BPJS OH BPJS
BPJS; Kedzaliman Negara Dibalik
Jaminan Sosial
Per
1 januari 2014 pemerintah mengubah manajemen PT Askes dan Asabri menjadi BPJS
Kesehatan, dan PT jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Kebijakan
ini merupakan implementasi dari UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No.
40 tahun 2004) yang UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU No. 24 tahun
2011)
Menilik
namanya seakan program ini adalah
program yang pro rakyat. Yang kaya mensubsidi yang miskin. Menurut Surya
Chandra Surapaty Wakil Ketua Pansus RUU BPJS DPR RI 2009-2014 diperkirakan dalam dua puluh tahun ke depan akan
terkumpul dana 2.000-an triliun rupiah. Akumulasi uang akan digunakan untuk
jaminan kesehatan nasional.
Menurut
UU BPJS, Setiap warga Negara wajib membayar premi bulanan, tidak terkecuali
warga miskin (Rp 22.500). Padahal jumlah warga yang berada di bawah garis
kemiskinan menurut BPS per September 2013 mencapai 28,55 jt jiwa. Dengan
standar pendapatan Rp 213 ribuan untuk penduduk desa dan Rp 253 ribuan untuk
penduduk kota. Disinilah persoalannya. Warga miskin tidak akan mampu membayar
premi bulanan. subsidi pemerintah sebesar 15.500 masih belum cukup karena warga
miskin tetap harus membayar kekurangannya sebesar Rp 7000. Pelayanan yang
diberikan juga akan sangat minimalis. Mengapa? Karena menurut IDI standar
pelayanan kesehatan minimal Rp 70.000,00.
Kebijakan
ini semakin terasa dzalim karena bersifat memaksa dimana Jika tidak membayar, akan dihukum oleh negara dengan sanksi denda sebesar 2% dan tak mendapat pelayanan publik, seperti tidak dapat
mengurus sertifikat tanah, tidak dapat mengurus IMB, tidak dapat mengurus ijin
usaha, dsb. (Lihat Buku Saku FAQ BPJS Kesehatan, Jakarta : Kemenkes RI,
2013).
Kebijakan ini juga kebijakan yang batil karena menjadikan
asuransi sebagai landasannya. Padahal
asuransi adalah akad yang batil karena menjadikan “janji” sebagai objek akad
(al ma’qud ‘alaihi).
Padahal
kebutuhan pokok yang bersifat kolektif spt kesehatan, termasuk pendidikan dan
keamanan adalah tanggung jawab Negara. Nabi menyatakan “al imamu ra’in wa huwa
masulun ‘an ra’iyyatihi” (Pemimpin adalah pengembala/penanggungjawab, dan imam akan
dimintai pertanggungjawabannya atas orang yang digembalanya, HR. Bukhari).” Wa
huwa” adalah adatu hashr (faktor yang membatasi), artinya tanggung jawab utama
dalam pengurusan rakyat ada di pundak pemimpin.
Tanggung
jawab inilah yang dilakukan oleh Rasul saw (sbg kepala Negara), demikian pula
khulafa rasyidin, dan para khalifah sesudahnya. Para penguasa Islam di era
khilafah menyediakan dokter, obat-obatan, rumah sakit, dan layanan kesehatan secara gratis dan
berkualitas. Sekolah dan akademi kesehatan juga dibangun dengan biaya studi
yang juga gratis. Tentu dengan tetap menjaga kualitas. Khilafah Islam adalah
pelopor berdirinya rumah sakit pertama di dunia. RS pertama dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walld
(705 M - 715 M). Pembangunan RS secara masif dilakukan pada era Khalifah Harun
ar-Rasyid (786-809 M). Setelah berdirinya RS Baghdad, di metropolis intelektual
itu mulai bermunculan RS lainnya di seantero jazirah Arab.
Wallahu
‘alam bi shawab
Alalak,
7 Maret 2014
Komentar
Posting Komentar