Kesultanan Banjar, Negara Dakwah Islam


CATATAN BEDAH BUKU SULTAN SURIANSYAH;
PIONER DAKWAH ISLAM DI TANAH BANJAR[1]
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf[2]

Deskripsi Buku
Buku setebal 112 halaman ini ditulis oleh seorang penulis mendapat gelar kehormatan Datu Cendikia Hikmadiraja dari Kesultanan Banjar saat ini. Beliau adalah Bapak Ahmad Barjie B. Buku cetakan pertama ini (meski sudah cetak dua kali) diterbitkan oleh Pustaka Banua bekerja sama dengan Pustaka Agung Kesultanan Banjar. Karena pada bagian sekapur sirih disampaikan oleh Sultan Banjar ke-23 yang dinobatkan pada tahun 2010 hingga sekarang yaitu Sultan Khairul Saleh al Mu’tashim Billah.
Bagian isi buku ini terdiri dari empat bab. Yaitu Bab I Pendahulun sebanyak 6 halaman, Bab II Kilas Balik sebanyak 31 halaman, Bab III Sultan Suriansyah Pioner Dakwah sebanyak 37 halaman, dan Bab IV Penutup sebanyak 1 halaman. Ditambah lampiran berupa lagu banjar, bahan bacaan, dan Biodata Penulis.
Latar belakang penulisan buku ini adalah untuk mengetahui lebih dekat ketokohan Sultan Suriansyah, khususnya dalam mendakwahkan Islam. Penulis berusaha menguraikan ketokohan Sultan Suriansyah melalui buku ini secara sederhana dalam perspektif sejarah dan dakwah Islamiyah.

Dakwah Bermula Diterima oleh Kalangan Grass Root
Islam adalah agama dakwah yang bersifat universal untuk semua umat manusia dimana pun dan kapan pun. Konsekuensinya maka setiap muslim dibebani tugas untuk mendakwahkan Islam sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing.
Sepanjang sejarah, dakwah Islam umumnya terlebih dahulu diterima oleh masyarakat ‘akar rumput/grass root’, termasuk kalangan budak atau hamba sahaya. Kalangan penguasa atau bangsawan umumnya menerima dakwah menyusul kemudian. Faktor kenyamanan dan kemapanan (enggan berubah) menjadi faktor utama keterlambatan menerima dakwah Islam. Kondisi inilah yang dialami Rasulullah dalam fase awal dakwahnya. Kondisi serupa juga terjadi dalam penyebaran Islam di Nusantara (sebelum menjadi Indonesia) tak terkecuali penyebaran Islam di bumi Banjar Kalimantan. Sebelum Pangeran Samudra (Sultan Suriansyah) masuk Islam, para sejarawan memperkirakan Islam sudah mulai dianut oleh sebagian kecil penduduk, terutama para pedagang dan sebagian menetap di kota-kota pelabuhan Banjarmasin, Muara Bahan (Marabahan) dan daerah-daerah lainnya. Namun karena pihak penguasa (Kerajaan Negara Dipa dan Negara Daha) belum menerima Islam, maka agama Islam belum bisa berkembang. Bahkan boleh jadi penyebarannya hanya secara sembunyi-sembunyi (h. 1-6).
Demikiannlah nampaknya sunnah dakwah. Bahwa dakwah akan mulai diemban oleh kalangan bawah. Namun dakwah akan terus membesar bak bola salju, hingga akhirnya sampai pada pucuk-pucuk pimpinan dan melembaga menjadi kekuasaan riil. Maka bagi seorang da’i (pengemban dakwah) wajib tetap optimis, apapun kondisi dakwahnya. Karena ending dakwah ini adalah kemenangan dengan pertolongan Alllah. 

Dakwah Kesultanan Islam Demak di Bumi Banjar Kalimantan
Masyhur di masyarakat Banjar bahwa Pangeran Raga Samudra (sebelum menjadi Sultan Suriansyah) adalah putra mahkota perwaris tahta kerajaan Negara Dipa dan Negara Daha, putra dari Maharaja Sukarama. Sukarama adalah raja Banjar Hindu ke-5 yang kerajaannya berpusat di tepi sungai Nagara. Pangeran Samudra mendapat wasiat dari ayahnya untuk mewarisi tahta kerajaan. Hal ini membuat para Pangeran yang lain kecewa. Pangeran yang paling kecewa adalah Pangeran Tumenggung dan Pangeran Bagalung. Sementara Pangeran Mangkubumi setuju saja dengan wasiat tersebut. Saat raja Sukarama meninggal, dengan asalan keselamatan, Pangeran Samudra yang saat itu berusia 7 tahun diselamatkan oleh Arya Taranggana dengan dihanyutkan di sungai Nagara yang bermuara ke Banjarmasin. Karena itulah Pangeran Samudra disebut “Putra Mahkota yang Terbuang”.
Pengganti Raja Sukarama adalah Pangeran Mangkubumi. Ia lalu dibunuh oleh Pangeran Tumenggung. Sedari awal ia memang sangat berhasrat menjadi raja. Sementara Pangeran Samudra di Banjarmasin dirawat dan angkat anak oleh Patih Masih, Patih senior yang disegani yang membawahi empat distrik yang mewakili empat arah mata angin di Bandar Masih (Banjarmasin). Atas dukungan Patih Masih maka Pangeran Samudra diangkat sebagai Raja. Beberapa kawasan mengakui beliau sebagai raja yaitu Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi dan Sambangan.
Patih Masih yang didukung para Patih lainnya  memindahkan pelabuhan perdagangan di tepi sungai Muara Bahan ke Muara Sungai Kelayan. Hal ini sangat penting dari segi ekonomi dan politik. Di satu sisi meningkatkan ekonomi kerajaan Banjar yang baru terbentuk, di sisi lain melemahkan kerajaan Negara Daha.  Hal membuat Raja Tumenggung Marah, karena merasa dikhianati. Maka terjadilah peperangan yang dahsyat dan lama dan banyak memakan korban pasukan dan rakyat.
Di masa peperangan itulah Pangeran Samudra mengalami cobaan yang berat, yaitu kelaparan di kalangan pengikut dan rakyatnya. Hal ini disebabkan karena para petani tidak bisa bertani dan para pedagang dari luar Banjar tidak berani berdagang karena alasan keamanan. Atas usul Patih Masih, Pangeran Samudra meminta bantuan pada Kesultanan Demak yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggana. Tak hanya bantuan logistik tapi juga tentara. Menurut Ahmad Barjie B mengutip  Ahmad Suriadi (2017), bantuan kesultanan Demak berupa tentara 10 ribu pasukan (versi lain seribu pasukan). Pasukan ini diiringi seorang wakil Penghulu Islam  yang akan mengislamkan Raja, keluarga raja dan rakyatnya. Dialah Khatib Dayyan.
Ringkasnya Panggeran Tumenggung terdesak. Ada versi yang menyatakan, atas usul Mangkubumi Negara Daha saat itu yaitu Arya Taranggana dilakukanlah perang tanding antara Pangeran Samudra dengan Pangeran Tumenggung. Tujuannya agar tidak semakin banyak korban dari kalangan pasukan dan rakyat jelata. Saat akan terjadi perang tanding, Pangeran Samudra melempar pedangnya dan mempersilakan Pamannya (Raja Tumenggung) untuk mentuluskan niatnya yaitu membunuhnya. Hal itu membuat Raja Tumenggung tersentuh hatinya. Alih-alih membunuh keponakannya, ia juga melempar pedangnya dan memeluk Pangeran Samudra (h. 26-27). Allah satukan hati yang berserak.
Usai sudah perang saudara. Pada hari Rabu, 8 Dzulhijjah 932 H / 24 September 1526 Pangeran Samudra beserta keluarga dibimbing masuk Islam oleh Sunan Serabut. Versi lain menyebutkan yang membimbing adalah Khatib Dayyan. Hari bersejarah inilah kemudian yang ditetapkan sebagai hari jadi Kota Banjarmasin.  Ini adalah bukti bahwa Kesultanan Demak adalah negara dakwah. Menyebarkan Islam adalah kebijakan luar negerinya. Bantuan berupa tentara adalah bantuan dengan syarat masuk Islamnya Raja Banjar dan pegikutnya serta mengizinkan penyebaran Dakwah Islam di kerajaan Banjar (h. 39). Dalam Hikayat Banjar dikutip surat Balasan dari Kesultanan Demak yang mensyaratkan masuk Islamnya Raja dan keluarga sebagai kompensasi atas bantuan dari Demak (h. 42). Meski pandangan ini dibantah oleh penulis (Ahmad Barjie B) dengan mengutip sejumlah pendapat dengan alasan adanya unsur ‘paksaan’ dalam bantuan bersyarat tersebut,  padahal paksaan bukanlah prinsif dakwah Islam. Apakah bantuan bersyarat termasuk paksaan atau masih terkategori dakwah persuasif, sepertinya perlu diskusi lebih mendalam. Jika hadis Nabi Saw tentang tiga tahapan dakwah (tahap secara sukarela masuk Islam, tahap tetap dalam agamanya namun menjadi bagian negara Islam dengan status kafir dzimmi, dan tahap terakhir diperangi) menurut kami konteks hadis ini adalah diperangi. Sementara Sultan Demak membantu logistik dan pasukan. Berperang pada pihak Pangeran Suriansyah (yang dibantu dengan syarat), bukan memeranginya. Jika bantuan bersyarat seperti ini dianggap pemaksaan. Bagaimana jika ada seorang Ayah menerima pinangan seorang pemuda dengan syarat si pemuda masuk Islam.
Terlepas dari hal di atas, yang jelas sejak hari itu Raja Samudra berubah menjadi Sultan Suriansyah. Kerajaannya pun berubah menjadi Kesultanan Islam Banjar. Islam menjadi agama resmi negara. Sejak itu pula Sultan aktif berdakwah. Tidak hanya dakwah secara pribadi, namun juga dakwah sistemik dengan negara. Kesultanan Islam menjadi negara dakwah.

Dakwah Melalui Institusi Negara (Kesultanan Banjar)
Sejak masuk Islam (1526) hingga hingga wafatnya (1546) Sultan Suriansyah aktif berdakwah. Inilah yang menjadi subtansi dari buku ini. Dakwah dengan statusnya sebagai kepala negara (Sultan). Beliau mengajak rakyatnya masuk Islam. 15 ribu penduduk Banjarmasin masuk Islam secara massal.  Sudah umum diketahui bahwa rakyat cenderung  mengikuti agama penguasanya. Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Khaldun: an nâsu ‘ala dîni mulûkihim (manusia itu bergantung pada agama penguasanya)[3].
Selain faktor ketokohan di atas suksesnya dakwah Islam di bumi Kalimantan dilakukan dengan tiga langkah, yaitu: (1) Dakwah para ulama yang diorganisir Sultan; (2) Penerapan Islam di dalam negeri;  (3) Dakwah Islam ke luar wilayah sekaligus memperluas wilayah kesultanan. Penyebaran dakwah Islam yang dilakukan oleh para ulama tidak hanya Khatib Dayyan. Sultan juga mendatangkan sejumlah juru dakwah dari Demak. Tercatat tujuh juru dakwah di datangkan, mereka adalah Malik Ibrahim, Imam Santoso, Habib Marwan, Mujahid Malik, Rangga Alibasah, Santri Umar, dan Imam Bukhari (h. 54).
Masjid juga dibangun di sembilan titik sesuai dengan jumlah Walisanga. Di Banjarmasin ada masjid Sultan Suriansyah. Masjid lain seperti Masjid Palajau Barabai, Masjid Sungai Banar Alabio, Masjid Pusaka Banua Lawas, dan Masjid Pusaka Puain Tanjung-Tabalong. Seiring semakin luasnya dakwah juga di bangun masjid-masjid lain (h. 65-66).
Dakwah dengan penerapan syariat Islam dilakukan oleh negara dengan menjadikan Islam sebagai agama resmi kesultanan. Pada masa Sultan Adam al Watsiq Billah (1825-1857) hukum Islam diformalisasikan dalam dengan Undang Undang Sultan Adam (UUSA) pada tahun 1835.
Penyebaran dakwah di luar wilayah Kesultanan Banjar dilakukan Sultan dengan dukungan ulama dari Demak. Tahun 1530 Ki Mantri Giri dikirim ke daerah Paser Mayang Tanah Grogot (Kaltim). Demikian dakwah Kesultanan Banjar dilakukan hingga ke wilayah Sambas dan Sukadana (Kalbar). Kotawaringin juga menjadi sasaran dakwah hingga menjadi kesultannan yang pada masa Sultan Banjar ke-4, yaitu Sultan al Mustain Billah (h. 56-57).  
Dakwah oleh negara ini sejatinya adalah dakwah yang dicontohkan oleh Baginda Nabi Saw. Saat Beliau hijrah dari Makkah ke Madinah tidak hanya berpindah tempat, namun juga membangun kekukuasaan (negara) di Yastrib. Dakwah yang dilakukan Rasulullah dengan institusi negara menjadi dakwah yang paling efektif. Meski hanya 10 tahun namun capaian dakwah dengan negara puluhan atau bahkan ratusan kali lipat dibanding capaian 13 tahun dakwah di Makkah. Baik dari jumlah penduduk jazirah arab yang masuk Islam maupun luas wilayah yang dinaungi cahaya Islam. Karena itulah Allah perintahkan Nabi-Nya agar senantiasa berdoa agar diberikan kekuasaan yang menolong agama Islam dan menegakkan hukum-hukum Allah (sulthânan nashîra) (QS. Al Isra’: 80)

Menjadi ‘Bagian’ Khilafah Islamiyah di Turki
Sultan Suriansyah sebagai penguasa di Kesultanan Banjar tidak menganggap dirinya sebagai Sultan yang terpisah dari kesultanan lain di Nusantara dan Kekhilafahan di dunia Islam. Menurut Sultan Khairul Saleh (Sultan Banjar saat ini), Sultan Suriansyah pernah berkunjung ke Istambul Turki. Kemungkinan besar hal itu dilakukan sebagai ungkapan terima kasih karena Khilafah Islamiyah terakhir yang berpusat di Turki ini, melalui Syarif Makkah telah menganugrahkan dan merestui gelar Sultan untuknya. Ada riwayat dalam Hikayat Banjar bahwa pada tahun 1520-an ada orang Arab datang ke Bandarmasih (Banjarmasin) untuk menganugrahkan gelar Sultan pada Sultan Suriansyah. Nama atau gelas yang disematkan adalah Suryanullah (h. 77-78). Riwayat ini nampaknya perlu dikaji ulang karena berdasar ulasan di atas bahwa masuk Islamnya Sultan Suriansyah pada tahun 1526, mungkinkah pada tahun 1520 sudah mendapat gelar Sultan?
Pada masa kejayaan khilafah Islamiyah di Turki, umumnya para Sultan di Nusantara menganggap Kekhilafahan Islam di Turki sebagai Payung/pemimin puncak/imamah ‘uzhma. Termasuk Kesultanan Aceh di Sumatra dan Kesultanan Demak di Jawa. Hubungan para Sultan di Jawa dengan Turki tidak hanya hubungan dakwah dengan pengiriman juru dakwah yang di kenal dengan Wali Songo, namun juga hubunga politik. Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutannya pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI, 9 Februari 2017 di Yogyakarta, Sultan Turki meresmikan Kesultanan Demak pada tahun 1479 sebagai perwakilan Khilafah Ustmani di tanah Jawa dengan gelar Khalifatullah ing tanah jawi. Peremian ditandai dengan penyerahan bender hijau bertuliskan kalimat Tauhid.
Sultan Suriansyah sendiri menganggap negaranya sebagai bagian dari persekutuan Kesultanan Islam dunia. Karena itu Sultan Suriansyah berkunjung ke Istambul. Menurut Sultan Khairul Saleh perjalanan Sultan Suriansyah ke Istambul sekaligus menunaikan ibadah haji di Haramain (h. 79).
Di masa kepemimpinan Sultan Suriansyah/Kesultanan Islam Banjar (1526-1546), memang saat itu Khilafah Islamiyah di Turki sedang berada pada puncak kejayaannya, yakni saat dipimpin oleh Sultan Sulaiman al Qanuni (1520-1566). Istilah Syaikh Dr. Ali Muhammad Ash Shalabi Khilafah Ustmaniyah adalah representasi dari puncak piramida kekuatan dan kekuasaan Ustmani dan puncak posisinya di tengah kekuatan dunia saat itu[4].
Peranan dan Pengaruh Kekhilafahan Islam di Turki sangat terasa dalam hal pengamanan jalur/rute ibadah haji dari Nusantara ke Haramain yang melalui selat Malaka, pengiriman tentara ke Aceh untuk membantu Kesultanan Islam di Sumatra untuk mengusir Portugis, hingga pengangkatan/penganugerahan gelar Sultan pada para Sultan di Nusantara. Pihak yang melalukan upacara penganugerahan adalah Syarif Makkah. Posisi Makkah adalah kewalian (wilayah setingkat provinsi), dan posisi kesultanan Islam Nusantara sebagai ke’amilan (wilayah setingkat Kabupaten). Maka jadilah Kesultanan  Islam bagian dari Khilafah Islamiyah pada masa itu[5].

Makmur dan Sejahtera dengan Syariat Islam
Kesultanan Banjar termasuk kesultanan yang besar dalam deretan kesultanan Islam di Nusantara. Kebersaran ini setidaknya dapat dilihat dari tiga sisi; pertama, lamanya berkuasa yaitu selama 340 tahun (1520-1860). Keduanya, luasnya wilayah kekuasaan yang meliputi wilayah tiga provinsi saat ini. Ketiga, Kekuatan militer dan ketahanan dalam melawan penjajah Belanda[6].
Menurut Ahmad Barjie B, wilayah yang luas dan kaya akan dengan hasil alam menjadikan Kesultanan Banjar mencapai kejayaan dan kemakmuran rakyatnya. Seperti apa kekayaan kesultanan Banjar dapat dilihat dari laporan John Andreas Paravicini, utusan yang dikirim VOC untuk beraudiensi dengan Sultan Banjar di Kayu Tangi Martapura sebagai berikut[7]:
   .....mula-mula barisan tombak berlapis perak, di belakangnya barisan tombak berlapis emas. Anggota penyambut mengiringi saya dan tiba di bahagian pertama kraton, dengan diiringi dentuman meriam dan musik yang merdu. Kemudian diiringi lagi oleh pengawal mereah bersenjatakan perisai dan pedang. Setiba di bahagian kedua kraton, disambut musik yang merdu serta diterima oleh pengawal yang lebih besar.
Bukti lain makmurnya Kesultanan Banjar hingga seringkali Sultan menolak upeti[8] dari kerajaan kecil di bawahnya.  Gambaran kemakmuran tidak hanya dirasakan oleh penguasa, namun juga rakyat. Rakyat kesultanan Banjar adalah termasuk penghasil Lada terbesar di Nusantara, selain hasil alam lain seperti rotan, intan, kayu ulin dsb.
Kemakmuran dan kesejahteraan yang dirasakan Kesultanan Banjar dan rakyat tentu tidak semata karena melimpahnya hasil bumi. Namun juga disebabkan manajemen yang tepat dan benar, buktinya banyak negara yang kaya sumber namun miskin karena salah kelola.  Hal ini dapat terwujud oleh sosok pemimpi yang adil dan amanah serta bertumpu pada aturan yang adil. Aturan yang bersumber dari zat yang Maha Adil, yaitu Syariat Islam yang diterapkan di dalam negeri. Jaminan keberkahan (makmur dan sejahtera) seperti yang dijanjikan Allah dalam surah al A’raf ayat 96 atas hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.
Di antara bukti penerapan Syariat Islam dalam pengeloaan SDA adalah dalam UU Sultan Adam pasal 28, dijelaskan bahwa tanah pertanian yang subur di daerah Halabiu dan Nagara adalah di bawah pengelolaan Kesultanan. Karena itu tidak boleh seorang pun melarang orang lain menggarap tanah tersebut, kecuali memang di atas tanah tersebut ada tanaman atau bukti lain bahwa tanah tersebut sudah ada pemiliknya. Ketentuan ini memang dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi dan ijma sahabat tentang aturan menghidupkan tanah mati. Bahwa siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka ia menjadi pemiliknya[9]. Hadis yang dimaksud adalah:  
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka ia pemiliknya (HR. Bukhari)

Kuat Secara Militer dengan Militansi Waja Sampai Kaputing
Kesultanan Banjar pernah mencapai wilayah Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah dan Barat. Wilayah yang luas tersebut jelas memerlukan militer yang kuat. Pada masa Sultan Musta’in Billah pada awal abad ke-17 Kesultanan Banjar ditakuti oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya dan dapat menghimpun kurang lebih 50.000 prajurit. Demikian kuatnya Kesultanan Banjar hingga dapat membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya (Surabaya) dan Mataram[10].
Bukti lain dari kekuatan militer dari Kesultanan Banjar adalah dahsyatnya, besar dan lamanya perang   melawang penjajah Belanda dalam perang yang dinamakan Perang Banjar Barito dari tahun 1859 hingga 1906 atau selama 47 tahun. Kedahsyatan perang Banjar Barito di antaranya terlihat dari banyaknya korban tewas, baik dari pihak Belanda maupun perjuang. Para pejuang saat itu benar-benar militan dan memiliki semangat juang yang tinggi untuk berperang fi sabilillah dengan prinsip “Haram manyarah lawan Walanda waja sampai ka puting”.
Salah satu episode Perang Banjar Barito, yaitu tenggelamnya kapar perang Onrust disertai tewasnya sejumlah pimpinan dan anggota pasukan Belanda di Sungai Barito. Hal tersebut sangat memukul Pemerintah Belanda sehingga dijadikan Hari Berkabung Nasional di negerinya. Belanda hampir menyerah dan putus asa sehingga ditempuhlah rekayasa tipu muslihat dan cara-cara licik untuk mengakhiri perang. Banyak pejuang Banjar yang dibuang atau rakyat dipaksa migrasi ke luar Kalimantan. Perang Banjar berakhir tahun 1906 dengan tertangkapnya Ratu Zalekha dan diasingkan ke Bogor, lalu dipulangkan ke Banjarmasin pada tahun 1937 dan meninggal tahun 1953.

Melanjutkan Dakwah Sultan Suriansyah dan Kesultanan Banjar di Zaman Now
Sempat eksis sebagai sebuah negara selama 340 tahun Kesultanan Banjar telah menjadi negara yang menerapkan syariat Islam dan menyebarkan  dakwah Islam hingga Islam tersebar di penjuru Kalimantan. Para ulama muncul dengan berbagai karyanya sebagai pedoman bermasyarakat dan bernegara. Kitab Sabilal Muhtadin adalah yang paling melegenda, kitab fikih madzhab Syafi’i yang ditulis atas permintaan Sultan Tamjidullah. Beliau juga menulis Kitab an Nikah yang mengurai tentang fikih muamalah di bidang pernikahan menurut Madzhab Syafi’i. Kitab ini dijadikan rujukan dalam bidang perkawinan di seluruh kesultanan Banjar.  Dalam bidang pengelolaan tanah beliau menulis pembahasan ihya al mawaat (menghidupkan tanah mati) dalam kitab Fathul Jawwad[11].
Upaya membangkitkan kebudayaan kesultanan Banjar yang dimotori Sultan H. Khairul Saleh al Mu’tashim Billah sejatinya adalah maangkat batang tarandam. Artinya bukan mencari sesuatu yang tidak ada, namun hanya mengangkat dan menghidupkannya kembali. Tidak hanya membangkitkan budaya dalam arti kesenian, benda-benda pusaka atau membuat prasasti-prasasti perjuangan dalam perang Banjar Barito[12], namun lebih dari itu juga berjuang dengan dakwah di zaman now untuk mengembalikan kejayaan Kesultanan Banjar dengan menerapkan Syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Sulan Banjar H. Khairul Saleh berpeluang menjadi pioner dakwah untuk mengembalikan Islam sebagai aturan hidup secara kaffah. Dengan Islam Kesultanan Banjar pernah berjaya, dengan  dengan Islam pula urang Banjar saat ini akan berjaya. Sahabat yang mulia, Umar bin Khattab pernah berkata:
إنا كنا أذل قوم فأعزنا الله بالإسلام فمهما نطلب العزة بغير ما أعزنا الله به أذلنا الله
Sesungguhnya kita adalah kaum terhina. Lalu Allah muliakan kami dengan Islam. Maka jika kita mencari kemulian selain dari apa yang Allah muliakan kita dengannya (Islam), niscaya Allah hinakan kita (Riwayat Al Hakim dalam kitab al Mustadrak. Atsar ini shahih menurut syarat Imam Bukhari dan Muslim)
Daftar Bacaan
-------. Khilafah dan Jejak Islam; Kesultanan Islam Nusantara. 2009. Pustaka Thariqul Izzah: Bogor
Barjie B, Ahmad. Kesultanan Banjar, Bangkit dan Mengabdi. 2016. Pustaka Agung Kesultanan Banjar: Martapura.
Barjie B, Ahmad. Perang Banjar Barito (1859 – 1906). 2016. Pustaka Agung Kesultanan Banjar: Martapura.
Barjie B, Ahmad. Sultan Suriansyah Pioner Dakwah Islam di Tanah Banjar. 2017. Pustaka Banua: Banjarmasin
Ash Shalabi, Muhammada Ali. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. 2004. Pustaka Kautsar: Jakarta


[1] Bedah buku Sultan Suriansyah Pioner Dakwah Islam di Tanah Banjar pada hari Ahad, 10 Februari  2019. Penyelenggara Forum Komunikasi Majis Taklim Banjarmasin
[2] Mahasiswa Program Doktoral Jur. Ilmu Syariah UIN Antasar. Pengasuh Majlis Darul Ma’arif Banjarmasin
[3] Redaksi yang dimaksud sepertinya adalah: لأن الناس على دين ملوكها وعوائدها. Muqaddimah Ibnu Khalun hal. 161 (Maktabah Syamilah)
[4] Dr. Muhammada Ali Ash Shalabi. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. Hal. 264
[5] Khilafah dan Jejak Islam; Kesultanan Islam Nusantara. Hal. 21-44
[6] Ahmad Barjie B, Perang Banjar Barito 1859 – 1906, hal. 1-3
[7] Idem h. 6-7
[8] Istilah upeti ini perlu dikaji ulang. Apakah deskripsi pemberian yang diberikan wilayah di bawah Kesultana  sama dengan deskripsi upeti pada Kerjaan Hindu sebelum Kesultanan Islam, mengingat dalam Islam tidak dikenal pajak dalam pengertian seperti saat ini kecuali dalam kondisi tertentu, di antaranya dalam kondisi paceklik
[9] Khilafah dan Jejak Islam...., hal 53.
[10] Perang Banjar Barito, h. 4
[11] Khilafah dan Jejak Islam, hal. 53
[12] Ahmad Barjie B, Kesultanan Banjar, Bangkit dan Mengabdi, hal 12-21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB