MUSIBAH; SAATNYA TAUBAT DAN TAAT
Memetik Hikmah dari Sahabat Mulia ‘Umar bin Khattab
Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf

Imam As-Suyûthi dalam kitabnya Târîkh al-Khulafâ’ hal. 51 (versi Maktabah Syamilah) menceritakan karamah Sayyiduna ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Berikut kisahnya.
Abu Syaikh berkata dalam kitab Al-Azhamah: Tatkala Mesir dibuka oleh oleh kaum Muslimin yang dipimpin oleh Amr bin Al-Ash.Ssuatu ketika penduduk Mesir datang menemui ‘Amru bin ‘Ash pada saat sudah masuk salah satu bulan yang dianggap sakral oleh penduduk setempat.

Orang-orang Mesir itu berkata, “Wahai Gubernur, sesungguhnya Nil ini memiliki kebiasaan dimana dia tidak akan mengalir kecuali dengan tradisi tersebut!

‘Amru bin ‘Ash berkata: “tradisi apakah itu?”

“jika masuk tanggal sebelas bulan ini, kami akan mencari seorang perawan ke rumah orang tua mereka. Lalu kami  minta kedua orang tuanya untuk memberikan perawan itu kepada kami dengan suka rela. Kami hiasi perawan itu dengan baju dan hiasan yang paling indah, kemudian kami lemparkan dia ke sungai Nil ini,” jawab penduduk.

Ini tidak mungkin dilakukan dalam Islam. Karena sesungguhnya Islam mengahpus tradisi lama,” kata ‘Amru bin Al-Ash.

Lalu mereka mengikuti apa yang dikatakan oleh Amr bin Al-Ash. Ternyta sungai Nil itu kering dan tidak mengalirkan air sedikit pun. Hingga kebanyakan penduduk berencana untuk melakukan hijrah.

Tatakala melihat kondisi yang demikian, ‘Amru bin Al-‘Ash menulis surat kepada Khalifah ‘Umar bin Khattab yang berada di Madinah. Dalam surat itu dia menerangkan bahwa mereka ditimpa musibah akibat apa yang saya katakan. Dan sesungguhnya saya  mengatakan kepada mereka bahwa Islam telah menghapus tradisi masa lalu.

‘Umar menulis kepada ‘Amr bin Al-‘Ash yang di dalamnya ada nota kecil. Dalam surat itu ‘Umar menulis:
إني قد بعثت إليك ببطاقة في داخل كتابي فألقها في النيل
sesungguhnya saya telah mengirim kepadamu dalam suratku satu nota kecil maka lemparlah nota kecil itu ke Sungai Nil.

Tatkala surat Umar sampai di tangan Amr bin Al-Ash, dia mengambil nota kecil itu dan membukanya. Ternyata di dalamnya berisis tulisan sebagai berikut.
من عبد الله عمر بن الخطاب أمير المؤمنين إلى نيل مصر أما بعد فإن كنت تجري من قبلك فلا تجر وإن كان الله يجريك فأسأل الله الواحد القهار أن يجريك
Dari hamba Allah, Amirul Mukminin, Umar bin Khattab. Amma Ba’du.

Jika kau (sungai Nil Mesir) mengalir karena dirimu maka janganlah engkau mengalir. Namun jika yang mengalirkanmu adalah Allah, maka Aku memohon kepada Allah yang Maha Esa lagi Maha Menundukkan untuk mengalirkanmu kembali.

‘Amr bin al-’Ash kemudian melemparkan nota kecil itu ke Sungai Nil. Allah Subhanahu Wata’ala akhirnya mengalirkan air Sungai Nil dengan kadar enam belas dzira’ (kurang lebih 8 m) dalam satu malam. Dengan terjadinya peristiwa itu, Allah telah menghancurkan tradisi jahiliyah dari penduduk Mesir hingga sekarang. 

Ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik dari kisah ini, di antaranya:
Pertama, bahwa tidaklah musibah yang menimpa kecuali atas kehendak Allah Ta’ala. Bahkan telah Allah tetapkan sebelum musibah tersebut terjadi. Tugas kita adalah membenarkan qadha’ (ketetapan) Allah tersebut serta bersabar atasnya. Allah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (QS. Al Hadid [57]: 22)
Kedua, Allah kabarkan terjadinya musibah (secara global) sebelum terjadi. Hikmahnya adalah agar kita lebih siap dan tidak sedih berlebihan ketika ditimpa musibah dan gembira hingga melampaui batas hingga sombong kepada Allah ketika diberikan nikmat. Allah berfirman
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita (berlebihan, pent) terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira (berlebihan) terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS. Al Hadid [57]: 23)
Ketiga, musibah bagi orang beriman adalah teguran dari Allah agar kita kembali kepada-Nya. Karenanya wajib bagi orang beriman meyakini bahwa dirinya, hartanya, dan semua yang dimilikinya adalah milik Allah dan setiap saat harus merelakannya ketika Allah mengambilnya. Maka disunnahkan lisannya mengucap istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, sesesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami pasti kembali kepada-Nya). Istir’ja berasal dari kata raja’a yang artinya kembali.  Sebagainya firman Allah:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
(orang yang bersabar) adalah orang yang jika mereka ditimpa musibah, mereka mengucap: sesesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami pasti kembali kepada-Nya (QS. Al-Baqarah [2]: 156)
Sebagaimana ucapan istirja’ maka hikmah terbesar dari setiap musibah adalah agar kita kembali ke jalan yang benar.  Caranya bertaubat. Berhenti dari setiap maksiat. Dan kembali taat. Jika kita jujur, terlampau banyak maksiat yang terjadi di negeri kita ini. Dan kemaksiatan terbesar adalah mencampakkan syariat Allah. Bukankah sistem politik, ekonomi, sosial-budaya kita dan seterusnya bukan sistem yang terlahir dari aqidah Islam?
Keempat, bagi orang beriman musibah sejatinya adalah cara Allah meninggikan derajatnya. Di lanjutan ayat pada surah al Baqarah di atas Allah berfirman:
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Mereka (orang yang bersabar ketika ditimpa musibah) itulah yang mendapat sholawat dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-Baqarah [2]: 157).
وَصَلَاةُ اللَّهِ عَلَى عَبْدِهِ: عَفْوُهُ وَرَحْمَتُهُ وَبَرَكَتُهُ وَتَشْرِيفُهُ إِيَّاهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ.
Sholawat Allah atas hamba-Nya adalah dengan memberikan ampunan, rahmat, keberkahan, kemuliaan  pada hamba-Nya baik di dunia dan akhirat. (al Jâmi’ li ahkâm al Quran li Imam al Qurthubi juz 2 hal. 177, Maktabah Syamilah)
Lalu Allah kembali mengulang kata rahmat pada ayat ini sebagai taukîd (penegasan) bahwa Ia benar-benar akan memberikan rahmat kepada hambanya yang sabar ketika ditimpa musibah. (al Jâmi’ li ahkâm al Quran li Imam al Qurthubi juz 2 hal. 177, Maktabah Syamilah)
Bagi orang yang bersabar ketika ditimpa musibah adalah Allah akan berikan pahala tanpa batas. Allah berfirman:
{ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ } [الزمر: 10]
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar yang ditetapkan pahala bagi mereka tanpa batas.(QS. Az-Zumar [39]: 10)
Dari hadis yang diriwayat Imam Anas bin Malik, Nabi bersabda:
تُنْصَبُ الْمَوَازِينُ فَيُؤْتَى بِأَهْلِ الصَّدَقَةِ فَيُوَفَّوْنَ أُجُورَهُمْ بِالْمَوَازِينِ وَكَذَلِكَ الصَّلَاةِ وَالْحَجِّ وَيُؤْتَى بِأَهْلِ الْبَلَاءِ فَلَا يُنْصَبُ لَهُمْ مِيزَانٌ وَلَا يُنْشَرُ لَهُمْ دِيوَانٌ وَيُصَبُّ عَلَيْهِمُ الْأَجْرُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Ditegakkan neraca timbangan-timbangan. Lalu didatangkan ahli sedekah,  maka dipenuhilah pahala untuk mereka berdasarkan timbangannya. Demikian pula untuk ahli shalat dan haji (ditimbang pahalanya, pent). Kemudian didatangkan orang yang tertimpa musibah, maka tidak ditegakkan atas mereka neraca timbangan dan tidak disebarkan bagi mereka diwan. Dan dicurahkan atas mereka pahala tanpa batas (al Jâmi’ li ahkâm al Quran li Imam al Qurthubi juz 15 hal 241, Maktabah Syamilah)
Khusus bagi kaum muslimin yang menjadi korban bencana alam seperti gempa maka Allah berikan kemuliaan bagi mereka dengan status syahid akhirat. Nabi Saw bersabda:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Syuhada ada lima: al-math’un (orang yang meninggal karena wabah penyakit menular), al-mabthun (orang yang meninggal karena sakit perut), al-ghariq (orang yang meninggal karena tenggelam), shahibul hadm (orang yang tertimpa bangunan), dan syahid di jalan Allah ‘Azza wa jalla (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Banjarmasin, 30 September 2018
Al Faqiil ilallah Wahyudi Ibnu Yusuf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB