*Menatap Masa Depan Indonesia*;
*Bukan Sekedar "Siapa" tapi juga dengan "Dengan Apa"*
Sah. Pasangan Jokowi-KH. Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno maju menjadi capres-cawapres yang akan bertarung di tahun 2019. Tensi politik selama beberapa pekan terakhir memang meningkat menjelang pendaftaran capres-cawapres. Nama Ustadz Abdul Shomad sempat menjadi calon kuat yang akan mendampingi Prabowo sebagai perwakilan umat Islam yang menginginkan perubahan untuk kebaikan negeri ini.
Memilih pemimpin yang baik untuk kebaikan negeri ini jelas perkara yang penting. Karena ia yang akan menakhodai negeri ini setidaknya untuk lima tahun ke depan. Mau dibawa kemana negeri ini sedikit banyak ditentukan siapa pemimpinnya. Karenanya Islam sangat ketat menentukan kriteria pemimpin. Di antaranya dia harus muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka (bukan budak), adil (bukan pemimpin yang zalim), dan mampu. Ini adalah syarat mutlak yang tidak bisa ditawar sedikit pun. Kesemuanya dibangun berdasarkan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. Ditambah lagi syarat keutamaan seperti mujtahid, pemberani, dari suku Quraisy dll.
Namun, persoalan negeri ini bukan sekedar tentang siapa yang memimpin. Tapi juga tentang dengan apa pemimpin negeri ini mengatur dan melayani rakyatnya. Jangankan cawapres Kyai, negeri ini bahkan pernah dipimpin seorang Kyai. Namun apa yang terjadi? Hari demi hari makin kesini kondisi negeri ini semakin ngeri. Bukankah ketika Nabi kita Baginda Muhammad saw telah mencontohkan bahwa saat beliau mengangkat Muadz bin Jabal sebagai wali (semacam Gurbernur) di Yaman beliau bertanya dengan apa ia akan memutuskan perkara. Dengan kata lain dengan apa ia akan memimpin.
كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
“Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan yang dihadapkan kepadamu?” Mu’adz menjawab, “Saya akan memutuskan menggunakan Kitab Allah.” Beliau bersabda: “Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Beliau bersabda lagi: “Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta dalam Kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menepuk dadanya dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat senang Rasulullah.” (HR. Abu Dawud no. 3119 dan at-Tirmidzi no. 1249)
Ditinjau dari berbagai aspek negara ini sedang mengalami kondisi darurat. Ibarat kapal hampir karam dan tenggelam. Kemiskinan makin meningkat, utang makin meroket, agama diabaikan dan disnistakan, dan sederet masalah yang rasanya hampir bosan kita membahasnya. Akar masalahnya bermuara pada dua hal: pemimpin yang tidak amanah dan sistem sekular yang memisahkan agama (Islam) dari urusan kehidupan termasuk urusan berbegara dengan menerapkan sistem demokrasi di bidang politik dan sistem kapitalisme-liberal di bidang ekonomi. Maka perbaikannya pun mestilah mengacu pada dua akar masalah tersebut. Yakni dengan memilih pemimpin yang amanah dengan kriteria tujuh syarat di atas dan mengganti sistem yang ada dengan sistem yang sempurna yakni Islam. Bukankah Allah telah berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. al Maaidah: 50)
Alalak, 10 Agustus 2018
Al faqiir ila rahmatillah Wahyudi Ibnu Yusuf
*Bukan Sekedar "Siapa" tapi juga dengan "Dengan Apa"*
Sah. Pasangan Jokowi-KH. Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno maju menjadi capres-cawapres yang akan bertarung di tahun 2019. Tensi politik selama beberapa pekan terakhir memang meningkat menjelang pendaftaran capres-cawapres. Nama Ustadz Abdul Shomad sempat menjadi calon kuat yang akan mendampingi Prabowo sebagai perwakilan umat Islam yang menginginkan perubahan untuk kebaikan negeri ini.
Memilih pemimpin yang baik untuk kebaikan negeri ini jelas perkara yang penting. Karena ia yang akan menakhodai negeri ini setidaknya untuk lima tahun ke depan. Mau dibawa kemana negeri ini sedikit banyak ditentukan siapa pemimpinnya. Karenanya Islam sangat ketat menentukan kriteria pemimpin. Di antaranya dia harus muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka (bukan budak), adil (bukan pemimpin yang zalim), dan mampu. Ini adalah syarat mutlak yang tidak bisa ditawar sedikit pun. Kesemuanya dibangun berdasarkan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. Ditambah lagi syarat keutamaan seperti mujtahid, pemberani, dari suku Quraisy dll.
Namun, persoalan negeri ini bukan sekedar tentang siapa yang memimpin. Tapi juga tentang dengan apa pemimpin negeri ini mengatur dan melayani rakyatnya. Jangankan cawapres Kyai, negeri ini bahkan pernah dipimpin seorang Kyai. Namun apa yang terjadi? Hari demi hari makin kesini kondisi negeri ini semakin ngeri. Bukankah ketika Nabi kita Baginda Muhammad saw telah mencontohkan bahwa saat beliau mengangkat Muadz bin Jabal sebagai wali (semacam Gurbernur) di Yaman beliau bertanya dengan apa ia akan memutuskan perkara. Dengan kata lain dengan apa ia akan memimpin.
كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
“Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan yang dihadapkan kepadamu?” Mu’adz menjawab, “Saya akan memutuskan menggunakan Kitab Allah.” Beliau bersabda: “Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Beliau bersabda lagi: “Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta dalam Kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menepuk dadanya dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat senang Rasulullah.” (HR. Abu Dawud no. 3119 dan at-Tirmidzi no. 1249)
Ditinjau dari berbagai aspek negara ini sedang mengalami kondisi darurat. Ibarat kapal hampir karam dan tenggelam. Kemiskinan makin meningkat, utang makin meroket, agama diabaikan dan disnistakan, dan sederet masalah yang rasanya hampir bosan kita membahasnya. Akar masalahnya bermuara pada dua hal: pemimpin yang tidak amanah dan sistem sekular yang memisahkan agama (Islam) dari urusan kehidupan termasuk urusan berbegara dengan menerapkan sistem demokrasi di bidang politik dan sistem kapitalisme-liberal di bidang ekonomi. Maka perbaikannya pun mestilah mengacu pada dua akar masalah tersebut. Yakni dengan memilih pemimpin yang amanah dengan kriteria tujuh syarat di atas dan mengganti sistem yang ada dengan sistem yang sempurna yakni Islam. Bukankah Allah telah berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. al Maaidah: 50)
Alalak, 10 Agustus 2018
Al faqiir ila rahmatillah Wahyudi Ibnu Yusuf
Komentar
Posting Komentar