Meneladani Kepemimpinan Nabi Saw


Meneladani Kepemimpinan Nabi Saw. Seberapa Greget Pemimpin Lo?
Wahyudi Ibnu Yusuf (Khadim Majlis Darul Ma’arif Banjarmasin)

Ada yang berkata bahwa Nabi Muhammad Saw. hanya seorang Nabi dan Rasul, bukan seorang pemimpin negara. Setuju?. Kalau saya tidak. 

Jika beliau hanya seorang Nabi dan Rasul bukan kepala negara, mengapa beliau melakukan bai’at (janji setia)?. Sebelum beliau hijrah, ada dua bai’at. Bai’at ‘Aqabah I dan bai’at ‘Aqabah II. Pada bai’at Aqabah yang kedua beliau meminta komitmen 75 penduduk Yatsrib (Madihah) untuk melindungi diri beliau sebagaimana mereka melindungi harta, keluarga dan tokoh-tokoh mereka. Pengakuan kenabian dan kerasulan cukup dengan mengikrarkan syahadat kedua pada syahadatain. Sementara seluruh sahabat yang berbai’at di dua bai’at tersebut telah bersyahadat sebelumnya atas jasa seorang duta Islam yang ulung, Mush’ab bin ‘Umair. Setelah bai’at ‘Aqabah yang kedua inilah lalu beliau berhijrah. Hijrah merupakan tonggak tegaknya negara Islam. Karenanya para ulama definisikan hijrah dengan berpindah dari negara kufur (Makkah, saat itu) menuju negara Islam (Madinah) (Lihat kitab al Mufashshal fi ahkam Hijrah, Subulus Salam, dan Nailul Authar)

Bukti lain bahwa Nabi kita Saw adalah seorang kepala negara  (râis ad daulah) adalah bahwa beliau mengangkat beberapa sahabat menjadi mu’âwin (walil kepala negara/khalifah), wali (pemimpin daerah setingkat provinsi), ‘amil (pemimpin daerah setingkat kabupaten), pada qadhi (hakim peradilan), amîrul jihad (Panglima militer) dan komandan pasukan, termasuk kepala polisi (syurthah), dan kepala intelejen, dan fungsi-fungsi kenegaraan lain. Lantas apa istilah yang paling tepat untuk mengambarkan semua aktivitas ini jika bukan kepala negara?

Masih membantah bahwa Nabi kita adalah seorang kepala negara?. Bukti paling konkrit bahwa Nabi kita adalah seorang kepala negara adalah saat beliau wafat (sebuah peristiwa yang sangat membuat para sahabat bersedih, saat saya membaca detik-detik wafatnya baginda Nabi tak terasa menetes air mata. Semoga ini adalah di antara tanda cinta kami pada beliau. Aamiin). Para sahabat berdiskusi di sebuah bangsal/Tsaqifah milik suku Bani Sa’idah, hingga mereka sepakat memilih sayyiduna Abu Bakar ash Shiddiq sebagai pemimpin baru bergelar Khalifatu rasulillah. Artinya pengganti Rasulullah. Pengganti dalam hal apa? Jelas bukan sebagai Nabi dan Rasul, karena Allah dan Rasul-Nya telah menegaskan bahwa tidak ada Nabi sesudah Nabi Muhammad Saw. Sayyiduna Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala negara. Tidak ada yang berselisih pendapat bahwa Sayyiduna Abu Bakar adalah seorang kepala negara atau khalifah pertama kaum muslimin.

Karena itu peristiwa-peristiwa, keputusan dan kebijakan Nabi Saw yang terjadi setelah hijrahnya semestinya kita pandang dari dua sisi. Sisi pribadi yang indah akhlaknya sekaligus sisi beliau sebagai kepala negara. Allah yang Maha Agung telah memuji beliau dengan sebutan “wa innaka la’ala khuluqin ‘azhîm”, dan sesungguhnya  dirimu benar-benar berakhlak yang agung. Beliau juga uswatun hasanah dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai kepala negara yang wajib diteladani khususnya para pejabat negara. Sebagaimana yang dilakukan para khalifah sesudah beliau.

Beberapa fragmen keteladanan beliau dalam memimpin negara di antaranya: mengratiskan biaya pendidikan dengan kewajiban mengajarkan baca tulis pada putra-putri kaum muslimin sebagai tebusan pembebasan tawanan perang Badar, beliau menjamin pelayanan kesehatan penduduk Madinah dengan menyediakan tenaga kesehatan (dokter/tabib), beliau memberikan modal usaha berupa kapak kepada orang yang membutuhkan pekerjaan, beliau mengatur sistem perairan (irigasi) ketika terjadi terjadi perselisihan antara Zubair bin ‘Awwam dengan seorang lelaki Madinah, beliau menjamin kehidupan penduduk miskin di Madinah yang dikenal dengan ahl Shuffah, beliau menjamin pemerataan distribusi akses sumber daya alam yang menjadi hajat orang banyak  dengan membatalkan pemberian tambang garam yang Abyadh bin Hammal. Beliau juga menjamin melunasi hutang rakyatnya yang meninggal dunia yang memiliki hutang sementara  si mayit tidak memiliki harta atau hartanya tidak cukup untuk melunasi hutangnya. Beliau bersabda:

أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ
"Aku lebih utama bagi setiap muslim daripada dirinya sendiri. Karena itu, siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah milik keluarganya. Sedangkan siapa yang mati dengan meninggalkan hutang atau keluarga yang terlantar, maka hal itu adalah tanggungjawabku." (HR. Bukhari dan Muslim, redaksi Imam Muslim). 
 
 
Sebagian ulama dalam madzhab Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban menanggung hutang dan keluarga mayit adalah tanggung jawab imam. Sementara sebagain ulama yang lain berpendapat bahwa kewajiban ini khusus bagi Rasulullah Saw (Syarh Muslim li an Nawawi, 3/247, Maktabah Syamilah).
 
 
Inilah sepenggal keteladanan Nabi Saw sebagai kepala negara. Saya sebut sepenggal karena sangat sedikit sekali pengetahuan kami tentang ketauladanan Nabi Saw dalam kepemimpinan. Sementara sahabat-sahabat beliau yang bergaul dengan beliau saja tak sanggup menggambarkan pribadi agung ini kecuali sekedar fragmen-fragmen kehidupan beliau (Dr. Adurrahman al Baghdady, Engkaulah Rasul Panutan Kami). 
 
Di event peringatan Maulid Nabi Saw biasanya kepala negara kita mengajak dan menyerukan untuk mentauladani Nabi Saw. Ini tentu ajakan yang positif dan wajib didukung. Namun pertanyaan, apakah penyeru sudah mencontohkan untuk mentauladani Nabi?. Khususnya posisinya sebagai pemimpin negara dan pemerintahan. Kalau menggunakan bahasa anak muda zaman now: “Seberapa greget pemimpin lo?”. Nabi menjamin biaya kesehatan. Pemimpin lo?. Nabi menjamin pemerataan akses ekonomi. Pemimpin lo?. Nabi menyediakan lapangan pekerjaan. Pemimpin lo?. Nabi menanggung hutang rakyatnya yang meninggal tanpa harta. Pemimpin lo?. Nabi membela rakyatnya. Pemimpin lo?. Nabi mengembangkan dakwah hingga ke luar negeri. Pemimpin lo?.
 
Wahai para pemimpin. Saya nasihatkan kalian dengan nasihat yang disampaikan manusia agung, baginda Nabi Saw pada sahabatnya Abu Dzar al Ghifari ketika meminta suatu jabatan. 
إِنَّهَا أَمَانَةٌ وَخِزْيٌ وَنَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
"Sungguh kepemimpinan adalah amanah, kehinaan dan penyesalan di hari kiamat kecuali bagi orang yang mengambil sesuai dengan haknya, lalu menunaikan apa yang ada padanya." (HR. Ahmad)
 
Alalak, 11 Rabi’ul Awwal 1440 H/ 19 Nopember 2018
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB