HUKUM EDIT FOTO
HUKUM
SYARA MEMOTRET DAN EDIT FOTO
Memotret
Berkaitan
dengan hukum memotret (mengambil foto dengan kamera). Para ulama kontemporer
berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama mengharamkannya, karena
dianggap sama dengan aktivitas mengambar dengan tangan, kecuali untuk foto yang
sangat diperlukan (dharurah), seperti foto untuk identitas diri (KTP/paspor),
untuk keperluan pendidikan, untuk mengungkap kejahatan, dan semisalnya. Yang
berpendapat semacam ini misalnya Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aal Syaikh, Syaikh
Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Syaikh M. Ali
Ash-Shabuni, dan Syaikh Nashiruddin Al-Albani. (M. bin Ahmad bin Ali Washil,
Ahkam At-Tashwir fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 232; Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i,
Hukm Tashwir Dzawat Al-Arwah, hal. 70; Ali Ahmad Abdul ‘Aal Thahthawi, Hukm
At-Tashwir min Manzhur Islami, hal. 108-109).
Namun
sebagian ulama lain membolehkannya, dengan alasan hadits yang mengharamkan
menggambar tak dapat diterapkan pada aktivitas memotret. Mereka ini misalnya
Rasyid Ridha, Syaikh Ahmad Al-Khathib, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,
Syaikh Najib Al-Muthi’i, Syaikh Mutawalli Sya’rawi, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh
Yusuf Al-Qaradhawi, dan Syaikh Taqiyuddin Nabhani. (M. bin Ahmad bin Ali
Washil, ibid., hal. 241; Taqiyuddin Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah,
2/354).
Pendapat
yang rajih menurut kami adalah yang membolehkan, sebab pendapat ini lebih
cermat memahami fakta yang menjadi objek hukum (manath). Menurut Taqiyuddin
Nabhani, hadits yang melarang menggambar makhluk bernyawa tak dapat diterapkan
untuk fakta memotret. Sebab orang yang memotret hanya sekedar memindahkan
citra/bayangan dari fakta yang sudah ada ke dalam film melalui kamera, bukan
menggambar suatu bentuk makhluk bernyawa dari ketiadaan. (Taqiyuddin Nabhani,
ibid., 2/357)
Mengedit
Foto
Adapun
mengedit foto suatu objek yang bernyawa, misalnya mengedit foto wajah manusia
dengan mengubah warna kulit, menghilangkan kerutan wajah, mengubah warna bola
mata, dan semisalnya, hukumnya haram. Sebab hadits-hadits yang mengharamkan
menggambar makhluk bernyawa dapat diberlakukan pada aktivitas mengedit foto.
(‘Atha` bin Khalil, Jawab Su`al, 21/09/2010).
Hadits-hadits
tersebut antara lain sabda Nabi SAW, (HR Bukhari no 5963, dari Ibnu Abbas RA).
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda,Sesungguhnya orang-orang yang membuat
gambar/patung (makhluk bernyawa) akan disiksa pada Hari Kiamat, dikatakan
kepada mereka,’Hidupkanlah apa yang telah kamu ciptakan.’ (HR Bukhari no 5951,
dari Ibnu ‘Umar RA,).
Hadits-hadits
ini menunjukkan haramnya membuat gambar atau patung makhluk bernyawa, sebab di
dalamnya terdapat kecaman yang keras dari Allah SWT dalam bentuk perintah untuk
meniupkan nyawa pada objek yang telah dibuat manusia. (Walid bin Rasyid
As-Sa’idani, Hukm Tashwir al-Futughirafi, hal.5)
Hadits-hadits tersebut menurut Syaikh ‘Atha` bin Khalil dapat
diberlakukan pula untuk aktivitas mengedit foto, seperti mengubah warna kulit
atau menghilangkan kerutan wajah, baik dilakukan dengan alat lukis yang
digerakkan tangan, atau dilakukan melalui mouse pada komputer.
Maka
selama aktivitas editing foto terjadi melalui perbuatan / tindakan manusia
untuk meniru bentuk makhluk bernyawa, maka mengedit foto makhluk bernyawa
hukumnya haram. Sebab hadits-hadits di atas dapat diberlakukan pula untuk
aktivitas mengedit foto makhluk bernyawa.
Yang
Harus dipahami lebih dulu
yang
pertama: bahwa ini membahas tentang hukum syara’ atas perbuatan melukis, atau
menggambar dengan tangan, sebagaimana makna yang dikehendaki di dalam hadits,
bukan menghasilkan gambar dengan kamera. Adapun mengambil gambar dengan kamera
maka hukumnya mubah karena hadits yang ada tidak bisa diterapkan terhadap
perbuatan tersebut.
Yang
kedua: Bahwa ini membahas tentang hukum syara’ atas gambar datar dua
dimensi yang tidak memiliki bayangan. Adapun membuat karya yang memiliki
bayangan, atau patung, maka dia haram dalam segenap kondisinya karena adanya
dalil-dalil syara’ mengenai hal tersebut, dengan pengecualian mainan anak-anak
karena adanya dalil yang membolehkannya, sebagaimana nanti akan dijelaskan pada
akhir jawaban.
Pertanyaan2
Sejenis
- Memodifikasi gambar dan mengoreksinya (seperti menghilangkan keriput, mengganti warna mata atau beberapa fitur wajah, dan sebagainya)
- Menggambar lukisan manusia atau hewan-hewan yang menyerupai kenyataan
Sesungguhnya
dua pertanyaan ini berkaitan dengan menggambar sesuatu yang memiliki nyawa
(ruh), atau melakukan editing terhadap gambar makhluq bernyawa dengan
menggunakan tangan seperti menghilangkan keriput atau beberapa ciri di wajah.
Dengan demikian, pengharaman yang terdapat dalam dalil-dalil syara’ dapat
diterapkan dalam kasus ini, sama saja apakah hal tersebut dilakukan dengan
pena, dengan mouse di computer, selama pekerjaan menggambar itu dilakukan oleh
tangan manusia terhadap makhluq yang bernyawa, maka keharaman yang ada pada
dalil berlaku atas aktivitas tersebut. Al Bukhori mengeluarkan sebuah hadits
dari Ibnu Abbas –Allah meridhoi keduanya- yang berkata: “Rasulullaah
shollallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda : “barang siapa melukis suatu gambar
maka Allah akan mengadzabnya sampai dia mampu meniupkan ruh ke dalam gambar
itu, padahal sampai kapan pun dia tidak akan mampu meniupkan ruh ke dalamnya”.
Al Bukhori juga mengeluarkan hadits dari jalan Ibnu Umar –semoga Allah meridhoi
keduanya- bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
,”sesungguhnya orang yang telah membuat gambar ini akan disiksak pada hari
kiamat, dan dikatakan kepada mereka “coba hidupkanlah apa yang telah kalian
ciptakan!”.
- Mencetak lukisan dan gambar yang sudah jadi
- Menggunakan lukisan, gambar atau logo yang dibuat oleh desainer lainnya, bukan hasil lukisan sendiri
Dengan
kata lain, hanya mengambilnya dari orang lain, tidak menggambarnya sendiri.
Dengan demikian, di sini berlaku hukum menggunakan gambar. Dalam hal ini
terdapat tiga macam hukum:
Pertama:
Apabila anda mengambil gambar itu
untuk diletakkan di tempat-tempat ibadah, seperti tempat sujud untuk sholat,
atau tirai masjid, iklan (di’aayah) atau pengumuman (i’laan) masjid dan
semacamnya, maka itu haram, tidak dibolehkan.
Dalilnya
adalah:
Hadits
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul shollallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak mau memasukki Ka’bah sehingga gambar-bambar di dalamnya dihapus.
Penolakkan Rasul shollalaahu ‘alaihi wa sallam untuk memasuki Ka’bah sampai
gambar-gambar di dalamnya dihapus merupakan indikasi adanya larangan tegas
untuk meletakkan gambar di tempat-tempat ibadah, maka itu menjadi dalil atas
haramnya menaruh gambar di dalam masjid. Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu : Bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak mau masuk ketika melihat gambar-gambar di dalam rumah –yaitu
Ka’bah- , dan memerintahkan agar ia dihapus”.
Kedua:
Adapun jika ia mengambil gambar yang
tidak dia gambar sendiri untuk diletakkan di tempat-tempat tertentu selain
tempat ibadah, maka dalil-dalil syara’ menjelaskan bahwa itu dibolehkan –dengan
disertai kemakruhan (dibenci oleh syara’ –pent) jika gambar itu diambil dan
diletakkan di tempat-tempat yang mengandung penghormatan atau pemuliaan,
seperti di rumah-rumah, media-media informasi lembaga-lembaga kebudayaan, di
kaos atau pakaian, di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, dan di tempat-tempat
terbuka lain yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas ibadah, atau digantung
di dalam kamar atau dikenakan dalam rangka mempermanis penampilan, maka
semua itu hukumnya dibenci (makruuh).
Yang
mubah adalah jika gambar diletakkan bukan di tempat ibadah dan bukan tempat
yang “terhormat”, seperti karpet yang digelar di bawah, di atas kasur dimana
orang tidur di atasnya, atau di bantal yang digunakan untuk bersandar, atau gambar
yang ada di lantai yang diinjak-injak dan yang semisalnya, maka semua tu
hukumnya mubah. Di antara dalil-dalil yang
menunjukkan hal tersebut adalah:
Hadits
dari Abu Tholhah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafadz : aku
mendengar Raulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “”Malaikat tidak
masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.”; Dalam sebuah
riwayat dari sebuah jalan yang diriwayatkan oleh Imam Muslim beliau bersabda
“kecuali gambar yang ada di pakaian” Ini menunjukkan adanya pengecualian
terhadap gambar yang ada di pakaian, atau gambar yang dilukis.
Ini
menunjukkan bahwa gambar dua dimensi seperti gambar yang dilukis di pakaian
hukumnya boleh, Sebab malaikat bersedia memasuki rumah yang di dalamnya
terdapat gambar dua dimensi. Akan tetapi ada pula hadits-hadits lain yang
menjelaskan jenis kemubahan ini:
Hadits
dari Aisyah Radiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al Bukhori, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menuju saya sementara di dalam
rumah terdapat tirai tipis bergambar, maka warna wajah beliau berubah, kemudian
mengambil tirai itu dan merobeknya”
Qirom
(kain tipis) merupakan salah satu jenis pakaian yang biasa dipasang sebagai
penutup pintu di dalam rumah, hal itu membuat rona wajah Rasulullaah
shollallaahu ‘alaihi wa sallam berubah (marah) kemudian melepas tirai tersebut.
Ini menunjukkan adanya contoh untuk meninggalkan perbuatan memasang tirai
sebagai penutup pintu apabila ia bergambar. Apabila hadits ini dikaitkan dengan
kebolehan malaikat untuk memasuki rumah yang didalamnya terdapat gambar yang
terlukis di pakaian, maka hal tersebut menunjukkan bahwa larangan untuk
memajang gambar dua dimensi itu tidak tegas, atau sekedar dibenci (makruuh),
dan juga karena gambar tersebut dipasang sebagai penutup pintu, sedang pintu
adalah tempat yang terhormat, dengan demikian, memasang gambar di tempat yang
terhormat adalah makruh.
Hadits
dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dari
perkataan Jibril ‘alaihis salaam kepada Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa
sallam : “perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan dijadikan dua bantal
yang diinjak,”. Dengan demikian, Jibril ‘alaihis salam telah memerintahkan
kepada rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menghilangkan turai
bergambar dari tempat yang terhormat, dan agar ia dijadikan sebagai dua bantal
yang diinjak. Ini berarti, menggunakan gambar yang digambar oleh orang lain di
tempat-tempat yang tidak dihormati adalah boleh.
- Menggambar simbol berupa manusia atau hewan (contohnya rambu-rambu di jalan seperti “tempat penyeberangan”, “pintu darurat saat kebakaran” atau “dilarang berjalan bersama anjing”)
- Menggambar bagian badan manusia atau binatang (sebagai contoh menggambar tangan yang bersalaman, jari telunjuk atau kepala kuda sebagai gambar logo)
Jawaban
untuk dua pertanyaan ini adalah sebagai berikut:
Apabila
tanda yang dilukis menggambarkan makhluq bernyawa maka dia haram, sebab
hadits-hadits mengharamkan gambar yang menunjukkan adanya sifat memiliki ruh
(nyawa). Sifat ini dapat diterapkan kepada setiap gambar makhluq secara utuh
maupun, separuh saja, gambar kepala yang disambung dengan bagian tubuh lain
seperti kedua tangan dan semisalnya.
Adapun
apabila tanda (rambu)nya tidak menunjukkan adanya nyawa, seperti tangan saja,
atau gambar jari yang menunjuk kepada sesuatu atau dua tangan yang saling
bersalaman atau yang semisalnya, maka keharaman tidak bisa diterapkan
terhadapnya.
Adapun
gambar kepala yang tidak digabung dengan angggota badan yang lain, maka dalam
hal ini terdapat perbedaan pendapat. Dan yang paling kuat adalah bahwa kepala
saja yang tidak digabung dengan bagian tubuh lain adalah tidak haram. Itu
karena ada hadits yang membolehkan untuk memotong kepada patung sehingga
tersesa seperti pohon, seperti halnya hadits Abu Hurairah ra. Yang di dalamnya
terdapat perkataan Jibril alaihis salam kepada Rasulullah shollalallaahu
‘alaihi wa sallam bahwa patung itu tidak lagi haram ketika kepalanya dipotong.
..”.. Maka perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat
seperti bentuk pohon ..” dikeluarkan oleh Ahmad. Hadits ini berarti bahwa sisa
patung dan kepalanya ketika telah dipotong sama-sama tidak haram. Dan ini tidak
berarti bahwa yang tidak diharamkan adalah badan patung yang kepalanya sudah terpotong,
sedangkan kepala yang terpotong tetap haram. Tidak demikian karena perintah
Jibril kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memotong kepala
patung menunjukkan bahwa pemotongan itu hukumnya boleh. Dengan demikian, segala
hal yang menjadi konsekuensinya/ikutannya adalah boleh.
Dan
harap diketahui, bahwa Hanabilah (hambaliyah) dan Malikiyah membolehkan kepala
saja, sedangkan Syafi’iyyah mengalami perbedaan pendapat. Sebagian besar ahli
fiqh syafiiyyah menyatakan bahwa gambar kepala saja adalah haram, sementara
yang lain membolehkannya.
- Menggambar lukisan manusia atau hewan yang tidak menyerupai kenyataan (karikatur)
- Menggambar tokoh cerita imajiner yang tidak ada dalam kenyataan
Jawabnya
adalah bahwa sesungguhnya selama gambar itu menunjukkan adanya ruh (nyawa)
meskipun tidak ada persamaannya di dalam kenyataan, itu tetap haram. Sebab,
nash-nash syara’ dapat diterapkan terhadap kasus tersebut. Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan Aisyah rodhiyallaahu ‘anhaa
untuk melepas tirai yang terpasang di pintu yang bergambar kuda yang memiliki
sayap. Padahal dalam kenyataannya tidak ada kuda yang memiliki sayap.
Imam
Muslim mengeluarkan hadits dari Aisyah rodhiyallaahu ‘anhaa, dia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari safar sementara aku
menutupi pintuku dengan durnuk yang terdapat gambar kuda-kuda yg memiliki
sayap. Maka beliau memerintahkan aku utk mencabut tabir tersebut maka akupun
melepasnya” sementara durnuk merupakan salah satu jenis pakaian.
Kemudian,
saya hendak mengulang kembali apa yang telah saya ungkapkan di awal, bahwa
gambar yang diharamkan adalah gambar yang tidak diperuntukkan bagi anak-anak.
Adapun jika diperuntukkan bagi anak-anak, seperti gambar karikatur untuk
anak-anak, atau gambar tokoh imajiner untuk anak-anak, untuk permainan atau
hiburan mereka, atau untuk pendidikan mereka. Semua itu hukumnya boleh karena
adanya dalil yang menyebutkan hal tersebut:
Abu
Dawud mengeluarkan hadits dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, dia berkata: Suatu
hari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- pulang dari perang tabuk atau
perang khoibar. (Saat itu) lemari kecil Aisyah tertutup tirai, lalu
berhembuslah angin, yang menyingkap tirai itu, sehingga terlihatlah banyak
mainan boneka wanita milik Aisyah. Beliau bertanya: “Apa ini, wahai Aisyah?”,
ia menjawab: “Anak-anak perempuanku”.
Hadits
Aisyah yang dikeluarkan oleh Al Bukhori, dia berkata, “aku bermain dengan
anak-anak perembuanku (boneka) di sisi Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam.. “
yaitu bermain dengan boneka berbentuk anak-anak perempuan.
Demikian
juga dengan hadits Ar Robii’ binti Ma’awwid Al Anshoriyyah rodhiyallaahu ‘anhaa
yang dikeluarkan oleh Al Bukhori dia berkata, “Kami berpuasa dan memerintahkan
anak-anak kecil kami berpuasa. Kami membuatkan mereka mainan dari bulu. Maka,
apabila mereka menangis karena lapar, kami berikan mainan itu kepadanya, sampai
tiba waktu berbuka”. Maksudnya, menghibur mereka dengan mainan, sampai tiba
waktu berbuka.
Semua
hadits itu membolehkan mainan anak-anak bahkan seandainya mainan itu berbentuk
patung makhluk yang memiliki nyawa. Atas dasar itu, merupakan hal yang lebih
utama jika gambar datar dua dimensi adalah boleh, bagaimana pun bentuknya.
Sumber
: Soal jawab mukhtarat no. 26 bulan Dzul Hijjah 1431 H
Penerjemah
: Wahyudi Ibnu Yusuf
Komentar
Posting Komentar