HUKUM MEMBUJANG


HUKUM MEMBUJANG (TIDAK MENIKAH)

Terdapat hadis dari Qatâdah yang menuturkan riwayat dari al-Hasan, yang bersumber dari Samurah:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ التَّبَتُّلِ

“Bahwa Nabi SAW telah melarang hidup membujang.” (HR Ahmad no. 19329)
 

Tabattul  yang dimaksud dalam hadis di atas adalah:
معنى التبتل الانقطاع عن النكاح وما يتبعه من الملاذ إلى العبادة
Tabattul maknanya adalah memutuskan untuk tidak menikah (memutuskan untuk terus membujang) dan menjauhkan diri dari kenikmatan pernikahan, semata-mata untuk fokus beribadah saja.(an-Nizham al-Ijtima’i fil Islam hal. 103, Faidhul qadhir 6/393, Nailul Authar 6/488)

Menurut Syaikh Ahmad al-Qashash, tabattul (membujang) karena semata untuk beribadah seperti ini hukumnya haram Tabattul seperti ini adalah tabattul yang dijalani para rahib yahudi dan pendeta Nasrani serta diikuti oleh para sufi yang mengklaim bahwa dengan tabattul mereka akan lebih dekat kepada Allah SWT. Menurut mereka mengekang kenikmatan-kemikmatan jasadiyah adalah cara untuk makrifat dan dapat bertemu dengan ruhul ‘ala (ruh yang tertinggi) (Lihat terjemahan kitab nasy’ul hadratil Islam, Ahmad al Qashash hal. 296)

Namun membujang (tidak menikah) dengan selain alasan menjalani kenikmatan ibadah, hukumnya makruh.  Terdapat hadis  dari Abu Yahya, Nabi bersada:
من كان موسرا لان ينكح فلم ينكح فليس منا
Artinya: siapa saja yang diberikan kemudahan (mûsir) untuk menikah tapi dia tidak menikah maka di tidak termasuk golongan kami (HR. Baihaqi 7/78, al-mu’jam al-kabiir 22/366, al-mu’jam al-aushath 1/538)
Dalam hadis di atas memang terdapat kecaman “tidak termasuk golongan kami” dan  bagi orang yang mampu menikah namun tidak menikah. Namun kecaman ini tidak bersifat tegas (ghairu jazm) karena terdapat indikasi (qarinah) bahwa Nabi saw mendiamkan sebagain sahabat yang mampu namun tidak menikah. Maka dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum membujang bagi orang yang mampu adalah makruh, tidak haram.(Taisirul wushul ilal ushul hal. 18)

Ukuran mampu adalah kelonggaran ekonomi. Imam al Baihaqi pada saat mensyarah hadis diatas menyatakan bahwa yang dimaksuh muusir adalah kaya dan memiliki kelonggaran harta (Syu’abul iman lil baihaqi 11/461, Ma’rifatu ash shahabah li Abi Nai’im 21/120). 

Dari hadis ini juga dapat ditarik pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah) bahwa bagi orang yang tidak memiliki kesiapan ekonomi (harta) maka baginya tidaklah makruh untuk membujang/tidak menikah. Karena pada hadis ini terdapat mafhun syarat berupa huruf syarat “man” barang siapa. Padahal mafhum syarat adalah salah satu bentuk mafhum mukhalafah (al wadhih fi ushulil fiqh hal. 303)

Dalam konteks inilah Nabi SAW mensyaratkan mampu untuk dapat menikah sekaligus memberikan solusi praktis apabila tidak mampu menikah yaitu dengan berpuasa. Nabi saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: Wahai para pemuda siapasaja yang mampu dari kalian maka menikahlah dan jika tidak mampu (hendaklah) baginya berpuasa, karena puasa baginya adalah perisai (Hr. Bukhari no. 4677 dan Muslim no. 2486

Sebagai tambahan, perlu dicatat bahwa seorang mukmin harus yakin bahwa Allah SWT yang Maha Kaya akan mencukupkan rizki orang yang menikah, Allah SWT berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. An Nur [24]: 32)

Orang yang ingin menikah karena menjaga kehormatannya adalah satu dari tiga orang yang akan ditolong oleh Allah yang Maha Kaya. Dari Abû Hurayrah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda:
ثلاثة حق على الله أن يعينهم : المكاتب الذي يريد الأداء ، والمجاهد في سبيل الله ، والناكح يريد أن يستعف

“Ada tiga golongan orang yang wajib bagi Allah untuk menolong mereka:  mukâtab (budak yang mempunyai perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya sehingga merdeka) yang ingin membayar tebusan dirinya,  seorang mujahid (yang sedang berperang) di jalan Allah; orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan  (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân)

Banjarmasin, 15 Maret 2020 / 21 Rajab 1441 H
Al faqiir ilaLllah Wahyudi Ibnu Yusuf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

ATAP RUMAH MENJOROK KE JALAN

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB