BENARKAH DEMOKRASI SESUAI DENGAN ISLAM?



BENARKAH DEMOKRASI SESUAI DENGAN ISLAM?

Pendahuluan

Tahun 2014 kembali menjadi tahun pesta demokrasi. Sebagai umat terbesar umat Islam menjadi sangat diperhitungkan dalam setiap event pesta demokrasi. Untuk itulah berbagai upaya dilakukan agar umat Islam mendukung demokrasi. Berbagai argumentasi dibuat untuk mendukung demokrasi. Ada sebagian kalangan, bahkan tokoh Islam yang menyatakan bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Dengan alasan inti dari demokrasi adalah musyawarah, padahal Islam sangat menganjurkan bahkan mememerintahkan untuk senantiasa bermusyawarah. Alasan lain adalah bahwa demokrasi sekedar mekanisme pemilihan pemimpin, padahal Islam mewajibkan adanya pemimpin. Ada juga yang berpendapat bahwa demokrasi adalah persoalan pemerintahan yang bersifat duniawi, padahal nabi menyatakan “kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”. Benarkah alasan-alasan di atas?


Syuro = Demokrasi
Syura adalah mengambil pendapat (akhdh ar-ra’y[i]). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (thalab ar-ra’y[i] min al-mustasyâr). Syura dilakukan oleh setiap amir (pemimpin) terhadap orang-orang yang dipimpinnya, misalnya oleh seorang khalifah, komandan pasukan (qâ’id), atau oleh setiap orang yang mempunyai kewenangan/otoritas (shâhib ash-shalahiyah). Syura dapat dilakukan juga di antara suami-istri, misalnya untuk memusyawarahkan penyapihan anak mereka sebelum dua tahun (lihat QS al-Baqarah [2]: 233). 

Memang benar terdapat dalil dalam al quran yang memerintahkan untuk melakukan musyawarah, di antaranya firman Allah SWT
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imron: 159)

Perintah pada ayat di atas ditujukan kepada Nabi saw. Pada praktiknya nabi saw hanya melakukan musyawarah dengan para shahabat pada perkara yang sifatnya teknis untuk menerapkan  hukum syariat, bukan musyawarah untuk menolak syariat. Dalilnya adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah saw. ketika Perang Uhud. Saat itu Rasulullah saw. dan para Sahabat senior berpendapat bahwa kaum Muslim tidak perlu keluar dari Kota Madinah. Adapun mayoritas Sahabat--khususnya para pemudanya--berpendapat bahwa kaum Muslim hendaknya keluar dari Kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi, pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan, keluar Kota Madinah atau tidak. Karena mayoritas Sahabat berpendapat untuk keluar Kota Madinah, maka Nabi saw. mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para Sahabat senior. Beliau akhirnya berangkat menuju Uhud di luar Kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy (Lihat kisah Perang Uhud ini selengkapnya dalam Sîrah Ibnu Hisyâm, III/67; Thabaqat Ibnu Sa’ad, II/38; Târîkh Ibnu Khaldun, II/765; Zâd al-Ma’âd, II/62; Fath al-Bâri, XVII/103).

Nabi tidak pernah bermusyawarah apalagi berkompromi dengan sahabat sekalipun dalam hal penentuan status hukum dan wajibnya pelaksanaannya. Dalilnya adalah karena Rasulullah saw. pernah mengesampingkan pendapat kaum Muslim yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum Muslim waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Namun, toh Rasulullah saw. menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. bersabda kepada mereka:
أَنَا عَبْدُ اللّهِ وَرَسُولُهُ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ ، وَلَنْ يُضَيّعَنِي
Aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Allah tidak akan mengabaikanku (Sirah Nabawiyyah li ibni Katsir dan sirah Ibnu Hisyam).

Bandingkan dengan demokrasi! Dalam demokrasi semuanya dimusyawarahkan. Islam hanya dijadikan sebagai salah satu pilihan, bukan satu-satunya pilihan. Bahkan tak jarang ayat-ayat Allah diolok-olok dan al quran diabaikan dalam sidang-sidang di parlemen. Jika ada yang menyampaikan argument berdasarkan al quran dan as sunnah ditertawakan, bahkan disuruh pindah ke Afghanistan saja. Na’udzubillah.
Inilah perbedaan yang sagat tegas antara syuro dalam Islam dengan musyawarah dalam demokrasi. Menyamakan syuro dalam Islam dengan musyawarah dalam demokrasi sama saja dengan menyamakan antara manusia dengan bekantan hanya karena sama-sama punya hidung.

Demokrasi dan Pemilihan Pemimpin

Memang benar Islam sangat memperhatikan soal kepemimpinan. Para sahabat bahkan mendahulukan memilih pengganti Rasulullah dalam hal kepemimpinan politik dari menguburkan jenazah manusia paling mulia ini. Jangankan untuk jumlah yang banyak dalam jumlah yang kecilpun saat melakukan safar Nabi memerintahkan untuk menunjuk amir safar. Dari Ibnu Umar Nabi bersabda:
لا يحل لثلاثة يكونون بفلاة من الأرض إلا أمروا عليهم أحدهم
Tidak halal bagi tiga orang yang melakukan safar di muka bumi kecuali mereka menggangkat satu pemimpin diantara mereka (Hr. Ahmad, lihat juga as siyasah asy syar’iyyah li Ibni Taimiyah)
Hanya saja para ulama mensyaratkan memilih pemimpin dengan ‘syarat personal’ yang melekat pada pribadi pemimpin tersebut dan ‘syarat sistem’. Syarat yang melekat pada diri pemimpin tersebut adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, mampu, dan adil. Sedang ‘syarat sistem’ adalah bahwa pemimpin tersebut dipilih untuk menjalankan al quran dan as-sunnah. Syarat inilah yang menjadi lafadz bai’at yang dilakukan shahabat terhadap Nabi dan pada para khalifah sesudahnya. Ibnu Umar pernah membai’at Abdul Malik bin Marwan dengan tulisan:
أقر بالسمع و الطاعة لعبد الله عبد الملك أمير المؤمنين على كتاب الله و سنة رسوله مااستطعت

Aku berikrar untuk mendengarkan dan menaati Abdullah Abdul Malik bin Marwan sebagai amirul mukminin atas dasar Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya selama aku mampu.”(ajhizah daulah al-khilafah fil hukmi wal idarah hlm. 36, al ‘awaashim min al qawaashim karya al qadhi abu bakar al ‘arabi 1/210)

Ketentuan ini jauh berbeda dengan demokrasi, dimana siapapun boleh menjadi pemimpin tidak peduli apakah ia perempun, fasik, dzalim, bahkan kafir sekalipun. Demokrasi juga tidak mempersoalkan jika sistem yang akan diterapkan pemimpin tersebut adalah sistem kufur yang bertentengan dengan syariat Allah.

Kalian lebih Mengerti Urusan Pemerintahan

Memang benar nabi pernah bersabda:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian (Hr. Muslim dari Anas)
Dengan dalil ini mereka (pendukung demokrasi) berdalih bahwa urusan pemerintahan dan sistem politik tidak masalah bersumber dari manusia, karena manusia dianggap lebih tahu urusan keduniaannya. Bahkan demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik. Sesungguhnya pandangan ini pandangan yang keliru, karena seakan menggangap Islam tidak mengatur sistem politik dan pemerintahan. Padahal banyak persoalan manusia adalah persoalan keduniaan, seperti pendidikan, ekonomi, peradilan, dsb. Apakah semua diserahkan pada manusia? Lantas dimana letak kesempurnaan Islam? Padahal Allah SWT telah menegaskan kesempurnaan Islam, al quran adalah petunjuk buat manusia yang menjelaskan segala sesuatu. 

Pihak yang berpendapat seperti ini biasanya tidak memahami latar belakang munculnya sabda Nabi di atas. Padahal sababul wurud berfungsi untuk menjelaskan konteks (maudhu’) sebuah sabda Nabi. Hadist di atas berkaitan dengan peristiwa penyerbukan kurma. Saat nabi melewati satu kaum yang sedang menyerbukkan kurma, lalu beliau menjelaskan cara menyerbukan kurma menurut beliau. Apa yang terjadi? Saat musim panen ternyata produksi kurma kaum tersebut justru turun. Kemudian mereka mengadu kepada Nabi, lalu nabi menyampaikan sabdanya di atas. Imam Nawawi menegaskan bahwa konteks hadist di atas adalah urusan dunia dan penghidupan bukan persoalan tasyri (pensyari’atan/perundang-undangan). (Syarhu An Nawawi ‘ala Muslim 8/85)

Hakikat Demokrasi; Sistem Kufur

Demokrasi adalah istilah asing dari Yunani. Pengertiannya adalah adalah hukum masyarakat/rakyat. Artinya rakyat yang berhak membuat hukum atas dirinya sendiri (Haqiqatu ad-dimuqrathiyah wa annaha laisat minal islam, Syaikh al ‘allamah Dr. Muhammad Aman bin ‘Ali al Jamiy hlm. 14). Lebih lanjut beliau menyatakan demokrasi memiliki dua unsur pokok yaitu: 1). Kedaulatan di tangan rakyat; dan 2). Kebebebasan yang dijamin UU. Baik kebebasan beragama, berperilaku, berpendapat, kepemilikan, dll (Haqiqatu ad-dimuqrathiyah wa annaha laisat minal islam, Syaikh al ‘allamah Dr. Muhammad Aman bin ‘Ali al Jamiy hlm. 15-21)
 
Demokrasi bukan semata mekanisme pemilihan. Demokrasi adalah system politik yang dibangun berdasarkan asas memisahkan agama dari kehidupan (fashlu ad diin ‘anil hayah) dimana rakyat adalah pemilik kedaulatan. Rakyatlah yang menentukan/menetapkan hukum apa yang yang hendak diambil, rakyat pula yang memiliki hak untuk menolak hukum. (Naqdhu al jadzur al fikriyyah li ad-dimuqrathiyyah al gharbiyyah. Pror. Dr. Muhammad Ahmad ‘Ali Mukti tahun 2002. Hlm. 31)

Dr. Mahmud al Khalidi. Guru besar Tsaqafah Islamiyyah Fakultas Adab Univ. Yarmuk menyatakan: “Tidak ada demokrasi tanpa kedaulatan umat (rakyat). Tidak ada kedaulatan rakyat karena lenyapnya demokrasi “. (Naqdhu an nidzami ad-dimuqrathiy hlm. 26)

Ringkasnya demokrasi adalah menjadikan rakyat (manusia) sebagai sumber hukum. Dengan kata lain kedaulatan (as siyadah) di tangan manusia. Pada saat yang sama manusia merampas hak Allah. Merampas hak Allah sebagai penentu sesuatu berstatus terpuji dan tercela, baik dan buruk,  halal dan haram. 

Padahal sejatinya kedaulatan hanya milik Allah. Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Hak menentukan hukum  itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS: Yusuf: 40)

Pada faktanya kedaulatan rakyat diwakilkan pada siapa? Wakil rakyat. Merekalah yang menentukan baik buruk, terpuji tercela, legal tidak legal, bahkan halal dan haram. Miras bisa halal atas nama suara terbanyak, zina bisa halal atas nama demokrasi, menjual SDA pada asing bisa halal dan legal atas nama kepentingan rakyat. Jika kita membenarkan maka itulah kesyirikan, karena menjadikan manusia sebagai penentu halal-haram, hal ini sama saja dengan menjadikan mereka tuhan-tuhan selain Allah swt. Allah berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah  (QS: at Taubah: 31)

Adalah Adi bin Hatim, sahabat nabi yang sebelumnya beragama Nashrani. Mendengar ayat ini, ia protes dengan menyatakan: sesungguhnya mereka (Yahudi dan Nashrani) tidak pernah menyembah rahib dan pendeta mereka (إنهم لم يعبدوهم). Apa jawaban nabi:
بلى، إنهم حرموا عليهم الحلال، وأحلوا لهم الحرام، فاتبعوهم، فذلك عبادتهم إياهم
Ya, akan tetapi sesungguhnya mereka (rahib dan pendeta) mengharamkan yang halal, menghalalkan yang haram. Maka kalian mengikuti mereka, itulah penyembahan mereka (yahudi dan nashrani) pada rahib dan pendetanya (HR. Tirmidzi)

Demokrasi juga tidak pernah menghitung isi kepala. Demokrasi hanya menghitung jumlah kepala. Suara seorang ulama di bilik suara sama dengan seorang preman bahkan koruptor. Ukurannya adalah suara terbanyak, padahal jika kita mengikuti ‘suara terbanyak’ dalam penentuan hukum jelas akan memalingkan dari petunjuk Allah. Allah berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (QS. Al an’am: 116)

Penutup

Demokrasi beranggapan bahwa jika hak hukum diserahkan pada seorang raja maka ia akan diktator. Maka dibagilah kekekuasan dengan konsep trias politika. Tapi apakah otomatis tidak ada kelemahan?  Pada saat manusia diberikan kedaulatan untuk membuat hukum. Ada dua kelemahan mendasar yang ada pada manusia, tidak hanya secara individual tapi juga secara kolektif,  yaitu kepentingan dan keterbatasan/kelemahan. Manusia, siapapun dia pasti memiliki kepentingan.  Manusia siapapun dia pasti memiliki keterbatasan. 

Kepentingan inilah yang menjadikan banyak undang-undang pesanan. Ada pasal-pasal yang diperjual-belikan. Tidak hanya pada kepentingan pengusaha sebagai penyokong dana kampanye, bahkan kepentingan asing. Menurut Eva Sundari sejak reformasi ada 76 draft UU yang dibuat asing. Akhirnya demokrasi ‘pesanan pemilik modal dan asing’ inilah yang merugikan rakyat.
Manusia juga lemah dan terbatas. akal manusia terbatas. Akal manusia tidak mampu menjangkau hakikat baik dan buruk, terpuji dan tercela, apalagi halal dan haram. Jika manusia dibiarkan membuat aturan sendiri tanpa bimbingan wahyu maka yang dihasilkan adalah aturan yang yang kacau dan merusak.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (QS. Al Ahzab: 72)
Wallahu ta’ala ‘alam bi shawab
Banjarmasin,  pukul 00.05 wita 11 Rabi’ul akhir 1435 H/11  Februari 2014
Al faqiir ila rahmatillah Wahyudi Abu Syamil Ramadhan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB