ORANG CERAS, MUHASABAH DIRI SETIAP SAAT


KHUTBAH JUM’AT
ORANG CERAS, MUHASABAH DIRI SETIAP SAAT

Baginda Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Syaddad bin Aus ra.
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
 "Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Orang yang lemah (akalnya) adalah orang yang mengikuti hawa nafsunnya dan beranggan-angan mendapat surga dan ampunan Allah ”(HR at-Tirmidzi).


Di antara pengertian “orang yang mengendalikan hawa nafsunya” (man dana nafsahu) dalam hadis di atas adalah orang yang selalu menghisab/menghitung-hitung dirinya di dunia sebelum dirinya dihisab pada Hari Kiamat. 

Terkait dengan hadis ini Umar bin Al-Khatthab ra, pernah berkata:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا
”Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab oleh Allah SWT kelak. Bersiaplah menghadapi Hari Perhitungan yang amat dahsyat. Sesungguhnya hisab pada Hari Kiamat akan terasa ringan bagi orang yang selalu menghisab diri ketika di dunia.”(Al-Mubarakfuri, Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jami’at At-Tirmidzi).

Muhasabah (menghisab diri), sebagai salah satu pesan inti dari hadis di atas, sangatlah penting dilakukan oleh setiap Muslim. Tentu tak cukup setahun sekali di akhir atau awal tahun. Namun, setiap hari. Bahkan setiap waktu. 

Dengan sering melakukan muhasabah, ia akan mengetahui berbagai kelemahan, kekurangan, dosa dan kesalahan yang dilakukan. Dengan itu, ia akan terdorong untuk selalu melakukan perbaikan diri dari waktu ke waktu.

Sayangnya, karena berbagai kesibukan,  kita sering tak sempat lagi ber-muhasabah diri. Waktunya habis oleh ragam aktivitas keseharian yang melenakan. Ini adalah musibah. Betapa tidak. Dengan jarangnya ber-muhasabah seorang Muslim sering merasa tidak ada yang kurang. Padahal boleh jadi, imannya makin menipis. Ketakwaannya makin terkikis. Amal shalihnya minimalis. Semangat dakwahnya senin-kamis. Akhlaknya tak karuan. Mulai sering muncul ketidakikhlasan, ketidaktawadukan, ketidakwara’an, dan ketidakamanahan

Akibat yang lebih menakutkan adalah merasa tidak berdosa atas kemaksiatan yang dilakukan.  Saat amal shalihnya semakin berkurang. Saat harta yang diperoleh adalah harta haram. Selanjutnya, tak lagi merasa menyesal saat sering meninggalkan shalat berjamaah. Saat jarang melakukan shalat malam. Saat shalat subuhnya kesiangan. Saat berpuasa sunnah terabaikan. Saat membaca al-Quran tak lagi jadi amal harian. Saat berdoa yang dipanjatkan garing, kering dan tanpa pemaknaan. Tentu, semua itu, sekali lagi karena jarangnya ia melakukan muhasabah diri.

Kita tampaknya perlu merenungkan kembali keteladanan Baginda Nabi Muhammad saw, dan para sahabat beliau yang mulia. Baginda Nabi Muhammad saw. pernah semalaman tidak bisa tidur karena sebutir kurma-hanya sebutir kurma-yang terlanjur beliau makan. Pasalnya, belakangan beliau berpikir bahwa kurma itu mungkin bagian dari kurma sedekah yang disediakan untuk fakir-miskin.

Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, pernah memuntahkan kembali makanan, yang baru beliau ketahui, ternyata merupakan pemberian dari tukang ramal. Saat beliau ditanya, mengapa berlaku demikian, beliau menjawab, “Andai untuk memuntahkan makanan itu saya harus menebusnya dengan nyawa saya, saya pasti akan melakukannya. Sebab, saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,
من نبت لحمه من سحت فالنار أولى به
”Badan yang tumbuh dengan makanan yang haram maka api neraka lebih baik baginya.’ Saya sangat khawatir dengan itu.” (Kanz Al-‘Umal).

Hal yang sama dilakukan oleh Umar bin Al-Khatthab ra. Beliau pernah memuntahkan kembali air susu yang beliau minum, karena baru tahu, bahwa ternyata air susu itu berasal dari unta sedekah. Seketika beliau memasukkan jarinya ke mulutnya dan memuntahkan kembali air susu itu (Imam Malik, Al-Muwaththa).

Diriwayat pula, pada zaman Khalifah Utsman bin Affan ra, seorang Anshar sedang shalat di tengah-tengah kebunnya. Lalu pandangannya tertuju pada buah-buahan ranum yang bergantungan di dahan-dahan pepohonan. Usai shalat, ia pun menyesal. Ia lalu segera mewakafkan kebun miliknya itu demi ‘menebus’ kesalahannya (Imam Malik, Al-Muwaththa’).

Sepenggal kisah di atas--yang benar-benar nyata--mungkin bagi kita semacam kisah-kisah ‘manusia langit’ yang sepertinya mustahil kita teladani. Anggapan semacam itu sesungguhnya hanyalah menunjukkan, bawah kita benar-benar sudah sangat jauh dengan keteladanan Baginda Nabi saw., para sahabat dan generasi salafush-shalih dulu. Mengapa? Karena mungkin--salah satunya--kita jarang melakukan muhasabah. Kalaupun kita melakukannya, mungkin itu kita lakukan setahun sekali, saat pergantian tahun atau saat ‘berulang tahun’, saat hari raya atau mungkin saat terkena musibah. Padahal dosa dan kemaksiatan kita lakukan setiap hari, bahkan mungkin setiap waktu. Tentu, semua dosa dan kemaksiatan itu sangat mudah kita lupakan jika muhasabah yang kita lakukan hanya setiap akhir tahun. 

Untuk itu, marilah kita melakukan muhasabah setiap hari atau setiap waktu. Hanya dengan itulah kita akan menjadi pribadi yang selalu lebih baik dari waktu ke waktu. Allah Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri merenungkan apa diperbuatnya untuk hari besok (hari kiamat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan (QS. al Hasyr [59]: 18)
Wa ma tawfiqi illa billah wa ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi unib.

Diedit dan diringkas dari tulisan Ustadz Arief B.Iskandar
Banjarmasin, 03 Januari 2020. Al faqiir ilallah Wahyudi Ibnu Yusuf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAKWAH, FARDHU ‘AIN ATAU FARDHU KIFAYAH?

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB