Hadiah Harta Haram
MENERIMA HADIAH, BERJUAL BELI, DAN
MENERIMA NAFKAH
DARI ‘HARTA HARAM’
Terjemahan bebas dari soal jawab Amir
Hizbut Tahrir Syaikh ‘Atha abu Rasythah
Mutarjim: Wahyudi Abu Syamil Zainul
Umam
Pertanyaan
Apakah boleh menerima hadiah seseorang dari harta
haram (misalnya hasil berjudi, riba, asuransi, jual beli miras)? Apakah boleh
bagi keluarganya menerima nafkah dari harta yng dihasilkan dari sumber yang
haram?
Jawab
Jenis-jenis ‘harta haram’:
a. haram karena zatnya seperti khamr (miras).
Jenis ini haram dihadiahkan karena ia haram secara zatnya baik bagi pemilik
maupun yang diberi. Nabi bersabda:
حُرِّمَتِ
الْخَمْرُ بِعَيْنِهَا
“Khamr
diharamkan karena zatnya” (HR. an Nasaai)
b. haram karena mengambil hak ‘adami (manusia)
seperti harta curian dan rampasan (ghashab). Harta ini haram dimiliki oleh
pencuri dan perampas dan tidak boleh dihadiahkan. Karena harta jenis ini haram
baik bagi pelakunya maupun yang menerima hadiah. Karena harta ini milik si
pemiliknya asal. Ketika harta ini ditemukan maka wajib dikembalikan pada
pemiliknya. Di antara dalilnya adalah hadist dari Samurah, ia berkata, bersabda
Nabi saw:
إِذَا سُرِقَ
مِنْ الرَّجُلِ مَتَاعٌ أَوْ ضَاعَ لَهُ مَتَاعٌ فَوَجَدَهُ بِيَدِ رَجُلٍ
بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ وَيَرْجِعُ الْمُشْتَرِي عَلَى الْبَائِعِ
بِالثَّمَنِ
Jika barang seseorang dicuri, atau hilang,
kemudian ia mendapatinya di tangan orang lain, maka ia lebih berhak terhadap
barang tersebut. Adapun orang yg membelinya harus mengembalikan kepada si
penjual (dengan tetap memperoleh) uang pembelian. [HR. Ahmad ].
Demikian pula harta ghasab maka wajib atas
perampas mengembalikan barang rampasannya pada pemiliknya. Berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Samurah, Nabi saw bersabda:
عَلَى اليَدِ
مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ
“Wajib
atas tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia
menunaikannya (mengembalilannya)”.(Hr. Tirmidzi, Hasan Shahih)
c. harta haram karena dihasilkan dari mu’amalah
yang batil seperti harta riba dan hasil berjudi. Harta jenis ini hanya haram
untuk pelakunya (pihak yang memperolehnya). Tapi tidak haram bagi pihak yang
memperolehnya melalui jalur yang dibolehkan syari’at (meski dengan bermuamalah
dengan pemilik harta riba atau harta hasil berjudi tersebut). Misalnya anda menjual barang tertentu pada
pelaku riba, dan anda mendapatkan harga (uang)nya, istri yang mendapat nafkah
dari hasil riba, atau hadiah yang didapatkan dari hasil riba, dst. Sesungguhnya
dosa atas harta ini hanya menimpa pelaku riba (yang memperoleh harta riba)
bukan pada uang hasil jual beli, penerima nafkah, dan penerima hadiah. Di
antara dalilnya adalah;
a. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ
وِزْرَ أُخْرَى
Dan tidaklah
seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri;
dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (QS. Al an’am: 164)
b. Nabi saw biasa bermuamalah dengan dengan orang Yahudi di
Madinah, padahal telah diketahui bahwa kebanyakan harta mereka dari riba. Allah
SWT berfirman: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi,
kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah.
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil (QS. An Nisa: 160-161)
Nabi saw menerima hadiah dari
Yahudi, sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas, bahwa seorang wanita yahudi
Khaibar memberi hadiah pada Nabi saw kambing panggang yang beracun. Nabi lalu
mengembalikannya, lalu bersabda: apa yang mendorongmu melakukannya?Wanita itu
menjawab, “aku suka (aku ingin tahu), Jika engkau adalah seorang nabi, maka
Allah pasti kan memberitahukan racun itu padamu. Jika engkau bukan nabi, maka
aku telah melepaskan manusia darimu”.
c. Terdapat riwayat yang shahih dari sebagian shahabat dan tabi’in
bahwa mereka membolehkan hadiah dari pelaku riba
Seseorang lelaki menemui Ibnu
Mas’ud, ia berkata:
إِنَّ لِي جَارًا يَأْكُلُ الرِّبَا، وَإِنَّهُ لَا يَزَالُ يَدْعُونِي،
فَقَالَ: "مَهْنَؤُهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ
“Aku bertetangga dengan orang
yang memakan riba. Ia senantiasa mengundangku (untuk makan-makan)”. Ibnu Mas’ud
menjawab: “Nikmatnya (keselamatan) untukmu dan dosanya baginya”. (HR.
Abdurrazaq ash shan’ani dalam mushannafnya)
Al-Hasan ditanya tentang hukum
memakan makanan dari penukar mata uang (ash shayaarifah) ? Beliau menjawab:
قَدْ أَخبرَكُمُ اللَّهُ عَنِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، إِنَّهُمْ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا، وَأَحَلَّ لَكُمْ طَعَامَهُمْ
“ Allah SWT telah mengabarkan
pada kalian mengenai orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya mereka
memakan riba, sementara Allah telah menghalalkan bagi kalian makanan
mereka” (HR. Abdurrazaq ash shan’ani
dalam mushannafnya dari Ma’mar)
Dari Manshur, ia berkata: aku
berkata pada Ibrahim, “aku sampai pada suatu tempat kerja (bertemu dengan
seorang pekerja), maka ia menyambutku dan menawariku uang. Ibrahim berkata
“terimalah!”. Jawabku ‘pekerja itu mengambil riba’. Ia kembali menjawab
‘terimalah selama engkau tidak diperintahkan atau membantu mengambil riba”
” (HR. Abdurrazaq ash shan’ani dalam
mushannafnya dari jalur Ma’mar)
Meski demikian lebih utama
jika tidak bermuamalah dengan pemilik harta haram yang diperoleh dari riba,
tidak menjual apapun pada mereka, tidak menerima hadiahnya untuk alasan
kewara’an (kehati-hatian). Sungguh Para Shahabat menjauhi banyak perkara yang
hukumnya mubah karena takut mendekati pada keharaman. Terdapat hadist shahih
dari Nabi saw, beliau bersabda:
لَا يَبْلُغُ العَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ
المُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ البَأْسُ
“ seorang hamba tidak akan sampai pada derajat
muttaqin hingga menghindari apa-apa yang tidak dilarang (mubah) karena takut
terjatuh pada perkara yang dilarang (haram). (Hr. Tirmidzi, hadist hasan)
Kesimpulannya, boleh hukumnya
berjual sesuatu dengan orang yang bermuamalah riba (memungut riba) dari bank dan lainnya. Boleh pula menerima
hadiahnya, akan tetapi lebih utama untuk tidak berjual beli padanya dan tidak
menerima hadiah darinya.
4 Shafar 1434 H/ 7 Desember 2012
Alhamdulillah selesai
diterjemahkan dengan pertolongan Allah;
Banjarmasin 4 Dzulhijjah 1435 H /
28 September 2014 pkl 23. 45 wita
Komentar
Posting Komentar