HADITS-HADITS NABAWIYAH DAN PENJELASAN ULAMA YANG MEMBUNGKAM SIAPAPUN YANG MENOLAK WAJIBNYA MENEGAKKAN KHILAFAH
HADITS-HADITS NABAWIYAH DAN
PENJELASAN ULAMA YANG MEMBUNGKAM SIAPAPUN YANG MENOLAK WAJIBNYA MENEGAKKAN KHILAFAH
Pendahuluan
Agama dan kekuasaan adalah
dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hujjatul Islam Imam Ghazali
mengibaratkan bagai dua saudara kembar, beliau menyatakan:
الدين والسلطان توأمان... الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما
لا حارس له فضائع
“Agama dan kekuasaan bagaikan saudara kembar…
Agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tak ada
asasnya akan hancur, dan apa saja yang tak ada
penjaganya akan lenyap[1].”
Kekuasaan di bidang
politik adalah negara atau dalam bahasa arab diistilahkan dengan ad-daulah.
Negara merupakan institusi politik yang dibentuk atas kesepakatan bersama untuk
mewujudkan tujuan bersama dibentuknya sebuah negara. Mengutip definisi yang
dirumuskan Prof. Miriam Budiardjo, negara adalah suatu organisasi dalam suatu
wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya[2].
Secara syar’i dalam
khasanah pemikiran Islam negara diistilahkan dengan al-imamah al ‘uzhma, al
khilafah atau imarah al mu’minin. Ketiganya memiliki konotasi yang
sama. Imam Nawawi Asy Syafi’i, beliau menyatakan:
والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين
مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا
Imamah, khilafah, dan Imarah al mu’minin adalah istilah-istilah yang
sinonim. Yaitu kepemimpinan umum dalam mengurus urusan agama dan dunia[3].
Pendapat serupa juga
dinyatakan oleh ulama kontemporer, Syaikh Wahbah Zuhaili. Beliau menyatakan:
الإمامة العظمى أو الخلافة أو إمارة المؤمنين كلها
تؤدي معنى واحداً، وتدل على وظيفة واحدة هي السلطة الحكومية العليا
Al-imamah al ‘uzhma, al
khilafah atau imarah al
mu’minin ketiganya menghantarkan pada konotasi yang sama (sinonim).
Ketiganya menunjukkan satu peran/tugas yang sama yaitu kekuasaan pemerintahan
yang tertinggi[4]
Tentang kewajiban
menegakkan negara (khilafah/imamah dalam istilah fikih Islam) menurut
klasifikasi Syaikh Wahbah Zuhaili ada tiga kelompok pendapat, yaitu: kelompok
yang menyatakan wajib bagi umat, kelompok yang menyatakan jawaz (boleh)
dan kelompok yang menyatakan wajib bagi Allah bukan bagi umat[5].
Imam empat madzhab (Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal) termasuk
dalam kelompok yang menyatakan wajibnya Imamah/Khilafah. Syaikh Abdurrahman al Jazaairi menyatakan:
اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على أن الإمامة فرض و انه لا
بد للمسلمين من إمام يقيم شعائر الدين و ينصف المظلومين من الظا لمين
“Para imam (Imam Abu Hanifah,
Malik, Syafii, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah)
itu fardhu dan bahwa harus ada bagi kaum muslim seorang imam (khalifah) yang
menegakkan syiar-siar agama dan menolong orang yang teraniaya dari orang yang
berbuat aniaya[6]”
Tidak hanya imam empat
madzhab, menurut Imam Ibnu Hazm al Andalusi, seluruh firqah (kecuali sedikit
kelompok) telah sepakat akan wajibnya Imamah/Khilafah. Beliau menyatakan:
اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة
وجميع الخوارج على وجوب الإمامة، وأن الأمة واجب عليها الانقياد لإمام عادل يقيم فيهم
أحكام الله ، ويسوسهم بأحكام الشريعة التي جاء بها رسول الله صلّى الله عليه وسلم،
حاشا النجدات، فإنهم قالوا:لا يلزم الناس فرض الإمامة
“Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua
Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah. Wajib bagi umat untuk tunduk pada imam yang adil yang
menegakkan hukum-hukum Allah pada mereka. Imam (khalifah) tersebut mengurus
umat dengan hukum-hukum syari’ah yang Rasulullah Saw datang dengan membawa
syariah tersebut. Kecuali kelompok an Najadat. Mereka menyatakan:
Masyarakat tidak wajib terikat dengan kefardhuan Imamah[7]”
Berdasar sandaran dalilnya
kelompok yang menyatakan wajib ini terbagi lagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kebanyakkan ulama
Asy'ariyah, Muktazilah, dan al-'ltrah mengatakan bahwa hukum menegakkan Imamah
adalah wajib berdasarkan dalil
syara' karena imam bertugas melaksanakan dan menegakkan urusan-urusan syara'.
Kelompok kedua, yaitu Syi'ah
Imamiah yang berpendapat bahwa hukum menegakkan Imamah hanya wajib secara akal
atau nalar karena memang
dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang mencegah terjadi tindakan saling
menganiaya serta menyelesaikan
perselisihan dan persengketaan yang terjadi di antara manusia. Andaikan tidak ada
pemimpin, niscaya kekacauanlah yang akan terjadi. Kelompok ketiga, yaitu al-Fahizh,
al-Balkhi (al-Ka'bi), Abul Hasan al-Khayyath, dan al-Hasan al-Bashri
mengatakan bahwa hukum
menegakkan Imamah adalah wajib, baik secara syara' maupun akal[8].
Kelompok kedua adalah kelompok yang mengatakan bahwa hukum Imamah
adalah jawaaz (boleh), bukan wajib. Mereka
adalah al-Muhakkimah al-Ula, an-Najadat dari
kelompok Khawarij, Dharrar, Abu Bakar al-Ashamm
al-Mu'tazili, Hisyam
al-Fuwathi, dan Abbad bin Sulaiman. Al-Ashamm mendeskripsikan pendapat ini dengan
mengatakan bahwa seandainya manusia saling menahan diri dan berhenti dari sikap
saling menganiaya, tentunya mereka tidak membutuhkan lagi seorang imam.[9]
Kelompok ketiga adalah kelompok yang menyatakan wajibnya
khilafah bagi Allah secara aqli (rasio) dan kewajiban ini tidak berlaku bagi
umat. Pengusung kelompok ini adalah Syi’ah Isma’iliyah[10].
Alasannya mengangkat seorang imam adalah sebuah al-luthf dan setiap al-luthf adalah wajib bagi Allah SWT. Dengan demikian, berarti mengangkat imam adalah wajib bagi
Allah SWT. Adapun sebab Imamah adalah sebuah al-luthf dari Allah SWT bagi para hamba-Nya, itu
karena wajibnya seorang imam yang adil yang
bisa mencegah mereka dari larangan-larangan
dan mendorong mereka kepada ketaatan-ketaatan yang hal itu bisa menjadikan
mereka lebih dekat kepada ketaatan dan lebih
jauh terhindar dari kemaksiatan. Ini
juga karena Imamah yang berasal dari Allah SWT adalah sebuah al-luthf karena imamah dari-Nya bersih dari berbagai kerusakan dan keburukan[11].
juga karena Imamah yang berasal dari Allah SWT adalah sebuah al-luthf karena imamah dari-Nya bersih dari berbagai kerusakan dan keburukan[11].
Syaikh Abdullah bin Umar ad Dumaiji dalam tesisnya yang
berjudul al Imamah al ‘Uzhma ‘inda ahl
Sunnah wal Jama’ah pada bab wajibnya Imamah menambahkan adanya kelompok
yang menyatakan tidak wajibnya menegakkan Imamah/Khilafah yaitu Syaikh ‘Ali
Abdurraziq, seorang ulama dalam jajaran ulama al Azhar Mesir. Beliau tidak
mengingkari bahwa manusia memerlukan negara, hanya saja beliau menolak
pandangan bahwa Islam juga mengatur perkara politik termasuk konsep khilafah.
Menurutnya Islam adalah agama semata (tidak mencakup urusan negara). Rasulullah
hanya mendakwahkan Islam saja dan tidak menegakkan negara di Madinah[12]. Pandangan ‘Ali Abdurraziq ini
dituangkannya dalam buku yang berjudul al Islam wa Ushul al Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan)
yang terbit pada tahun 1925. Satu tahun setelah Khilafah Islam di Turki di-ebolish oleh Musthafa Kamal dan muncul gerakan
untuk mengembalikan khilafah. ‘Ali Abdurraziq lalu ‘disidang’ di hadapan
lembaga ulama al Azhar. Kesimpulannya pandangan dianggap keliru dan ia
dikeluarkan dari jajaran ulama al Azhar[13].
Makalah ini berusaha menyajikan sejumlah dalil syara’,
khususnya hadits-hadits Nabi Saw tentang wajibnya mendirikan atau menegakkan sebuah
negara (secara khususnya imamah/khilafah).
Rumusan Masalah
1.
Apa saja hadits-hadits Nabi Saw yang
mewajibkan mendirikan Khilafah
2.
Apa status atau kualitas hadits-hadits
Nabi Saw yang mewajibkan mendirikan khilafah
3.
Bagaimana syarah (penjelasan) dari para ulama terhadap hadits-hadits Nabi Saw
yang mewajibkan mengangkat seorang pemimpin (nashbul imam)
4.
Apa hukum menegakkan khilafah saat ini?
Hadits-Hadits tentang
Wajibnya Mendirikan Negara (Imamah/Khilafah)
Terdapat banyak hadits tentang wajibnya mengangkat Imam (nashbul imam dan mendirikan negara. Hadits-hadits tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu hadits/sunnah qauliyah dan hadits/sunnah fi’liyyah.
Hadits/Sunnah Qauliyah
Hadits Pertama: Hadits
Wajibnya Membai’at Imam (nashbul imam)
Dari Abdullah Ibnu Umar, Nabi Saw bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ
بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa
saja yang melepaskan tangan dari ketaatan (pada imam), ia akan bertemu Allah
pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati, sementara di
pundaknya tidak ada bai’at (imam) maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah
(HR. Muslim)
Hadits ini adalah hadits yang
shahih karena diriwayatkan Imam Muslim. Mengenai
makna “mati jahiliyah” maknanya bukanlah mati dalam keadaan kafir, namun dalam
keadaan bermaksiat karena tidak berbai’at pada imam (penguasa). Imam Ibnu Hajar
al ‘Asqalani menyatakan:
وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّهُ يَمُوت كَافِرًا بَلْ
يَمُوت عَاصِيًا ، وَيَحْتَمِل أَنْ يَكُون التَّشْبِيه عَلَى ظَاهِره وَمَعْنَاهُ
أَنَّهُ يَمُوت مِثْل مَوْت الْجَاهِلِيّ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ هُوَ جَاهِلِيًّا
Mati
jahiliyah dalam hadits ini bukan berarti mati dalam keadaan kafir, tapi mati
dalam kemaksiatan. Makna “mati jahiliyah” dibawa ke makna penyerupaan (tasybih),
yaitu bahwa siapa yang tidak ada bai’at imam dipundaknya seperti matinya
orang-orang jahiliyah meski ia bukan orang jahilyah[14].
Hadits ini secara tegas menjelaskan
wajibnya mengangkat seorang imam (nashbul imam). Sebagaimana yang
ditegaskan Syaikh Ad Dumaiji yang menyatakan:
وهذا
واضح الدلالة على وجوب نصب الإمام لأنه إذا كانت البيعة واجبة في عنق المسلم ،
والبيعة لا تكون إلا لإمام ، فنصب الإمام واجب
Penunjukan
(dalalah) hadits ini jelas
menerangkan wajibnya mengangkat pemimpin (nashbul imam), karena jika
bai’at hukumnya wajib ada di pundak seorang muslim, sementara bai’at tidak akan
terwujud kecuali pada seorang Imam. Maka mengangkat Imam hukumnya wajib[15].
Imam yang diangkat ini wajib
ditaati selama ia mengajak taat pada Allah dan Rasul-Nya. Wajibnya taat padanya
dapat gugur ketika ia menampakkan kekufuran yang nyata atau mengajak maksiat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Imam Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Bathal menyatakan:
فِي الْحَدِيث حُجَّة فِي تَرْك الْخُرُوج عَلَى
السُّلْطَان وَلَوْ جَارَ ، وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاء عَلَى وُجُوب طَاعَة
السُّلْطَان الْمُتَغَلِّب وَالْجِهَاد مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَته خَيْر مِنْ
الْخُرُوج عَلَيْهِ
Pada
hadits ini terdapat hujjah untuk tidak keluar dari sulthan (kekuasaan), meski
penguasanya penguasa yang lalim. Para fuqaha telah berijma’ wajibnya taat pada
penguasa yang mutaghallib[16]
dan berjihad bersamanya. Sesungguhnya taat padanya lebih baik dari berlepas
diri darinya[17]
Ibnu
Bathal kemudian melanjutkan penjelasannya:
وَلَمْ يَسْتَثْنُوا مِنْ ذَلِكَ إِلَّا إِذَا وَقَعَ
مِنْ السُّلْطَان الْكُفْر الصَّرِيح فَلَا تَجُوز طَاعَته فِي ذَلِكَ بَلْ تَجِب
مُجَاهَدَته لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهَا كَمَا فِي الْحَدِيث الَّذِي بَعْدَهُ .
Para
fuqaha tidak mengecualikan ketataan pada imam kecuali jika imam telah jatuh
pada kekufuran yang nyata. Maka tidak boleh taat pada kondisi tersebut. Akan
tetapi wajib ada usaha yang maksimal (untuk mengubahnya) bagi siapa saja yang
mampu melakukannya sebagaimana disebutkan pada hadits sesudahnya[18].
Hadits yang dimaksud Imam Ibnu Bathal
adalah hadits dari ‘Ubadah bi Shamit, beliau berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى
السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا
وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ
تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam memanggil kami sehingga kami berbaiat kepada
beliau.' Ubadah melanjutkan; diantara janji yang beliau ambil dari kami adalah,
agar kami berbaiat kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan ta'at, saat
giat mapun malas, dan saat kesulitan maupun kesusahan, lebih mementingkan
urusan bersama, serta agar kami tidak mencabut urusan dari ahlinya kecuali jika
kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang pada kalian mempunyai
alasan yang jelas dari Allah (HR. Bukhari dan Muslim)
Mengenai makna “kufran bawahan”
atau kekufuran yang nyata pada hadits di atas , Imam Nawawi menjelaskan:
لَا تُنَازِعُوا وُلَاة الْأُمُور فِي وِلَايَتهمْ ،
وَلَا تَعْتَرِضُوا عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنْ تَرَوْا مِنْهُمْ مُنْكَرًا مُحَقَّقًا
تَعْلَمُونَهُ مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ
فَأَنْكِرُوهُ عَلَيْهِمْ ، وَقُولُوا بِالْحَقِّ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ ، وَأَمَّا
الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِنْ
كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ
Janganlah
kalian mengambil kekuasaan dari pemiliknya dan jangan pula kalian berpaling
dari mereka, kecuali kalian melihat (mendapati) dari mereka kemungkaran yang
nyata. Dimana kalian mengetahuinya dari pilar-pilar Islam. Jika kalian
melihatnnya maka ingkarilah kemungkaran tersebut atas mereka (para penguasa).
Katakan kebenaran bagaimanapun keadaan kalian. Adapun melepaskan diri dari
mereka (memisahkan diri) dan memerangi mereka hukumnya haram berdasarkan ijma
kaum muslimin, meskipun mereka fasik dan zhalim[19].
Ketaatan pada imam juga dibatasi oleh
jenis perintahnya. Tidak ada ketaatan kepada penguasa ketika ia mengajak
maksiat pada Allah dan Rasul-Nya. Dari Abdullah Ibnu ‘Umar Nabi Saw bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ
فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
"Wajib
setiap orang untuk mendengar dan taat, baik terhadap sesuatu yang dia suka atau
benci, kecuali jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban
baginya untuk mendengar dan taat."(HR. Muslim)
Hadits
Kedua, Wajibnya mengangkat Amir Safar
Dari
Au Hurairah, Nabi Saw bersabda:
إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا
أَحَدَهُمْ
Jika
ada tiga orang yang di perjalanan (safar) maka hendaklah mereka mengangkat
salah seorang dari mereka sebagai amir safar (HR. Tirmidzi)
Dan
hadits semisal dari Abdullah Ibnu Umar, Nabi Saw bersabda:
لا
يحل لثلاثة يكونون بفلاة من الأرض إلا أمّروا أحدهم
Tidak
halal bagi tiga orang yang melakukan perjalan di muka bumi (safar) kecuali
mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai amir safar (HR. Ahmad)
Hadits ini diriwayatkan Imam Abu
Dawud pada kitab al Jihad (7/267), Imam Ahmad (2/177), al Bazzar dari Umar bin
Khattab dengan sanad yang shahih. Imam Thabrani mengeluarkan hadits serupa dari
Abdullah bin Ma’ud dengan redaksi إذا كانوا ثلاثة في سفر
فليؤمروا أحدهم dan sanadnya
juga shahih. Hadits-hadits ini satu sama lain saling menguatkan. Kesimpulannya hadits
ini derajatnya shahih.
Berkenaan
dengan hadits yang diriwayatkan imam Ahmad ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menyatakan:
فأوجب صلى الله عليه وسلم تأمير الواحد في الاجتماع
القليل العارض في السفر ، تنبيها بذلك على سائر أنواع الاجتماع . ولأن الله تعالى
أوجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، ولا يتم ذلك إلا بقوة وإمارة . وكذلك سائر
ما أوجبه من الجهاد والعدل وإقامة الحج والجمع والأعياد ونصر المظلوم . وإقامة
الحدود لا تتم إلا بالقوة والإمارة
Rasulullah mewajibkan mengangkat seorang
pemimpin pada kumpulan orang yang sedikit dan insidentil seperti dalam perjalanan. Lebih-lebih
pada semua jenis kumpulan. Alasan lain, karena Allah Ta’ala telah wajibkan
menyeru pada kemakrufan dan mencegah dari kemungkaran. Padahal tidak sempurna
aktivitas tersebut kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikian pula pada
semua apa yang Allah wajibkan seperti jihad, mengelola pelaksanaan ibadah haji,
perkumpulan, hari raya, menolong orang yang dizhalimi, dan menegakkan hudud.
Semuanya itu tidak akan sempurna kecuali dengan kekuatan dan
kepemimpian/kekuasaan[20].
Kesimpulan Ibnu Taimiyah tentang wajibnya mengangkat
seorang pemimpin negara, jika dirinci dibangun atas tiga alasan.
1.
Pemahaman yang dibangun
atas dasar kaidah mafhum muqafaqah, yaitu pemahaman yang disimpulkan
dari suatu teks (dalam hal ini hadits) bahwa jika perkara yang kecil dan
insidentil saja diperintahkan terlebih pada perkara yang lebih besar dan terus
menenerus jelas ‘lebih’ diperintahkan. Dalam kajian ushul fikih, menurut jumhur
ulama ushul penalaran yang seperti ini adalah penalaran yang absah.
2.
Kewajiban menegakkan
kemakrufan dan mencegah kemunkaran. Dimana dalam hadits riwayat Imam Muslim
disebutkan bahwa tingkatan pertama dalam upaya mengubah kemungkaran (taghyiir
al munkar) adalah bil yad. Ibnu Bathal dalam kitab Syarahnya yang
dimaksud bil yad adalah bagi yang memiliki kekuasaan[21].
3.
Kewajiban menerapkan
hukum-hukum Islam seperti jihad dan hudud (sanksi). Menurut ijma kaum muslimin
bahwa hudud ini hanya boleh dilaksanakan oleh sulthan (penguasa), bukan
rakyat[22].
Jika menegakkan hudud hukumnya wajib, sementara untuk menegakkannya memerlukan
institusi kekuasaan (negara) maka keberadaan negara menjadi wajib. Sesuai
kaidah yang menyatakan “ tidak sempurna suatu kewajiban karena suatu hal. Maka
keberadaan tersebut menjadi wajib”.
Hadits ketiga, kekuasaan
adalah salah satu simpul Islam
Dari Abu Umamah al Bahili,
dari Nabi Saw beliau bersabda:
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً
فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ
نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
Sungguh
simpul-simpul Islam pasti akan terurai, simpul demi simpul. Setiap kali lepas
satu simpul manusia berikat pada simpul selanjutnya. Dan yang pertama kali
terurai adalah perkara kekuasaan dan yang terakhir shalat (HR. Ahmad no 21.139)
Hadits ini diriwayatkan
Imam Ahmad (5/251), Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban hal. 87 no 257, al
Hakim dalam al Mustadrak (4/92) dan juga dinyatakan shahih oleh Syaikh
Nashiruddin al Albani dalam kitab Shahih al Jaami’ ash Shaghir no. 4951
(5/15)
Al hukmu dalam hadits ini menurut imam al Munawi dalam Faidhul
Qadhir maknanya adalah peradilan (al qadha)[23].
Sementara Syaikh Prof. Abdul Karim
Zaidan memaknainya dengan kekuasaan/pemerintahan, beliau menyatakan:
والمقصود
بالحكم : الحكم على النهج الإسلامي ، ويدخل فيه بالضرورة وجود الخليفة الذي يقوم
بهذا الحكم ، ونقضه يعني التخلي عنه وعدم الالتزام به ، وقد قرن بنقض الصلاة وهي
واجبة ، فدلّ على وجوبه
Dan yang dimaksud dengan al
hukmu adalah pemerintahan yang tegak di atas manhaj Islam. Termasuk dalam
maksud hadits ini adalah urgensi adanya seorang khalifah yang menjalankan
pemerintahan ini. Lepasnya simpul artinya hilang dan tidak terikat dengannya.
Lepasnya kekuasaan yang digandengkan dengan lepasnya simpul shalat (padahal
shalat hukumnya wajib) menunjukkan wajibnya perkara pemerintahan ini[24].
Hadits keempat, Negara
Khilafah adalah Sunnah Khulafa’ Rasyidin
Dari ‘Irbadh bin Sariyah,
Nabi Saw bersabda:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا
كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“sesungguhnya siapa saja diantara
kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah
oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu
merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu
hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur
Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi
geraham.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini diriwayatkan Imam
Tirmidzi, beliau nyatakan hadits ini hasan shahih. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad,
ad Darimi. Abu Nu’aim berkata: ini adalah hadits yang baik (jayyid) dan
dishahihkan ulama Syam.
Telah diriwayatkan secara
mutawatir dari shahabat-shahabat Nabi semoga Allah meridhai mereka bahwa mereka
telah membai’at Abu Bakar ra sebagai
khalifah Rasulillah (pengganti Rasulullah). Kemudian Abu Bakar digantikan Umar
ra, dan seterusnya ‘Ustman dan ‘Ali. Pada Khulafa Rasyidin ini tidak
menggantikan Nabi Saw sebagai Nabi dan Rasul, karena telah diriwayatkan secara
mutawatir pula bahwa tidak ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Saw. Lantas
menggantikan Rasul dalam hal apa? Jawabnya, dalam perkara kekuasaan (pemerintahan).
Karena itu Imam Ibnu Hajar al Haitami Asy Syafi’i menyatakan:
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب
الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن
رسول الله
“Ketahuilah juga bahwa
para sahabat telah berijma’ bahwa mengangkat Imam setelah berakhirnya zaman
kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya kewajiban paling penting
karena mereka menyibukkan diri dengannya dengan menunda penguburan Rasulullah[25].”
Hadits kelima, pujian Nabi
Saw bagi Imam (Penguasa)
Dari al A’raj dari Abu
Hurairah, Nabi Saw bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya
al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di
belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.”
(HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Kata
“al imam” mengandung konotasi al-Khalifah
atau al-Imam al-A’zham yang mengurusi urusan manusia. Imam al-Mulla
al-Qari secara gamblang menyatakan:
(فَإِنَّمَا
الْإِمَامُ) أَيِ الْخَلِيفَةُ أَوْ أَمِيرُهُ
Frase
(الإمام جنة)
merupakan bentuk tasybîh, penyerupaan antara kedudukan al-Imam dengan junnah
(perisai), dimana Imam al-Mala al-Qari menyebutkan sebagai
bentuk tasybîh balîgh (penyerupaan yang kuat mendalam)[27] . al-Hafizh al-Nawawi Asy Syafi’i (w. 676 H) dalam kitab syarh-nya
atas Shahîh Muslim:
قوله صلى الله عليه وسلم: (الإمام جنة) أي: كالستر لأنه
يمنع العدو من أذى المسلمين، ويمنع الناس بعضهم من بعض، ويحمي بيضة الإسلام،
ويتقيه الناس ويخافون سطوته
”Sabda
Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-: (الإمام جنة) yakni
seperti al-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) mencegah musuh dari
perbuatan mencelakai kaum muslimin, dan mencegah sesama manusia (melakukan
kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung di
belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya[28].”
Dalam
tinjauan ilmu ushul fiqh, keterangan (ikhbâr) dalam hadits ini merupakan
pujian atas Imam (Khalifah), dan pujian ini merupakan salah satu indikasi
tuntutan pasti dari wajibnya mengangkat Khalifah. Karena jika adanya “hal yang
dipuji” tersebut menjadi sebab tegaknya hukum Islam, sebaliknya apabila hal
tersebut tidak ada menyebabkan hukum Islam tidak tegak, maka pujian tersebut
merupakan qarînah jazîmah (indikasi tegas) bahwa “hal yang dipuji” itu
hukumnya adalah wajib.
Hal
ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ajhizat Dawlat al-Khilâfah bahwa
di antara kandungan hadits di dalamnya terdapat penyifatan terhadap khalifah
bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni wiqâyah (pelindung). Dan
Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- menyifati bahwa seorang al-Imâm
(Khalifah) adalah junnah (perisai), dan artinya mengandung pujian atas
keberadaan al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan; karena
informasi dari Allah dan dari Rasul-Nya, jika mengandung celaan maka ia
merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan, dan jika mengandung
pujian maka ia merupakan tuntutan untuk melaksanakan, dan jika perbuatan yang
dituntut tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah atau
pengabaiannya (tidak melaksanakannya) maka mengandung konsekuensi terhadap
terabaikannya hukum syari’ah, maka tuntutan tersebut
bersifat tegas[29].
Hadits Keenam, Perintah
Mempertahankan Kekuasaan yang Sah
Dari Abu Hurairah, Nabi Saw
bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
"Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap
Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan
sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para
khalifah (kepala pemerintahan) yang merekan akan banyak berbuat dosa."
Para sahabat bertanya, "Apa yang anda perintahkan untuk kami jika itu
terjadi?" beliau menjawab: "Tepatilah baiat yang pertama, kemudian
yang sesudah itu. Dan penuhilah hak mereka, kerana Allah akan meminta
pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka." (HR. Muslim)
Pada
hadits ini juga terdapat informasi (khabar) bahwa setelah masa kenabian akan
ada banyak para khalifah. Lalu Rasulullah memerintahkan untuk memenuhi bai’at
yang pertama dan memberikan hak para khalifah. Adanya khabar seperti ini
sekaligus menjadi thalab jaazim (tuntutan tegas) untuk mengangkat
khalifah sebagai pihak yang akan dipenuhi haknya[30].
Pada hadits ini terdapat perintah untuk memenuhi bai’at khalifah yang pertama. Hal ini menunjukkan wajibnya mempertahankan adanya satu
kepemimpinan saja. Pemahaman ini semakin
dipertegas dengan hadits lain yang memerintahkan membunuh pihak yang hendak
merampas kekuasaan. Dari
Abdullah bin ‘Amr bin Ash, Nabi Saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ
وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ
فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
Siapa
saja yang membai’at seorang imam, lalu ia memberikan genggaman tanganya
(memenuhi bai’atnya) dan memberikan buah hatinya (sepenuh hati) maka hendaklah
ia taat pada imamnya semampunya. Jika datang orang lain hendak mengambilnya,
penggallah lehernya ((HR. Muslim)
Hadits serupa diriwayatkan
dari Abu Sa’id al Khudri, Nabi Saw bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ
مِنْهُمَا
Jika dibai;at dua orang
khalifah maka bunuhlah yang terkahir dari keduanya (HR. Muslim)
Pada hadits-hadits di atas
ada perintah mengangkat pemimpin negara.
Terkadang dengan redaksi “al imam” terkadang dengan redaksi “khalifah” atau
bentuk jamaknya “khulafa”. Lafadz imam jika dalam kondisi mutlak tanpa dikaitkan dengan lafadz lain maka
maknanya adalah khalifah. Pemahaman yang seperti inilah yang dipahami oleh para
ulama bahasa dan fikih. Imam an Nawawi Asy Syafi’i menyatakan:
والمراد بالامام الرئيس الأعلى
للدولة، والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة
في شئون الدين والدنيا. ويرى ابن حزم أن الامام إذا أطلق انصرف إلى الخليفة، أما
إذا قيد انصرف إلى ما قيد به من إمام الصلاة وإمام الحديث وإمام القوم.
Dan
yang dimaksud dengan imam adalah pemimpin tertinggi bagi sebuah negara. Istilah
Imamah, Khilafah dan Imarah mukminin merupakan istilah yang sinonim (semakna).
Yaitu kepemimpinan umun untuk mengatur urusan agama dan urusan keduniaan. Imam
Ibnu Hazm al Andalusi meriwayatkan bahwa jika lafadz imam disebut secara mutlak
maka dialihkan maknanya pada khalifah. Adapun jika dikaitkan/disandarkan (idhafah)
maka maknanya dialihkan pada sandarannya. Seperti imam shalat, imam hadits,
imam suatu kaum[31].
Imam
al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) pun menegaskan bahwa al-Imam dalam hadits ini ((الإمام جنة)) yakni al-Imam al-A’zham[32], istilah yang sama diungkapkan oleh
ulama mujtahid penulis kitab Subul al-Salâm, Imam
al-Shan’ani (w. 1182 H)[33], dimana para ulama ketika
menyebut al-Imâm al-A’zham berkonotasi Imâm al-Muslimîn, dan Imâm al-Muslimîn
adalah al-Khalifah, sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji
(w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, dan sistem pemerintahan yang
dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah yang disebut para ulama
sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung)[34]:
الخليفة؛ من ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى
للدولة الاسلامية
”Al-Khalifah;
seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum muslimin: pemimpin
tertinggi bagi Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).”
Pendapat
serupa dinyatakan Ibnu Khaldun:
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصب وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به
تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام
Telah
kami jelaskan hakikat kedudukan ini, bahwa ia adalah pengganti dari Shahibus
Syariah (Nabi SAW) dalam memelihara agama dan mengatur dunia dengan agama, ia
dinamakan Khilafah atau Imamah, pemimpinnya disebut Khalifah atau Imam[35].
Hadits-Hadits Fi’liyah
Selain hadits-hadits
qauliyah di atas terdapat juga sejumlah sunnah fi’liyah. Mulai dibai’atnya Nabi
Saw, hijrahnya beliau ke Madinah, membuat sejumlah perjanjian, mengangkat wakil kepala negara yaitu Abu
Bakar dan Umar, mengakat para wali (kepala negara tingat provinsi), mengangkat
panglima militer dan memobilisasi pasukan, mengangkat kepala kepolisian,
melalukan spionase, mengirim surat dakwah kepada raja-raja di luar jazirah
arab, menerima utusan dari suku-suku di luar negari, mengelola harta rampasan
perang, mengelola harta zakat, mengelola harta jizyah, dan sebagainya. Semua ini
menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw bukan sekedar seorang Nabi dan Rasul namun
juga seorang kepala negara. Hal ini menjadi dalil bahwa berdirinya sebuah
negara (khususnya Khilafah) adalah sebuah kewajiban[36].
Menegakkan Khilafah Masa
Kini
Berdasarkan hadits-hadits
dan penjelasan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa menegakkan negara
(khilafah) hukumnya wajib atau fardhu secara syar’i. Pertanyaan selanjutnya
apakah hukum menegakkannya fardhu ‘ain atau kifayah?. Berikutnya ini adalah
kutipan dari sejumlah ulama terkait hukum menegakkan khilafah:
1.
Al Qadhi Abu Ya’la
وهي فرض على الكفاية
، مخاطب بها طائفتان من الناس ، أحدهما : أهل الاجتهاد حتى يختاروا ، والثانية :
من يوجد فيه شرائط الإمامة حتى ينتصب أحدهم للإمامة
Hukum
mengangkat imam fardhu kifayah, yang terkena seruan adalah dua kelompok
manusia. Pertama, ahlul ijtihad hingga mereka menentukan pilihan, kedua siapa
saja yang memenuhi syarat-syarat sebagai imam hingga salah satu dari mereka
terpilih sebagai imam[37]
2.
Imam al Mawardi asy Syafi’i
فإذا ثبت وجوبها
ففرضها على الكفاية كالجهاد وطلب العلم ، فإذا قام بها من هو من أهلها سقط (
ففرضها على الكفاية ) وإن لم يقم بها أحد خرج من الناس فريقان : أحدهما
أهل الاختيار حتى يختاروا إمامًا للأمة ، والثاني : أهل الإمامة حتى ينتصب أحدهما
للإمامة.
Maka
jika telah tercapai kewajibannya, maka hukumnya fardhu kifayah sebagaimana
jihad dan menuntut ilmu. Jika orang-orang yang kompeten telah menegakkannya
maka gugurlah hukum fardhu kifayah tersebut. Jika tidak ada seorang pun yang
menunaikan kewajiban ini, dua kelompok kaum
muslimin wajib tampil. Pertama, orang-orang yang berwenang memilih seorang imam
bagi umat. Kedua, orang yang memiliki kelayakan untuk menjadi imam, hingga
salah seorang dari mereka diangkat sebagai imam. Selain dari dua kelompok ini,
mereka tidak berdosa jika menunda imamah.
3.
Imam Nawawi asy Syafi’i
تولي
الإمامة فرض كفاية ، فإن لم يكن من يصلح إلا واحد تعين عليه ، ولزمه طلبها إن لم
يبتدؤه
Mengurusi
imamah hukumnya fardhu kifayah. Jika hanya ada satu orang yang memiliki
kelayakan untuk memegang imamah, ia wajib memegang imamah, dan ia harus memintanya jika orang-orang
belum memulainya[38].
4.
Syaikh Abdullah bin Umar Ad Dumaiji
والحق
أنه لا شك أن وجوبها على الطائفتين آكد من غيرهما ، ولكن إذا لم تقوما بهذا الواجب
فإن الإثم يلحق الجميع ، وهذا هو المفهوم من كونها فرض كفاية ، أي إذا قام بها
بعضهم سقطت عن الباقين ، ولكن إذا لم يقم بها أحد أثم الجميع ، كالأمر بالمعروف
والنهي عن المنكر ، والجهاد ، والعلم . وغير ذلك
Yang benar, tidak
diragukan bahwa kewajiban imamah bagi dua kelompok (mujtahid dan orang-orang
yang memenuhi syarat menjadi imam) ini jelas ditekankan daripada
kelompok-kelompok selainnya. Namun manakala kedua kelompok ini sama-sama tidak
menunaikannya, maka semua kelompok terkena dosa. Inilah yang dipahami dari
hukum fardhu kifayah atas imamah. Dengan kata lain, jika kewajiban ini sudah
dilaksanakan sebagian kelompok maka dosanya gugur bagi yang lain. Namun jika
tidak ada seorang pun yang menunaikan kewajiban ini maka semuanya ikut berdosa.
Sama seperti hukum amar makruf nahi munkar, jihad, meuntut ilmu, dan sebagainya[39].
Syaikh Abdullah ad Dumaiji
juga menambahkan bahwa pada saat ini baik ahlul ijtihad maupun orang yang layak
menegakkan imamah tidak berjuang untuk menegakkan imamah atau mereka telah
berjuang namun dihalangi, maka kewajiban ini menjadi kewajiban seluruh kaum
muslim sesuai dengan kadar kesanggupannya[40]
5.
Syaikh Muhammad Muhammad
Ismail
وعلى ذلك فإن إقامة الدولة
الإسلامية فرض على جميع المسلمين ، أي على كل مسلم من المسلمين . ولا يسقط هذا
الفرض عن أي واحد من المسلمين حتى تقوم الدولة الإسلامية ، فإذا قام البعض بما
يقيم الدولة الإسلامية لا يسقط الفرض عن أي واحد من المسلمين ما دامت الدولة
الإسلامية لم تقم . ويبقى الفرض على كل مسلم ، ويبقى الإثم على كل مسلم حتى يتم
قيام الدولة . ولا يسقط الإثم عن أي مسلم حتى يباشر القيام بما يقيمها مستمراً على
ذلك حتى تقوم
Atas dasar ini maka sesungguhnya mengakkan daulah islmiyah hukumnya
fardhu atas setiap kaum muslimin[41]. Yaitu atas setiap kaum
muslimin. Tidak gugur kefardhuan ini dari setiap muslim hingga tegaknya daulah
islamiyyah. Jika sudah ada sebagian orang yang berupaya menegakkannya, namun
belum tegak maka kefardhuan ini belum gugur. Setiap kaum muslimin akan mendapat
dosa hingga sempurna tegaknya khilafah. Tidak gugur dosa ini hingga dia terlibat
secara langsung dan terus menerus hingga tegaknya daulah islamiyah[42].
Para ulama sepakat bahwa hukum menegakkan negara (Imamah/khilafah)
adalah fardhu kifayah.
Keseimpulan
Berdasarkan pemaparan dia atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut
ini:
1. Terdapat sejumlah hadits baik qauliyah maupun fi’liyah
yang menjelaskan wajibnya mengangkat imam, perintah taat pada imam, pujian
terhadap imam, kekuasaan sebagai simpul Islam, dan bahwa ketika Nabi Saw hijrah
ke Madinah beliau juga mendirikan sebuah negara di Madinah.
2. Status hadits-hadits yang yang dikutip dalam makalah ini
adalah hadits-hadits yang shahih atau minimal hasan
3. Para ulama menyimpulkan bahwa kata “imam” dalam sejumlah
hadits maknya adalah khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya dinamakan
khilafah. Maka Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa mendirikan khilafah
hukumnya wajib.
4. Pendapat para ulama yang dikutip dalam makalah ini sepakat
bahwa mendirikan Khilafah hukumnya adalah fardhu kifayah. Syaikh Dumaiji dan
Syaikh Muhammad Muhammad Ismail sepakat bahwa saat ini kewajiban menegakkan
imamah/khilafah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dan belum gugur
dosa atas fardhu kifayah yang tertunda hingga tegaknya khilafah.
Alhamdulillah selesai
dengan pertolongan Allah. Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Tafsir hadits
Ahkam
Banjarmasin, 17 Februari
2019
Al Faqiir ilallah Wahyudi
Ibnu Yusuf
[4] Wahbah Zuhaily, al fiqh al Islami wa adillatuhu.
Juz 6/572
[12] ‘Ali Abdurtaziq, al Islam wa ushul al hukm, h.
136. 1978. Darul Maktabah: Beirut
[16] Memperoleh kekuasaan dengan cara mengalahkan
(merampas) kekuasaan secara paksa dari penguasa sah
[26]
‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu
al-Hasan Nuruddin al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât
al-Mashâbiih, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H/2002, juz VI, hlm.
2391.
[27] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’
al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[28] Abu Zakariya Muhyiddin
Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahiih Muslim bin al-Hijâz, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. II, 1392 H, juz. XII, hlm. 230.
[29] Atha bin Khalil Abu
al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fii al-Hukm wa al-Idârah, Beirut:
Dâr al-Ummah, Cet. I, 1426 H/2005, hlm. 11.
[32] Abdurra’uf bin Tajul
Arifin bin Ali al-Manawi, Faydh al-Qadiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Mesir:
Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz II, hlm. 559.
[33] Muhammad bin Isma’il
al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir Syarh al-Jâmi’ al-Shaghiir, Ed: Dr.
Muhammad Ishaq, Riyadh: Maktabat Dâr al-Salâm, cet. I, 1432 H/2011, juz IV,
hlm. 166.
[34] Prof. Dr. Muhammad Rawwas
Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II,
1408 H/1988, hlm. 88.
[41] Hukum asalnya menurut Syaikh Muhammad Ismail
hukum menegakkan daulah Islamiyah adalah
fardhu kifayah, namun saat menjadi fardhu atas seluruh kaum muslimin karena
belum tegakknya daulah Islamiyah
Komentar
Posting Komentar