghadirkan ke
hadapan orang yang ingin menikmatinya. Pemetik itu tidak lain adalah mujtahid.
Hanya saja sang
pemetik tidak sanggup memetik buah tersebut jika tidak ada alat yang dapat
digunakan untuk memetik buah tersebut. Alat itu adalah Ushul Fiqih.[30]
Karena itu, adanya alat dan pemetik buah tersebut sama-sama pentingnya. Dari
sini kita dapat memahami berapa sangat pentingnya peranan Ushul Fiqih dalam
menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang belum ada status hukumnya dalam
al Quran dan as Sunnah serta kitab-kitab para ulama terdahulu.
Semakin jelas lagi perang Ushul Fiqih
dalam proses ijtihad untuk menggali hukum jika ditinjau dari prosedur/proses
ijtihad. Syaikh ‘Atha Ibnu Khalil juga menjelaskan tentang prosedur atau
langkah-langkah ijtihad dilakukan dalam tiga langkah yaitu[31]:
1.
Memahami fakta masalah yang akan dihukumi
Pada langkah
ini seorang mujtahid wajib mengkaji fakta-fakta terkait kasus atau peristiwa
atau bahkan penomena yang hendak dicari status hukumnya. Semakin lengkap
informasi atau fakta yang dikumpulkan maka gambaran terhadap fakta yang akan
dihukumi juga semakin komprehensif. Pada langkah ini seorang mujtahid dapat
bertanya dengan pihak-pihak yang ahli di bidangnya. Sebagai contoh fakta Kloning
(klonasi) adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan
induknya pada makhluk hidup tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun
manusia. Kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik
yang sama dengan induknya yang berupa manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara mengambil sel tubuh (sel
somatik) dari tubuh manusia, kemudian diambil inti selnya (nukleusnya), dan
selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita yang telah dihilangkan inti
selnya dengan suatu metode yang mirip dengan proses pembuahan atau inseminasi
buatan. Dengan metode semacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara
mengambil inti sel dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur
yang diambil dari seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus
dan kejutan arus listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses
penggabungan ini terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel
tersebut ditransfer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak
diri, berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah
itu keturunan yang dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan
berkode genetik sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel
tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan.[32]
2.
Mengkaji
nash-nash syara’ yang terkait dengan masalah yang
hendak dicari hukumnya.
Pada
langkah ini seorang mujtahid mencari dalil-dali yang relevan sesuai dengan
manhaj Ushul Fiqih yang dia adopsi. Misalkan ia hanya membatasi dalil hanya
pada dalil-dali yang disepakati (al Quran, as Sunnah, Ijma’ sahabat, dan Qiyas)
maka ia hanya akan mencari dalil yang relevan dengan kasus dari sumber tersebut
saja. Pada langkah ini semakin banyak dalil yang relevan dengan masalah yang
dapat dikumpulkan semakin baik agar tidak terjatuh pada pengabaian dalil. Sebagai
contoh tentang kloning, dalil-dalil yang dapat digunakan adalah dalil terkait
proses terciptanya manusia adalah suatu yang alami, sebagaimana firman Allah:
أَلَمْ
يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى
(38)
"Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam
rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya,
dan menyempurnakannya." (QS. Al Qiyaamah : 37-38)
Proses
pembuahan secara alami melibatkan pihak laki-laki dan perempuan, dalam hal ini
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
"Hai manusia, sesunguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan." (QS. Al Hujuraat : 13)
Serta dalil
bahwa Islam sangat menjaga kejelasan nasab.Diriwayatkan
dari Ibnu 'Abbas RA, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
مَنْ انْتَسَبَ إِلَى
غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ
وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan
ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka
dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia."
(HR. Ibnu Majah)
3.
Mengistinbath
hukum syara’ dari nash-nash syara’.
Setelah dalil-dalil yang relevan dikumpulkan semua, langkah
selanjutnya adalah mengoperasionalkan dalil-dalil tersebut dengan kaidah-kaidah
Ushul Fiqih yang ada. Baik dari sisi rajih marjuhnya, nashikh mansuhnya,
mutlak-muqayyad, umum dan khususnya, mujmal dan mubayyannya dan seterusnya.
Hingga akhirnya disimpulkan status hukum kasus yang dicari hukumnya. Dalam
konteks hukum kloning pada manusia simpukan hukumnya haram karena tiga alasan,
yaitu: proses penciptaan manusia tidak berjalan alami, dapat menghilangkan
peran laki-laki karena seorang wanita dapat melahirkan bayi tanpa perlu
pembuahan dari sperma laki-laki, dan karena berakibat pada kacaunya nasab.[33]
G.
Tantangan Dan Tawaran Solusi Membangun Budaya Ushuli Di Era
Modern
Pada
pendahuluan makalah ini telah disampaikan bahwa telah kemunduran berpikir Ushuli
sejak akhir abad ke-4 H, saat diserukan ditutupnya pintu ijtihad. Seruan
tersebut menurut penulis adalah seruan yang tepat/relevan pada saat itu. Karena
hampir semua persoalan pada masa itu sudah terjawab dengan fatwa dari pada
imam-imam mujtahid pada masa itu. Akhirnya fokus penulisan para ulama pada masa
itu fokus pada syarah kitab-kitab imam mujtahid, terkadang bahkan syarah atas
kitab syarah yang diistilahkan dengan hasyiyah, bahkan apa yang sudah disyarah
diringkas lagi. Hal ini terus terjadi hingga abad ke-7 H. Dan kemunduran
berpikir ini semakin menjadi-jadi dari abad ke-7 H hingga ke-13 H, yaitu ketika
kaum muslimin tidak lagi menjadikan Islam sebagai aturan hidup mereka. Mereka akhirnya
mengadopsi undang-undang produk Barat, khususnya Inggris dan Prancis. Seperti
di Turki sebagai pusat kekuasaan Islam yang mengadopsi UU Hukum Pidaan Negara
Ustmani pada tahun 1857, UU Keuangan dan Perdagangan pada tahun 1859. Pada
tahun 1870 membagi lembaga peradilan menjadi dua yaitu peradilan syariah (mahkamah
syariah) dan pengadilan umum/sipil (mahkamah nizhamiyah).[34]
Hingga saat institusi yang selama ini menjadi penjaga dan pelaksana syariah di-ebolish
oleh Mustafa Kemal atas dukungan Inggris, kaum muslimin tidak memberikan pembelaan yang
optimal.[35]
Kondisi umat Islam saat ini
benar-benar dalam kondisi yang memprihatinkan, yaitu kondisi yang jauh dari
Syariat karena sulitnya memberikan gambaran gambaran pelaksanaan Syariat yang
komprehensif (kaffah).
Tidak
diterapkannya Islam dalam kancah kehidupan menjadi faktor utama kemunduran
berpikir. Umat kehilangan ghirah untuk terikat pada syariat Islam dalam
setiap aktivitasnya. Mereka hanya merasa wajib terikat dengan syariat dalam
bidang yang amat sempit seperti shalat, zakat, puasa, haji, nikah, talak,
rujuk, waris, dsb. Namun cenderung kurang peduli terhadap kewajiban terikat terhadap
aturan Islam dalam bidang politik, ekonomi, hukum, peradilan, sistem sanksi,
politik luar negeri, pendidikan, sosial, budaya dan bidang bidang kehidupan
yang lain.
Kondisi
ini adalah gambaran dari pandangan sekularisme, pandangan hidup dari Barat yang
memisahkan urusan agama dengan urusan kehidupan. Orang-orang yang terpapar
paham sekular ini akan mengatakan “jangan campurkan urusan agama dengan politik,
karena agama itu suci sedang politik itu kotor”, “agama tidak tidak cocok untuk
mengurus negara”, dan ungkapan-ungkapan sejenis lainnya. Ruh sekularisme adalah
kebebasan. Kebebasan ini kemudian menjalar dalam segala aspek. Kebebasan dalam
bidang beragama menjelma menjadi sinkritisme agama, dalam bidang politik
menjelma menjadi kebebasan manusia untuk membuat hukum dan undang-undang
(demokrasi), dalam bidang ekonomi menjelma menjadi kapitalisme dan ambisi
menguasai faktor-faktor ekonomi, di bidang pendidikan menjadi materialisme
(orientasi materi, lembaga pendidikan dibuat mengikuti kebutuhan pasar), di
bidang budaya menjadi paham hedonisme (serba boleh), dan seterusnya.
Atas
dasar uraian di atas, tawaran solusi untuk mengembalikan semangat berpikir ushuli
(kerangka pikir berdasarkan Ushul Fiqih) harus dimulai dari meng-install
pemahaman umat tentang perkara yang paling mendasar yaitu akidah, bahwa manusia
adalah hamba Allah, misi utamanya adalah beribadah kepada Allah, beribadah
kepada Allah dalam segala aspek kehidupannya, tidak sepotong-sepotong seperti
pemahaman kalangan sekularis. Wujudnya adalah keterikatan terhadap hukum-hukum
syariat dalam segala bidang. Cara sederhananya adalah mengetahui status hukum
atas setiap perbuatannya, termasuk dalam persoalan kontemporer.
Sementara
keterikatannya terhadap syariat mewajibkannya untuk belajar kepada yang lebih ‘âlim
dan bagi mujtahid ada kewajiban untuk berijtihad. Seiring dengan semakin
banyaknya persoalan kontemporer maka kebutuhan akan maujtahid juga semakin
banyak. Dengan landasan seperti inilah seorang pengkaji ilmu semestinnya
memiliki visi bahwa ia harus menjadi seorang mujtahid, selain motivasi bahwa
seorang mujtahid meski hasil ijtihadnya keliru ia tetap mendapatkan pahala.
Karena visi yang besar akan mendorong untuk berbuat lebih besar dan lebih
bersemangat. Jadilah kajian-kajian bahasa arab, ulumul quran, ulumul hadis,
tafsir, sirah, tarikh, Ushul Fiqih, Fiqih dan ilmu-ilmu syariah lainnya menjadi kajian-kajian yang menarik dan
menggairahkan karena dikaitkan dengan visi besar untuk membangkitkan umat
dengan metode berpikih ushuli tersebut.
H.
Simpulan
Berdasarkan pemaparan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Peranan
Ushul Fiqih dalam menjawab persoalan kontemporer sangatlah startegis, karena ia
adalah alat yang utama untuk menggali hukum Islam.
2.
Peran
Ushul Fiqih dalam proses ijtihad berada pada dua langkah yaitu: menentukan
dalil-dalil yang relevan dan langkah bagaimana menggunakan dalil-dalil tersebut
saat meng-istinbat hukum
3.
Membangkitkan
umat untuk berpikir ushuli dapat dimulai dari pemahaman mendasar tentang akidah
yang berimplikasi pada keterikatan pada syariat Islam dalam segala aspek.
[1] Nama
lengkapnya adalah Abdullah bin Ahmad bin Abdullah, Abu Bakar. Dikenal sebagai
al Qaffal al –Marwazi, nisbatnya ke Marwa Asy-Syahajan. Profesinya membuat
gembok (Qaffal). Beliau seorang faqih dalam madzhab Syafi’i
[2] Nama
lengkapnya adalah Ali bin Abdul Kafi, Abu Hasan Taqiyuddin as Subki, lahir di
desa Subki Mesir pada tahun 683. Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i
yang tinggal di Mesir. Beliau wafat tahun 756 H di Mesir
[3] Hafidz
Abdurrahman, Ushul Fiqih; Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’, (Bogor: al
Azhar Press, 2003), hlm. 1
[4] ‘Atha Ibnu
Khalil, Taisir Wushûl ilal Ushûl Dirâsâtun fî Ushûl al Fiqh (Beirut: Dâr
al Ummah, 2000), hlm. 6
[5] Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Ushul
al-Fiqh, Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, cet. I, 1418 H./1997 M., hlm. 11.
[7] Kata فقه disebut di
dalam al-Quran sebanyak tujuh kali, yaitu di dalam QS. al-An‘am: 25, al-Isra’:
46, al-Kahf: 57, al-Tawbah: 122, al-Kahf: 93, Taha: 28, dan al-Munafiqun: 7.
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu‘jam Mufahras li Alfaz al-Qur’an, entri فقه.
[8] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh
al-Islami wa Madarisuh, Damaskus: Dar al-Qalam dan Beirut: Dar
al-Shamiyyah, cet. I, 1416 H./1995 M., h. 9; Murtada Muttahhari, Madkhal ila al-‘Ulum
al-Islamiyyah: Fiqh, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’,
cet. II, 1432 H./2011 M., hlm. 11-12.
[9] Murtada
Mutahhari, Madkhal ila al-‘Ulum al-Islamiyyah: al-Ushul, terj. Hasan
‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’, cet. I, 2009 M./1430 H., hlm. 11-13
[12] Di dalam buku al-Tashri‘ al-Islami Manahijuh wa Maqasiduh
karya Muhammad Taqi al-Mudarrisi yang disebut-sebut sebagai Neo-Ushul Fiqh, bab
pertamanya justru bertema “Akal Dan Shariat”. Bab ini memuat empat subbab: (1) Pengertian
akal, (2) Akal mengenalkan kepada syariat, (3) Syariat menyempurnakan akal, (4)
Putusan-putusan rasional (al-ahkam al-‘aqliyyah).
[13] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami
wa Madarisuh, h. 10; ‘Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Ushul
al-Fiqh, hlm. 12.
[14] Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Ushul
al-Fiqh, hlm. 17.
[15] Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Ushul
al-Fiqh, hlm. 7.
[16] Muhammad Sulayman ‘Abd Allah al-Ashqar, al-Wadih fi Ushul
al-Fiqh li al-Mubtadi’in ma‘a As’ilah li al-Munaqashah wa Tamrinat, Kairo:
Dar al-Salam, cet. II, 1425 H./2004 M., hlm. 7.
[17] Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir
‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 13.
[18] Muhammad Adib Shalih, Tafsir
an Nushush, (t.t: al Maktab al Islami, 1404), cet. 3, vol. 2, hlm. 65
[20] Muhammad bin Umar ar
Razi, Manaqib asy Syafi’i, (Kairo: Maktabah al Kulliyat al Azhariyyah,
1406), cet. 1, hlm. 153.
[21] Abdurrahman bin al
Hasan al Isnawi, at Tamhid fi Takhrij al Furu’ ‘ala al Ushul, (Bairut:
Mu’assasah ar Risalah, 1400 H), cet. 1, hlm. 45.
[22] ‘Iyadh bin Nami as
Sulami, Ushul al Fiqih allazi Laa Yasa’ al Faqih Jahlahu, (Riyadh: Dar
at Tadmuriyyah, 1426/2005), cet. 1, hlm. 8.
[24] Khalifah Ba Bakr al
Hasan, Manahij al Ushuliyyin fi Thuruq Dalalah al Alfazh ‘ala al Ahkam,
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), h. 7-10.
[26] Muhammad
Husain Abdullah, al Wadhih fi Ushul al Fiqh, (Beirut: Dâr al-Bayâriq:
1995), hlm. 20
[27] Al Amidi, al
Ihkam fi Ushul al Ahkam, (Beirut: al Maktbah al Islami, tt) juz IV, hlm.
162
[28] ‘Atha Ibnu
Khalil, Taisir Wushûl ilal Ushûl Dirâsâtun fî Ushûl al Fiqh (Beirut: Dâr
al Ummah, 2000), hal. 290
[29] ibid
[30] Al Ghazali, al
Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul,(Beirut: Darul Kutub al ‘Ilmiyah, 1993), hlm. 7
[31] ‘Atha Ibnu Khalil, Taisir Wushûl ....(Beirut: Dâr al Ummah,
200), hal. 264-265
[32] Abdul Qadim
Zallum, Hukmu al Syar’i fi al Istinsakh, (Beirut: Darul Ummah, 1997),
hal. 5
[33]
ibid
[34]
Abdul Qadim
Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah (Bangil: al-Izzah,
2001), hal. 36
[35] Ibid, hal.
179-185
Komentar
Posting Komentar