Kajian Kebahasaan dan Tafsir Surah
An-Nisâ’ Ayat 29
Absahkah Ayat ini Menjadi Dalil Kaidah Fikih "Hukum Asal Mu'amalah adalah Mubah"
Oleh: Wahyudi Ibnu
Yusuf
Pendahuluan
Studi teks (ayat ahkam) kali ini mengkaji surah An-Nisâ’ ayat 29.
Surah An-Nisâ’ termasuk surah madaniyah yang terdiri dari 176 ayat (jika basmalah
tidak dihitung). Fokus kajian pada ayat ini adalah berkenaan makna tijâratan
(perniagaan/perdagangan) dari sisi bahasa dan tafsir para mufassirin. Rujukan
utama yang pemakalah gunakan adalah
kitab tafsir klasik dan kontemporer. Kitab tafsir klasik yang dipilih adalah kitab
Mafâtîhul Ghaib karya al Imam Fakhruddîn ar Râzi (w. 606 H) dan al Jâmi’
li ahkâm al Qurân karya al Imam Syamsuddîn al-Qurthubi (w.671 H). Karya
tafsir kontemporer yang dipilih adalah kitab at-Tafsîr al Munîr fi al
‘Aqîdah wa Asy Syarî’ah wa al Manhaj karya Syaikh Wahbah bin Mushtafa az-Zuhaili
(w. 2015 M). Kajian difokuskan dari aspek kebahasaan, tafsir mufradat, dan
implikasinya pada beberapa hukum terkait.
Ayat yang Dikaji
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta
sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
dibangun atas dasar saling ridha di antara kalian. Dan janganlah kalian
membunuh diri kalian sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang pada
kalian. (QS. An-Nisaa [4]: 29)
Kajian I’rab dan Kebahasaan
Ayat ini dimulai dengan seruan “wahai orang-orang yang beriman”. Seruan
seperti ini berfungi untuk menarik dan mengalihkan perhatian pada penyeru
(Allah ‘azza wa jalla).
Secara ringkas i’rab ayat ini adalah[1]:
لَا
|
Huruf
larangan yang berfaidah menjazmkan fi’il mudhari sesudahnya
|
تَأْكُلُوا
|
Fi’il mudhâri
majzûm dengan tanda menghapus huruf nun
dan mendapat alif ‘iwadh (ganti)
|
أَمْوَالَكُمْ
|
Amwâla; maf’ûl
bih yang i’rabnya manshȗb dengan
tanda fathah sekaligus ia adalah mudhâf. Dan dhamir muttashil
“kum” mudhâf ilaihi yang menempati i’rab jar (fi mahalli jar),
ia mabni
|
بَيْنَكُمْ
|
Zharf (keterangan) yang berkaitan dengan fi’il “ta’kulû”
|
بِالْبَاطِلِ
|
Hurf jar dan
majrurnya. Kedudukanya adalah sebagai “haal” fi mahalli nashb
|
إِلَّا
|
Alat
pengecualian
|
أَنْ
|
Huruf nashab
yang berfaidah menashabkan fi’il mudhâri sesudahnya
|
تَكُونَ
|
Fi’il mudhari
bentukan dari kâna. Manshub dengan tanda fathah. Para
ulama berbeda pendapat apakah ia “tam” (sempurna) ataukah “naqish”
|
تِجَارَةً
|
Khabar takûna.
Manshub dengan tanda fathah. Pendapat
lain menyatakan dibaca rofa “tijâratun”.
|
عَنْ تَرَاضٍ
|
Jar dan
majrur. Sifat dari tijâratan, fi mahalli nasb. Artinya tijâratan
yang dibangun atas dasar saling ridha
|
مِنْكُمْ
|
Jar-majrur. Sifat dari tijâratan, fi mahalli nasb. Artinya tijarâtan
yang lahir dari saling ridha di antara kalian
|
Para ulama berbeda dalam dua kelompok saat menentukan status “illa”
sebagai adat istitsna (alat pengecualian). Pendapat pertama, menyatakan
bahwa illa merupakan istitsna munqathi’. Alasanya “at-tijarah
‘an taradhin” tidak sejenis dengan memakan harta secara batil. Maka hurf
“illa” pada ayat ini dimaknai dengan “bal” yang artinya لكن يحل أكله بالتجارة عن تراض yang
artinya akan tetapi dihalalkan bagi kalian memakan/mengambil harta dari
perdagangan yang dilakukan dengan saling ridha. Pendapat kedua, menyatakan illa
pada ayat ini merupakan istitsna muttashil. Alasannya ada kalimat yang
dihapus sehingga antara mustatsna dengan mustatsna minhu-nya
menjadi sejenis. Diduga kalimat lengkapnya adalah:
لا
تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل ، وإن تراضيتم كالربا وغيره ، إلا أن تكون تجارة عن
تراض
Artinya: janganlah kalian makan harta di antara kalian
dengan cara yang batil, meskipun kalian saling ridha seperti riba dan selainnya.
Kecuali perdagangan yang kalian saling ridha[2]
Para ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan i’rab kata
tijârah. Sebagian ulama seperti ‘Ashim, Hamzah, dan Kisâi membacanya nashab
(tijâratan) dan sebagiannya membaca rofa’ (tijâratun). Menurut Imam
al Qurthubi dibaca nashob karena lafadz takûna dipandang sebagai fi’il
nâqish yang memerlukan isim dan khabar takûna. Lafadz “tijâratan”
menjadi khabarnya dan isimnya tersembunyi (mustatir) yang diduga adalah dhamir
hiya yang kembali pada pada lafadz al amwâl. Diduga kalimatnya lengkapnya adalah:
إِلَّا أَنْ تَكُونَ
الْأَمْوَالُ أَمْوَالَ تِجَارَةٍ
Artinya: kecuali harta benda yang harta benda itu dari perdagangan.
Pada asalnya kata tijarâh adalah mudhâf ilaih. Namun mudhâf-nya
yakni amwâl dihapus maka tersisa mudhâf ilaih-nya[3]. Sedang
menurut ar Râzi diduga kalimat lengkapnya adalah:
إلا أن
تكون التجارة تجارة
Imam Qurthubi dan ar Râzi menyatakan bahwa yang membaca dengan
merofa’kannya karena lafadz takûna dipandang sebagai fi’il tam
(sempurna) yang hanya memerlukan fâ’il (subjek) dan tidak memerlukan objek
(maf’ûl bih). Menurut Imam Qurthubi diduga kalimatnya adalah إِلَّا
أَنْ تَقَعَ تِجَارَةٌ (kecuali
terjadi pada perdagangan). Makna serupa meski dengan ungkapan berbeda dinyatakan
ar Râzi, diduga kalimatnya adalah إلا أن توجد وتحصل تجارة(kecuali
terdapat perdagangan). Menurut al Wâhidî pendapat yang terpilih adalah
merofa’kannya. Alasanya menyembunyikan lafadz “at-tijârah” jika tidak
disebutkan sebelumnya meskipun boleh namun bukanlah pendapat yang kuat[4].
Sedangkan Syaikh Wahbah Zuhaili menguatkan pendapat yang membacanya nashab[5].
Makna Mufrodat (Kosa kata)
Frase La ta’kulû maksudnya adalah la
ta’khudzû (jangan kalian mengambil). Diungkapkan dengan redaksi la
ta’kulû karena memakan adalah diantara motif paling penting dalam mengambil
suatu harta. Frase bil bâthil maksudnya adalah yang diharamkan syariat
seperti riba, judi, dan merampas[6].
Ar Râzi merinci dua jalur harta yang diperoleh dengan cara batil. Pertama semua
jalur perolehan harta yang diharamkan syariat seperti riba, judi, merampas,
mencuri dan sebagainya. Kedua mengambil harta dari orang lain yang seharusnya tanpa
kompensasi (‘iwadh)[7].
Seperti mengambil tambahan pada qardh (pinjaman).
Lafadz tijârah secara bahasa maknanya adalah ‘ibarah
(ungkapan) mengenai akad mu’âwadhah[8]. Yaitu
akad-akad mu’amalah yang bertujuan untuk memperoleh keutungan atau upah seperti
jual-beli dan kontrak kerja (ijârah). Imam al Qurthubi menjelaskan bahwa
setiap bentuk mu’âwadhah adalah tijarah yang berkonsekuensi pada ‘iwadh
(kompensasi berupa laba atau upah, pent)[9].
Kata tijarah selain memiliki makna hakiki juga memiliki
makna majaz dengan makna balasan pahala yang diberikan Allah pada hambanya yang
melakukan amal shalih. Seperti firman-Nya:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلى تِجارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذابٍ
أَلِيمٍ
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (QS. Ash-Shaf [61]:
10)
Relevansi dengan Ayat-ayat Sebelumnya
Allah Ta’ala menjelaskan pada ayat ini kaidah umum
tentang harta. Setelah sebelumnya menjelaskan sebagian hukum-hukum muamalat
seperti pengelolaan harta anak yatim dan wajibnya menyerahkan mahar bagi
wanita. Persoalan harta adalah persoalan yang sensitif. Tak jarang karena harta
dapat menimbulkan permusuhan bahkan pertikaian. Karena itulah Allah menetapkan
tentang pentingnya memperoleh harta dengan cara saling ridha bukan dengan cara
yang zhalim[10].
Tafsir Ayat
Pada ayat ini Allah Ta’ala melarang mengambil harta
orang lain dengan cara batil. Dilarang pula menggunakan hartanya sendiri secara
batil, karena redaksi “amwâlakum” berlaku bagi harta orang lain dan
hartanya sendiri. Menggunakan harta pribadi secara batil bentuknya adalah
membelanjakannya di jalur maksiat[11].
Zuhaili menjelaskan makna batil dengan pemaknaan yang
lebih umum. Batil adalah apa saja yang menyelisihi syariat. Termasuk memakan
harta batil adalah apa saja yang diambil dari akad-akad yang fasad dan batil
seperti jual beli barang yang belum dimiliki penjual. Memanfaatkan barang dan
uang dari jual beli yang fasad hukumnya haram dan wajib dikembalikan[12].
Ringkasnya haram hukumnya mengambil harta secara batil baik
mengambil zat barangnya seperti dalam jual beli atau sekedar mengambil manfaatnya
seperti dalam sewa menyewa yang batil. Kecuali terwujud saling ridha yang dibenarkan syariat . Sebagaimana yang
Allah kecualikan dalam lanjutan ayat “illa an takûna tijâratan ‘an tarâdhin
minkum”. Menurut Syaikh Zuhaili maknanya adalah akan tetapi ambillah harta
dengan perdagangan yang dibangun atas dasar keridhaan sesuai dengan ketentuan
syariat. Tijarah termasuk akad mu’awadhah
yaitu akad atau transaksi yang tujuannya adalah untuk memperoleh
keuntungan/laba dan upah. Artinya, mu’awadhah lebih umum dan luas dari
kata tijârah (perniagaan). Disebutkan lafadz tijârah dengan makna khusus karena
memang ia yang banyak terjadi pada akad-akad mu’awadhah.
Perlu ditegaskan bahwa tidak semua akad-akad yang dibangun atas
dasar keridhaan maka pasti dibenarkan syariat. Anggapan demikian adalah
anggapan yang keliru. Keridhaan antar pihak yang berakad juga harus terikat
dengan ketentuan syariat. Sebagai contoh riba
yang diambil dari kelebihan pada pertukaran komoditas riba (misalnya
emas dan perak), dan tambahan pada qardh (pinjaman), judi, mengambil
manfaat pada barang gadai meski dibangun atas dasar keridhaan statusnya haram
dan tidak dibenarkan syariat[13]. Ini
juga termasuk dalam mengambil atau memperoleh harta secara batil.
Beberapa Hal Terkait Ayat
Ada sejumlah hal yang terkait dengan tafsir ayat ini, di antaranya:
1.
Bolehnya
semua bentuk tijârah karena ia termasuk akad mu’âwadhah yang
tujuannya untuk memperoleh ‘iwadh (kompensasi, baik laba maupu upah).
Syaratnya terwujudnya keridhaan di antara pihak-pihak yang berakad dan termasuk
akad yang dibenarkan syariat. Karena lafadz bil bathil di awal ayat
mengeliminir kebolehan tijârah dalam dua kondisi. Pertama, semua ‘iwadh
(kompensasi, baik laba maupun upah) yang diharamkan syariat seperti riba,
jahalah (jual beli gharar/tidak jelas objek akadnya), pendapatan dari khamr,
babi dan sebagainya. Kedua, seluruh akad yang diperbolehkan syariat namun tidak
boleh mengambil ‘iwadh darinya
seperti mengambil tambahan pada akad qardh (pinjaman).
2.
Sempurnanya
keridhaan dapat dilihat dari khiyar majlis. Yaitu tidak adanya komplain
atau pembatalan akad dari pihak yang berakad hingga dua pihak yang berakad
berpisah. Ini adalah pendapat yang dipilih Imam Syafi’i, Imam Ahmad, al Laits,
dan lainnya. Dalilnya hadis Nabi saw:
البيّعان بالخيار ما لم يتفرقا
Dua pihak yang berjual-beli memiliki khiyâr
(pilhan melanjutkan atau membatalkan akad) sebelum keduanya berpisah (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dan hadis Nabi:
إذا تبايع الرجلان ، فكل واحد
منهما بالخيار ما لم يتفرقا
Jika dua orang berakad jual-beli. Maka
masing-masing memiliki hak khiyâr (pilhan melanjutkan atau membatalkan
akad) sebelum keduanya berpisah (HR. Bukhari)
Menurut pihak yang memilih pendapat ini dua
hadis ini mentakhshis (mengkhususkan) keumuman ayat. Sehingga dalam kondisi ini
diamalkan dalil yang khusus.
Adapun madzhab Hanafi dan Maliki tidak
mengakui khiyâr majlis (pilhan melanjutkan atau membatalkan akad hingga
berpisahnya pihak yang berakad) karena berpegang pada keumuman ayat yakni jika
keridhan telah terwujud dalam ijab dan qabul maka tidak ada pilihan untuk
membatalkan akad baik setelah berpisah maupun belum berpisah.
3.
Keridhaan
merupakan asas dari setiap akad. Tidak sah akad yang dibangun atas dasar
paksaan. Hal ini bisa dipahami dari redaksi “ illa tijâratan ‘an tarâdhin
minkum”
4.
Tijarah dalam ayat ini bermakna umum yakni jual beli
barang-barang yang memang halal diperjual-belikan. Sebagaimana juga firman
Allah:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Padahal Allah telah halalkan jual-beli dan haramkan riba (QS.
Al-Baqarah [2]: 275)
Menurut Imam al Qurthui lafadz al bai’a dalam ayat ini
maknanya umum karena hurf alif dan lamnya merupakan alif lam lil jinsi
bukan lil ‘ahdi. Alasanya kata al bai’a belum disebutkan
sebelumnya[14].
Adapun jual beli yang diharamkan seperti babi,
khamr dan lain berdasarkan dalil-dalil khusus yang berkaitan dengannya. Karenanya
dalam kitab al Umm Imam Syafi’i menyatakan: “
Hukum asal jual beli seluruhnya adalah mubah jika ada keridhaan dua pihak yang
berakad, kecuali kecuali ada larangan dari Rasulullah Saw.[15].
5.
Ayat
ini tidak menunjukkan bolehnya mu’amalah secara umum. Imam Syafi’i mengutip
ayat ini ditambah ayat 275 dari surah al Baqarah untuk menyimpulkan bahwa hukum
asal jual beli adalah mubah. Demikian pula Imam Ibnu Abdil Barr dari Madzhab
Maliki menyatakan: “Hukum asal jual beli adalah halal jika jual beli tersebut
saling ridha kecuali jual beli yang Allah haramkan atas penjelasn lisan
Rasulullah[16].
Imam Zaila’i dari Madzhab Hanafi juga menyatakan: “ pendapat bahwa hukum asal
jual beli adalah haram kami nyatakan tidak tepat, yang tepat adalah bahwa hukum
asalnya halal/boleh....”. Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa
para fuqaha dari tiga madzhab ini bersepakat bahwa hukum asal jual beli adalah
mubah dan mereka tidak bersepakat hukum asal mu’amalah hukumnya mubah. Karena
antara jual beli dan mu’amalah memiliki makna yang berbeda. Mu’amalah lebih
umum dari mu’awadhah dan mu’awadhah lebih umum dari tijârah (jual beli).
Artinya setiap jual beli dan akad mu’awadhah pasti masuk dalam kata mu’amalah.
Tidak berlaku sebaliknya setiap mu’amalah pasti jual beli atau mu’awadhah.
Pemakalah menyimpulkan ayat ini tidak dapat menjadi dalil bagi
kaidah fikih:
الأصل
في المعاملات الجواز و الصحة ولا يحرم منها إلا ما ورد الشرع بتحريمه و إبطاله
Hukum asal dalam mu’amalah adalah boleh dan sah serta tidak haram,
terkecuali terdapat dalil syariat yang mengharamkan dan membatalkannya[17].
Alasannya adalah karena lafadz tijârah dalam ayat ini oleh
para mufassir dimaknai dengan akad mu’âwadhah (akad-akad yang ada tujuan
memperoleh keuntungan atau kompensasi,
seperti jual beli/tijarah dan kontrak kerja/ijarah). Mu’awadhah memang
masuk dalam kategori mu’amalah. Namun, kata mu’amalah lebih umum dari mu’awadhah.
Mu’amalah mencakup akad-akad yang tidak ada unsur mencari keuntungan dan
kompensasi seperti akad pinjaman (al qardh). Muamalat secara etimologis
(istilah) diungkapkan oleh Ibnu ‘Abidin dalam hasyiah-nya adalah apa
saja yang dimaksudkan pada asalnya untuk memenuhi kemaslahan untuk manusia
seperti jual beli, kafalah, hiwalah, dan sejenisnya. Termasuk dalam
kategori muamalah adalah salam, ijaroh, wakalah, syirkah, ash-shulhu
(pedamaian), muzara’ah, musaqah, ji’alah, dhaman (jaminan), dan ‘ariyah[18].
Imam Syathibi mendefinisikan mu’amalah dengan apa saja yang kembali pada
kemaslahatan untuk manusia dengan manusia lainnya seperti peralihan kepemilikan
baik dengan atau tanpa kompensasi[19]
Jika pun dari ayat ini di-intinbath kaidah fikih maka kami
lebih setuju dengan pendapat Imam Syafi’i, Imam Ibnu Abdil Barr al Mâliki dan
Imam Zaila’i al Hanafi dengan redaksi
الأصل
في البيوع الإباحة إلا ورد الديل يدل على تحريمه
Hukum asal jual beli adalah boleh kecuali terdapat dalil yang menunjukkan keharamannya
Atau dengan redaksi lebih umum sesuai dengan tafsiran para
mufassirin:
الأصل
في العقود المعاوضة الإباحة إلا ورد الديل يدل على تحريمها
Hukum asal akad-akad
mu’âwadhah adalah boleh kecuali terdapat dalil yang menunjukkan keharamannya
Penutup
Ayat ini adalah ayat yang mulia yang terdapat pelajaran dan hikmah
yang dapat digali darinya. Semoga makalah singkat ini bermanfaat bagi penulis
dan siapa pun yang membacanya. Serta menjadi sumbangsih bagi kemajuan ilmu dan
peradaban Islam. Âmîn
Daftar Pustaka
Abdurrahman bin Shalih al Athram, Al wasathah at Tijariyah fil
Mu’amalat al Maaliyah, (Riyadh: Dar Isyabaila, 1995)
Ibrahin bin Musa Asy Syatibi, al-Muwafaqat fi
Ushul asy-Syari’ah, juz. 2 (Dar Ibnu Affan, 1998)
Fakhruddin ar Râzi, Mafâtîhul Ghaib, juz 10 (Darul Fikr,
1981)
Ibnu Abdil Barr. al Istidzkar: al Jaami’ li Madzahib Fuqaha al
Amshar Ulama’ al Aqthar, juz 16
(Mesir: Dar al wa’ie, 1993)
Imam Asy
Syafi’i, al Umm juz 3, (Darul Wafa’, 2001)
Muhyiddin Darwisy,
I’rabul Quran wa Bayânuhu, juz 2 (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, t. th)
Syamsuddin
al Qurthubi, Al Jâmi’ li ahkâm al Quran, juz 6 (Beirut: Muassasah ar Risâlah,
2006)
Wahbah bin
Mushthafaaz Zuhaili, Al Tafsîr Al Munîr fi al Aqîdah wa asy Syarî’ah wa al
Manhaj, (Damaskus: Darul Fikr al Mu’ashirah, 1418 H)
[1] Muhyiddin
Darwisy, I’rabul Quran wa Bayânuhu, Juz 2 hal. 203
[2] Fakhruddin ar
Râzi, Mafâtîhul Ghaib, Juz 5,
hal. 175
[3] Syamsuddin al
Qurthubi, Al Jâmi’ li ahkâm al Quran, Juz 5 hal. 151
[4] Fakhruddin ar
Râzi, Mafâtîhu...., Juz 5, hal.
175
[5] Wahbah bin Mushthafaaz
Zuhaili, Al Tafsîr Al Munîr fi al Aqîdah wa asy Syarî’ah wa al Manhaj,
Juz 5 hal. 30
[6] Wahbah bin
Mushthafa az Zuhaili, Al Tafsîr Al
Munir...., Juz 5 hal. 31
[7] Fakhruddin ar
Râzi, Mafâtîhu...., Juz 5, hal.
175
[8] Asy Syaukai. Fathul Qadhir, juz 2, hal. 130
[9] Syamsuddin al
Qurthubi, Al Jâmi’..., Juz 5 hal. 152
[10] Wahbah bin
Mushthafa az Zuhaili, Al Tafsîr Al
Munir...., Juz 5 hal. 31
[11] Wahbah bin
Mushthafa az Zuhaili, Al Tafsîr Al
Munir...., Juz 5 hal. 31
[12] Wahbah bin
Mushthafa az Zuhaili, Al Tafsîr Al
Munir...., Juz 5 hal. 32
[13] Wahbah bin
Mushthafa az Zuhaili, Al Tafsîr Al
Munir...., Juz 5 hal. 32
[15] Imam Asy
Syafi’i, al Umm juz 3, (Darul Wafa’, 2001) hal. 3
[16] Ibnu Abdil
Barr. al Istidzkar: al Jaami’ li Madzahib Fuqaha al Amshar Ulama’ al Aqthar, juz 16 (Mesir: Dar al wa’ie, 1993) hal. 419
[17] Abdurrahman
bin Shalih al Athram, Al wasathah at Tijariyah fil Mu’amalat al Maaliyah, (Riyadh: Dar Isyabaila, 1995), h. 24
[18] Abdurrahman
bin Shalih al Athram, Al wasathah..., h. 21
Komentar
Posting Komentar