PERBEDAAN ANTARA ‘ILLAT DENGAN SEBAB
PERBEDAAN ANTARA ‘ILLAT DENGAN SEBAB (AS-SABAB)
1.
Ditinjau dari segi pengertian, ‘illat adalah sesuatu yang menjadi tujuan
ditetapkannya hukum, dengan kata lain ‘illat merupakan pemicu/dasar/latar
belakang disyari’atkannya hukum. Sebagai contoh terlalaikannya shalat jum’at (ilhaau
as-shalah al-jumu’ah) menjadi ‘illat diharamkannya berjual-beli saat adzan
berkumandang. ‘illat ini digali dari firman Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli (QS.
Al-Jumu’ah [62]: 9)
Sedangkan as-sabab (sebab) tanda/indikator mengenai kapan hukum
harus dilaksanakan. Sebagai contoh tergelincirnya matahari menjadi tanda atau indikator
masuknya pelaksanaan waktu shalat jum’at. Sebagaimana hadist dari Salamah bin
akwa’, dia berkata:
كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
"Kami shalat Jum'at bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ketika matahari tergelincir. Setelah itu kami pulang dalam keadaan
masih perlu mencari-cari naungan untuk tempat berlindung."(HR. Muslim no.
1423)
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa ‘illat adalah dasar/alasan
pensyaraiatan hukum sedangkan as-sabab bukan alasan/dasar pensyaraiatan hukum
melainkan hanya tanda kapan pelaksanaan hukum yang telah disyaraiatkan oleh
dalil yang lain. Tergelincirnya waktu bukan menjadi pemicu/dasar mengenai
wajibnya shalat jum’at. Akan tetapi kewajiban shalat jumat ditetapkan
berdasarkan mantuq dari ayat 9 surah al-jumu’ah di atas.
Demikian pula tergelincirnya matahari merupakan sebab (waktu)
pelaksanaan shalat dzuhur. Sebagaimana firman Allah SWT:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (QS.
Al-Isro’[17]:78).
Akan tetapi wajibnya shalat lima waktu (termasuk dzuhur) tidak
didasarkan pada tergelincirnya matahari akan tetapi berdasarkan dalil yang
lain.
Contoh yang lain adalah terlihatnya hilal (bulan baru) merupan
sebab kapan shaum ramadhan mesti dilaksanakan, berdasarkan hadist nabi:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah kalian karena melihat hilal (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan hukum tentang wajibnya shaum tidak ditetapkan berdasarkan
dalil ini, tetapi dengan dalil lain, diantaranya perintah Allah dalam surah
al-Baqarah ayat 183.
2.
Ditinjau dari segi hubungannya dengan hukum syariat dan
konsekuensinya. ‘illat menempel pada hukum dengan konsekuensi jika ‘illatnya
ada maka hukum berlaku, sedang jika ‘illatnya tidak ada maka hukum yang
berkaitan dengan ‘illat tidak berlaku. Sedangkan as-sabab berada sebelum
terwujudnya hukum. Jika sebab ada/terpenuhi maka hukum wajib dilaksanakan (jika
status hukumnya wajib, seperti shalat dan shaum ramadhan). Akan tetapi jika
sebab tidak ada maka pelaksanaan hukum saat itu tidak wajib, meski kewajiban
tidak gugur (dalam arti jika sebab terpenuhi maka kewajiban tersebut tetap
harus dilaksanakan). Sebagai contoh hukum shalat jum’at adalah wajib, hukum
wajibnya shalat jumat senantiasa tetap mengikuti dalil yang menegaskan
kewajibannya. Hanya saja kapan waktu wajib pelaksanaannya bergantung pada
datangnya sebab yakni tergelincirnya matahari. Jika matahari telah tergelincir
maka wajib pelaksanaanya telah jatuh, tetap jika matahari masih ditengah langit
(belum tergelincir) maka waktu pelaksanaannya belum jatuh.
3.
Ditinjau dari sisi cakupan pemberlakuannya. Cakupan pemberlakuan
‘illat tidak hanya terbatas pada hukum yang disebutkan dalam nash, akan tetapi
dapat diterapkan pada kasus-kasus lain yang berkesesuaian ‘illatnya. Sebagai
contoh ‘illat telalaikannya shalat jum’at tidak hanya berlaku untuk larangan
jual-beli, akan tetapi juga kasus-kasus lain yang dapat menghalangi orang untuk
melaksanakan shalat jumat seperti proses belajar mengajar, jasa taksi angkot,
dsb. Sedangkan sebab hanya berlaku untuk kasus khusus yang tercantum dalam
nash. Tergelincirnya matahari hanya menjadi sebab untuk jatuhnya pelaksanaan
shalat dzuhur atau jum’at dan tidak bisa dijadikan sebab untuk waktu shalat
yang lain.
Daftar Rujukan:
Ahmad Labib. tt. Al-Muhktar fi ushuli al-fiqh hal 43-44.
Surabaya: Ma’had ‘Umdatul Ummah
‘Atha Ibnu Khalil. 2000.Taisiru al-wushul ilal ushul hal.
104-105. Beirut: Darul Ummah
Muhammad Husain Abdullah. Al-Wadhih fi ushuli al fiqh hal.
129. Beirut: Darul Bayariq
Banjarmasin, 9 Syawal 1432 H/ 7 September 2011, pukul 23.53 Wita
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Komentar
Posting Komentar