HADITS-HADITS NABAWIYAH DAN PENJELASAN ULAMA YANG MEMBUNGKAM SIAPAPUN YANG MENOLAK WAJIBNYA MENEGAKKAN KHILAFAH


HADITS-HADITS NABAWIYAH DAN PENJELASAN ULAMA YANG MEMBUNGKAM SIAPAPUN YANG MENOLAK WAJIBNYA MENEGAKKAN KHILAFAH

Pendahuluan
Agama dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hujjatul Islam Imam Ghazali mengibaratkan bagai dua saudara kembar, beliau menyatakan:
الدين والسلطان توأمان... الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع
“Agama dan kekuasaan bagaikan saudara kembar… Agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tak ada asasnya akan hancur, dan apa saja yang tak ada  penjaganya akan lenyap[1].”
Kekuasaan di bidang politik adalah negara atau dalam bahasa arab diistilahkan dengan ad-daulah. Negara merupakan institusi politik yang dibentuk atas kesepakatan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama dibentuknya sebuah negara. Mengutip definisi yang dirumuskan Prof. Miriam Budiardjo, negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya[2].
Secara syar’i dalam khasanah pemikiran Islam negara diistilahkan dengan al-imamah al ‘uzhma, al khilafah atau imarah al mu’minin. Ketiganya memiliki konotasi yang sama. Imam Nawawi Asy Syafi’i, beliau menyatakan:
والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا
Imamah, khilafah, dan Imarah al mu’minin adalah istilah-istilah yang sinonim. Yaitu kepemimpinan umum dalam mengurus urusan agama dan dunia[3].

Pendapat serupa juga dinyatakan oleh ulama kontemporer, Syaikh Wahbah Zuhaili. Beliau menyatakan:
الإمامة العظمى أو الخلافة أو إمارة المؤمنين كلها تؤدي معنى واحداً، وتدل على وظيفة واحدة هي السلطة الحكومية العليا
Al-imamah al ‘uzhma, al khilafah atau imarah al mu’minin ketiganya menghantarkan pada konotasi yang sama (sinonim). Ketiganya menunjukkan satu peran/tugas yang sama yaitu kekuasaan pemerintahan yang tertinggi[4]
Tentang kewajiban menegakkan negara (khilafah/imamah dalam istilah fikih Islam) menurut klasifikasi Syaikh Wahbah Zuhaili ada tiga kelompok pendapat, yaitu: kelompok yang menyatakan wajib bagi umat, kelompok yang menyatakan jawaz (boleh) dan kelompok yang menyatakan wajib bagi Allah bukan bagi umat[5].
Imam empat madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal) termasuk dalam kelompok yang menyatakan wajibnya Imamah/Khilafah.  Syaikh Abdurrahman al Jazaairi menyatakan:
اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على أن الإمامة فرض و انه لا بد للمسلمين من إمام يقيم شعائر الدين و ينصف المظلومين من الظا لمين
“Para imam (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu dan bahwa harus ada bagi kaum muslim seorang imam (khalifah) yang menegakkan syiar-siar agama dan menolong orang yang teraniaya dari orang yang berbuat aniaya[6]

Tidak hanya imam empat madzhab, menurut Imam Ibnu Hazm al Andalusi, seluruh firqah (kecuali sedikit kelompok) telah sepakat akan wajibnya Imamah/Khilafah. Beliau menyatakan:
اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة، وأن الأمة واجب عليها الانقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ، ويسوسهم بأحكام الشريعة التي جاء بها رسول الله صلّى الله عليه وسلم، حاشا النجدات، فإنهم قالوا:لا يلزم الناس فرض الإمامة
“Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah. Wajib bagi umat untuk tunduk pada imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah pada mereka. Imam (khalifah) tersebut mengurus umat dengan hukum-hukum syari’ah yang Rasulullah Saw datang dengan membawa syariah tersebut. Kecuali kelompok an Najadat. Mereka menyatakan: Masyarakat tidak wajib terikat dengan kefardhuan Imamah[7]
Berdasar sandaran dalilnya kelompok yang menyatakan wajib ini terbagi lagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kebanyakkan ulama Asy'ariyah, Muktazilah, dan al-'ltrah mengatakan bahwa hukum menegakkan Imamah adalah wajib berdasarkan dalil syara' karena imam bertugas melaksanakan dan menegakkan urusan-urusan syara'. Kelompok kedua, yaitu Syi'ah Imamiah yang berpendapat bahwa hukum menegakkan Imamah hanya wajib secara akal atau nalar karena memang dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang mencegah terjadi tindakan saling menganiaya serta menyelesaikan perselisihan dan persengketaan yang terjadi di antara manusia. Andaikan tidak ada pemimpin, niscaya kekacauanlah yang akan terjadi. Kelompok ketiga, yaitu al-Fahizh, al-Balkhi (al-Ka'bi), Abul Hasan al-Khayyath, dan al-Hasan al-Bashri mengatakan bahwa hukum menegakkan Imamah adalah wajib, baik secara syara' maupun akal[8].
Kelompok kedua adalah kelompok yang mengatakan bahwa hukum Imamah adalah jawaaz (boleh), bukan wajib. Mereka adalah al-Muhakkimah al-Ula, an-Najadat dari kelompok Khawarij, Dharrar, Abu Bakar al-Ashamm al-Mu'tazili, Hisyam al-Fuwathi, dan Abbad bin Sulaiman. Al-Ashamm mendeskripsikan pendapat ini dengan mengatakan bahwa seandainya manusia saling menahan diri dan berhenti dari sikap saling menganiaya, tentunya mereka tidak membutuhkan lagi seorang imam.[9]
Kelompok ketiga adalah kelompok yang menyatakan wajibnya khilafah bagi Allah secara aqli (rasio) dan kewajiban ini tidak berlaku bagi umat. Pengusung kelompok ini adalah Syi’ah Isma’iliyah[10].  Alasannya mengangkat seorang imam adalah sebuah al-luthf dan setiap al-luthf adalah wajib bagi Allah SWT. Dengan demikian, berarti mengangkat imam adalah wajib bagi Allah SWT. Adapun sebab Imamah adalah sebuah al-luthf dari Allah SWT bagi para hamba-Nya, itu karena wajibnya seorang imam yang adil yang bisa mencegah mereka dari larangan-larangan dan mendorong mereka kepada ketaatan-ketaatan yang hal itu bisa menjadikan mereka lebih dekat kepada ketaatan dan lebih jauh terhindar dari kemaksiatan. Ini
juga karena Imamah yang berasal dari Allah
SWT adalah sebuah al-luthf karena imamah dari-Nya bersih dari berbagai kerusakan dan keburukan[11].
Syaikh Abdullah bin Umar ad Dumaiji dalam tesisnya yang berjudul al Imamah al ‘Uzhma ‘inda ahl Sunnah wal Jama’ah pada bab wajibnya Imamah menambahkan adanya kelompok yang menyatakan tidak wajibnya menegakkan Imamah/Khilafah yaitu Syaikh ‘Ali Abdurraziq, seorang ulama dalam jajaran ulama al Azhar Mesir. Beliau tidak mengingkari bahwa manusia memerlukan negara, hanya saja beliau menolak pandangan bahwa Islam juga mengatur perkara politik termasuk konsep khilafah. Menurutnya Islam adalah agama semata (tidak mencakup urusan negara). Rasulullah hanya mendakwahkan Islam saja dan tidak menegakkan negara di Madinah[12]. Pandangan ‘Ali Abdurraziq ini dituangkannya dalam buku yang berjudul al Islam wa Ushul al Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan) yang terbit pada tahun 1925. Satu tahun setelah Khilafah Islam di Turki di-ebolish oleh Musthafa Kamal dan muncul gerakan untuk mengembalikan khilafah. ‘Ali Abdurraziq lalu ‘disidang’ di hadapan lembaga ulama al Azhar. Kesimpulannya pandangan dianggap keliru dan ia dikeluarkan dari jajaran ulama al Azhar[13].
Makalah ini berusaha menyajikan sejumlah dalil syara’, khususnya hadits-hadits Nabi Saw tentang wajibnya mendirikan atau menegakkan sebuah negara (secara khususnya imamah/khilafah). 


Rumusan Masalah
1.      Apa saja hadits-hadits Nabi Saw yang mewajibkan mendirikan Khilafah
2.      Apa status atau kualitas hadits-hadits Nabi Saw yang mewajibkan mendirikan khilafah
3.      Bagaimana syarah (penjelasan) dari  para ulama terhadap hadits-hadits Nabi Saw yang mewajibkan mengangkat seorang pemimpin (nashbul imam)
4.      Apa hukum menegakkan khilafah saat ini?




Hadits-Hadits tentang Wajibnya Mendirikan Negara (Imamah/Khilafah)
Terdapat banyak hadits tentang wajibnya mengangkat Imam (nashbul imam dan mendirikan negara. Hadits-hadits tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu hadits/sunnah qauliyah dan hadits/sunnah fi’liyyah.

Hadits/Sunnah Qauliyah

Hadits Pertama: Hadits Wajibnya Membai’at Imam (nashbul imam)
Dari Abdullah Ibnu Umar, Nabi Saw bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan (pada imam), ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada bai’at (imam) maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah (HR. Muslim)
Hadits ini adalah hadits yang shahih karena  diriwayatkan Imam Muslim. Mengenai makna “mati jahiliyah” maknanya bukanlah mati dalam keadaan kafir, namun dalam keadaan bermaksiat karena tidak berbai’at pada imam (penguasa). Imam Ibnu Hajar al ‘Asqalani menyatakan:
وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّهُ يَمُوت كَافِرًا بَلْ يَمُوت عَاصِيًا ، وَيَحْتَمِل أَنْ يَكُون التَّشْبِيه عَلَى ظَاهِره وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ يَمُوت مِثْل مَوْت الْجَاهِلِيّ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ هُوَ جَاهِلِيًّا
Mati jahiliyah dalam hadits ini bukan berarti mati dalam keadaan kafir, tapi mati dalam kemaksiatan. Makna “mati jahiliyah” dibawa ke makna penyerupaan (tasybih), yaitu bahwa siapa yang tidak ada bai’at imam dipundaknya seperti matinya orang-orang jahiliyah meski ia bukan orang jahilyah[14].
Hadits ini secara tegas menjelaskan wajibnya mengangkat seorang imam (nashbul imam). Sebagaimana yang ditegaskan Syaikh Ad Dumaiji yang menyatakan:
وهذا واضح الدلالة على وجوب نصب الإمام لأنه إذا كانت البيعة واجبة في عنق المسلم ، والبيعة لا تكون إلا لإمام ، فنصب الإمام واجب
Penunjukan (dalalah)  hadits ini jelas menerangkan wajibnya mengangkat pemimpin (nashbul imam), karena jika bai’at hukumnya wajib ada di pundak seorang muslim, sementara bai’at tidak akan terwujud kecuali pada seorang Imam. Maka mengangkat Imam hukumnya wajib[15].
Imam yang diangkat ini wajib ditaati selama ia mengajak taat pada Allah dan Rasul-Nya. Wajibnya taat padanya dapat gugur ketika ia menampakkan kekufuran yang nyata atau mengajak maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Imam Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Bathal menyatakan:
فِي الْحَدِيث حُجَّة فِي تَرْك الْخُرُوج عَلَى السُّلْطَان وَلَوْ جَارَ ، وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاء عَلَى وُجُوب طَاعَة السُّلْطَان الْمُتَغَلِّب وَالْجِهَاد مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَته خَيْر مِنْ الْخُرُوج عَلَيْهِ
Pada hadits ini terdapat hujjah untuk tidak keluar dari sulthan (kekuasaan), meski penguasanya penguasa yang lalim. Para fuqaha telah berijma’ wajibnya taat pada penguasa yang mutaghallib[16] dan berjihad bersamanya. Sesungguhnya taat padanya lebih baik dari berlepas diri darinya[17]

Ibnu Bathal kemudian melanjutkan penjelasannya:
وَلَمْ يَسْتَثْنُوا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا إِذَا وَقَعَ مِنْ السُّلْطَان الْكُفْر الصَّرِيح فَلَا تَجُوز طَاعَته فِي ذَلِكَ بَلْ تَجِب مُجَاهَدَته لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهَا كَمَا فِي الْحَدِيث الَّذِي بَعْدَهُ .
Para fuqaha tidak mengecualikan ketataan pada imam kecuali jika imam telah jatuh pada kekufuran yang nyata. Maka tidak boleh taat pada kondisi tersebut. Akan tetapi wajib ada usaha yang maksimal (untuk mengubahnya) bagi siapa saja yang mampu melakukannya sebagaimana disebutkan pada hadits sesudahnya[18].
          Hadits yang dimaksud Imam Ibnu Bathal adalah hadits dari ‘Ubadah bi Shamit, beliau berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memanggil kami sehingga kami berbaiat kepada beliau.' Ubadah melanjutkan; diantara janji yang beliau ambil dari kami adalah, agar kami berbaiat kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan ta'at, saat giat mapun malas, dan saat kesulitan maupun kesusahan, lebih mementingkan urusan bersama, serta agar kami tidak mencabut urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang pada kalian mempunyai alasan yang jelas dari Allah (HR. Bukhari dan Muslim)
          Mengenai makna “kufran bawahan” atau kekufuran yang nyata pada hadits di atas , Imam Nawawi menjelaskan:
لَا تُنَازِعُوا وُلَاة الْأُمُور فِي وِلَايَتهمْ ، وَلَا تَعْتَرِضُوا عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنْ تَرَوْا مِنْهُمْ مُنْكَرًا مُحَقَّقًا تَعْلَمُونَهُ مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَأَنْكِرُوهُ عَلَيْهِمْ ، وَقُولُوا بِالْحَقِّ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ ، وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ
Janganlah kalian mengambil kekuasaan dari pemiliknya dan jangan pula kalian berpaling dari mereka, kecuali kalian melihat (mendapati) dari mereka kemungkaran yang nyata. Dimana kalian mengetahuinya dari pilar-pilar Islam. Jika kalian melihatnnya maka ingkarilah kemungkaran tersebut atas mereka (para penguasa). Katakan kebenaran bagaimanapun keadaan kalian. Adapun melepaskan diri dari mereka (memisahkan diri) dan memerangi mereka hukumnya haram berdasarkan ijma kaum muslimin, meskipun mereka fasik dan zhalim[19].
          Ketaatan pada imam juga dibatasi oleh jenis perintahnya. Tidak ada ketaatan kepada penguasa ketika ia mengajak maksiat pada Allah dan Rasul-Nya. Dari Abdullah Ibnu ‘Umar Nabi Saw bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
"Wajib setiap orang untuk mendengar dan taat, baik terhadap sesuatu yang dia suka atau benci, kecuali jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat."(HR. Muslim)



Hadits Kedua, Wajibnya mengangkat Amir Safar
Dari Au Hurairah, Nabi Saw bersabda:
إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
Jika ada tiga orang yang di perjalanan (safar) maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai amir safar (HR. Tirmidzi)
Dan hadits semisal dari Abdullah Ibnu Umar, Nabi Saw bersabda:
لا يحل لثلاثة يكونون بفلاة من الأرض إلا أمّروا أحدهم
Tidak halal bagi tiga orang yang melakukan perjalan di muka bumi (safar) kecuali mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai amir safar (HR. Ahmad)
Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Dawud pada kitab al Jihad (7/267), Imam Ahmad (2/177), al Bazzar dari Umar bin Khattab dengan sanad yang shahih. Imam Thabrani mengeluarkan hadits serupa dari Abdullah bin Ma’ud dengan redaksi إذا كانوا ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم dan sanadnya juga shahih. Hadits-hadits ini satu sama lain saling menguatkan. Kesimpulannya hadits ini derajatnya shahih.
Berkenaan dengan hadits yang diriwayatkan imam Ahmad ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan:
فأوجب صلى الله عليه وسلم تأمير الواحد في الاجتماع القليل العارض في السفر ، تنبيها بذلك على سائر أنواع الاجتماع . ولأن الله تعالى أوجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، ولا يتم ذلك إلا بقوة وإمارة . وكذلك سائر ما أوجبه من الجهاد والعدل وإقامة الحج والجمع والأعياد ونصر المظلوم . وإقامة الحدود لا تتم إلا بالقوة والإمارة
 Rasulullah mewajibkan mengangkat seorang pemimpin pada kumpulan orang yang sedikit dan  insidentil seperti dalam perjalanan. Lebih-lebih pada semua jenis kumpulan. Alasan lain, karena Allah Ta’ala telah wajibkan menyeru pada kemakrufan dan mencegah dari kemungkaran. Padahal tidak sempurna aktivitas tersebut kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikian pula pada semua apa yang Allah wajibkan seperti jihad, mengelola pelaksanaan ibadah haji, perkumpulan, hari raya, menolong orang yang dizhalimi, dan menegakkan hudud. Semuanya itu tidak akan sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpian/kekuasaan[20].
            Kesimpulan Ibnu Taimiyah tentang wajibnya mengangkat seorang pemimpin negara, jika dirinci dibangun atas tiga alasan.
1.      Pemahaman yang dibangun atas dasar kaidah mafhum muqafaqah, yaitu pemahaman yang disimpulkan dari suatu teks (dalam hal ini hadits) bahwa jika perkara yang kecil dan insidentil saja diperintahkan terlebih pada perkara yang lebih besar dan terus menenerus jelas ‘lebih’ diperintahkan. Dalam kajian ushul fikih, menurut jumhur ulama ushul penalaran yang seperti ini adalah penalaran yang absah.
2.      Kewajiban menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran. Dimana dalam hadits riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa tingkatan pertama dalam upaya mengubah kemungkaran (taghyiir al munkar) adalah bil yad. Ibnu Bathal dalam kitab Syarahnya yang dimaksud bil yad adalah bagi yang memiliki kekuasaan[21].
3.      Kewajiban menerapkan hukum-hukum Islam seperti jihad dan hudud (sanksi). Menurut ijma kaum muslimin bahwa hudud ini hanya boleh dilaksanakan oleh sulthan (penguasa), bukan rakyat[22]. Jika menegakkan hudud hukumnya wajib, sementara untuk menegakkannya memerlukan institusi kekuasaan (negara) maka keberadaan negara menjadi wajib. Sesuai kaidah yang menyatakan “ tidak sempurna suatu kewajiban karena suatu hal. Maka keberadaan tersebut menjadi wajib”.

Hadits ketiga, kekuasaan adalah salah satu simpul Islam
Dari Abu Umamah al Bahili, dari Nabi Saw beliau bersabda:
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
Sungguh simpul-simpul Islam pasti akan terurai, simpul demi simpul. Setiap kali lepas satu simpul manusia berikat pada simpul selanjutnya. Dan yang pertama kali terurai adalah perkara kekuasaan dan yang terakhir shalat (HR. Ahmad no 21.139)
Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad (5/251), Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban hal. 87 no 257, al Hakim dalam al Mustadrak (4/92) dan juga dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin al Albani dalam kitab Shahih al Jaami’ ash Shaghir no. 4951 (5/15)

Al hukmu dalam hadits ini menurut imam al Munawi dalam Faidhul Qadhir maknanya adalah peradilan (al qadha)[23].  Sementara Syaikh Prof. Abdul Karim Zaidan memaknainya dengan kekuasaan/pemerintahan, beliau menyatakan:
والمقصود بالحكم : الحكم على النهج الإسلامي ، ويدخل فيه بالضرورة وجود الخليفة الذي يقوم بهذا الحكم ، ونقضه يعني التخلي عنه وعدم الالتزام به ، وقد قرن بنقض الصلاة وهي واجبة ، فدلّ على وجوبه
Dan yang dimaksud dengan al hukmu adalah pemerintahan yang tegak di atas manhaj Islam. Termasuk dalam maksud hadits ini adalah urgensi adanya seorang khalifah yang menjalankan pemerintahan ini. Lepasnya simpul artinya hilang dan tidak terikat dengannya. Lepasnya kekuasaan yang digandengkan dengan lepasnya simpul shalat (padahal shalat hukumnya wajib) menunjukkan wajibnya perkara pemerintahan ini[24].

Hadits keempat, Negara Khilafah adalah Sunnah Khulafa’ Rasyidin
Dari ‘Irbadh bin Sariyah, Nabi Saw bersabda:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini diriwayatkan Imam Tirmidzi, beliau nyatakan hadits ini hasan shahih. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, ad Darimi. Abu Nu’aim berkata: ini adalah hadits yang baik (jayyid) dan dishahihkan ulama Syam.
Telah diriwayatkan secara mutawatir dari shahabat-shahabat Nabi semoga Allah meridhai mereka bahwa mereka telah membai’at Abu Bakar ra  sebagai khalifah Rasulillah (pengganti Rasulullah). Kemudian Abu Bakar digantikan Umar ra, dan seterusnya ‘Ustman dan ‘Ali. Pada Khulafa Rasyidin ini tidak menggantikan Nabi Saw sebagai Nabi dan Rasul, karena telah diriwayatkan secara mutawatir pula bahwa tidak ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Saw. Lantas menggantikan Rasul dalam hal apa? Jawabnya, dalam perkara kekuasaan (pemerintahan). Karena itu Imam Ibnu Hajar al Haitami Asy Syafi’i menyatakan:
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله
“Ketahuilah juga bahwa para sahabat telah berijma’ bahwa mengangkat Imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya kewajiban paling penting karena mereka menyibukkan diri dengannya dengan menunda penguburan Rasulullah[25].”

Hadits kelima, pujian Nabi Saw bagi Imam (Penguasa)
Dari al A’raj dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Kata “al imam” mengandung konotasi al-Khalifah atau al-Imam al-A’zham yang mengurusi urusan manusia. Imam al-Mulla al-Qari secara gamblang menyatakan:
(فَإِنَّمَا الْإِمَامُ) أَيِ الْخَلِيفَةُ أَوْ أَمِيرُهُ     
”Makna kalimat (إنما الإمام) yakni al-Khalifah atau Amirnya[26]
Frase (الإمام جنة) merupakan bentuk tasybîh, penyerupaan antara kedudukan al-Imam dengan junnah (perisai), dimana Imam al-Mala al-Qari menyebutkan sebagai bentuk tasybîh balîgh (penyerupaan yang kuat mendalam)[27] . al-Hafizh al-Nawawi Asy Syafi’i (w. 676 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh Muslim:
قوله صلى الله عليه وسلم: (الإمام جنة) أي: كالستر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين، ويمنع الناس بعضهم من بعض، ويحمي بيضة الإسلام، ويتقيه الناس ويخافون سطوته 
”Sabda Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-: (الإمام جنة) yakni seperti al-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslimin, dan mencegah sesama manusia (melakukan kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya[28].”
Dalam tinjauan ilmu ushul fiqh, keterangan (ikhbâr) dalam hadits ini merupakan pujian atas Imam (Khalifah), dan pujian ini merupakan salah satu indikasi tuntutan pasti dari wajibnya mengangkat Khalifah. Karena jika adanya “hal yang dipuji” tersebut menjadi sebab tegaknya hukum Islam, sebaliknya apabila hal tersebut tidak ada menyebabkan hukum Islam tidak tegak, maka pujian tersebut merupakan qarînah jazîmah (indikasi tegas) bahwa “hal yang dipuji” itu hukumnya adalah wajib.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ajhizat Dawlat al-Khilâfah bahwa di antara kandungan hadits di dalamnya terdapat penyifatan terhadap khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni wiqâyah (pelindung). Dan Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- menyifati bahwa seorang al-Imâm (Khalifah) adalah junnah (perisai), dan artinya mengandung pujian atas keberadaan al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan; karena informasi dari Allah dan dari Rasul-Nya, jika mengandung celaan maka ia merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan, dan jika mengandung pujian maka ia merupakan tuntutan untuk melaksanakan, dan jika perbuatan yang dituntut tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah atau pengabaiannya (tidak melaksanakannya) maka mengandung konsekuensi terhadap terabaikannya hukum syari’ah, maka tuntutan tersebut bersifat tegas[29].

Hadits Keenam, Perintah Mempertahankan Kekuasaan yang Sah
Dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
"Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para khalifah (kepala pemerintahan) yang merekan akan banyak berbuat dosa." Para sahabat bertanya, "Apa yang anda perintahkan untuk kami jika itu terjadi?" beliau menjawab: "Tepatilah baiat yang pertama, kemudian yang sesudah itu. Dan penuhilah hak mereka, kerana Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka." (HR. Muslim)

Pada hadits ini juga terdapat informasi (khabar) bahwa setelah masa kenabian akan ada banyak para khalifah. Lalu Rasulullah memerintahkan untuk memenuhi bai’at yang pertama dan memberikan hak para khalifah. Adanya khabar seperti ini sekaligus menjadi thalab jaazim (tuntutan tegas) untuk mengangkat khalifah sebagai pihak yang akan dipenuhi haknya[30]. Pada hadits ini terdapat perintah untuk memenuhi bai’at khalifah yang pertama. Hal ini menunjukkan wajibnya mempertahankan adanya satu kepemimpinan saja.  Pemahaman ini semakin dipertegas dengan hadits lain yang memerintahkan membunuh pihak yang hendak merampas kekuasaan. Dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash, Nabi Saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
Siapa saja yang membai’at seorang imam, lalu ia memberikan genggaman tanganya (memenuhi bai’atnya) dan memberikan buah hatinya (sepenuh hati) maka hendaklah ia taat pada imamnya semampunya. Jika datang orang lain hendak mengambilnya, penggallah lehernya ((HR. Muslim)
Hadits serupa diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri, Nabi Saw bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
Jika dibai;at dua orang khalifah maka bunuhlah yang terkahir dari keduanya (HR. Muslim)

Pada hadits-hadits di atas ada  perintah mengangkat pemimpin negara. Terkadang dengan redaksi “al imam” terkadang dengan redaksi “khalifah” atau bentuk jamaknya “khulafa”. Lafadz imam jika dalam kondisi mutlak  tanpa dikaitkan dengan lafadz lain maka maknanya adalah khalifah. Pemahaman yang seperti inilah yang dipahami oleh para ulama bahasa dan fikih. Imam an Nawawi Asy Syafi’i menyatakan:
والمراد بالامام الرئيس الأعلى للدولة، والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا. ويرى ابن حزم أن الامام إذا أطلق انصرف إلى الخليفة، أما إذا قيد انصرف إلى ما قيد به من إمام الصلاة وإمام الحديث وإمام القوم.
Dan yang dimaksud dengan imam adalah pemimpin tertinggi bagi sebuah negara. Istilah Imamah, Khilafah dan Imarah mukminin merupakan istilah yang sinonim (semakna). Yaitu kepemimpinan umun untuk mengatur urusan agama dan urusan keduniaan. Imam Ibnu Hazm al Andalusi meriwayatkan bahwa jika lafadz imam disebut secara mutlak maka dialihkan maknanya pada khalifah. Adapun jika dikaitkan/disandarkan (idhafah) maka maknanya dialihkan pada sandarannya. Seperti imam shalat, imam hadits, imam suatu kaum[31].
Imam al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) pun menegaskan bahwa al-Imam dalam hadits ini ((الإمام جنة)) yakni al-Imam al-A’zham[32], istilah yang sama diungkapkan oleh ulama mujtahid penulis kitab Subul al-Salâm, Imam al-Shan’ani (w. 1182 H)[33], dimana para ulama ketika menyebut al-Imâm al-A’zham berkonotasi Imâm al-Muslimîn, dan Imâm al-Muslimîn adalah al-Khalifah, sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, dan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah yang disebut para ulama sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung)[34]:
الخليفة؛ من ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية
”Al-Khalifah; seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum muslimin: pemimpin tertinggi bagi Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).”
Pendapat serupa dinyatakan Ibnu Khaldun:
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصب وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام

Telah kami jelaskan hakikat kedudukan ini, bahwa ia adalah pengganti dari Shahibus Syariah (Nabi SAW) dalam memelihara agama dan mengatur dunia dengan agama, ia dinamakan Khilafah atau Imamah, pemimpinnya disebut Khalifah atau Imam[35].
           
Hadits-Hadits Fi’liyah
Selain hadits-hadits qauliyah di atas terdapat juga sejumlah sunnah fi’liyah. Mulai dibai’atnya Nabi Saw, hijrahnya beliau ke Madinah, membuat sejumlah perjanjian,  mengangkat wakil kepala negara yaitu Abu Bakar dan Umar, mengakat para wali (kepala negara tingat provinsi), mengangkat panglima militer dan memobilisasi pasukan, mengangkat kepala kepolisian, melalukan spionase, mengirim surat dakwah kepada raja-raja di luar jazirah arab, menerima utusan dari suku-suku di luar negari, mengelola harta rampasan perang, mengelola harta zakat, mengelola harta jizyah, dan sebagainya. Semua ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw bukan sekedar seorang Nabi dan Rasul namun juga seorang kepala negara. Hal ini menjadi dalil bahwa berdirinya sebuah negara (khususnya Khilafah) adalah sebuah kewajiban[36].

Menegakkan Khilafah Masa Kini
Berdasarkan hadits-hadits dan penjelasan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa menegakkan negara (khilafah) hukumnya wajib atau fardhu secara syar’i. Pertanyaan selanjutnya apakah hukum menegakkannya fardhu ‘ain atau kifayah?. Berikutnya ini adalah kutipan dari sejumlah ulama terkait hukum menegakkan khilafah:



1.      Al Qadhi Abu Ya’la
وهي فرض على الكفاية ، مخاطب بها طائفتان من الناس ، أحدهما : أهل الاجتهاد حتى يختاروا ، والثانية : من يوجد فيه شرائط الإمامة حتى ينتصب أحدهم للإمامة
Hukum mengangkat imam fardhu kifayah, yang terkena seruan adalah dua kelompok manusia. Pertama, ahlul ijtihad hingga mereka menentukan pilihan, kedua siapa saja yang memenuhi syarat-syarat sebagai imam hingga salah satu dari mereka terpilih sebagai imam[37]
2.      Imam al Mawardi asy Syafi’i
فإذا ثبت وجوبها ففرضها على الكفاية كالجهاد وطلب العلم ، فإذا قام بها من هو من أهلها سقط ( ففرضها على الكفاية ) وإن لم يقم بها أحد خرج من الناس فريقان : أحدهما أهل الاختيار حتى يختاروا إمامًا للأمة ، والثاني : أهل الإمامة حتى ينتصب أحدهما للإمامة.
Maka jika telah tercapai kewajibannya, maka hukumnya fardhu kifayah sebagaimana jihad dan menuntut ilmu. Jika orang-orang yang kompeten telah menegakkannya maka gugurlah hukum fardhu kifayah tersebut. Jika tidak ada seorang pun yang menunaikan kewajiban ini,  dua kelompok kaum muslimin wajib tampil. Pertama, orang-orang yang berwenang memilih seorang imam bagi umat. Kedua, orang yang memiliki kelayakan untuk menjadi imam, hingga salah seorang dari mereka diangkat sebagai imam. Selain dari dua kelompok ini, mereka tidak berdosa jika menunda imamah.



3.      Imam Nawawi asy Syafi’i
تولي الإمامة فرض كفاية ، فإن لم يكن من يصلح إلا واحد تعين عليه ، ولزمه طلبها إن لم يبتدؤه
Mengurusi imamah hukumnya fardhu kifayah. Jika hanya ada satu orang yang memiliki kelayakan untuk memegang imamah, ia wajib memegang imamah,  dan ia harus memintanya jika orang-orang belum memulainya[38].
4.      Syaikh Abdullah bin Umar Ad Dumaiji
    والحق أنه لا شك أن وجوبها على الطائفتين آكد من غيرهما ، ولكن إذا لم تقوما بهذا الواجب فإن الإثم يلحق الجميع ، وهذا هو المفهوم من كونها فرض كفاية ، أي إذا قام بها بعضهم سقطت عن الباقين ، ولكن إذا لم يقم بها أحد أثم الجميع ، كالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، والجهاد ، والعلم . وغير ذلك
Yang benar, tidak diragukan bahwa kewajiban imamah bagi dua kelompok (mujtahid dan orang-orang yang memenuhi syarat menjadi imam) ini jelas ditekankan daripada kelompok-kelompok selainnya. Namun manakala kedua kelompok ini sama-sama tidak menunaikannya, maka semua kelompok terkena dosa. Inilah yang dipahami dari hukum fardhu kifayah atas imamah. Dengan kata lain, jika kewajiban ini sudah dilaksanakan sebagian kelompok maka dosanya gugur bagi yang lain. Namun jika tidak ada seorang pun yang menunaikan kewajiban ini maka semuanya ikut berdosa. Sama seperti hukum amar makruf nahi munkar, jihad, meuntut ilmu, dan sebagainya[39].

Syaikh Abdullah ad Dumaiji juga menambahkan bahwa pada saat ini baik ahlul ijtihad maupun orang yang layak menegakkan imamah tidak berjuang untuk menegakkan imamah atau mereka telah berjuang namun dihalangi, maka kewajiban ini menjadi kewajiban seluruh kaum muslim sesuai dengan kadar kesanggupannya[40]

5.      Syaikh Muhammad Muhammad Ismail
وعلى ذلك فإن إقامة الدولة الإسلامية فرض على جميع المسلمين ، أي على كل مسلم من المسلمين . ولا يسقط هذا الفرض عن أي واحد من المسلمين حتى تقوم الدولة الإسلامية ، فإذا قام البعض بما يقيم الدولة الإسلامية لا يسقط الفرض عن أي واحد من المسلمين ما دامت الدولة الإسلامية لم تقم . ويبقى الفرض على كل مسلم ، ويبقى الإثم على كل مسلم حتى يتم قيام الدولة . ولا يسقط الإثم عن أي مسلم حتى يباشر القيام بما يقيمها مستمراً على ذلك حتى تقوم
Atas dasar ini maka sesungguhnya mengakkan daulah islmiyah hukumnya fardhu atas setiap kaum muslimin[41]. Yaitu atas setiap kaum muslimin. Tidak gugur kefardhuan ini dari setiap muslim hingga tegaknya daulah islamiyyah. Jika sudah ada sebagian orang yang berupaya menegakkannya, namun belum tegak maka kefardhuan ini belum gugur. Setiap kaum muslimin akan mendapat dosa hingga sempurna tegaknya khilafah. Tidak gugur dosa ini hingga dia terlibat secara langsung dan terus menerus hingga tegaknya daulah islamiyah[42].

Para ulama sepakat bahwa hukum menegakkan negara (Imamah/khilafah) adalah fardhu kifayah.

Keseimpulan
Berdasarkan pemaparan dia atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut ini:
1.    Terdapat sejumlah hadits baik qauliyah maupun fi’liyah yang menjelaskan wajibnya mengangkat imam, perintah taat pada imam, pujian terhadap imam, kekuasaan sebagai simpul Islam, dan bahwa ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah beliau juga mendirikan sebuah negara di Madinah.
2.    Status hadits-hadits yang yang dikutip dalam makalah ini adalah hadits-hadits yang shahih atau minimal hasan
3.    Para ulama menyimpulkan bahwa kata “imam” dalam sejumlah hadits maknya adalah khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya dinamakan khilafah. Maka Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa mendirikan khilafah hukumnya wajib.
4.    Pendapat para ulama yang dikutip dalam makalah ini sepakat bahwa mendirikan Khilafah hukumnya adalah fardhu kifayah. Syaikh Dumaiji dan Syaikh Muhammad Muhammad Ismail sepakat bahwa saat ini kewajiban menegakkan imamah/khilafah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dan belum gugur dosa atas fardhu kifayah yang tertunda hingga tegaknya khilafah.

Alhamdulillah selesai dengan pertolongan Allah. Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Tafsir hadits Ahkam
Banjarmasin, 17 Februari 2019
Al Faqiir ilallah Wahyudi Ibnu Yusuf


[1] Imam Ghazali, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, hal. 76
[2] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hal. 17
[3]  Imam An Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 19/191
[4] Wahbah Zuhaily, al fiqh al Islami wa adillatuhu. Juz 6/572
[5] Wahbah Zuhaili, al Fiqh al Islami.... Juz 6/574
[6] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 5/366
[7] Ibn Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal  wal Ahwa` wan Nihal, 4/78

[8] Wahbah Zuhaili, al Fiqh al Islamiy....6/574
[9] Wahbah Zuhaili, al Fiqh al Islamiy....6/579
[10] Wahbah Zuhaili, al Fiqh al Islamiy....6/590
[11] Wahbah Zuhaili, al Fiqh al Islamiy....6/590
[12] ‘Ali Abdurtaziq, al Islam wa ushul al hukm, h. 136. 1978. Darul Maktabah: Beirut
[13] Ali Ahmad al Khatib, Radd Haiah Kibar al Ulama ‘alal Kitab al Islam Wa Ushul al Hukm, hal 9-10
[14]  Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Fath al Baari’,  juz 20/58
[15]  Abdullah bin Umar ad Dumaiji, al Imamah al ‘Uzhma ‘inda ahl Sunnah wal Jama’ah, hal. 53
[16]  Memperoleh kekuasaan dengan cara mengalahkan (merampas) kekuasaan secara paksa dari penguasa sah
[17]  Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Fath al Baari’, juz 20/58
[18] Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Fath al Baari’, juz 20/58
[19] An Nawawi, Syarh an Nawawi ‘ala Muslim, juz 6/314
[20] Ibnu Taimiyah, as Siyasah Asy Syar’iah, hal. 168
[21] Syarh Ibnu Bathal, juz 19/62
[22] Fakhruddin ar Razi, Mafâtîh Al-Ghayb fî At-Tafsî, juz 11/235
[23] Imam al Munawi, Faidhul Qadir, juz 5/335
[24] Abdul Karim Zaidan, Ushul ad Dakwah, hal. 195. 1306 H.  Maktabah al Manar al Islamiyah
[25] Imam Ibn Hajar Haitami, Ash Shawaiqul Muhriqah, hal. 7

[26] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H/2002, juz VI, hlm. 2391.

[27] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[28] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahiih Muslim bin al-Hijâz, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. II, 1392 H, juz. XII, hlm. 230.
[29] Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fii al-Hukm wa al-Idârah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. I, 1426 H/2005, hlm. 11.
[30] Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah... hal. 11
[31] Imam An Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 19/191

[32] Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh al-Qadiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Mesir: Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz II, hlm. 559.
[33] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Ed: Dr. Muhammad Ishaq, Riyadh: Maktabat Dâr al-Salâm, cet. I, 1432 H/2011, juz IV, hlm. 166.
[34] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, hlm. 88.
[35] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 190
[36] Abdullah bin Umar asd Dumaiji, Al Imamah al ‘Uzhma, hal. 55
[37] Abu Ya’la, Al Ahkam as Sulthaniyah li Abi Ya’la, hal . 10
[38] Yahya bin Syarafuddin an Nawawi, Raudhah ath Thalibin, juz 10/43
[39] Abdullah bin Umar ad Dumaiji, al Imamah al  ‘Uzhma....hal. 78
[40] Abdullah bin Umar ad Dumaiji, al Imamah al  ‘Uzhma....hal. 78
[41] Hukum asalnya menurut Syaikh Muhammad Ismail hukum  menegakkan daulah Islamiyah adalah fardhu kifayah, namun saat menjadi fardhu atas seluruh kaum muslimin karena belum tegakknya daulah Islamiyah
[42] Muhammad Muhammad Ismail, al Fikr al Islamiy, h. 17, Maktabah al Wa’i: Beirut

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB