PENENTUAN UPAH KERJA


ASAS PENENTUAN UPAH KERJA MENURUT ISLAM, KAPITALISME DAN SOSIALISME
(Terjemahan bebas dengan segala keterbatasan pemahaman mengenai ideologi Sosialisme)

Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh. Ustadzunaa al fadhil. Kami punya pertanyaan. Kami mengharapkan penjelasan mengenai penentuan upah pekerja dalam pandangan orang-orang sosialis yang terdapat dalam kitan an-nizhomul iqtishadiy. Apa maksud dari dua pengertian berikut ini: (1) “Maka upah pekerja ditentukan dari apa yang dihasilkan/diproduksinya” (halaman 109); (2) “ Istilah ‘jinsul ‘aamil’ tidak akan menghantarkan pada penetapan upah, justru mengantarkan pada pengabaian upah”. Apa makna ‘jinsul ‘aamil’?. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh. (Lutfi Hidayat)

 
Jawab: segala pujian hanya milik Allah. Shalawat dan salam  atas Nabi Muhammad yang tak ada nabi sesudah beliau. Selanjutnya, wa ‘alaikumussalam wa rahmatullahi wa barokatuh saudara kami yang mulia Lutfi Hidayat. Inilah jawaban kami untuk anda.
Kerja, produksi, dan upah
A.   Menurut kaum muslimin (Islam)
1.       Memberikan pekerja upah sesuai haknya secara sempurna tanpa menguranginya dan memperlakukan pekerja dengan mulia meski tidak memproduksi barang (secara langsung). Tidak membiarkan mereka mati karena kelaparan baik berproduksi maupun tidak
2.       Memandang bahwa menjadikan kerja sebagai asas penentuan upah adalah bertentangan dengan fakta
3.       Memandang bahwa produksi menghantarkan pada manfaat tertentu terdiri dari empat komponen, yaitu:
a.       Bahan baku yang diciptakan Allah SWT di alam semesta dan ini adalah asas penentuan nilai suatu barang
b.      Biaya produksi yang dikeluarkan untuk memberikan nilai tambah
c.       Kerja dan tenaga yang dicurahkan pekerja dalam memproduksi barang
d.      Alat-alat yang digunakan pekerja
B.      Menurut Orang-orang Kapitalis (Kapitalisme)
1.       Memberi pekerja ‘upah alami’ (natural wages, teori yang dikemukakan oleh david Ricardo, salah seorang tokoh ekonomi madzhab klasik, pent) yaitu upah yang besarannya hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup menurut kadar yang minimal (upah minimum)
2.       Upah akan meningkat ketika beban hidup meningkat dan upah diturunkan jika beban hidup menurun
3.       Yang diperoleh pekerja hanya batas minimal untuk pemenuhan hidup
C.      Menurut orang-orang Sosialis (Sosialisme)
1.       Memandang bahwa perkerja adalah faktor utama dalam produksi barang dan penyempurnaannya
2.       Memandang bahwa kerja seorang pekerja adalah asas/dasar produksi, maka upah pekerja ditentukan dari hasil produksinya. Artinya tidak akan diberi upah kecuali jika bekerja dan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Jika tidak menghasilkan produksi maka dibiarkan mati kelaparan
3.       Memandang bahwa semua biaya produksi dikembalikan pada satu komponen yaitu kerja

Penjelasan rincinya
1.       Orang sosialis memandang bahwa kerja yang dilakukan pekerja adalah factor utama dalam produksi, artinya ia adalah asas produksi. Sementara biaya produksi dikembalikan pada kerja tersebut
2.       Syaikh Taqiyuddin berpandangan bahwa pandangan sosialis ini bertentangan dengan realita ditinjau dari empat hal berikut:
a.       Kekayaan yang Allah ciptakan di alam semesta adalah asas penentuan nilai barang. Kursi yang dibuat oleh tukang kayu dari kayu/batang pohon yang diciptakan Allah. Kayu adalah asas/dasar penentuan nilai barang (contohnya kursi)
b.      Selanjutnya alat yang digunakan tukang kayu untuk membuat kursi seperti gergaji dsb adalah alat yang berperan menjadikan kursi yang bagus
c.       Biaya yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah bahan yang memberi nilai/manfaat lebih atau menjadikannya dapat dimanfaatkan seperti lem, busa dll
d.      Tenaga dan ketrampilan yang dicurahkan tukang kayu sehingga menjadi barang jadi (kursi)
3.       Syaikh Taqiyuddin berkata: “(dampak dari pemehaman sosialis) menjadikan perkerja yang tidak langsung bersentuhan dengan produksi maka tidak menghasilkan barang tertentu. Akibatnya ia tidak mendapat upah. Padahal tukang kayu tidak sendirian dalam menghasilkan kursi. Ada kontribusi banyak pihak. Ada yang memotong kayu, ada yang memindahkannya, ada yang membuat alat pertukangan, ada yang membuat hiasan kursi, lem, dan seterusnya”.
4.        Syaikh Taqiyuddin juga berkata: “ karena itu jika kita menetapkan jenis pekerja tertentu (jinsul ‘aamil), yaitu tukang kayu yang membuat kursi  saja atau pekerja manapun yang melakukan perkerjaan maka kayu, besi, dsb akan tetap menjadi bahan baku. Padahal Allah telah menciptakannya dan tidak boleh mengabaikannya dan tidak memperhitungkannya. (dengan kata lain bahan baku tersebut telah memiliki nilai ekonomis tanpa campur tangan orang yang mengolahnya menjadi bahan jadi misalkan tukang kayu, pent)

5.       Syaikh Taqiyuddin juga berkata: karenanya anggapan pekerja adalah jenis. Jenis yang dimaksud adalah dengan karakteristiknya sebagai tukang kayu, tukang besi, dsb adalah keliru. Karena para pekerja adalah pribadi tertentu dan upah hanya untuk mereka. “Maka anggapan bahwa jinsul ‘aamil (jenis pekerja) tidak akan menghantarkan pada penetapan upah, sebaliknya akan menjadikan mengabaian upah dan kepemilikan. Hal ini bertentangan dengan fitrah manusia dan ini adalah pemikiran yang kacau, dan tidak ada realitasnya”. Maksudnya adalah penetapan upah menurut kalangan sosialis yang didasarkan pada jinsul ‘aamil (contohnya tukang kayu) adalah kekeliruan yang melahirkan kekeliruan yang lain yaitu pengabaian kepemilikan. Dan ini ditolak syariat kita yakni syari’at Islam yang paripurna.

Al-Ustadz Muhammad Ahmad an-Nadiy
Banjarmasin, 17 Januari 2016/ 7 Rabi’ul akhir 1437 H
Mutarjim: al faqiir ila rahmatillah Wahyudi Ibnu Yusuf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

ATAP RUMAH MENJOROK KE JALAN

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB