Qadha dan Fidyah Puasa
MENGQADHA PUASA YANG DITINGGALKAN
SELAMA BERTAHUN-TAHUN,
WAJIBKAH MEMBAYAR FIDYAH?
Bagi orang yang tidak melaksanakan puasa selama
bertahun-tahun tanpa ‘udzur (halangan) padahal ada kemampuan dan kesempatan
untuk melakukannya, wajibkah ia mengqadha disertai membayar fidyah?. Inilah
pendapat tiga madzhab fikih berkaitan dengannya. Tulisan ini adalah terjemahan
bebas dari soal-jawab Amir Hizbut Tahrir al ‘âlim al jalîl as-Syaikh ‘Atha Ibn
Khalil Abu Rasytah di facebook. Semoga Allah senantiasa menjaga beliau. Semoga
bermanfaat
Belajar menerjemah: Wahyudi Ibnu Yusuf
Banjarmasin, 9 Ramadhan 1440 H
Soal
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Wahai syaikh, saya ingin mengetahui hukum Allah terkait
mengqadha puasa agar hati saya menjadi tenang. Saya di waktu jahiliyah (belum
bertaubat) tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan sengaja tanpa ada ‘udzur
(halangan yang dibenarkan syariat). Kemudian alhamdulillah, Allah merahmatiku hingga saya bertaubat. Bagaimana
saya mengqadha puasa yang ditinggalkan. Apakah ada kewajiban membayar fidyah
setiap tahunnya ataukah cukup mengqadha saja. Saya berharap anda ,wahai Syaikh
kami menjawab pertanyaan ini.
Jawab
Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh
Wahai saudaraku, anda menyatakan bahwa anda tidak mengerjakan
puasa secara sengaja selama waktu tertentu tanpa ada ‘udzur. Kemudian setelah
sekian tahun berlalu, Allah memberi anda hidayah pada jalan yang lurus. Lalu anda
berpuasa... Atas dorongan takwa anda ingin mengqadha puasa Ramadhan yang tidak
dikerjakan sebelumnya. Sungguh, saya memuji Allah atas nikmat hidayah yang
Allah berikan pada anda yang menghantarkan
pada sebaik-baik ketaatan hingga anda tidak mencukupkan dengan puasa
yang anda jalani setelah mendapat hidayah. Anda juga sangat bersemangat untuk
mengqadha puasa bulan Ramadhan yang ditinggalkan. Semoga Allah melimpahkan
berkahnya pada anda dan bagi anda sebaik-baik taubat. Semoga Allah menyempurnakan
nikmat dan rahmatnya pada anda. Aamiin
Saudaraku yang mulia, kami (beliau sebagai amir Hizbut
Tahrir) tidak mentabanni (adopsi) perkara ibadah. Kami persilakan perkara
ini bagi muslim untuk mengikuti pendapat
dari madzhab yang ada pada topik puasa
atau shalat..... Kami disini akan paparkan sebagian pendapat fikih terkait
mengqadha puasa dan hal-hal terkait yang semoga dengannya menjadikan dada anda
menjadi lapang dan hati menjadi tenang:
1. 1. Terdapat dalam kitab Nihâyah al-Mathlab fî Dirâyah
al-Madzhab, karya ‘Abdul Malik al Juwaini yang bergelar Imam al Haramain
(w. 478 H), beliau adalah ahli fikih madzhab Imam Asy Syafi’i:
“Siapa saja yang telah berlalu (tidak melaksanakan puasa) di
bulan Ramadhan dan memungkinkan untuk mengqadhanya, tidak boleh ia melambatkan
qadhanya hingga masuk bulan Ramadhan tahun selanjutnya. Apa yang kami sebutkan
bukanlah sesuatu yang dianjurkan, namun sesuatu yg wajib dilakukan, seiring adanya
kemampuan dan hilangnya halangan. Jika terpaksa mengundurkan qadha puasa
pada tahun selanjutnya tanpa ada ‘uzdur, maka selain mengqadha, wajib pula membayar
fidyah sebanyak satu mud makanan setiap harinya, jika melambatkan mengqadha
selama dua tahun atau beberapa tahun, maka berkaitan mengandakan fidyah ada dua
pendapat:
Pertama, fidyahnya tidak
dilipatgandakan, namun seperti hanya melambatkan satu tahun saja. Pendapat yang
shahih (lebih kuat) adalah melipatgandakan fidyah. Wajib baginya membayar fidyah
untuk satu tahun yang lewat satu mud setiap harinya, jika terlambat mengqadha
dua tahun maka dua mud setiap harinya. Hal
ini sebagai tambahan. Inilah ketentuan tentang fidyah...
Hal ini berarti qadha puasa Ramadhan,
hendaklah dilakukan sebelum masuk Ramadhan tahun selanjutnya. Jika melambatkan
hingga masuk bulan Ramadhan maka wajib atasnya mengqadha dan membayar fidyah. Dan
pendapat lain bahwa jika melambatkan mengqadha hingga dua tahun maka wajib
atasnya membayar dua fidyah (dari setiap hari yang ditinggalkan, pent) disertai
qadha.
2. 2. Terdapat dalam kitab Kasysyafu al-Qina’ ‘an matni
al-Iqna’, karya Manshur bin Yunus al Buhuti al Hanbaliy (w. 1051 H)
“Siapa saja yang tidak mengerjakan
puasa Ramadhan sebulan penuh atau sebagiannya. Maka hendaklah ia mengqadha
sejumlah hari yang ditinggalkan. Dan boleh melambatkan pelaksanaan qadha selama
belum berlalu waktunya yakni hingga nampaknya hilal bulan Ramadhan selanjutnya.
Tidak boleh melambatkan qadha puasa hingga masuk bulan Ramadhan selanjutnya
tanpa ‘udzur. Jika melambatnya hingga bertemu bulan Ramadhan selanjutnya maka
ia wajib mengqada dan memberi makan orang miskin setiap harinya yang teranggap
sebagai kafarah (penebus keterlambatan). Tidak dilipatgandakan fidyah karena
beberapa kali Ramadhan terlambat mengqadha, karena banyaknya keterlambatan
tidak menambah kewajiban fidyah sebagaimana jika mengakhirkan haji yang wajib
beberapa tahun, tidak ada kewajiban baginya melaksanakan haji
berkali-kali)...hal ini berarti bahwa siapa yang tidak melaksanakan puasa
Ramadhan dan tidak mengqadhanya hingga bertemu Ramadhan selanjutnya maka wajib
atasnya qadha dan fidyah.
3. 3. Adapun Madzhab Abu Hanifah, meski melambatkan qadha
puasa hingga bertemu Ramadhan selanjutnya maka yang diwajibkan hanya mengqadha
puasa, tanpa fidyah.
Dalam kitab al-Mabsûth karya
Imam Sarkhasiy, ahli fikih madzhab Hanafi (w. 483) disebutkan:
“Orang yang ada kewajiban mengqadha
puasa Ramadhan namun tidak mengqadhanya hingga bertemu bulan Ramadhan selanjutnya,
maka wajib atasnya mengqadha Ramadhan yang telah lewat, menurut madzhab kami
tidak ada kewajiban fidyah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i rahimahullah wajib
mengqadha serta membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin setiap
harinya. Bagi kami yang zhahir (dalil yang terang) adalah firman Allah Ta’ala: “maka
hendaklah mengqadhanya di hari yang lain” (QS. al Baqarah [2]: 184). Pada ayat
di atas tidak ada batasan waktu tertentu, sedangkan membatasi waktu tertentu,
yaitu di antara dua Ramadhan adalah sebuah tambahan, padahal puasa adalah
ibadah yang terkait dengan waktu tertentu tetapi mengqadhanya tidak dibatasi
waktu tertentu (pent).
Di dalam kitab Badaî’u al-Mashani’
fi Tartîb as-Syarâ’i karya ‘Alâ’u ad-Din al Kâsâniy al Hanafi (w. 587 H)
disebutkan:
“Pendapat ulama madzhab Hanafi, bahwa
mewajibkan qadha tanpa batasan waktu tertentu, sebagaimana kami sebutkan bahwa
perkara qadha puasa adalah mutlak, tanpa batasan sebagian waktu atas sebagian
waktu yang lain. Jadi sifatnya mutlak (tanpa batasan waktu). Atas dasar ini
maka ashab kami menyatakan: bahwasanya jika melambatkan qadha Ramadhan hinga
masuk Ramadhan selanjutnya tidak ada kewajiban fidyah...”
Hal ini berarti bahwa madzhab Abu
Hanifah hanya mewajibkan qadha tanpa fidyah, yaitu qadha semata atas hari-hari
di bulan Ramadhan Ramadhan yang tidak dilaksanakan puasa.
Sebagaimana saya sampaikan di awal,
bahwa kami (sebagi amir HT) tidak mentabanni perkara ibadah. Saya hanyalah
memaparkan kepada anda sebagian pendapat madzhab Abu Hanifah, asy Syafi’i dan
ahli fikih madzhab Hanbali. Dan apa yang menurut anda melapangkan dada anda (dari
pendapat-pendapat yang telah dipaparkan, pent) maka lakukannlah. Semoga Allah memberikan
taufik kepada anda terhadap apa yang Allah sukai dan ridhai.
Saya berharap hal ini memadai. Dan Allah
Maha mengetahui dan Maha Adil
Saudaramu, ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah
8 Ramadhan 1440 H/13 Mei 2019
Komentar
Posting Komentar