MEMBAJAK KONSEP MAQASHID SYARIAH ASY SYATHIBI


MEMBAJAK KONSEP MAQASHID SYARIAH ASY SYATHIBI
 DAN MASHALIH MURSALAH UNTUK MENDEKONTRUKSI SYARIAT
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf

A.  Pendahuluan
Konsep  maqâshid syarîah sebenarnya sudah dirumuskan oleh Imam al Juwaini dan dilanjutkan oleh Imam Ghazali. Namun, Imam Asy Syathibi adalah ulama yang paling poluler tentang konsep maqâshid syarîah. Mungkin karena beliau adalah ulama yang secara khusus dan komprehensif membahas tentang konsep maqashid syariah. Dalam kitab al Muwâfaqat, di juz II setebal 313 halaman  secara khusus membahas tentang konsep al maqâshid.
 
Hanya saja konsep al maqâshid Imam Syathibi ini sering ‘dibajak’ (sengaja atau tidak) untuk mendekonstruksi syariat yang telah mapan. Tak jarang dekonstruksi (penjungkirbalikan) syariat ini dikolaborasi dengan metode tafsir hermeneutik. Syariat diutak-atik agar menyesuaikan realitas dengan dengan dalih untuk meraih maslahat. Sebagai contoh, ayat 11 surah an-Nisa jelas menyatakan bahwa laki-laki mendapat dua bagian dari wanita. Menurut mereka maqâshid hukum waris adalah keadilan. Jika realitasnya saat ini wanita lebih berperan di ranah publik dan lebih banyak berkontribusi untuk keluarga maka ayat ini menjadi tidak relevan. Mengapa? Karena tidak mewadahi asas ‘keadilan’. Maka ayat ini harus direinterpretasi dengan memperhatikan asas maqâshid dan relevansinya dengan realitas yang berkembang.

Benarkah demikian konsep al maqâshid menurut Imam Syathibi, hingga melegalkan perubahan hukum-hukum syariat yang telah secara jelas (sharih) disebutkan dalam nash?. Benarkah hukum-hukum syariat hanya wasilah/sarana  yang boleh diutak-atik dengan alasan untuk mencapai maksud diturunkannya syariat?. Makalah singkat ini mencoba untuk mengulasnya. Semoga bermanfaat

B.       Maqashid Syari’ah Menurut Imam Asy Syathibi
Menurut Imam Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain kecuali untuk memperoleh kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashâlih wa dar’ul mafâsid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Kesimpulan Asy Syathibi ini diperoleh setelah melakukan istiqra’ (penalaran induktif) terhadap nash-nash al Quran. Ayat-ayat yang dimaksud adalah QS. An-Nisa: 165 tentang hikmah diutusnya Nabi dan Rasul, QS. Al-Anbiya: 107 tentang hikmah diutusnya Nabi Muhammad Saw. Yaitu sebagai penebar rahmat untuk seluruh alam, QS. Adz-Dzariyat: 56 tentang hikmah penciptaan  Jin dan Manusia yaitu untuk semata beribadah kepada Allah, QS. Al-Baqarah: 183 tentang takwa sebagai hikmah dari puasa, dan QS. Al-Ankabut: 45 tentang hikmah pelasanaan shalat adalah tercegah dari perbuatan keji dan munkar[1].
Syathibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga
bagian penting yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (skunder) dan tahsiniyat (tersier)[2].
1.      Maqashid Dharuriyah
Maqashid dharuriyah adalah tujuan dari syariat yang harus terwujud untuk mewujudkan kemaslahatan bagi agama dan dunia. Jika kemaslahatan ini tidak terwujud di dunia maka akan terjadi kerusakan (fasad). Jika tidak terwujud di akhirat maka tidak akan mendapatkan kenikmatan di akhirat[3].
Maqashid dharuriyyat menurut Syathibi ada lima yaitu: menjaga agama (hifzh al-din),
menjaga jiwa (hifzh al-nafs), menjaga keturunan (hifzh an-nasl), menjaga harta (hifzh al-mâl) dan menjaga akal (hifzh al-aql)[4].
Cara menjaga Maqashid dharuriyyat ditempuh dengan dua pendekatan yaitu:
a.  Dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara menjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya
b. Dari segi tidak adanya (min nahiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.
                        Tabel yang memuat contoh-contoh berikut ini akan lebih memperjelas maksud dari dua pendekatan di atas:
Jenis Maqashid Syariah
Nahiyyatu al-wujud
Nahiyyatu al- ‘adam
Menjaga agama
Shalat dan zakat
Jihad dan hukuman mati bagi orang murtad
Menjaga jiwa
Makan dan minum
Hukuman qishash dan diyat
Menjaga akal
Mencari ilmu
Had bagi peminum khamr
Menjaga keturunan
Nikah
Had bagi pezina dan muqdzif
Menjaga harta
Jual beli dan mencari rizki
Haramnya riba, memotong tangan pencuri.



1.      Maqâshid Hâjiyat
Adalah maqashid yang merupakan kelonggaran syariat karena terdapat sebuah kondisi yang memerlukannya. Kondisi yang dimaksud adalah jika dalam  kondisi umum jika syariat dilaksanakan apa adanya (mengikuti hukum ‘azimah) maka akan timbul kesulitan (masyaqqah), namun dengan adanya rukhsoh maka menjadi ada kelonggaran. Namun seandainya tetap mengambil hukum ‘azimah dan mengabaikan rukhshoh tidak menimbulkan fasad. Menurut Syathibi Maqashid Hajiyat terdapat dalam perkara ibadah, adat, muamalat, dan jinayat. Dalam perkara ibadah misalkan bolehnya berbuka (tidak berpuasa) bagi orang yang sakit dan safar. Dalam perkara adat misalnya bolehnya berburu. Dalam perkara muamalat misalnya diperbolehkannya qardh, jual beli salam, dan musâqah. Dalam perkara jinayat misalkan adanya hukum diyat (pemaafan dari ahli waris dari korban dengan membayar 100 ekor unta atau nilai yang setara)[5] 
2.    Maqashid Tahsiniyat
Yaitu mengambil sesuatu yang layak menurut adat, meninggalkan hal-hal dipandang kotor/najis, dan sesuai dengan akal. Contoh dalam ranah ibadah adalah syariat thaharah, menutup aurat, memakai pakaian yang baik saat sholat, sholat sunnah, sedekah dan sebagainya. Dalam perkara adat misalnya adab makan dan minum. Dalam perkara mu’amalah misalnya larangan memperjual-belikan benda-benda najis, larangan menikahkan diri sendiri. Dalam perkara jinayat misalnya larangan membunuh anak-anak, wanita dan para rahib dalam peperangan[6].

C. Batasan Konsep Maqashid Syari’ah Imam Syathibi
Ada sejumlah kalangan yang menggunakan konsep maqashid Imam Syathibi tidak pada porsi yang semestinya. Mereka menyatakan bahwa jika menurut penilaian manusia terdapat maslahat maka itulah syariat. Jika sebuah nash bertentangan dengan kemaslahan kekinian maka nash harus ditafsiran ulang supaya terwujud kemaslahatan kekinian tersebut. Karena itulah penting dipaparkan batasan konsep maqashid syariah menurut Imam Syathibi, yaitu:
1.        Maqashid Syariah menurut Syathibi adalah hikmah penerapan Syariat, bukan alasan/’illah pensyariatan[7]. Ketika menguatkan pendapat bahwa hukum-hukum syariat memiliki ‘illat yaitu jalbul mashâlih wa dar’ul mafâsid. Imam Syathibi  menggunakan metode istiqra’ (penalaran induktif). Yaitu dengan mengumpulkan sejumlah ayat-ayat al Quran yang menunjukkan adanya ‘illah (menurut istilah Imam Syathibi). Sejumlah ayat yang dikutip Imam Syathibi bukanlah ayat-ayat mengandung ‘illat, namun hikmah pensyari’atan (hikmah at tasyri’).
Istilah hikmah dan ‘illat adalah istilah yang sudah dikenal dalam ilmu ushul fikih. Jumhur ulama menggunakan istilah ‘illah untuk menyatakan latar belakang/alasan pensyari’atan hukum (bâ’its ‘ala at tasyri’), sedang hikmah dimaknai dengan buah atau hasil dari penerapan syariat[8]. Perbedaannya, karena ‘illat adalah alasan penyariatan maka ada atau tidak adanya hukum yang ber’illah (ma’lul) bergantung pada ada atau tidak adanya ‘illat. Misalkan perintah menyiapkan kuda-kuda perang yang tertambat sangat bergantung pada ‘illat yaitu menggentarkan musuh (QS. Al-Anfal: 60). Ketika ayat ini diturunkan kuda perang adalah sarana efektif untuk menggentarkan musuh. Apakah masih berlaku di zaman modern saat ini? Jawabnya jelas tidak. Maka jika hanya menyiapkan kuda jelas ‘illat menggentarkan musuh tidak akan terwujud. Karena itulah berlaku kaidah al’illah tadurru ma’a al ma’lul wujudan wa ‘adaman (‘illat menyertai hukum yang berma’lul ada atau tiadanya). Sedang hikmah bergantung pada pelaksanaan hukum syari’at. Jika pelaksaan sebuah hukum dilakukan dengan benar ( syarat dan rukunnya) maka hikmah akan terwujud. Misalkan shalat jika dilaksanakan dengan benar maka akan mampu mencegah terjadinya perbuatan yang keji dan munkar. Contoh lain, jika puasa puasa dilaksanakan dengan benar maka akan melahirkan pribadi muttaqin. Jika ada yang bertanya mengapa ada orang yang rajin shalat tapi maksiat, misalnya korupsi? Jawabnya bisa jadi secara pribadi musholli tidak benar sholatnya baik secara zhahir maupun bathin. Atau bisa jadi karena ada syarat lain dari pelaksanaan syariat yang keliru. Di antaranya tidak kaffah (menyeluruh)nya pelaksanaan syariat. Padahal hal itu dituntut oleh syariat itu sendiri. Sederhananya perbedaan ‘illat dengan hikmah bisa ditulis dalam kalimat ringkas: “ Hukum bergantung pada ada tidaknya ‘illat. Hikmah bergantung pada pelaksanaan hukum”.
Dalam hal penggungaan istilah ‘illat dan hikmah, Imam Syathibi merumuskan definisi sendiri yang berbeda dengan definisi jumhur ulama. Beliau mendefiniskan ‘illat sama dengan hikmah itu sendiri. Dimana hikmah (maslahat) dicapai dengan menjalankan perintah syariat dan meninggalkan larangan. Beliau menyatakan:
وَأَمَّا الْعِلَّةُ؛ فَالْمُرَادُ بِهَا: الْحِكَمُ وَالْمَصَالِحُ الَّتِي تَعَلَّقَتْ بِهَا الأوامر أوالْإِبَاحَةُ، وَالْمَفَاسِدُ الَّتِي تَعَلَّقَتْ بِهَا النَّوَاهِي؛ فَالْمَشَقَّةُ عِلَّةٌ فِي إِبَاحَةِ الْقَصْرِ وَالْفِطْرِ فِي السَّفَرِ، وَالسَّفَرُ هُوَ السَّبَبُ الْمَوْضُوعُ سَبَبًا لِلْإِبَاحَةِ؛ فَعَلَى الْجُمْلَةِ؛ الْعِلَّةُ هِيَ الْمَصْلَحَةُ نَفْسُهَا أَوِ الْمَفْسَدَةُ لَا مَظِنَّتُهَا
Adapun yang dimaksud ‘illah adalah hikmah-hikmah (al hikam) dan maslahat yang berkaitan dengan (pelaksanaan) perintah-perintah atau hal-hal yang mubah dan mafasid yang berkaitan dengan (meninggalkan) larang-larangan. Masyaqah (kesulitan) adalah ‘illah (hikmah, menurut pengertian Syathibi) bagi bolehnya mengqashar shalat dan berbuka saat safar. Safar adalah as sabab yang menjadi sebab bolehnya qashar dan berbuka. Ringkasnya ‘illat adalah maslahat itu sendiri atau tercegah dari  mafsadat[9].

Jika ‘illah yang dimaksud oleh Imam Syathibi adalah hikmah pelaksanaan syariat yaitu diperolehnya maslahat dan terhindar mafsadat, sementara hikmah hanya terwujud dengan pelaksanaan syariat. Sementara asy syâri’ telah menetapkan syariat apa yang akan menghantarkan pada tercapainya maslahat, maka tidak ada ruang bagi manusia untuk ‘membuat’ syariat baru dengan alasan mencapai maslahat.
2.        Maqashid Syariah tidak boleh ditetapkan berdasarkan hawa nafsu, namun wajib terikat dengan syariat atau nash-nash umum. Imam Syathibi menyatakan[10]:
الْمَصَالِحُ الْمُجْتَلَبَةُ شَرْعًا وَالْمَفَاسِدُ الْمُسْتَدْفَعَةُ إِنَّمَا تُعْتَبَرُ مِنْ حَيْثُ تُقَامُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لِلْحَيَاةِ الْأُخْرَى، لَا مِنْ حَيْثُ أَهْوَاءِ النُّفُوسِ فِي جَلْبِ مَصَالِحِهَا الْعَادِيَّةِ، أَوْ دَرْءِ مَفَاسِدِهَا الْعَادِيَّةِ
Meraih maslahat dan menolak mafsadat secara syar’i hanya teranggap ketika kehidupan dunia ditegakkan untuk (meraih kebahagiaan) kehidupan akhirat. Bukan dengan mengikuti hawa nafsu yang melampaui batas. Imam Syatibi merinci sejumlah alasan untuk menguatkan kesimpulannya ini, di antaranya:
a.         Syariat diturunkan untuk menundukkah hawa nafsu dengan hanya mengikuti syariat Allah. Allah berfirman:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya (QS. Al-Mukminun [24]: 71)

b.         Terkadang ada amal tertentu yang mengandung manfaat di satu sisi dan mafsadat di sisi lain. Misalkan berjihad di jalan Allah. Jika semata memandang manfaat-mafsadat dari sisi manusia tentu secara umum manusia akan menolaknya. Namun syariat memerintahkan berjihad meski manusia membencinya.(QS.al-Baqarah: 216). Imam Syathibi menyatakan[11]:
فَالْمُعْتَبَرُ إِنَّمَا هُوَ الْأَمْرُ الْأَعْظَمُ، وَهُوَ جِهَةُ الْمَصْلَحَةِ الَّتِي هِيَ عِمَادُ الدِّينِ وَالدُّنْيَا، لَا مِنْ حَيْثُ أَهْوَاءِ النُّفُوسِ- حَتَّى إِنَّ الْعُقَلَاءَ قَدِ اتَّفَقُوا عَلَى هَذَا النَّوْعِ فِي الْجُمْلَةِ، وَإِنْ لَمْ يُدْرِكُوا مِنْ تَفَاصِيلِهَا قَبْلَ الشَّرْعِ مَا أَتَى بِهِ الشرع
Maka yang mu’tabar hanyalah kembali ada perkara yang besar, yaitu maslahat yang denganya tegak agama dan urusan dunia. Tidak dengan mengikuti hawa nafsu. Bahkan seadainya orang-orang cerdik-pandai bersepakat atas satu hal, tidak boleh diikuti jika mereka tidak mendapati rinciannya dari sisi tinjauan syariat.
c.         Manfaat dan mudharat bukan sesuatu yang sifatnya hakiki, namun sesuatu yang nisbi. Ada suatu yang dianggap bermanfaat dalam satu kondisi namun mudharat pada kondisi yang lain, bermanfaat pada waktu, tempat, dan orang tertentu namun tidak di waktu, tempat dan orang yang lain. Sebagai contoh memakan  makanan tertentu bisa jadi mengandung manfaat, namun bagi kondisi, waktu, tempat dan orang tertentu justru mendatangkan mafsadat. Karena itulah tidak ada tempat bagi hawa nafsu untuk menentukan maqasdid pada syariat.

Ringkasnya, bukan ranah manusia, dengan keterbatasan akalnya, apalagi dengan hawa nafsunya dalam menentukan maslahat dan mafsadat. Hawa nafsu wajib tunduk syariat dan akal wajib terbimbing oleh wahyu.
D. Mashâlih Mursalah
Konsep mashâlih mursalah merupakan turunan dari maqashid syariah yang intinya adalah untuk melaih maslahat bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat. Mashlahah secara bahasa terbentuk dari kata shalaha-yashluhu atau shaluha-yashluhu, yaitu dhiddu al-fasad (lawan dari fasad/kerusakan). Maknanya adalah ash-sholah (الصلاح) yaitu manfaat. Bentuk jamaknya al mashâlih. Mashlahah terbagi menjadi tiga jenis, yaitu[12]:
a.       Mashlahah yang mu’tabar (diakui), yaitu mashalih sebagaimana yang dipopulerkan oleh Imam Syathibi di atas yaitu mashalih untuk menjaga agama, jiwa, akal, nasab, harta, dan kehormatan.
b.      Mashlahah yang diabaikan (mulghah), yaitu mashlahah yang ditolak oleh syariat karena bertentangan dengan nash-nash yang jelas. Seperti anggapan maslahat pada gagasan kesamaan bagian waris antara laki-laki dengan perempuan karena menyelisihi al Quran (an-Nisa: 11). Contoh lain, fatwa Imam Yahya al-Laytsi yang yang menetapkan kafarat puasa selama dua bulan berturut-turut pada seorang penguasa Andalusia karena mencampuri istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Padahal urutan kafarat urutan pertama yaitu membebaskan budak. Alasannya bahwa membebaskan budak tidak akan memberikan efek jera disebabkan sang penguasa mempunyai banyak harta atau budak. Anggapan mashlahah seperti ini bertentangan dengan nash yakni hadis Nabi Saw yang menetapkan urutan kafarat yaitu membebaskan budak, lalu berpuasa dua bulan berturut-turut, lalu memberi makan 60 orang miskin (HR. Bukhari dan Muslim)
c.       Mashlahah Mursalah. Mursal maknanya adalah mutlak (tanpa taqyîd) atau tanpa dalil. Disebut demikian karena memang objek kajian mashâlih mursalah adalah pada hal-hal yang tidak terdapat dalil yang menerangkan secara jelas dan tegas. Seorang mujtahid meng-instibath hukum dengan mempertimbangkan kemungkinan tercapainya mashlahat atau terhindar dari mafsadat.
Mashâlih Mursalah menurut istilah ulama ushul didefinisikan perkara yang diduga bersesuaian dengan hukum syariat mengenai peristiwa atau kejadian yang tidak ada hukumnya dengan mempertimbangkan tercapainya manfaat atau tertolaknya mafsadat. Imam Ghazali mengistilahkan Mashâlih Mursalah dengan istishlâh. Sementara Imam Juwaini dan Imam Sam’ani mengistilahkannya dengan ism al istidlâl. Contoh Mashâlih Mursalah adalah putusan Umar bin Khattab yang menghukum mati orang-orang yang berserikat membunuh seseorang. Diriwayatkan, Umar menghukum mati sejumlah orang dari Shan’a (Yaman) yang membunuh seseorang. Beliau berkata:
لَوْ اشْتَرَكَ فِيهَا أَهْلُ صَنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ
Seandainya (seluruh) penduduk Shan’a berserikat dalam pembunuhan tersebut niscaya saya akan bunuh mereka (semuanya) (HR. Bukhari)
Para ulama sepakat bahwa Mashâlih Mursalah tidak berlaku pada perkara ibadah seperti sholat, shaum, zakat, haji. Termasuk perkara hudud, kafarat, dan waris[13]. Di luar perkara ini sikap para ulama terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu[14]:
1.    Kelompok yang menolak sama sekali  Mashâlih Mursalah sebagaimana mereka menolak Qiyas. Pengusung kelompok ini adalah madzhab Zhahiri.
2.    Kelompok yang menerima Mashâlih Mursalah  jika terdapat dalam nash khusus. Umumnya mashlahah mursalah terdapat pada ‘illah qiyas. Madzhab Syafi’iyyah (termasuk Imam Ghazali) dan Hanafiyah adalah pengusung pendapat ini.
3.    Kelompok yang menerima Mashâlih Mursalah  yang bersesuaian dengan maqashid syariah, meskipun tidak terdapat nash khusus. Imam Malik Madzhab Hanabilah adalah pengusung pendapat ini.
Penting kiranya memaparkan sandaran dalil dari para ulama yang mendukung mashalih mursalah dan yang menolaknya (baik menolaknya secara total ataupun yang memasukkannya dalam bab Qiyas). Dalil pokok pihak yang menggunakan Mashâlih Mursalah   adalah:
1.    Para sahabat Nabi menggamalkan Mashâlih Mursalah. Contohnya pengumpulan dan penyalinan al Quran. Contoh lain, Umar bin Khattab telah menetapkan hukum qishas atas pembunuhan disengaja yang dilakukan sekelompok orang.
2.    Mashâlih Mursalah    jika bersesuaian dengan maqashid syariah maka akan diraih  maslahat, sebaliknya jika tidak direalisir maka akan mendapat mafsadat
3.    jika tidak mengambil Mashâlih Mursalah  (selama dalam kerangka maqashid syariah) maka akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Padahal Allah berfirman: wa maa ja’ala ‘alaikum fi ad din min haraj (QS. Al-Hajj: 78).

Sedangkan pihak yang menolak Mashâlih Mursalah   berhujjah dengan sejumlah argumen, di antaranya[15]:
1.    Maslahah yang tidak didukung dalil syar’i adalah bentuk mengikuti hawa nafsu. Imam Ghazali berkata: “Istihsan yang tidak didukung dalil syariat maka dihukumi mengikuti hawa nafsu semata”. Terkait Mashalih Mursalah beliau menyatakan: “Jika mashalih mursalah tidak didasarkan dalil syariat maka statusnya seperti istihsan”
2.    Mashlahah jika ia mu’tabarah maka dikategorikan dalam bab Qiyas, sebaliknya jika mashlahah bertentangan dengan nash yang sharih tidak bisa dimasukkan dalam bab Qiyas dan maslahahnya ghairu mu’tabarah.
3.    Menggunakan mashalih mursalah yang tidak didasari nash syariat akan menghantarkan pada dekonstruksi hukum-hukum syariat, termasuk hukum-hukum syariat yang telah qath’i dan baku.

                   Imam Syathibi termasuk ulama yang menerima masahalih mursalah sebagai dalil, bukan sebagai maqashid. Hal ini dapat dipahami dari kesimpulan beliau dalam kitab al I’tisham. Imam Syathibi menyatakan[16]:
أنَّ حَاصِلَ الْمَصَالِحِ الْمُرْسَلَةِ يَرْجِعُ إِلَى حِفْظِ أَمْرٍ ضَرُورِيٍّ، وَرَفْعِ حَرَجٍ لَازِمٍ فِي الدِّينِ، وَأَيْضًا مَرْجِعُهَا إِلَى حِفْظِ الضَّرُورِيِّ مِنْ بَابِ مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ. . . فَهِيَ إِذًا مِنَ الْوَسَائِلِ لَا مِنَ الْمَقَاصِدِ، وَرُجُوعُهَا إِلَى رَفْعِ الْحَرَجِ رَاجِعٌ إِلَى بَابِ التَّخْفِيفِ لَا إِلَى التَّشْدِيدِ
Dari beberapa perkara yang dipahami tentang sepuluh contoh tersebut)
bahwa hasil dari al maslahat al mursalah kembalinya adalah menjaga
perkara yang dharury dan menghilangkan hal-hal yang memberatkan
(haraji) yang lazim dalam agama. Dalam menjaga perkara yang dharury
sangat berkaitan dengan kaidah "Sebuah kewajiban tidak
sempurna melainkan dengan melaksanakan sesuatu ............. " Jadi, al
maslahat al mursalah
termasuk perantara (wasilah), bukan tujuan. Sedangkan
fungsinya untuk menghilangkan hal-hal yang memberatkan dalam
agama termasuk  takhfif (meringankan) bukan tasydid (memberatkan).

Berdasarkan kutipan dari kitab al I’tisham di atas, Syaikh Mahmud Abdul Karim Hasan menyimpulkan bahwa Imam Syathibi sebenarnya tidak menjadikan kemaslahatan sebagai dalil secara mutlak. Beliau menyatakan[17]:
فقول الإمام الشاطبي: "من الوسائل" يوضح ما ذهبنا إليه، وقوله: "لا من المقاصد"، هو رد على كل من يقول بجعل كون الشيء مصلحة دليلاً على جوازه. إذ المقاصد هي نتائج الأفعال، والأفعال حكمها من الشرع، ولكن الوسيلة إلى الفعل هي التي تؤخذ بناءً على المصلحة المرسلة
Ucapan Imam Syatibi: “min wasaail” memperjelas pendapat kami tentangnya. Syathibi juga menyatakan: “laa min al maqashid” adalah bantahan bagi siapa yang berpendapat bahwa mashlahah bisa dijadikan sebagai dalil. Padahal al maqashid adalah hasil dari perbuatan. Sedang perbuatan, status hukumnya ditentukan oleh syariat. Akan tetapi wasilah yang menghantar perbuatan tersebut dibanguan atas dasar mashlah mursalah.



                   Kesimpulan  di atas diperjelas bahwa Imam Syatibi menetapkan sejumlah syarat yang ketat pada penggunaan mashalih mursalah, yaitu[18]:
1.    Mashâlih Mursalah ditolak jika tidak bersandar pada dalil pokok (ashlun tsabit) yaitu al Quran, as Sunnah dan Ijja.   Jika disandarkan pada dalil pokok maka ia terkategori qiyas
2.    Mashâlih Mursalah   dapat diterima selama selaras dengan Maqashid Syariah serta tidak bertentangan dengan dalil-dalil pokok seperti al Quran, as Sunnah dan ijma’.
3.    Mashâlih Mursalah   (yaitu yang tidak dibangun berdasarkan nash) diterima jika memiliki kedekatan makna dengan ushul tsabitah (kaidah-kaidah ushuliyah yang poko)
4.    Mashâlih Mursalah   dapat diterima jika terdapat kondisi yang secara pasti menghantarkan pada darurat
Berdasarkan dua pihak tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya kedua pihak sepakat tidak absahnya mashlahah sebagai dalil. Sebaliknya mereka menyatakan bahwa mashlah harus berdasar pada dalil poko yaitu al Quran, as Sunnah dan ijma’. Dalam konteks mashlahah yang mu’tabarah kedua pihak juga sepakat menerimanya hanya saja dengan istilah yang berbeda antara bab istihlah/mashalih mursalah atau bab Qiyas.

Berikut ini adalah sejumlah perkara yang diduga sebagai produk mashalih mursalah sekaligus pandangan lain dari pihak yang menyatakan bukan produk mashalih mursalah, namun masih bersandar pada dalil atau bahan tertolak karena bertentangan dengan dalil[19].
Hal-hal yang dianggap produk Mashalih Mursalah
Pendapat pembanding yang menghadirkan dalil atau menolak Mashalih Mursalah
Para Sahabat mengumpulkan dan menyalin al Quran untuk mewujudkan kemaslahatan yaitu terjaganya al Quran dan menghindari mafsadat yaitu berbeda-bedanya bacaan al Quran kaum muslimin
Ini adalah ijma’ shahabat. Ijma’ shahabat adalah dalil syariat. Adapun kekhawatiran terjadinya kekacauan bacaan kaum muslimin dan upaya menghilangkannya dengan melakukan penyalinan adalah implementasi dari hadis Nabi: “Laa dharara wa laa dhirara”
Malikiyah membolehkan pengangkatan khalifah mafdhul (bukan mujtahid), meski ada khalifah afdhal (mujtahid) dengan alasan maslahat
Telah menjadi ijma’ shahabat tentang sepakatnya para sahabat mengangkat Ustman bin ‘Affan padahal ada yang lebih afdhal yaitu Ali bin Abi Thalib
Imam Ahmad  bin Hanbal memfatwakan bolehnya mengasingkan pelaku kerusakan (ahl al fasâd) dengan alasan menghilangkan mafsadat
Umar bin Khattab mengasingkan Nasr bin Hajjaj dari Madinah. Tidak ada satu pun sahabat yang mengingkarinya, artinya hal ini telah menjadi ‘ijma shahabat. Ijma’ shahabat adalah dalil syari’at
Abu Hanifah membolehkan memusnahkan logistik milik kaum muslimin yang dikhawatirkan akan dirampas musuh dan akan menguatkan mereka
Hal ini pernah terjadi di masa Nabi Saw. Kaum muslimin diperintahkan menebangi kebun kurma milik Bani Nadhir karena menjadi penghalang bagi kaum muslimin untuk memerangi Yahudi Bani Nadhir. Allah berfirman:
مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ
Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik. (QS. Al Hasyr [59]: 5)

Dibolehkannya memungut dharibah (semacam pajak kepada orang kaya) jika kas negara (Baitul Mal) mengalami defisit sementara terdapat keperluan negara yang sifatnya mendesak
Kebijakan seperti ini merupakan kewajiban seorang pemimpin. Dalam memunggut dharibah ia bersandar pada kaidah “maa laa yatimmu al wajib illa bihi fahuwa waajib” dan kaidah sekaligus hadis “Laa dharara wal dhirara”.
Bolehnya memberi sanksi kepada karyawan yang menyebabkan rusaknya barang milik majikan. Misalnya dengan mengganti barang yang rusak. Untuk mewujudkan maslahat yaitu agar karyawan lebih berhati-hati dan majikan tidak dirugikan.
Mashlahah seperti ini adalah mashlahah mulghah (terabaikan, tertolak). Karena terdapat nash sharih yang menolaknya. Nabi bersabda: “Laa dhamana ‘ala al-mu’tamin”. Tidak ada kewajiban menjamin pada orang yang dipekerjakan (HR. Daruqutni)
Imam Malik membolehkan memukul orang yang tertuduh mencuri, sementara belum ditemukan bukti pencuriannya. Alasannya untuk menjaga memaslahatan yakni terbongkarnya kasus pencurian tersebut
Imam Ghazali menolak pendapat  ini, alasanya bertentangan dengan kemaslahatan lain yaitu perlindungan hak orang yang tertuduh mencuri. Padahal kaidah fikih menyatakan “al ashlu bara’ah al dzimmah” dan hadis Nabi Saw menyatakan:
البينة على من ادعى واليمين على من انكر
Bukti adalah kewajiban penuntut dan sumpah berlaku bagi yang tertuduh (HR. Baihaqi)
Hukum qishah bagi sekelompok orang yang dengan sengaja membunuh seseorang dengan alasan untuk menjaga kemaslahatan korban
Hal ini adalah ijma’ shahabat di zaman Umar bin Khattab. Keputusan ini merupakan implementasi dari firman Allah dalam surah al Baqarah ayat 178

E. Kesimpulan
Setelah melakukan penelaahan terhadap kitab al Muwâfaqat karya Imam Asy Syathibi yang membahas tentang al Maqâshid dan ditambah pembahasan mashalih mursalah disimpulkan beberapa hal berikut:
1.      Terdapat tiga jenis maqashid syariah yaitu maqashid dharuriyyat (primer), maqashid  hajiyyat (skunder) dan maqashid tahsiniyat (tersier).
2.      Cara mewujudkan ketiga maqashid ini adalah dengan dua pendekatan yaitu pendekatan wujud dan pendekatan ‘adam
3.      Maqashid Syariah adalah hikmah pensyari’atan (hikmah at taysri’) bukan latar belakang pensyari’atan (‘illah at tasyri’)
4.      Karena hikmah adalah buah/hasil dari pelaksanaan syariat maka untuk meraih hikmah syariat yaitu jalb al mashalih wa dar’u al mafasid semestinya syariat diterapkan dalam segala aspek. Bukan dengan ‘membuat syariat baru’ dengan alasan ‘syariat lama’
5.      Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait mashalih mursalah sebagai dalil  syari’at. Sebagianya menyatakan dapat dijadikan sebagai dalil sebagiannya menolak
6.      Bagi yang menerima mashalih mursalah sebagai dalil mensyaratkan mashalih mursalah haruslah selaras dengan maqashid syariah dan tidak bertentangan dengan dalil al Quran, as Sunnah dan Ijma’.
7.      Mendonstruksi bangunan/sistem syari’at Islam dengan alasan usaha meraih maslahat dan menola mafsadat adalah sikap yang keliru. Karena kemaslahatan ada pada pelaksanaan syari’at.



[1] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwafaqat...., juz 2 hal: 9-12
[2]  Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwafaqat...., juz 2 hal: 17
[3] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwafaqat...., juz 2 hal: 17
[4] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwafaqat...., juz 2 hal: 20
[5] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwafaqat...., juz 2 hal: 21-22
[6] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwafaqat...., juz 2 hal: 22-23
[7] Mahmud Abdul Hadi, Al Maqashid ‘inda Imam Asy-Syathibi, Dirasatun Ushuliyah Fiqhiyah, juz 1 hal: 214
[8] Mahmud Abdul Hadi, Al Maqashid ...., juz 1 hal: 214
[9] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwafaqat...., juz 1 hal: 411
[10] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwafaqat...., juz 2 hal: 63
[11] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwafaqat...., juz 2 hal: 64
[12] Muhammad Husain Abdullah, al Wâdhih fî ushûl al fiqh, hal: 149
[13] Muhammad Husain Abdullah, al Wâdhih...., hal: 149
[14] Abu Ishaq Asy- Syathibi, Al-I’tisham, juz 2 hal: 597. Muhammad Husain Abdullah, al Wâdhih...., hal :156-158

[15] Muhammad Husain Abdullah, al Wâdhih...., hal: 158
[16] Abu Ishaq Asy- Syathibi, Al-I’tisham, juz 2 hal: 632
[17] Mahmud Abdul Karim Hasan, Al Mashalih al Mursalah Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyyah, hal: 103
[18] Muhammad Husain Abdullah, al Wâdhih...., hal: 159. Mahmud Abdul Karim Hasan, Al Mashalih al Mursalah....,hal. 104
[19] Muhammad Husain Abdullah, al Wâdhih...., hal: 163-166

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB