TELAAH
TEORI OTORITAS IMAM MALIK BIN ANAS (93-179 H)
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf
A. Imam Malik
dan keluarganya
Imam
Malik adalah peletak dasar madzbhab Maliki. Nama lengkapnya adalah : Malik bin
Anas bin Amir al-Asbahi Al-asbahi dinisbatkan pada satu suku dari Yaman. Imam
Malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. Mengenai tahun kelahiranya terdapat
perbedaaan riwayat al-Yafii dalam
kitabnya Thabaqat Fuqoha meriwayatkan bahwa Imam Malik dilahirkan
pada tahun 94 H.
Ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahwa imam Malik dilahirkan pada 95 H.
Sedangkan imam adz-Dzahabi meriwayatkan imam Malik dilahirkan 90 H. Imam Yahya
bin Bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar Malik berkata :"Aku
dilahirkan pada 93 H". Dan
inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam'ani dan Ibn Farhun). Dalam kitab al-Muwaththa’ juga disebutkan bahwa Imam Malik dilahirkan pada
tahun 93 H.
Ayahnya
berasal dari kabilah Dzi Ashbah yang ada di yaman sedangkan ibunya bernama Aliyah
binti Syuraik dari kabilah al-Azdi. Dalam buku lain dikatakan bahwa
nama ibu imam malik adalah al-ghalit binti Syarik bin Abdul Rahman bin Syarik al-Azdiyyah.
Imam
malik meninggal dunia di madinah yaitu pada tanggal 14 Rabiul Awwal tahun
179 H ada juga pendapat yang mengatakan bahwa beliau meninggal pada 11,
13, dan 14 bulan Rajab.
B. Pendidikan
Dan Perjalanan Hidup Imam Malik
Sebagian besar hidup Imam Malik berada di Madinah dan sepanjang riwayat yang ada ia tidak pernah meninggalkan
kota itu. Karena itu dia hidup sesuai dengan lingkungan masyarakat Madinah dan
Hijaz, suatu kehidupan yang sederhana dan jauh dari pengaruh kebudayaan lain berikut berbagai problematikanya.
Masa muda Imam Malik disibukkan
dengan menuntut ilmu, mula-mula ia menghafal sunnah dan fatwa sahabat,
sedemikian ketekunan Imam Malik dalam belajar hadist dan ilmu fiqih sudah
tampak sejak kecil, agaknya kehidupan Imam Malik di Madinah yang sedemikian
rupa itu yang menjadi faktor penting sehingga ia lebih cenderung banyak
menggunakan hadist dan menjauhi akal (ra’yu).
Guru-guru Imam Malik diantaranya
adalah: Abd al-Rohman ibn Hurmuz, Nafi’ Maulana ibn ‘Umar, Ibn Syihab al-Zuhri dan lain lain.
Sedangkan
guru Imam Malik dalam bidang hukum Islam adalah Robi’ah ibn ‘Abd al-Rohman atau
dikenal dengan Rabi’ah al-Ra’y. Ibnu Syihab Al-Zuhri adalah termasuk salah
seorang yang ahli fikih dan ahli hadis, pada zamanya dialah ulama yang paling
mengetahui Sunnah. Imam Malik meriwayatkan hadist 132 dari Ibnu Syihab,
sedangkan dari Nafi’ Maula ibn ‘Umar yang terkenal sebagai ahli hadist, Imam
Malik meriwayatkan hadist sebanyak 80 hadist.
Sedangkan
di antara murid-murid Imam Malik adalah sebagai berikut: Abdullah Ibn
Wahab, Abd
al-Rohman Ibn Al-Qisim, Asyhab Abd Aziz, Abdullah Ibn Abd al-Hakam, Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzaifah as Sahmi.
D. Kondisi
Politik Dan Pemikiran Di masa Imam Malik
Sebagaimana Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga termasuk ulama dua zaman, beliau lahir pada zaman khilafah ‘Umayyah, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Wahid ‘Abdul Al-Malik
(setelah ‘umar ibn ‘Abd al-Aziz), dan meninggal pada zaman Harun Ar-Rasyid pada
tahun 179 H. Beliau
sempat merasakan masa pemerintahan ‘Umayyah selama 40 tahun, dan masa
pemerintahan ‘Abasiyyah selama 46 tahun. Imam Malik menyeru supaya berlemah
lembut kepada penduduk penduduk negeri Rasulullah. Karena mereka itu adalah
tetangga Rasulullah. Beliau sangat teguh dengan kebenaran berani
menyampaikan apa yang dipercayainya benar.
Kalau
Abu Hanifah dikenal sebagai pelanjut ahl al-ra’y, maka Imam
Malik dipandang sebagai pelanjut ahl al-hadist. Setelah Guru-gurunya
mengakui bahwa beliau telah ahli dalam soal hadist dan fiqh baru Imam Malik
memberi fatwa dan meriwayatkan hadist. Beliau sendiri pernah berkata: “saya
tidak memberi fatwa dan meriwayatkan hadist sehingga 70 ulama membenarkan dan
mengakui”.
Imam
Malik menjadi mufti setelah mendapat persetujuan dari tujuh puluh syaikh yang
ahli ilmu. Dalam memberikan fatwa imam Malik hanya akan menjawab masalah yang
sudah terjadi dan tidak melayani masalah yang belum terjadi, meskipun ada
kemungkinan akan terjadi. Imam Malik sangat berhati hati dalam memberi fatwa
tidak mau menjawab pertanyaan yang ia tidak tahu.
Dalam
hal perpolitikan imam Malik sangat tidak suka terhadap cela mencela
sahabat-sahabat Rasulullah beliau tidak membedakan antara yang satu dengan yang
lainnya. Imam Malik tidak menentukan mana-mana keluarga yang harus dipilih
menjadi khalifah. Beliau berpendapat harus dipilih pengganti khalifah
sebagaimana abu bakar memilih Umar sebagai penggantinya, tetapi dengan syarat
mendapat persetujuan orang banyak dan juga harus memilih pengganti khalifah
dari orang yang memiliki sifat yang lebih baik dari orang lain dalam segala
aspek dan memiliki sifat jujur dan adil. Beliau sangat benci kepada pembuat
fitnah atau huru hara dan memboikot khalifah.
Namun
dalam perjalanan sejarah, tepatnya pada pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur Imam Malik
pernah disiksa lantaran pendapat beliau yang menyatakan tidak sah talak orang
yang dipaksa, beliau menyandarkan argumennya pada hadis Nabi. Rupanya khalifah
Ja’far al-Mansur tidak suka mendengar hadis tersebut. Sebab dengan hadis itu
pihak musuh akan menolak bai’at pada al-Mansur lantaran mereka dipaksa. Akhirnya
Imam Malik disiksa oleh Wali (setingkat Gurbernur) Madinah. Hingga masyarakat
Madinah marah. Hal tersebut dibaca oleh al Manshur, maka ‘berdamai’ dengan Imam
Malik dan berencana menghukum Wali Madinah. Namun Imam Malik mencegahnya karena
telah memaafkannya. Sejak itulah nama Malik makin cemerlang, hingga khalifah al
Manshur memintanya untuk menulis kitab yang menghimpun hadis Nabi, atsar
Sahabat dan perkataan-perkataan para sahabat.
E. Metode
Istinbath Hukum Menurut
Imam Malik
Imam Malik merupakan imam ahli
hadis. Beliau dianggap sebagai orang yang pertama kali menghimpun hadist.
Beliau termasuk orang yang tajam pikirannya. Beliau mengumpulkan di dalam
fiqhnya penjelasan yang pasti dengan nash al-qur’an, hadist dan fatwa sahabat
serta menjaga kemaslahatan manusia dalam segala fatwanya. Abu Qudamah
berkata bahwa Malik adalah orang yang paling memelihara hafalannya pada
zamannya.
Qadhi Iyadh mengatakan bahwa: ” Bila anda perhatikan dengan teliti, orang
pertama yang menempuh jalan para imam mujtahid dan metodologi pengambilan, dan
ijtihad mereka dalam fiqh dan hukum, dialah Imam Malik”.
Imam
Malik memiliki metode istinbath fikih yang tidak dikodifikasikan. Meski
demikian dari kitab al Muwatha’ dan al Mudawwamah para ulama Madzhab Maliki menggali
dan merumuskan metode ushul fikih madzhab Maliki. Dalam al-Madarik,
Qadhi Iyadh menyebutkan dasar-dasar umum yang metode Imam Malik dalam istibath
hukum fikih. Rasyif adalah satu ulama Madzhab Maliki yang menuturkan dalam
kitab al-Bahjah. Kesimpulan dari apa yang disebutkan oleh kedua Imam tersebut
dirumuskan manhaj Imam Malik yang merujuk pada al Quran sebelum yang lain,
kemudian sunnah Nabi, fatwa dan putusan para sahabat, amalan penduduk Madinah,
lalu Qiyas, disusul mashalahah mursalah, saddu adz-dzara’i, dan ‘urf
dan adat (kebiasaan).
1. Al-Qur’an
Seperti halnya imam madzhab yang lain, imam Malik meletakkan al-Qur’an di
atas semua dalil karena al-Qur’an. Imam Malik mengambil
nash yang terang yang tidak menerima ta’wil. Sedang yang menerima ta’wil ia
mengambil lahiriahnya selama tidak ada dalil dari syariat itu sendiri yang
menunjukkan ia harus ditakwil. Malik juga mengambil “Mafhum muwafaqah” atau fahwa al-khitab, yaitu makna yang lebih kuat
dari yang disebutkan nash. Imam Malik juga mengambil “ Mafhum
mukhalafah”,
yaitu makna
kebalikan dari apa yang disebutka Nash. Misalnya hadis yang menyatakan
“Binatang ternak yang digembalakan di padang gembalaan dikenai zakat”. Mafhum
mukhlafahnya hewan yang dikandangkan dan tidak digembalakan tidak dikenai
zakat. Imam Malik juga mengambil ’Illat-’illat
hukum (sesuatu
sebab yang menimbulkan adanya hukum/sabab at-tasyri’).
Artinya beliau menjadikan qiyas sebagai sandaran ijtihadnya.
2. Sunnah
Sunnah dijadikan
Imam Malik sebagai dalil istinbath yang kedua setelah al Quran.
Ia mengambil Sunnah
mutawatir, Sunnah
masyhur baik pada masa tabi’in maupun tabi’u at-tabi’in, dan Khabar (hadis) ahad.
Mengenai
mana yang diprioritas antara hadis ahad, amalan penduduk Madinah dan Qiyas,
Imam Qadhi Iyadh dan Ibnu Rusyd al Kabiir dalam al Muqaddimat al Mumahhadat menyebutkan
dua pendapat. Satu pendapat menyebutkan bahwa Imam Malik mendahulukan Qiyas
atas hadis Ahad, pendapat lain mengatakan sebaliknya. Telah diriwayatkan dari
Malik sejumlah masalah yang ia tinggalkan di dalamnya hadis ahad yang
disampaikan dengan ra’yu. Seperti ia menolak hadis khiyar majlis dalam jual
beli yang diriwayatkan Ibnu Umar bahwa orang yang bertransaksi jual beli boleh
memilih antara melanjutkan akad atau membatalkannya selama keduanya belum
berpisah. Hadis ini ditolak pengamalannya, ia berkata: “Tidak ada bagi kita
batasan yang jelas tentangnya”. Malik juga tidak mengambil hadis Nabi tentang
shaum sunnah Syawwal, karena puasa tersebut bisa diartikan penambahan terhadap
shaum Ramadhan.
3. Praktek
Penduduk Madinah
Menurut Imam Malik, perbuatan penduduk Madinah termasuk sebagian dari
sunnah mutawatir karena pewarisannya melalui generasi ke generasi yang
dilakukan secara massal sehingga menutup kemungkinan untuk terjadi
penyelewengan dari sunnah. Para sahabat yang berada di Madinah bergaul dengan
Nabi Muhammad Saw dan mengembangkan tradisi hidup Nabi yang kemudian diwariskan
kepada tabi’in dengan cara yang sama. Pewarisan itu berlangsung secara
berkesinambungan hingga sampai kepada tabi’u atl-tabi’in. Ia
mengutip ucapan gurunya, Rabi’ah bin Abdurrahman, “Seribu orang dari seribu
orang jauh lebih baik dari satu orang dari satu orang”. Oleh karena itu ia
memprioritaskan amalan penduduk Madinah yang dasarnya ra’yu
daripada hadis Ahad.
4. Fatwa
sahabat (Qaul
Shahabi)
Fatwa ini dipandang sebagai hadis yang wajib dilaksanakan. Dalam kaitan
ini, Imam Malik mendahulukan fatwa sebagian sahabat dalam soal manasik haji dan
meninggalkan sebagian yang lain, dengan alasan sahabat yang bersangkutan tidak mungkin
melaksanakannya jika tidak ada perintah dari Nabi SAW. Inilah yang
menjadikan Imam Syafi’i mengkritik Gurunya, bahkan secara khusus menulis kitab
berjudul Ikhtilaf Malik (Perbedaan dengan Imam Malik). Imam Syafi’i
berkomentar: “Ia telah menjadikan dasar sebagai cabang dan
cabang sebagai dasar. Karena sabda Nabi adalah pokok (dasar) sedang perbuatan
sahabat adalah cabang”.
Selain itu, Imam Malik juga mengambil fatwa tabi’in besar, tetapi tidak
disamakan kedudukannya dengan fatwa sahabat apalagi ke derajat
penisbatan kepada Nabi. Ia mengangkatnya ke derajat tersebut manakala ada
kesesuaian dengan ijma’ penduduk Madinah.
5. Qiyas, al-maslahah al-mursalah, dan Istihsan
Imam Malik mengambil Qiyas dalam pengertian umum yang merupakan penyamaan
hukum perkara, yakni hukum perkara baru/cabang (far’u)
dengan dengan apa yang tersurat dalam nas (ashl) disebabkan adanya persamaan ’illat hukum. Sementara istihsan adalah memandang lebih
kuat ketetapan hukum berdasarkan maslahat juz’iyah atas ketetapan hukum
berdasar Qiyas. Jika dalam Qiyas ada keharusan menyamakan suatu hukum yang
tidak tegas, maka maslahat juz’iyah mengharuskan hukum lain dan ini yang
diberlakukan, yang kemudian dinamakan istihsan. Namun dalam madzhab
Maliki, istihsan itu
sifatnya lebih umum yang mencakup setiap maslahat, yaitu hukum maslahat yang
tidak ada nas, baik dalam tema itu dapat diterapkan Qiyas atau tidak, sehingga
pengertian istihsan itu mencakup al-maslahah
al-mursalah. Istihsan menurut Imam Malik mengutamakan realisasi tujuan syari’at (maqashid
asy syari’ah). Contoh:
Dalil umum melarang aurat seseorang. Akan tetapi bila dalil umum ini tetap
diperlakukan sampai melarang melihat aurat seseorang dalam pengobatan, maka hal
itu akan mengakibatkan hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil itu,
karena dalil umum itu ingin memelihara kemaslahatan tahsiniyyat (pelengkap).
Al maslahah al-mursalah artinya
suatu kemaslahatan yang tidak ada ketegasan nash al-Qur’an dan sunnah, dalam
rangka menolak mafsadat dan maslahat yang sesuai dengan keranka syariat. Asy
Syathibi berkata: “ Malik begitu leluasa dalam memahami makna ‘mashlahat’
dengan tetap menjaga maqashid syari’ah, tidak keluar dari bingkainyadan tidak
membatalkan salah satu ushul (poko)-nya....”
6. Az-Zara’i
Az-Zara’i
banyak digunakan Imam Malik dalam berbagai cabang hukum. Az Zara’i adalah sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan maka akan menjadi haram
pula, sarana yang membawa pada hal-hal yang dihalalkan maka akan menjadi halal
juga, dan sarana yang membawa pada kerusakan maka diharamkan juga. Sarana
yang membawa kepada kerusakan dalam madzhab Maliki adalah: a.) Sarana yang
secara pasti membawa pada kerusakan, contohnya menggali sumur di depan
pintu rumah, b) sarana yang diduga
kuat akan mengantarkan pada kerusakan contoh jual beli anggur dengan dugaan
akan dibuat khamar oleh pembelinya, c) sarana yang jarang membawa kerusakan contoh
menggali sumur di tempat yang tidak membahayakan orang, d) sarana yang banyak
mengantarkan pada kerusakan tapi tidak dipandang umum, contoh jual beli dengan
tenggang waktu yang dapat membawa pada praktek riba.
Jaih Mubarok dalam
bukunya mengatakan bahwa langkah-langkah ijtihad Imam Malik hanya ada lima atau
yang disebut ushul al-khomsah yaitu al-qur’an, sunnah,
perbuatan penduduk Madinah, fatwa sahabat, Qiyas dan istihsan tanpa az-zara’i. Sementara Syaikh
Abddurahman bin Abdullah asy-Sya’lan dalam kitab Ushul fiqh Imam Malik
menyebutkan enam sumber istinbath madzhab Maliki yaitu al Quran, as-Sunnah,
Ijma (kesepakatan umat), amal penduduk Madinah, fatwa sahabat, dan Syar’u
Man Qablana.
F.
Kitab al-Muwaththa dan karya-karya yang lainnya
Berbicara
sejarah imam Malik tentu tidak boleh dilupakan karyanya yang sangat fenomenal.
Yaitu kitab al-Muwaththa. Kitab ini mulai ditulis sejak pemerintahan
khalifah Abi Ja’far al-Mansur dan berhasil disempurnakan pada zaman al-Mahdi.
Khalifah Harun ar-Rasyid pernah mencoba untuk menjadikan kitab ini sebagai
undang-undang resmi kehakiman negara, semua negeri sama dan ditempelkan di
Ka’bah, namun imam Malik menolak.
Kitab
al-Muwaththa merupakan kitab hadis yang menghimpun berbagai masalah fikih,
disusun dengan urutan fikih, oleh sebab itu kitab ini dinilai sebagai kitab
hadis fikih.
Di
antara karya-karya Imam Malik adalah: (a) al-Muwatha’, (b) Risalah
ila ibn Wahb fi al-Qadr, (c) Kitab Nujum, (d) Risalah
fi al-Aqdhiyah, (e) Tafsir li Gharib al-Qur’an, (f) Risalah
ila al-Laits, (g) Risalah ila Abu Ghassan, (h)Kitab al-Siyar,
(i) Kitab al-Manasik. Nasib kebanyakan kitab-kitab tersebut tidak
diketahui. Namun, Malik dikenal karena pemikiran, kepribadian, keulamaan dan
kitab al-Muwatha’-nya.
Tentang
penamaan kitab al-Muwatha’ adalah orisinil berasal dari Imam Malik sendiri.
Hanya saja tentang mengapa kitab tersebut dinamakan dengan al-Muwattha’ ada
beberapa pendapat yang muncul:
Pertama,
sebelum kitab itu disebarluaskan Imam Malik telah menyodorkan karyanya ini di
hadapan 70 ulama Fiqh Madinah dan mereka menyepakatinya. Dalam sebuah
riwayat as-Suyuti menyatakan: “Imam Malik berkata, Aku mengajukan kitabku ini
kepada 70 ahli Fiqh Madinah, mereka semua setuju denganku atas kitab tersebut,
maka aku namai dengan al-Muwatha’ (yang disetujui).
Kedua,
pendapat yang menyatakan penamaan al-Muwattha’, karena kitab
tersebut “memudahkan” khalayak umat Islam dalam memilih dan menjadi
pegangan hidup dalam beraktivitas dan beragama.
Pengarang
kitab Ushul Fikih Imam Malik menguatkan pendapat kedua. Alasannya karena Muwattha’
adalah isim maf’ul dari waththa’a (dengan mentasydidkan huruf tha).
Jika menggunakan makna pendapat pertama tentu judul kitab ini al-Muwâtha
(memadkan huruf waw tanpa mentasydidkan huruf tha)
Adapun
terkait metode kitab dan kualitas hadis-hadisnya Kitab al-Muwattha’
adalah kitab hadis yang bersistematika Fiqh. Secara eksplisit, tidak ada
pernyataan yang tegas tentang metode yang dipakai Imam Malik dalam menghimpun
kitab al-Muwattha’. Namun secara implisit, dengan melihat paparan
Imam Malik dalam kitabnya, metode yang dipakai adalah metode pembukuan hadis
berdasar klasikikasi hukum Islam (abwab fiqhiyyah) dengan mencantumkan
hadis marfu’ (berasal dari Nabi), mauquf (berasal
dari sahabat) dan maqthu’ (berasal dari tabi’in). Bahkan
bukan hanya itu, kita bisa melihat bahwa Imam Malik menggunakan tahapan-tahapan
berupa (a) penseleksian terhadap hadis-hadis yang disandarkan kepada
Nabi, (b) Atsar/fatwa sahabat,. (c) fatwa tabi’in, (d) Ijma’ ahli Madinah dan
(e) pendapat Imam Malik sendiri.
Dalam hal ini empat kriteria yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritisi
periwayatan hadis adalah: (a) Periwayat bukan orang yang berperilaku jelek (b) Bukan
ahli bid’ah (c) Bukan orang yang suka berdusta dalam hadis (d) Bukan
orang yang tahu ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.
Meskipun Imam Malik telah berupaya seselektif mungkin dalam memfilter
hadis-hadis yang diterima untuk dihimpun, tetap saja para ulama hadis berbeda
pendapat dalam memberikan penilaian terhadap kualitas hadis-hadisnya:
a. Sufyan Ibn
‘Uyainah dan as-Suyuthi mengatakan, seluruh hadis yang diriwayatkan Imam Malik
adalah shahih, karena diriwayatkan dari orang-orang yang terpercaya.
b. Abu
Bakar al-Abhari berpandangan tidak semua hadis dalam al-Muwattha’ sahih,
222 hadis mursal, 623 hadis mauquf dan 285
hadis maqthu’.
c. Ibn
Hajar al-’Asqalani menyatakan bahwa hadis-hadis yang termuat dalam al-Muwattha’ adalah sahih menurut
Imam Malik dan pengikutnya.
d. Ibn
Hazm dalam penilaiannya yang termaktub dalam Maratib al-Diyanah,
ada 500 hadis musnad, 300 hadis mursal dan 70 hadis dha’if
yang ditinggalkan Im`am Malik.
e. al-Gafiqi
berpendapat dalam al-Muwattha’ ada 27 hadis mursal dan
15 hadis mauquf.
Dalam al-Muwattha terdapat istilah yang berulang kali digunakan. Berikut
ini adalah tabel istilah-Istilah yang terdapat dalam al-Muwattha’ yang
disebutkan secara berulang.
Tabel I
Istilah-Istilah Berulang yang terdapat dalam Kitab al Muwattha
Istilah
|
Makna Istilah
|
Ahlul fiqh wal ilmi
lam yakhtalifu fiih
|
Perkara yang sudah disepakati di antara ahli ilmu
|
Huwa ma ‘amila an nas
‘indana
|
Perkara yang kami pilih
|
Huwa syai’un istahsantuhu
min qaul ulama
|
Perkara yang berlaku di negeri kami atau saya dengar
dari beberapa ahli ilmu
|
Ahsantuhu
|
Pendapat yang rajih menurut kami
|
As sunnah allati laa
ikhtilafa fiiha
|
Kesepakatan para sahabat yang ada di Madinah
|
Hadza ahsanu ma
sami’tu
|
Pendapat yang dipandang rajih menurut para sahabat
yang ada di Madinah atau bersesuainan dengan Qiyas yang kuat atau bersandar
dari al kitab dan as sunnah
|
Fa inni araa’
|
Malik tidak mendengarnya lansung dari para ulama.
Hanya saja ijtihadnya tetap sesuai dengan kaidah dan manhaj penduduk Madinah
|
Balaghaniy kadza
|
Metode Malik untuk menyebutkan hadis dan atsar yang
tidak berisnad. Istilah Muhadditsin hadis Mu’dhal
|
‘an Tsiqah
|
Menyebut hadis yang maqbul menurut Malik, namun lupa
siapa periwayatnya
|
Qaala Yahya: Su’ila
Malik
|
Ada dua kemungkinan:
1.Malik menulis sendiri Muwatha lalu disalin oleh
yahya
2. Malik menditekan pada Yahya
|
Qaala Yahya: Sami’tu
Malik yaquul
|
Yahya mendengar dari Malik lalu menuliskannya
|
Sumber: Ushul Fikih Imam Malik hal. 310- 314
G. Mendiskusikan
Artikel Brockopp tentang Teori Otoritas Syaikh Agung Imam Malik
Artikel
yang berjudul “Competing Theories of Authority in Early Maliki Teks”
merupakan bagian dari buku berjudul “Studies in Islamic Law and Society;
Studies in Islamic Legal Theory”. Objek kajian artikel ini adalah
kitab-kitab klasik madzhab Maliki yaitu al-Muwattha, al Mukhtashar,
al Mukhtashar al-Kabir, Mukhtahasr Shaghir, dan al Mudawwanah.
Secara umum artikel ini terdiri dari dua bagain. Pertama, berkaitan dengan
dalil apa saja yang diekplorasi oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha?.
Sekaligus untuk menjawab apakah Imam Malik mengakui al-Quran, as-Sunnah, Ijma’,
dan Qiyas sebagai dalil yang dalam artikel ini diistilahkan dengan linear
development (perkembangan linear). Bagian kedua membahas tentang teori
otoritas Imam Malik sebagai Great Shaykh (syaikh Agung). Apakah fatwa-fatwa
Imam Malik memiliki otoritas sebagai sandaran intinbath hukum?. Dimana
murid-murid Imam Malik mengembangkan hukum-hukum fikih berdasarkan fatwa Imam
Malik.
Jawaban
pertanyaan pertama disajikan Brockopp dalam bentuk Tabel perbandingan
pengorganisian argumen/dalil yang digunakan Imam Malik dalam kitab al Muwattha’
pada bagian awal kitab al Hajj dan bagian awal pada kitab al Mukatab
(Budak yang akan dimerdekakan).
Tabel II
Perbandingan Pengorganisasian Argumen (Dalil) pada dua Bab kitab
al-Muawattha’
Bagian awal pada Kitab al-Hajj (20 hal
pertama)
|
Bagian awal pada
Kitab al-Mukatab (20 hal pertama)
|
Hadis Nabi, lalu diikuti atsar sahabat
|
2 Atsar, dilanjutkan fatwa Malik
|
Empat atsar Sahabat lalu “Saya mendengar ahli ilmu
berkata”
|
Penjelasan hadis tentang ‘Abdul Malik bin Marwan
|
3 hadis Nabi lalu satu Atsar Sahabat
|
Pernyataan Malik terkait QS. 24: 33, dilanjutkan
dengan membaca 2 ayat yaitu QS. Al Maidah: 2 dan QS. Al-Jumu’ah: 10
|
1 Atsar dan dua fatwa Malik
|
Interpretasi Malik terkait bagian kedua QS. 24:33
وَآتُوهُمْ
مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ
|
2 Atsar, lalu ucapan Malik “wa hadza ahabbu mâ
sami’tu”
|
Narasi hadis terkait ucapan Ibnu ‘Umar
|
2 Atsar, lalu ucapan Malik “Dzalika al-amru
‘indana”, lalu atsar sahabat
|
6 paragraf terkait fatwa Malik
|
2 Atsar Sahabat
|
Hadis munqathi’ untuk mempertahankan pernyataan
Malik, lalu fatwa Malik dalam 6 paragraf panjang, kadang-kadang menyatakan “al amru
‘indana”
|
2 Hadis Nabi, dua fatwa Malik
|
Malik mendengar
dari Ummu Salamah, istri Nabi saw terkait pemutusan kesepakatan. Kemudian
Imam Malik menyampaikan fatwanya dalam 19 paragraf
|
3 Atsar Sahabat
|
Malik mendengar bahwa ‘Urwah bin Zubair dan Sulaiman
bin Yasar keduanya bertanya tentang kasus ayah dan anak yang statusnya budak mukatab, lalu ayahnya
mati. Bagaimana status anaknya?. Dilanjutkan fatwa Imam Malik
|
3 Hadis Nabi, 2 Atsar, 1 hadis Mursal
|
Narasi hadis terkait Marwan bin al-Hakam; 2 paragraf
fatwa Imam Malik
|
4 hadis Nabi, 1 atsar, dan 1 hadis maqthu (follower
hadith)
|
Malik mendengar bahwa Sa’id bin Musayyab bertanya
tentang warisan budak. Lali 8 paragraf fatwa Imam Malik
|
1 hadis Nabi, 2 pendapat ahlul ‘ilmi dan 1 fatwa
Malik
|
|
3 hadis Nabi, pendapat ahl ilmu, dan Konfirmasi
Malik
|
|
Berdasarkan perbandingan dua bab ini dapat ditarik kesimpulan Imam Malik
menggunakan al Quran, hadis Nabi, hadis mauquf/atsar (hadis yang
disandarkan pada sahabat), hadis maqthu (hadis yang disandarkan pada
tabi’in), dan perkataan sahabat. Dengan dalil-dalil tersebut Imam Malik
membangun fatwa-fatwanya. Meski dalam pengorganisasian argumen/dalil terdapat
perbedaan antara bab Haji dengan bab Mukatab. Bab Haji banyak didominasi hadis
Nabi dan atsar sahabat, sedikit fatwa Malik, dan tanpa menyertakan al Quran.
Sedangkan pada bab Mukatab lebih banyak mengutip qaul sahabat dan fatwa Malik
dan ada beberapa dalil al Quran. Hal ini
menunjukkan vaiasi Imam Malik dalam penggalian hukum.
Analisa Brockopp dilanjutkan dengan membandingkan lima tokoh di masa awal
perkembangan Madzhab Maliki (sebelum abad ke-4 H), ‘Abdul ‘Aziz al Majishun (w.
164 H) seorang ulama yang juga mengajar di Madinah, Malik bin Anas (w. 169),
Abdullah bin Abdul Hakam (w. 214 H) beliau adalah yang menyambungkan mata
rantai pengajaran kitab al-Muawattha’, dan Abu Mus’ab az Zuhri (w. 242 H)
pengarang kitab Mukhtashar yang juga mengajarkan al-Muwattha.
Berdasarkan
perbandingan pada Tabel III (terlampir), baik dalam bab-bab tentang ibadah haji
dan budak mukatab, tiga Mukhtasar hampir seluruhnya tergantung pada kasus dan
aturan/kaidah abstrak, tidak mengambil sumber sandaran yang menjadikan Malik
sebagai otoritas. Teks Malik dan al-Majishun, justru sangat bergantung pada
otoritas kenabian dan Al-quran pada bab tentang ibadah haji, dan seperti yang
disebutkan sebelumnya, meski sangat sedikit pada bab di kitab al mukatab. Tampilan yang
lebih hati-hati pada urutan Argumen di al-Majishun dan Malik tampak kontras.
Pada contoh pertama, Malik memulai babnya dengan kutipan dari Nabi, diikuti
oleh beberapa atsar sahabat, dan kemudian perkataan Malik yang disandarkan pada
apa yang dikatakan ahl al-‘ilm tentang masalah ini. Al-Majishun,
tampaknya lebih sejalan dengan pemikiran usuli klasik, dimulai dengan kutipan
dari Al Qur'an (dengan penjelasan singkat), lalu bagian paling penting dari
Sunnah Nabi (dan memberi interpretasi sesuai dengan kaidah), dan kemudian disusul
kutipan Sunnah Nabi. Meski al-Majishun terkadang juga tidak mengikuti pola
urutan baku pendalilan/argumen dan sering menambahkannya dengan pendapat pribadi.
Imam Malik terlihat sangat sedikit menyampaikan fatwa pribadinya sebagaimana ia
sangat sedikit mengutip ayat al Quran.
Bahkan
lebih banyak keanehan muncul ketika kita melihat tiga teks lainnya yaitu Mukhtashar,
al Mukhtashar al-Kabir, dan Mukhtahasr
Shaghir. Kedua penulisnya, Abd Allah bin
Abd al-Hakam dan Abu Mus'ab, adalah pengkaji dan mengajarkan al-Muwatta ', dan
begitu menyadari posisi Malik pada pengaturan teks hukum, namun mereka
mengabaikan pengorganisasian dalil (versi Malik) termasuk tidak mencantumkan
fatwa Malik dalam karya mereka.
Selanjutnya
Brockopp meneliti kitab al Mudawwanah. Ia mengutip pendapat Calder bahwa
al-Mudawanah di susun oleh murid-murid Imam Malik, sebelum Imam Malik menulis
al Muwattha’. Alasannya karena kitab Mudawwanah lebih banyak
menyandarkan pada otoritas (keilmuan) Imam Malik. Jika al Mudawwanah ditulis
setelah al Muwattha’ mestinya pola penulisannya mengikuti pola pengorganisasin
dalil seperti dalam kitab al Muwattha’.
Brockopp
bahkan berkomentar, Saya nyatakan bahwa Sahnun (penyusun kitab al Mudawwanah)
terjebak di antara dua konstruksi otoritas keagamaan yang bersaing. Di satu
sisi, kutipannya tentang Al-Qur'an dan hadits Nabi sebagai apa yang disebut “salvation
history”. Namun di sisi lain, Sahnun sangat ketergantungan pada kata-kata
Malik bin Anas. Hal ini menunjukkan bahwa Malik memiliki otoritas yang setara.
Oleh karena itu, Brockopp berkesimpulan bahwa literatur hukum Maliki masa awal
tidak hanya mengacu pada perkembangan linear yang didasarkan pada empat sumber
yang sudah mu’tabar (al Quran, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas), tetapi juga
memiliki perkembangan dialektis, dengan beberapa ketergantungan pada otoritas
Qur'an dan Sunnah, yang lain tergantung pada kata-kata individu (dalam hal ini Great
Shaykh, Imam Malik), dan yang lain
lagi menulis teks tanpa bergantung pada Great Shaykh yaitu pada tiga kitab Mukhtashar di atas.
Inilah simpulan Brockopp. Pemakalah tidak sepenuhnya setuju dengan
kesimpulan Brockop ini. Bagaimanapun
keilmuan Imam Malik beliau tidak diposisikan oleh murid-muridnya sebagai
pemiliki otoritas yang setara dengan hadis Nabi Saw. Apa yang ada pada kitab al
Mukhtashar, al Mukhtashar al Kabiir dan as-shaghir menegaskan hal ini. Jika
dikaji dari sisi kitab al Mudawwah maka kitab ini tidak semata berisi
pendapat-pendapat Imam Malik. Kitab al-Mudawwanah ini
merupakan kitab fikih yang kandungan isinya mencakup 90 bab fikih, yang jika
dirinci terdiri dari 4000 hadits, 30.006 atsar, 40.000 permasalahan fikih,
40.000 hukum, dan 40.000 fatwa. Jika dilihat dari sisi komposisi menunjukkan
bahwa jumlah hadis mencapai 10 % dari jumlah fatwa. Bisa jadi memang sedikit,
namun yang perlu digaris bawahi antara kitab al-Muwattha’ dengan al Mudawwanah
memang dua bidang yang berbeda. Al Muwattha’ adalah kitab hadis dengan
sistematikafikih, sedang kitab al Mudawwanah adalah kitab fikih.
Awalnya, kitab al-Mudawwanah ini dinisbatkan kepada Asad bin al-Furat, yaitu
kumpulan permasalahan-permasalahan fikih yang disusun dan dikumpulkan oleh Asad
bin al-Furat, yang ia dapatkan dari Imam Malik rahimahullah. Setelah Imam Malik
wafat, ia melengkapi dan mengkajinya kembali bersama Abdurrahman bin al-Qasim
dan Sahnun bin Sa’id. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kitab ini mencakup
pemikiran fikih dari empat ulama mujtahid, yaitu: Imam Malik, Asad bin al-Furat,
Abdurrahman bin al-Qasim, dan Sahnun bin Sa‘id. Artinya kitab ini terus
mengalami penyempurnaan dan koreksi hingga masa Sahnun (pengarang al Mudawanah)
Sebagai argumen tambahan, Jikapun murid-murid Imam Malik
mengambil fatwa-fatwa Imam Malik dalam kajian dan karya mereka maka hal itu
adalah sesuatu yang wajar. Karena bagaimana pun Imam Malik sebagai seorang
Mujtahid ketika berfatwa tetap bersandarkan pada dalil. Ketika seorang mujtahid
telah berijtihad dengan dalil yang maqbul (baik dalil yang mujma atau mukhtalaf)
disertai metode ijtihad yang benar maka itu merupakan ra’yun islamiyun
(pendapat yang islami) dan terkategori hukum Allah.
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas dapat di simpulakan sebagai beriku:
1. Imam
Malik (lahir 93 H. Dan wafat 179 H) lahir di Madinah di zaman dinasti
Umawiyah dan Abbasiyah, tepatnya beliau
lahir pada zaman Bani ‘Umayyah, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Wahid
‘Abdul Al-Malik (setelah ‘umar ibn ‘Abd al-Aziz), dan meninggal pada
zaman Harun Ar-Rosyid. Beliau sempat merasakan masa pemerintahan ‘Umayyah
selama 40 tahun, dan masa pemerintahan Bani Abbas selama 46 tahun. pada
saat itu terdapat dua arus besar pemikiran (ahli hadits dan ahli ra’yu), namun
Madinah pada saat itu lebih didominasi ahli hadis termasuk para guru imam
Malik, sehingga berpengaruh pada pemikiran imam Malik.
2. Imam
Malik tidak terlibat dalam politik praktis masa itu, namun beliau adalah
seorang Imam yang tegas dan kritis terhadap penguasa. Terutama ketika bai’at
seorang khalifah diperoleh secara paksa maka beliau mengkritiknya secara santu.
Hal ini yang menyebabkan beliau kemudian disiksa di masa khalifah al Manshur.
3. Imam
Malik adalah seorang imam hadis yang paling kuat hafalannya dan tajam
pikirannya. Karyanya yang paling tereknal adalah kitab al-Muwaththa. Karena
karya dan keilmuan serta kepribadian inilah maka madzhab Maliki terus bertahan
dan berkembang hingga saat ini, meski di beberapa negara sempat mengalami
pasang surut.
4. Sebagian
besar kehidupan Imam Malik lebih banyak dilaluinya di kota Madinah sehingga
dari sinilah merupakan faktor besar yang menjadikan alasan mengapa Imam Malik
lebih cenderung memakai hadist dibanding dengan ra’yu, sebuah kehidupan dimana
yang membuat Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ sudah dapat dijadikan sebagai dasar
acuan keputusan untuk menyelesaikan masalah.
5. Tidak
terdapat perbedaan di di antara ulama bahwa Imam Malik dalam berijtihad bersandar pada
dalil-dali yang mu’tabar yakni al-Qur’an,
sunnah, ijma’
dan Qiyas. Terkait ijma terdapat perbedaan para ulama tentang ijma’ apa yang
digunakan oleh Imam Malik. Sebagaian ulama menyatakan ijma’ penduduk Madinah
sebagain yang lain menyatakan ijma’ kaum musimin. Mengenai al-maslahah mursalah dan istihsan para ulama berbeda
pendapat apakah imam Malik menggunakan? Sebagain berpendapat iya, sebagain
mentakwilnya dengan menyatakan istihsan yang dimaksud Imam Malik adalah memilih
pendapat yang beliau pandang rajih. Sandaran hukum lain yang digunakan Imam
Malik adalah praktek
penduduk Madinah, fatwa sahabat, dan az-Zara’i, sebagian ulama
menambahkan Syar’u man qablana (syari’at sebelum kita).
6. Menurut
Brockopp otoritas Imam Malik sebagai Great Syaikh tidak ditemukan dalam 3 kitab
Mukhtasar, namun sangat kental di dalam kitab al Mudawwanah.
7. Pemakalah
tidak setuju dengan kesimpulan bahwa kitab al Mudawwanah adalah representasi
otoritas Imam Malik yang fatwa-fatwanya setara dengan dalil-dalil mu’tabar.
Alasannya karena dalam al Mudawwanah masih mencantumkan hadis dan atsar dari
sahabat serta fatwa yang merupakan hasil ijtihad Imam Malik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Muhammad Husain, Al Wadhih fi Ushul al Fiqh. (‘Amman: Darul Bayariq,
1991)
Abdurrahman
bin Abdullah asy Syu’lan. Ushul Fiqh Imam Malik (Adillatuhu al Naqliyah),
(Saudi Arabia: Kementrian Pendidikan Tinggi, Univ. Imam Muhammad bin Su’ud al
Islamiyyah, 2003)
Abu
Zahroh, Muhammad, Fikih Islam Mazhab dan Alirannya, diterjemahkan oleh
Nabhani Idris (Tangerang Selatan: Gaya Media Pratama, 2014)
Brockopp,
Jonathan, “Competing Theories of
Authority in Early Maliki Teks”, dalam Bernard G. Weiss (ed.), Studies
in Islamic Law and Society; Studies in Islamic Legal Theory. Vol 15, Boston: Brill, 2002
http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.com/2015/06/pemikiran-imam-malik-tentang-hukum-islam.html?m=1 diunduh 29
September 2018
Malik bin Anas Riwayat Sahnun bin
Sa’id at-Tanukhi. Al Mudawwanah al Kubro. (Saudi Arabia: Kementrian
Wakaf dan Dakwah Islamiyah, t. Th)
Malik bin Anas, al-Muwaththa’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)
Qadhi
‘Iyadh, Tartib Al Madaarik wa Taqriib al Masâlik li Ma’rifah A’lam Madzhab
Malik, (Maroko: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam, 1983)
BalasHapusSaya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.
Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.
saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan
Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)
Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.