Mencium Tangan Ulama



HUKUM MENCIUM TANGAN ULAMA

Apa hukum mencium tangan ulama? Berikut adalah petikan jawab soal Syaikh Abu Iyas Mamdud bin Abdul Lathif bin Mahmud (‘Uwaidhah) dalam kitab beliau Masaail Fiqhiyyah Mukhtarah.

Soal: Masyarakat kami terbiasa mencium tangan ayah dan ibunya bahkan para ulama. Apakah ada penjelasan syar’I mengenai hal ini?

Jawab: mencium tangan ayah, ibu dan guru (ulama) semuanya itu masyru’(disyari’atkan). Terdapat sejumlah dalil dalam hadist Nabi saw dan perbuatan shahabat. Bahkan ada sejumlah dalil yang menyebutkan mencium kakinya juga. Di antara dalil tersebut adalah:
الوازع بن عامر قال : قدمنا فقيل : ذاك رسول الله ، فأخذنا بيديه ورجليه نقبلها
Dari al-Wazi’ bin ‘Amir, beliau berkata: kami sampai, lalu ada yang berkata: ini adalah Rasulullah. Maka kami cium tangan dan kaki beliau (HR. Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad lil Bukhari)
مزيدة العبدي قال : جاء الأشج يمشي حتى أخذ بيد النبي صلى الله عليه وسلم فقبلها
Dari Mazidah al ‘Abdi, beliau berkata: telah datang al Asyaj, dia berjalan hingga mengambil tangan Nabi saw lalu menciumnya (HR. Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad lil Bukhari)
تميم بن سلمة قال لما قدم عمر رضى الله عنه الشام استقبله  أبو عبيدة بن الجراح رضى الله عنه فقبل يده
Dari Tamim bin Salamah, beliau berkata: ketika Umar ra. sampai di Syam. Abu ‘Ubaidah bin Jarrah menemui beliau, lalu mencium tangannya (HR. Baihaki dalam sunan al Kubra lil Baihaki)
عن صهيب قال : رأيت عليا يقبل يد العباس ورجليه
Dari Suhaib, beliau berkata: Saya melihat Ali ra. mencium tangan dan kaki Abbas bin Abdul Muthalib (HR. Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad lil Bukhari)

Selesai diterjemahkan pada hari Kamis, 12 Muharram 1438 H / 13 Oktober 2016
Mutarjim: Wahyudi Abu Syamil Zainul Umam Hanafi

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

  MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB” Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf (Mahad Darul Ma’arif Banjarmasin) Menurut asy Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani perkara yang termasuk dalam cakupan “mâ lâ yatimmu al-wâjib” atau “sesuatu yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengan sesuatu itu” ada dua jenis: Pertama, kewajiban itu merupakan suatu yang tergantung pada syarat tertentu atau disebut masyrûth . Contohnya shalat adalah masyrûth yang menghajatkan thaharah sebagai syarat. Maka thaharah misalnya wudhu bagi yang berhadas kecil merupakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib” untuk pelaksanaan sholat (ada’u ash-shalah) . Hanya saja kewajiban wudhu sebagai syarat ini tidak ditetapkan berdasarkan wajibnya seruan (khithab) shalat. Namun harus ada dalil tersendiri (munfasil) yang mewajibkannya . Jadi wajibnya wudhu tidak mengikut pada dalil perintah shalat. Misalkan firman Allah ta’ala: وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ Dan tegakkanlah shalat (QS. An-Nur: 56). Ayat ini merupakan ay...
Baca selengkapnya

ATAP RUMAH MENJOROK KE JALAN

*APA HUKUM MEMASANG KANOPI/ATAP YANG MENJOROK KE JALAN UMUM?* Menurut ulama madzhab Syafii hukumnya boleh jika tidak menimbulkan bahaya,  seperti membahayakan orang yang lewat.  Jika membahayakan maka hukumnya haram. Pengarang kitab Matan Ghayah wa Taqriib,  al Imam al Qadhi Abu Suja' rahimahullahu Ta'ala menyatakan: ويجوز للإنسان أن يشرع روشنا في طريق نافذ بحيث لا يتضرر المار به Seseorang boleh memanjangkan atap rumahnya sampai ke jalan umum selama tidak membahayakan orang yang melewatinya. Menjelaskan matan kitab ini syaikh Musthafa Diib al Bugha (Ulama Madzhab Syafii kontemporer)  dalam kitab At Tadzhib matn Ghayah wa Taqrib menyatakan: Seseorang boleh memanjangkan atap rumahnya, yaitu memanjangkan sebagian atapnya yang berada di atas dinding ke jalanan.  Dalil kebolehannya adalah hadits Nabi Saw.  Rasulullah memancangkan pancuran rumah paman beliau (Abbas bin Abdul Muthalib)  dengan tangan beliau.  Padahal, pancuran itu sampai ke masjid Rasulu...
Baca selengkapnya

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB Pernah melihat orang yang shalat ketika tasyahud akhirnya seperti tasyahud awwal? Merasa janggal? Ternyata ini adalah perkara yang masuk kategori ikhtilaf di antara madzhab-madzhab fikih dalam Islam. Jadi, tetap toleran dan menghargai perbedaan. Berikut rinciannya. Selamat membaca. Semoga bermanfaat.
Baca selengkapnya