Isbal, Haramkah?
APAKAH SOMBONG MENJADI ‘ILLAT PELARANGAN ISBAL?
Hukum seputar ibadah, makanan, akhlaq, dan pakaian tidak boleh
dicari-cari ‘illatnya. Apakah sombong menjadi ‘illat larangan isbal? (Aris,
Malang)
Secara bahasa, isbal artinya menurunkan. Ibnu
Manzhur mengatakan dalam Kitab Lisanul ‘Arab juz 6 hal. 163 : isbal artinya menurunkannya. Dan jika
dikatakan : adalah apabila ia memanjangkannya dan melabuhkan pakaiannya sampai
menyentuh tanah.
Secara syar’i, isbal
artinya memanjangkan sarung hingga di bawah mata kaki. Imam
Nawawi mengatakan :” Adapun sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
maknanya adalah memanjangkan ujungnya.” (Syarah Shahih Muslim juz 2 hal.
116, bab Ghalthu Tahrimil Isbalil Izari). Pengarang ‘Anunul Ma’bud mengatakan
arti hadits “ hati-hati engkau terhadap Isbal kain ” yaitu hati-hatilah engkau,
jangan menurunkan dan memanjangkannya di bawah mata kaki” (‘Aunul Ma’bud Syarah
Sunan Abi Daud juz 11 hal. 136 \ Kitabul Libas \ Bab Maa Ja’a Fii Isbalil
Izar).
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة ,فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد
ذلك منه ,فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم إنك لست تصنع ذلك خيلاء ,قال موسى فقلت لسالم أذكر عبد الله من جر إزاره قال
لم أسمعه ذكر إلا ثوبه (صحيح البخاري \ ج 3 \ ص 1340)
Artinya : Dari Abdullah Ibn Umar ra., ia berkata : Telah bersabda
Rasul SAW : “Barang siapa melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah
SWT tidak akan memandangnya pada hari kiamat”. Kemudian Abu Bakar berkata :
“Sesungguhnya seseorang mencela pakaianku karena ia (sarungnya) melorot,
kecuali aku memeganginya. Lalu Rasul SAW bersabda: Engkau bukanlah orang yang
melakukannya karena sombong”. Musa berkata : Saya berkata kepada Salim, bahwa
Abdullah (Ayahnya –pent) pernah mengatakan : “Barang siapa melabuhkan sarungnya
…. . Salim menjawab : Saya tidak mendengarnya mengatakan hal itu kecuali ……
pakaiannya” (HR. Imam Bukhori jilid 5\No. 5447\hal. 2183).
Ulama telah mengomentari hadist di atas dan hadist yang semakna.
Di antaranya adalah:
1.
Al-Hafidz Ibn Hajar menyatakan:
ويستفاد من هذا الفهم التعقب على من قال أن الأحاديث
المطلقة في الزجر عن الإسبال مقيدة بالأحاديث
الأخرى المصرحة بمن فعله خيلاء
Artinya :faedah yang diperoleh dari
pemahaman ini mengikuti pendapat dari kelompok yang mengatakan bahwa
hadis-hadis itu (yang menunjukkan) kemutlakan tentang dosa pada isbal terikat (muqayyadah) dengan dengan hadis-hadis lain yang
jelas bagi mereka yang melakukannya karena sombong (Lihat
Kitab Fath Al-bari jilid 10\hal. 259) .
2.
Imam Nawawi menyatakan:
ظواهر الأحاديث في تقييدها بالجرخيلاء يقتضي أن التحريم مختص بالخيلاء
Hadis-hadis itu secara dhohir memberi batasannya (taqyiid)
dengan melabuhkan pakaian karena sombong adalah menunjukkan bahwa
pengharaman dikhususkan karena sombong (Fath Al-bari jilid 10\hal. 259).
3.
Al-Hafidz Ibn Abdil Al-Barr
menyatakan:
قال أبو عمر
الخيلاء التكبر و هي الخيلاء و المخيلة يقال منه رجل خال و مختال أ شديد الخيلاء وكل ذلك من البطر والكبر والله
لا يحب المتكبرين ب ولا يحب كل مختال فخور وهذا الحديث يدل على أن من جر إزاره
خيلاء و لا بطر أنه لا يلحقه الوعيد ,أن جر الازار والقميص وسائر
الثياب مذموم على كل حال
Artinya : Ibn Umar berkata Al-Khuyala’ adalah Kesombongan
(Takkabur), yaitu Al-Khuyala’ dan Al-Makhilah. Dikatakan Rijal Khol wa Mukhtal
, artinya orang yang sangat sombong. Semua itu mencakup orang yang sombong dan
takabur (Al-Bathor wa Al-Kibr). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang menyombongkan diri dan Allah SWT tidak menyukai semua orang yang
menyombongkan diri dan bermegah-megahan. Hadis ini menunjukkan bahwa barang
siapa melabuhkan sarungnya karena sombong dan apabila tidak karena sombong,
maka ia tidak dikenai ancaman itu. Hanya saja melabuhkan sarung, gamis dan
seluruh jenis pakaian adalah tercela dalam semua keadaan (At-Tamhid li Abdil Al-Barr
jilid 4\hal. 288-289).
4.
Ibnu Ruslan menyatakan:
وَظَاهِرُ التَّقْيِيدِ
بِقَوْلِهِ : خُيَلَاءَ ، يَدُلُّ بِمَفْهُومِهِ
أَنَّ جَرَّ الثَّوْبِ لِغَيْرِ الْخُيَلَاءِ لَا يَكُونُ دَاخِلًا فِي هَذَا الْوَعِيدِ
Hadis-hadis ini secara dhohir memberi batasannya (taqyiid)
dengan redaksi khuyala’ (karena sombong). Hal ini menunjukkan pemahaman bahwa
melabuhkan sarung tanpa kesombongan tidaklah termasuk dan ancaman ini (Nailul
author li syaukani jilid 3 /hal 103)
Berdasarkan
beberapa pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa redaksi khuyala’ (sebagai
hal) merupakan taqyiid/muqayyad yang berfungsi untuk
membatasi kemutlakan hadist yang melarang isbal. Taqyid/muqayyad adalah
lafadz muthlak yang keumuman pada jenis kemutlakkannya telah dihilangkan, baik
secara keseluruhan maupun sebagian (al lafdzu al muthlaqu al muzaalu
syuyu’uhu fi jinsihi kulliyan au juz’iyyan (Taisiru alwushuli ilal ushul
hal. 232)
Di antara
bentuk muqayyad adalah sifat. Sifat yang dimaksud dalam pembahasan ini bukanlah
sifat dalam pembahasan ilmu nahwu yaitu na’at. Akan tetapi sifat dalam
pembahasan ini adalah setiap sifat yang dapat menghilangkan setiap bagian dari
keumuman lafadz mutlak pada jenisnya. Sehingga sifat dapat berupa keterangan
waktu (dhorof zaman), jar-majrur,
atau sifat/na’at dalam istilah ilmu nahwu. (Taisiru alwushuli ilal
ushul hal. 233). Pengarang kitab Taisiru al wushuli ilal ushul Syaikh Atha’ Ibnu Khalil memang tidak
menyebutkan hal sebagai salah satu bentuk sifat yang dapat menjadi muqayyad,
akan tetapi beliau juga tidak menyatakan secara tegas bahwa hal tidak
dapat menjadi muqayyad. Oleh karena itulah kami berkesimpulan bahwa hal dapat menjadi muqayyad sebagaimana
pendapat ulama yang pendapatnya kami kutip di atas. Demikian pula dalam kitab
ushul fikih hal dikategorikan sebagai sifat yang dapat menjadi taqyid.
Secara spesifik Syaikh Walid bin Rasyid bin Walidan berkenaan hadist isbal
menyatakan bahwa ini merupakan pembahasan mutlaq-muqayyad, dimana
kemutlakan hadist harus dipahami dengan muqayyadnya, yaitu isbal hanya
diharamkan jika disertai dengan kesombongan (Risalatu fi syarhi al-muthlaq
wal muqayyad hal. 11)
Sebagai tambahan, jika ada dalil
yang mutlaq dan muqayyad pada hukum dan sebab yang sama seperti pada kasus isbal ini maka dalil mutlak
harus dipahami dan diamalkan dengan dalil yang muqayyad (Taisiru
alwushuli ilal ushul hal. 235, Syarah al waroqot di ushulil fiqhi hal. 108, al
wadhih fi ushulil fiqhi hal. 332).
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.
Khuyala’ (sombong) bukanlah ‘illat larangan
isbal, tetapi taqyiid/muqayyid. Sehingga hadist-hadist ini tidak
mengubah kaidah bahwa hukum yang berkaitan dengan ibadah, makanan, pakaian, dan
akhlak tidak ada ‘illatnya dan tidak boleh mencari-cari ‘illat hukumnya.
2.
Isbal tidaklah haram secara mutlak. Isbal
hukumnya haram jika disertai kesombongan, jika tidak disertai kesombongan
tidaklah haram karena mengamalkan dalil yang muqayyad atas dalil mutlak.
Yogyakarta,
26 April 2011
Wahyudi
Abu Syamil Ramadhan
Komentar
Posting Komentar