TELAAH TEORI OTORITAS IMAM MALIK BIN ANAS (93-179 H)
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf

A.      Imam Malik dan keluarganya
Imam Malik adalah peletak dasar madzbhab Maliki. Nama lengkapnya adalah : Malik bin Anas bin Amir al-Asbahi Al-asbahi dinisbatkan pada satu suku dari Yaman.  Imam Malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. Mengenai tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat Fuqoha meriwayatkan bahwa Imam Malik dilahirkan pada tahun 94 H. Ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahwa imam Malik dilahirkan pada 95 H. Sedangkan imam adz-Dzahabi meriwayatkan imam Malik dilahirkan 90 H. Imam Yahya bin Bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar Malik berkata :"Aku dilahirkan pada 93 H". Dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam'ani dan Ibn Farhun). Dalam kitab al-Muwaththa’ juga disebutkan bahwa Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H. 
 
Ayahnya berasal dari kabilah Dzi Ashbah yang ada di yaman sedangkan ibunya bernama Aliyah binti Syuraik dari kabilah al-Azdi.  Dalam buku lain dikatakan bahwa nama ibu imam malik adalah al-ghalit binti Syarik bin Abdul Rahman bin Syarik al-Azdiyyah.  
Imam malik meninggal dunia di madinah yaitu pada tanggal 14 Rabiul Awwal tahun 179  H ada juga pendapat yang mengatakan bahwa beliau meninggal pada 11, 13, dan 14 bulan Rajab.
B.       Pendidikan Dan Perjalanan Hidup Imam Malik
Sebagian besar hidup Imam Malik berada di Madinah dan sepanjang riwayat yang ada ia tidak pernah meninggalkan kota itu. Karena itu dia hidup sesuai dengan lingkungan masyarakat Madinah dan Hijaz, suatu kehidupan yang sederhana dan jauh dari pengaruh kebudayaan lain berikut berbagai problematikanya.
Masa muda Imam Malik disibukkan dengan menuntut ilmu, mula-mula ia menghafal sunnah dan fatwa sahabat, sedemikian ketekunan Imam Malik dalam belajar hadist dan ilmu fiqih sudah tampak sejak kecil, agaknya kehidupan Imam Malik di Madinah yang sedemikian rupa itu yang menjadi faktor  penting sehingga ia lebih cenderung banyak menggunakan hadist dan menjauhi akal (ra’yu).  
Guru-guru Imam Malik diantaranya adalah: Abd al-Rohman ibn HurmuzNafi’ Maulana ibn ‘UmarIbn Syihab al-Zuhri dan lain lain.
Sedangkan guru Imam Malik dalam bidang hukum Islam adalah Robi’ah ibn ‘Abd al-Rohman atau dikenal dengan Rabi’ah al-Ra’y. Ibnu Syihab Al-Zuhri adalah termasuk salah seorang yang ahli fikih dan ahli hadis, pada zamanya dialah ulama yang paling mengetahui Sunnah. Imam Malik meriwayatkan hadist 132 dari Ibnu Syihab, sedangkan dari Nafi’ Maula ibn ‘Umar yang terkenal sebagai ahli hadist, Imam Malik meriwayatkan hadist sebanyak 80 hadist.
Sedangkan di antara murid-murid Imam Malik adalah sebagai berikut: Abdullah Ibn Wahab, Abd al-Rohman Ibn Al-Qisim, Asyhab Abd Aziz, Abdullah Ibn Abd al-Hakam, Ibnul MubarakAl QoththonIbnu MahdiIbnu WahbIbnu QosimAl Qo’nabiAbdullah bin YusufSa’id bin ManshurYahya bin Yahya al AndalusiYahya bin BakirQutaibah Abu Mush’abAl Auza’iSufyan Ats TsaurySufyan bin Uyainah, Imam Syafi’iAbu Hudzaifah as Sahmi.

D. Kondisi Politik Dan Pemikiran Di masa Imam Malik
            Sebagaimana Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga termasuk ulama dua zaman, beliau lahir pada zaman khilafah ‘Umayyah, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Wahid ‘Abdul  Al-Malik (setelah ‘umar ibn ‘Abd al-Aziz), dan meninggal pada zaman Harun Ar-Rasyid pada tahun 179 HBeliau  sempat merasakan masa pemerintahan ‘Umayyah selama 40 tahun, dan masa pemerintahan ‘Abasiyyah selama 46 tahun. Imam Malik menyeru supaya berlemah lembut kepada penduduk penduduk negeri Rasulullah. Karena mereka itu adalah tetangga Rasulullah. Beliau  sangat teguh dengan kebenaran berani menyampaikan apa yang dipercayainya benar.
Kalau Abu Hanifah dikenal sebagai pelanjut ahl al-ra’y, maka Imam Malik dipandang sebagai pelanjut ahl al-hadist. Setelah Guru-gurunya mengakui bahwa beliau telah ahli dalam soal hadist dan fiqh baru Imam Malik memberi fatwa dan meriwayatkan hadist. Beliau sendiri pernah berkata: “saya tidak memberi fatwa dan meriwayatkan hadist sehingga 70 ulama membenarkan dan mengakui”.
Imam Malik menjadi mufti setelah mendapat persetujuan dari tujuh puluh syaikh yang ahli ilmu. Dalam memberikan fatwa imam Malik hanya akan menjawab masalah yang sudah terjadi dan tidak melayani masalah yang belum terjadi, meskipun ada kemungkinan akan terjadi. Imam Malik sangat berhati hati dalam memberi fatwa tidak mau menjawab pertanyaan yang ia tidak tahu. 
Dalam hal perpolitikan imam Malik sangat tidak suka terhadap cela mencela sahabat-sahabat Rasulullah beliau tidak membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Imam Malik tidak menentukan mana-mana keluarga yang harus dipilih menjadi khalifah. Beliau berpendapat harus dipilih pengganti khalifah sebagaimana abu bakar memilih Umar sebagai penggantinya, tetapi dengan syarat mendapat persetujuan orang banyak dan juga harus memilih pengganti khalifah dari orang yang memiliki sifat yang lebih baik dari orang lain dalam segala aspek dan memiliki sifat jujur dan adil. Beliau sangat benci kepada pembuat fitnah atau huru hara dan memboikot khalifah.
Namun dalam perjalanan sejarah, tepatnya pada pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur Imam Malik pernah disiksa lantaran pendapat beliau yang menyatakan tidak sah talak orang yang dipaksa, beliau menyandarkan argumennya pada hadis Nabi. Rupanya khalifah Ja’far al-Mansur tidak suka mendengar hadis tersebut. Sebab dengan hadis itu pihak musuh akan menolak bai’at pada al-Mansur lantaran mereka dipaksa. Akhirnya Imam Malik disiksa oleh Wali (setingkat Gurbernur) Madinah. Hingga masyarakat Madinah marah. Hal tersebut dibaca oleh al Manshur, maka ‘berdamai’ dengan Imam Malik dan berencana menghukum Wali Madinah. Namun Imam Malik mencegahnya karena telah memaafkannya. Sejak itulah nama Malik makin cemerlang, hingga khalifah al Manshur memintanya untuk menulis kitab yang menghimpun hadis Nabi, atsar Sahabat dan perkataan-perkataan para sahabat.

E. Metode Istinbath Hukum Menurut Imam Malik
Imam Malik merupakan imam ahli hadis. Beliau dianggap sebagai orang yang pertama kali menghimpun hadist. Beliau termasuk orang yang tajam pikirannya. Beliau mengumpulkan di dalam fiqhnya penjelasan yang pasti dengan nash al-qur’an, hadist dan fatwa sahabat serta menjaga kemaslahatan manusia dalam segala fatwanya. Abu Qudamah berkata bahwa Malik adalah orang yang paling memelihara hafalannya pada zamannya.
Qadhi Iyadh mengatakan bahwa: ” Bila anda perhatikan dengan teliti, orang pertama yang menempuh jalan para imam mujtahid dan metodologi pengambilan, dan ijtihad mereka dalam fiqh dan hukum, dialah Imam Malik”.

Imam Malik memiliki metode istinbath fikih yang tidak dikodifikasikan. Meski demikian dari kitab al Muwatha’ dan al Mudawwamah para ulama Madzhab Maliki menggali dan merumuskan metode ushul fikih madzhab Maliki. Dalam al-Madarik, Qadhi Iyadh menyebutkan dasar-dasar umum yang metode Imam Malik dalam istibath hukum fikih. Rasyif adalah satu ulama Madzhab Maliki yang menuturkan dalam kitab al-Bahjah. Kesimpulan dari apa yang disebutkan oleh kedua Imam tersebut dirumuskan manhaj Imam Malik yang merujuk pada al Quran sebelum yang lain, kemudian sunnah Nabi, fatwa dan putusan para sahabat, amalan penduduk Madinah, lalu Qiyas, disusul mashalahah mursalah, saddu adz-dzara’i, dan ‘urf dan adat (kebiasaan).
1.    Al-Qur’an
Seperti halnya imam madzhab yang lain, imam Malik meletakkan al-Qur’an di atas semua dalil karena al-Qur’an. Imam Malik mengambil nash yang terang yang tidak menerima ta’wil. Sedang yang menerima ta’wil ia mengambil lahiriahnya selama tidak ada dalil dari syariat itu sendiri yang menunjukkan ia harus ditakwil.  Malik juga mengambil “Mafhum muwafaqah atau fahwa al-khitab, yaitu makna yang lebih kuat dari yang disebutkan nash. Imam Malik juga mengambil “ Mafhum mukhalafah, yaitu makna kebalikan dari apa yang disebutka Nash. Misalnya hadis yang menyatakan “Binatang ternak yang digembalakan di padang gembalaan dikenai zakat”. Mafhum mukhlafahnya hewan yang dikandangkan dan tidak digembalakan tidak dikenai zakat. Imam Malik juga mengambil ’Illat-’illat hukum (sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum/sabab at-tasyri’). Artinya beliau menjadikan qiyas sebagai sandaran ijtihadnya.
2.    Sunnah
Sunnah dijadikan Imam Malik sebagai dalil istinbath yang kedua setelah al Quran. Ia mengambil Sunnah mutawatir, Sunnah masyhur baik pada masa tabi’in maupun tabi’u at-tabi’in, dan  Khabar (hadis) ahad.

Mengenai mana yang diprioritas antara hadis ahad, amalan penduduk Madinah dan Qiyas, Imam Qadhi Iyadh dan Ibnu Rusyd al Kabiir dalam al Muqaddimat al Mumahhadat menyebutkan dua pendapat. Satu pendapat menyebutkan bahwa Imam Malik mendahulukan Qiyas atas hadis Ahad, pendapat lain mengatakan sebaliknya. Telah diriwayatkan dari Malik sejumlah masalah yang ia tinggalkan di dalamnya hadis ahad yang disampaikan dengan ra’yu. Seperti ia menolak hadis khiyar majlis dalam jual beli yang diriwayatkan Ibnu Umar bahwa orang yang bertransaksi jual beli boleh memilih antara melanjutkan akad atau membatalkannya selama keduanya belum berpisah. Hadis ini ditolak pengamalannya, ia berkata: “Tidak ada bagi kita batasan yang jelas tentangnya”. Malik juga tidak mengambil hadis Nabi tentang shaum sunnah Syawwal, karena puasa tersebut bisa diartikan penambahan terhadap shaum Ramadhan.

3.    Praktek Penduduk Madinah
Menurut Imam Malik, perbuatan penduduk Madinah termasuk sebagian dari sunnah mutawatir karena pewarisannya melalui generasi ke generasi yang dilakukan secara massal sehingga menutup kemungkinan untuk terjadi penyelewengan dari sunnah. Para sahabat yang berada di Madinah bergaul dengan Nabi Muhammad Saw dan mengembangkan tradisi hidup Nabi yang kemudian diwariskan kepada tabi’in dengan cara yang sama. Pewarisan itu berlangsung secara berkesinambungan hingga sampai kepada tabi’u atl-tabi’in. Ia mengutip ucapan gurunya, Rabi’ah bin Abdurrahman, “Seribu orang dari seribu orang jauh lebih baik dari satu orang dari satu orang”. Oleh karena itu ia memprioritaskan amalan penduduk Madinah yang dasarnya ra’yu daripada hadis Ahad.
4.    Fatwa sahabat (Qaul Shahabi)
Fatwa ini dipandang sebagai hadis yang wajib dilaksanakan. Dalam kaitan ini, Imam Malik mendahulukan fatwa sebagian sahabat dalam soal manasik haji dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan alasan sahabat yang bersangkutan tidak mungkin melaksanakannya jika tidak ada perintah dari Nabi SAW. Inilah yang menjadikan Imam Syafi’i mengkritik Gurunya, bahkan secara khusus menulis kitab berjudul Ikhtilaf Malik (Perbedaan dengan Imam Malik). Imam Syafi’i berkomentar: “Ia telah menjadikan dasar  sebagai cabang dan cabang sebagai dasar. Karena sabda Nabi adalah pokok (dasar) sedang perbuatan sahabat adalah cabang”.

Selain itu, Imam Malik juga mengambil fatwa tabi’in besar, tetapi tidak disamakan kedudukannya dengan fatwa sahabat apalagi ke derajat penisbatan kepada Nabi. Ia mengangkatnya ke derajat tersebut manakala ada kesesuaian dengan ijma’ penduduk Madinah.

5.    Qiyas, al-maslahah al-mursalah, dan Istihsan
Imam Malik mengambil Qiyas dalam pengertian umum yang merupakan penyamaan hukum perkara, yakni hukum perkara baru/cabang (far’u) dengan dengan apa yang tersurat dalam nas (ashl) disebabkan adanya persamaan ’illat hukum. Sementara istihsan adalah memandang lebih kuat ketetapan hukum berdasarkan maslahat juz’iyah atas ketetapan hukum berdasar Qiyas. Jika dalam Qiyas ada keharusan menyamakan suatu hukum yang tidak tegas, maka maslahat juz’iyah mengharuskan hukum lain dan ini yang diberlakukan, yang kemudian dinamakan istihsan. Namun dalam madzhab Maliki, istihsan itu sifatnya lebih umum yang mencakup setiap maslahat, yaitu hukum maslahat yang tidak ada nas, baik dalam tema itu dapat diterapkan Qiyas atau tidak, sehingga pengertian istihsan itu mencakup al-maslahah al-mursalah. Istihsan menurut Imam Malik mengutamakan realisasi tujuan syari’at (maqashid asy syari’ah). Contoh: Dalil umum melarang aurat seseorang. Akan tetapi bila dalil umum ini tetap diperlakukan sampai melarang melihat aurat seseorang dalam pengobatan, maka hal itu akan mengakibatkan hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil itu, karena dalil umum itu ingin memelihara kemaslahatan tahsiniyyat (pelengkap).
          Al maslahah al-mursalah artinya suatu kemaslahatan yang tidak ada ketegasan nash al-Qur’an dan sunnah, dalam rangka menolak mafsadat dan maslahat yang sesuai dengan keranka syariat. Asy Syathibi berkata: “ Malik begitu leluasa dalam memahami makna ‘mashlahat’ dengan tetap menjaga maqashid syari’ah, tidak keluar dari bingkainyadan tidak membatalkan salah satu ushul (poko)-nya....”

6.    Az-Zara’i
Az-Zara’i banyak digunakan Imam Malik dalam berbagai cabang hukum. Az Zara’i adalah sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan maka akan menjadi haram pula, sarana yang membawa pada hal-hal yang dihalalkan maka akan menjadi halal juga, dan sarana yang membawa pada kerusakan maka diharamkan juga. Sarana yang membawa kepada kerusakan dalam madzhab Maliki adalah: a.) Sarana yang secara pasti membawa pada kerusakan, contohnya menggali sumur di depan pintu rumah, b) sarana yang diduga kuat akan mengantarkan pada kerusakan contoh jual beli anggur dengan dugaan akan dibuat khamar oleh pembelinya, c) sarana yang jarang membawa kerusakan contoh menggali sumur di tempat yang tidak membahayakan orang, d) sarana yang banyak mengantarkan pada kerusakan tapi tidak dipandang umum, contoh jual beli dengan tenggang waktu yang dapat membawa pada praktek riba.
          Jaih Mubarok dalam bukunya mengatakan bahwa langkah-langkah ijtihad Imam Malik hanya ada lima atau yang disebut ushul al-khomsah yaitu al-qur’an, sunnah, perbuatan penduduk Madinah, fatwa sahabat, Qiyas dan istihsan tanpa  az-zara’i. Sementara Syaikh Abddurahman bin Abdullah asy-Sya’lan dalam kitab Ushul fiqh Imam Malik menyebutkan enam sumber istinbath madzhab Maliki yaitu al Quran, as-Sunnah, Ijma (kesepakatan umat), amal penduduk Madinah, fatwa sahabat, dan Syar’u Man Qablana.

F. Kitab al-Muwaththa dan karya-karya yang lainnya
Berbicara sejarah imam Malik tentu tidak boleh dilupakan karyanya yang sangat fenomenal. Yaitu kitab al-Muwaththa. Kitab ini mulai ditulis sejak pemerintahan  khalifah Abi Ja’far al-Mansur dan berhasil disempurnakan pada zaman al-Mahdi. Khalifah Harun ar-Rasyid pernah mencoba untuk menjadikan kitab ini sebagai undang-undang resmi kehakiman negara, semua negeri sama dan ditempelkan di Ka’bah, namun imam Malik menolak.
  Kitab al-Muwaththa merupakan kitab hadis yang menghimpun berbagai masalah fikih, disusun dengan urutan fikih, oleh sebab itu kitab ini dinilai sebagai kitab hadis fikih.
              Di antara karya-karya Imam Malik adalah: (a) al-Muwatha’, (b) Risalah ila ibn Wahb fi al-Qadr, (c) Kitab Nujum, (d) Risalah fi al-Aqdhiyah, (e) Tafsir li Gharib al-Qur’an, (f) Risalah ila al-Laits, (g) Risalah ila Abu Ghassan, (h)Kitab al-Siyar, (i) Kitab al-Manasik. Nasib kebanyakan kitab-kitab tersebut tidak diketahui. Namun, Malik dikenal karena pemikiran, kepribadian, keulamaan dan kitab al-Muwatha’-nya.
              Tentang penamaan kitab al-Muwatha’ adalah orisinil berasal dari Imam Malik sendiri. Hanya saja tentang mengapa kitab tersebut dinamakan dengan al-Muwattha’ ada beberapa pendapat yang muncul:
              Pertama, sebelum kitab itu disebarluaskan Imam Malik telah menyodorkan karyanya ini di hadapan 70  ulama Fiqh Madinah dan mereka menyepakatinya. Dalam sebuah riwayat as-Suyuti menyatakan: “Imam Malik berkata, Aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli Fiqh Madinah, mereka semua setuju denganku atas kitab tersebut, maka aku namai dengan al-Muwatha’ (yang disetujui).
              Kedua, pendapat yang menyatakan penamaan al-Muwattha’, karena kitab tersebut “memudahkan” khalayak  umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan hidup dalam beraktivitas dan beragama.
              Pengarang kitab Ushul Fikih Imam Malik menguatkan pendapat kedua. Alasannya karena Muwattha’ adalah isim maf’ul dari waththa’a (dengan mentasydidkan huruf tha). Jika menggunakan makna pendapat pertama tentu judul kitab ini al-Muwâtha (memadkan huruf waw tanpa mentasydidkan huruf tha)
              Adapun terkait metode kitab dan kualitas hadis-hadisnya Kitab al-Muwattha’ adalah kitab hadis yang bersistematika Fiqh. Secara eksplisit, tidak ada pernyataan yang tegas tentang metode yang dipakai Imam Malik dalam menghimpun kitab al-Muwattha’. Namun secara implisit, dengan melihat paparan Imam Malik dalam kitabnya, metode yang dipakai adalah metode pembukuan hadis berdasar klasikikasi hukum Islam (abwab fiqhiyyah) dengan mencantumkan hadis marfu’ (berasal dari Nabi), mauquf (berasal dari sahabat) dan maqthu’ (berasal dari tabi’in).  Bahkan bukan hanya itu, kita bisa melihat bahwa Imam Malik menggunakan tahapan-tahapan berupa  (a) penseleksian terhadap hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi, (b) Atsar/fatwa sahabat,. (c) fatwa tabi’in, (d) Ijma’ ahli Madinah dan (e) pendapat Imam Malik sendiri.
              Dalam hal ini empat kriteria yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritisi periwayatan hadis adalah: (a) Periwayat bukan orang yang berperilaku jelek (b) Bukan ahli bid’ah (c) Bukan orang yang suka berdusta dalam hadis (d)  Bukan orang yang tahu ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.
              Meskipun Imam Malik telah berupaya seselektif mungkin dalam memfilter hadis-hadis yang diterima untuk dihimpun, tetap saja para ulama hadis berbeda pendapat dalam memberikan penilaian terhadap kualitas hadis-hadisnya:
a.     Sufyan Ibn ‘Uyainah dan as-Suyuthi mengatakan, seluruh hadis yang diriwayatkan Imam Malik adalah shahih, karena diriwayatkan dari orang-orang yang terpercaya.
b.    Abu Bakar al-Abhari berpandangan tidak semua hadis dalam al-Muwattha’ sahih, 222 hadis mursal, 623 hadis mauquf dan 285 hadis maqthu’.
c.    Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan bahwa hadis-hadis yang termuat dalam al-Muwattha’ adalah sahih menurut Imam Malik dan pengikutnya.
d.   Ibn Hazm dalam penilaiannya yang termaktub dalam Maratib al-Diyanah, ada 500 hadis musnad, 300 hadis mursal dan 70 hadis dha’if  yang ditinggalkan Im`am Malik. 
e.    al-Gafiqi berpendapat dalam al-Muwattha’ ada 27 hadis mursal dan 15 hadis mauquf.

Dalam al-Muwattha terdapat istilah yang berulang kali digunakan. Berikut ini adalah tabel istilah-Istilah yang terdapat dalam al-Muwattha’ yang disebutkan secara berulang.
Tabel I
Istilah-Istilah Berulang yang terdapat dalam Kitab al Muwattha
Istilah
Makna Istilah
Ahlul fiqh wal ilmi lam yakhtalifu fiih
Perkara yang sudah disepakati di antara ahli ilmu
Huwa ma ‘amila an nas ‘indana
Perkara yang kami pilih
Huwa syai’un istahsantuhu min qaul ulama
Perkara yang berlaku di negeri kami atau saya dengar dari beberapa ahli ilmu
Ahsantuhu
Pendapat yang rajih menurut kami
As sunnah allati laa ikhtilafa fiiha
Kesepakatan para sahabat yang ada di Madinah
Hadza ahsanu ma sami’tu
Pendapat yang dipandang rajih menurut para sahabat yang ada di Madinah atau bersesuainan dengan Qiyas yang kuat atau bersandar dari al kitab dan as sunnah
Fa inni araa’
Malik tidak mendengarnya lansung dari para ulama. Hanya saja ijtihadnya tetap sesuai dengan kaidah dan manhaj penduduk Madinah
Balaghaniy kadza
Metode Malik untuk menyebutkan hadis dan atsar yang tidak berisnad. Istilah Muhadditsin hadis Mu’dhal
‘an Tsiqah
Menyebut hadis yang maqbul menurut Malik, namun lupa siapa periwayatnya
Qaala Yahya: Su’ila Malik
Ada dua kemungkinan:
1.Malik menulis sendiri Muwatha lalu disalin oleh yahya
2. Malik menditekan pada Yahya
Qaala Yahya: Sami’tu Malik yaquul
Yahya mendengar dari Malik lalu menuliskannya
Sumber: Ushul Fikih Imam Malik hal. 310- 314

G. Mendiskusikan Artikel Brockopp tentang Teori Otoritas Syaikh Agung Imam Malik

Artikel yang berjudul “Competing Theories of Authority in Early Maliki Teks” merupakan bagian dari buku berjudul “Studies in Islamic Law and Society; Studies in Islamic Legal Theory”. Objek kajian artikel ini adalah kitab-kitab klasik madzhab Maliki yaitu al-Muwattha, al Mukhtashar, al Mukhtashar al-Kabir, Mukhtahasr Shaghir, dan al Mudawwanah. Secara umum artikel ini terdiri dari dua bagain. Pertama, berkaitan dengan dalil apa saja yang diekplorasi oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha?. Sekaligus untuk menjawab apakah Imam Malik mengakui al-Quran, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas sebagai dalil yang dalam artikel ini diistilahkan dengan linear development (perkembangan linear). Bagian kedua membahas tentang teori otoritas Imam Malik sebagai Great Shaykh (syaikh Agung). Apakah fatwa-fatwa Imam Malik memiliki otoritas sebagai sandaran intinbath hukum?. Dimana murid-murid Imam Malik mengembangkan hukum-hukum fikih berdasarkan fatwa Imam Malik.

Jawaban pertanyaan pertama disajikan Brockopp dalam bentuk Tabel perbandingan pengorganisian argumen/dalil yang digunakan Imam Malik dalam kitab al Muwattha’ pada bagian awal kitab al Hajj dan bagian awal pada kitab al Mukatab (Budak yang akan dimerdekakan).

Tabel II
Perbandingan Pengorganisasian Argumen (Dalil) pada dua Bab kitab al-Muawattha’
Bagian awal pada Kitab al-Hajj (20 hal pertama)
Bagian awal  pada Kitab al-Mukatab (20 hal pertama)
Hadis Nabi, lalu diikuti atsar sahabat
2 Atsar, dilanjutkan fatwa Malik
Empat atsar Sahabat lalu “Saya mendengar ahli ilmu berkata”
Penjelasan hadis tentang ‘Abdul Malik bin Marwan
3 hadis Nabi lalu satu Atsar Sahabat
Pernyataan Malik terkait QS. 24: 33, dilanjutkan dengan membaca 2 ayat yaitu QS. Al Maidah: 2 dan QS. Al-Jumu’ah: 10
1 Atsar dan dua fatwa Malik
Interpretasi Malik terkait bagian kedua QS. 24:33
 وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ
2 Atsar, lalu ucapan Malik “wa hadza ahabbu mâ sami’tu”
Narasi hadis terkait ucapan Ibnu ‘Umar
2 Atsar, lalu ucapan Malik “Dzalika al-amru ‘indana”, lalu atsar sahabat
6 paragraf terkait fatwa Malik
2 Atsar Sahabat
Hadis munqathi’ untuk mempertahankan pernyataan Malik, lalu fatwa Malik dalam 6 paragraf panjang,  kadang-kadang menyatakan “al amru ‘indana”
2 Hadis Nabi, dua fatwa Malik
Malik  mendengar dari Ummu Salamah, istri Nabi saw terkait pemutusan kesepakatan. Kemudian Imam Malik menyampaikan fatwanya dalam 19 paragraf
3 Atsar Sahabat
Malik mendengar bahwa ‘Urwah bin Zubair dan Sulaiman bin Yasar keduanya bertanya tentang kasus ayah dan anak  yang statusnya budak mukatab, lalu ayahnya mati. Bagaimana status anaknya?. Dilanjutkan fatwa Imam Malik
3 Hadis Nabi, 2 Atsar, 1 hadis Mursal
Narasi hadis terkait Marwan bin al-Hakam; 2 paragraf fatwa Imam Malik
4 hadis Nabi, 1 atsar, dan 1 hadis maqthu (follower hadith)
Malik mendengar bahwa Sa’id bin Musayyab bertanya tentang warisan budak. Lali 8 paragraf fatwa Imam Malik
1 hadis Nabi, 2 pendapat ahlul ‘ilmi dan 1 fatwa Malik

3 hadis Nabi, pendapat ahl ilmu, dan Konfirmasi Malik



Berdasarkan perbandingan dua bab ini dapat ditarik kesimpulan Imam Malik menggunakan al Quran, hadis Nabi, hadis mauquf/atsar (hadis yang disandarkan pada sahabat), hadis maqthu (hadis yang disandarkan pada tabi’in), dan perkataan sahabat. Dengan dalil-dalil tersebut Imam Malik membangun fatwa-fatwanya. Meski dalam pengorganisasian argumen/dalil terdapat perbedaan antara bab Haji dengan bab Mukatab. Bab Haji banyak didominasi hadis Nabi dan atsar sahabat, sedikit fatwa Malik, dan tanpa menyertakan al Quran. Sedangkan pada bab Mukatab lebih banyak mengutip qaul sahabat dan fatwa Malik dan  ada beberapa dalil al Quran. Hal ini menunjukkan vaiasi Imam Malik dalam penggalian hukum.

Analisa Brockopp dilanjutkan dengan membandingkan lima tokoh di masa awal perkembangan Madzhab Maliki (sebelum abad ke-4 H), ‘Abdul ‘Aziz al Majishun (w. 164 H) seorang ulama yang juga mengajar di Madinah, Malik bin Anas (w. 169), Abdullah bin Abdul Hakam (w. 214 H) beliau adalah yang menyambungkan mata rantai pengajaran kitab al-Muawattha’, dan Abu Mus’ab az Zuhri (w. 242 H) pengarang kitab Mukhtashar yang juga mengajarkan al-Muwattha.

Berdasarkan perbandingan pada Tabel III (terlampir), baik dalam bab-bab tentang ibadah haji dan budak mukatab, tiga Mukhtasar hampir seluruhnya tergantung pada kasus dan aturan/kaidah abstrak, tidak mengambil sumber sandaran yang menjadikan Malik sebagai otoritas. Teks Malik dan al-Majishun, justru sangat bergantung pada otoritas kenabian dan Al-quran pada bab tentang ibadah haji, dan seperti yang disebutkan sebelumnya, meski sangat sedikit pada  bab di kitab al mukatab. Tampilan yang lebih hati-hati pada urutan Argumen di al-Majishun dan Malik tampak kontras. Pada contoh pertama, Malik memulai babnya dengan kutipan dari Nabi, diikuti oleh beberapa atsar sahabat, dan kemudian perkataan Malik yang disandarkan pada apa yang dikatakan ahl al-‘ilm tentang masalah ini. Al-Majishun, tampaknya lebih sejalan dengan pemikiran usuli klasik, dimulai dengan kutipan dari Al Qur'an (dengan penjelasan singkat), lalu bagian paling penting dari Sunnah Nabi (dan memberi interpretasi sesuai dengan kaidah), dan kemudian disusul kutipan Sunnah Nabi. Meski al-Majishun terkadang juga tidak mengikuti pola urutan baku pendalilan/argumen dan  sering menambahkannya dengan pendapat pribadi. Imam Malik terlihat sangat sedikit menyampaikan fatwa pribadinya sebagaimana ia sangat sedikit mengutip ayat al Quran.  

Bahkan lebih banyak keanehan muncul ketika kita melihat tiga teks lainnya yaitu Mukhtashar, al Mukhtashar al-Kabir, dan Mukhtahasr Shaghir. Kedua penulisnya, Abd Allah bin Abd al-Hakam dan Abu Mus'ab, adalah pengkaji dan mengajarkan al-Muwatta ', dan begitu menyadari posisi Malik pada pengaturan teks hukum, namun mereka mengabaikan pengorganisasian dalil   (versi Malik) termasuk tidak mencantumkan fatwa Malik dalam karya mereka.

Selanjutnya Brockopp meneliti kitab al Mudawwanah. Ia mengutip pendapat Calder bahwa al-Mudawanah di susun oleh murid-murid Imam Malik, sebelum Imam Malik menulis al Muwattha’. Alasannya karena kitab Mudawwanah lebih banyak menyandarkan pada otoritas (keilmuan) Imam Malik. Jika al Mudawwanah ditulis setelah al Muwattha’ mestinya pola penulisannya mengikuti pola pengorganisasin dalil seperti dalam kitab al Muwattha’.

Brockopp bahkan berkomentar, Saya nyatakan bahwa Sahnun (penyusun kitab al Mudawwanah) terjebak di antara dua konstruksi otoritas keagamaan yang bersaing. Di satu sisi, kutipannya tentang Al-Qur'an dan hadits Nabi sebagai apa yang disebut “salvation history”. Namun di sisi lain, Sahnun sangat ketergantungan pada kata-kata Malik bin Anas. Hal ini menunjukkan bahwa Malik memiliki otoritas yang setara. Oleh karena itu, Brockopp berkesimpulan bahwa literatur hukum Maliki masa awal tidak hanya mengacu pada perkembangan linear yang didasarkan pada empat sumber yang sudah mu’tabar (al Quran, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas), tetapi juga memiliki perkembangan dialektis, dengan beberapa ketergantungan pada otoritas Qur'an dan Sunnah, yang lain tergantung pada kata-kata individu (dalam hal ini Great Shaykh,  Imam Malik), dan yang lain lagi menulis teks tanpa bergantung pada Great Shaykh  yaitu pada tiga kitab Mukhtashar di atas.
Inilah simpulan Brockopp. Pemakalah tidak sepenuhnya setuju dengan kesimpulan Brockop ini.  Bagaimanapun keilmuan Imam Malik beliau tidak diposisikan oleh murid-muridnya sebagai pemiliki otoritas yang setara dengan hadis Nabi Saw. Apa yang ada pada kitab al Mukhtashar, al Mukhtashar al Kabiir dan as-shaghir menegaskan hal ini. Jika dikaji dari sisi kitab al Mudawwah maka kitab ini tidak semata berisi pendapat-pendapat Imam Malik. Kitab al-Mudawwanah ini merupakan kitab fikih yang kandungan isinya mencakup 90 bab fikih, yang jika dirinci terdiri dari 4000 hadits, 30.006 atsar, 40.000 permasalahan fikih, 40.000 hukum, dan 40.000 fatwa. Jika dilihat dari sisi komposisi menunjukkan bahwa jumlah hadis mencapai 10 % dari jumlah fatwa. Bisa jadi memang sedikit, namun yang perlu digaris bawahi antara kitab al-Muwattha’ dengan al Mudawwanah memang dua bidang yang berbeda. Al Muwattha’ adalah kitab hadis dengan sistematikafikih, sedang kitab al Mudawwanah adalah kitab fikih.

Awalnya, kitab al-Mudawwanah ini dinisbatkan kepada Asad bin al-Furat, yaitu kumpulan permasalahan-permasalahan fikih yang disusun dan dikumpulkan oleh Asad bin al-Furat, yang ia dapatkan dari Imam Malik rahimahullah. Setelah Imam Malik wafat, ia melengkapi dan mengkajinya kembali bersama Abdurrahman bin al-Qasim dan Sahnun bin Sa’id. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kitab ini mencakup pemikiran fikih dari empat ulama mujtahid, yaitu: Imam Malik, Asad bin al-Furat, Abdurrahman bin al-Qasim, dan Sahnun bin Sa‘id. Artinya kitab ini terus mengalami penyempurnaan dan koreksi hingga masa Sahnun (pengarang al Mudawanah)
Sebagai argumen tambahan, Jikapun murid-murid Imam Malik mengambil fatwa-fatwa Imam Malik dalam kajian dan karya mereka maka hal itu adalah sesuatu yang wajar. Karena bagaimana pun Imam Malik sebagai seorang Mujtahid ketika berfatwa tetap bersandarkan pada dalil. Ketika seorang mujtahid telah berijtihad dengan dalil yang maqbul (baik dalil yang mujma atau mukhtalaf) disertai metode ijtihad yang benar maka itu merupakan ra’yun islamiyun (pendapat yang islami) dan terkategori hukum Allah.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat di simpulakan sebagai beriku:
1.      Imam Malik  (lahir 93 H. Dan wafat 179 H) lahir di Madinah di zaman dinasti Umawiyah dan Abbasiyah, tepatnya beliau lahir pada zaman Bani ‘Umayyah, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Wahid ‘Abdul  Al-Malik (setelah ‘umar ibn ‘Abd al-Aziz), dan meninggal pada zaman Harun Ar-Rosyid. Beliau  sempat merasakan masa pemerintahan ‘Umayyah selama 40 tahun, dan masa pemerintahan Bani Abbas selama 46 tahun.  pada saat itu terdapat dua arus besar pemikiran (ahli hadits dan ahli ra’yu), namun Madinah pada saat itu lebih didominasi ahli hadis termasuk para guru imam Malik, sehingga berpengaruh pada pemikiran imam Malik.
2.      Imam Malik tidak terlibat dalam politik praktis masa itu, namun beliau adalah seorang Imam yang tegas dan kritis terhadap penguasa. Terutama ketika bai’at seorang khalifah diperoleh secara paksa maka beliau mengkritiknya secara santu. Hal ini yang menyebabkan beliau kemudian disiksa di masa khalifah al Manshur.
3.       Imam Malik adalah seorang imam hadis yang paling kuat hafalannya dan tajam pikirannya. Karyanya yang paling tereknal adalah kitab al-Muwaththa. Karena karya dan keilmuan serta kepribadian inilah maka madzhab Maliki terus bertahan dan berkembang hingga saat ini, meski di beberapa negara sempat mengalami pasang surut.
4.       Sebagian besar kehidupan Imam Malik lebih banyak dilaluinya di kota Madinah sehingga dari sinilah merupakan faktor besar yang menjadikan alasan mengapa Imam Malik lebih cenderung memakai hadist dibanding dengan ra’yu, sebuah kehidupan dimana yang membuat Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ sudah dapat dijadikan sebagai dasar acuan keputusan untuk menyelesaikan masalah.
5.       Tidak terdapat perbedaan di di antara ulama bahwa Imam Malik dalam berijtihad bersandar pada dalil-dali yang mu’tabar yakni al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan Qiyas. Terkait ijma terdapat perbedaan para ulama tentang ijma’ apa yang digunakan oleh Imam Malik. Sebagaian ulama menyatakan ijma’ penduduk Madinah sebagain yang lain menyatakan ijma’ kaum musimin. Mengenai al-maslahah mursalah dan  istihsan para ulama berbeda pendapat apakah imam Malik menggunakan? Sebagain berpendapat iya, sebagain mentakwilnya dengan menyatakan istihsan yang dimaksud Imam Malik adalah memilih pendapat yang beliau pandang rajih. Sandaran hukum lain yang digunakan Imam Malik adalah praktek penduduk Madinah, fatwa sahabat, dan az-Zara’i, sebagian ulama menambahkan Syar’u man qablana (syari’at sebelum kita).
6.      Menurut Brockopp otoritas Imam Malik sebagai Great Syaikh tidak ditemukan dalam 3 kitab Mukhtasar, namun sangat kental di dalam kitab al Mudawwanah.
7.      Pemakalah tidak setuju dengan kesimpulan bahwa kitab al Mudawwanah adalah representasi otoritas Imam Malik yang fatwa-fatwanya setara dengan dalil-dalil mu’tabar. Alasannya karena dalam al Mudawwanah masih mencantumkan hadis dan atsar dari sahabat serta fatwa yang merupakan hasil ijtihad Imam Malik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husain, Al Wadhih fi Ushul al Fiqh. (‘Amman: Darul Bayariq, 1991)
Abdurrahman bin Abdullah asy Syu’lan. Ushul Fiqh Imam Malik (Adillatuhu al Naqliyah), (Saudi Arabia: Kementrian Pendidikan Tinggi, Univ. Imam Muhammad bin Su’ud al Islamiyyah, 2003)
Abu Zahroh, Muhammad, Fikih Islam Mazhab dan Alirannya, diterjemahkan oleh Nabhani Idris (Tangerang Selatan: Gaya Media Pratama, 2014)
Brockopp, Jonathan,  Competing Theories of Authority in Early Maliki Teks”, dalam Bernard G. Weiss (ed.), Studies in Islamic Law and Society; Studies in Islamic Legal Theory. Vol 15,  Boston: Brill, 2002
Malik bin Anas Riwayat Sahnun bin Sa’id at-Tanukhi. Al Mudawwanah al Kubro. (Saudi Arabia: Kementrian Wakaf dan Dakwah Islamiyah, t. Th)
Malik bin Anas, al-Muwaththa’(Beirut: Dar al-Fikr, 1989)
Qadhi ‘Iyadh, Tartib Al Madaarik wa Taqriib al Masâlik li Ma’rifah A’lam Madzhab Malik, (Maroko: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam, 1983)

Komentar




  1. Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.

    Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.

    saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Pembayaran yang fleksibel,
    Suku bunga rendah,
    Layanan berkualitas,
    Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan

    Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)

    Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)

    BalasHapus
  2. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.

    Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB