Keadaan Darurat Apakah Membolehkan yang Haram
Kaidah
‘Darurat Membolehkan Keharaman’;
Bolehkah
melepas khimar dan jilbab karena darurat?
(Terjemah
bebas soal jawab amir Hizbut Tahrir tanggal 26/1/16)
Assalamu ‘alaikum
wr. wb
Saya ingin bertanya
tentang kaidah syar’iyyah “adh-dharuratu tubihu al-mahzhuraat”. Apa yang
dimaksud dengan kata dharurat? Untuk memperjelas maksud saya, kami sampaikan
dua ilustarsi. Pertama, fatwa syaikh
Yusuf al-Qardhawi mengenai bolehnya melepas hijab bagi siswi muslimah di
sekolah Asing karena terhitung darurat. Kedua, seorang perempuan melahirkan
yang ditangani dokter laki-laki. Jika kita katakan bahwa darurat adalah kondisi
yang menghantarkan pada kematian dan kebinasaan. Apakah dokter laki-laki
(karena tidak ada dokter perempuan ) boleh menyingkap aurat perempuan hamil dan
melahirkan dengan alasan darurat. Padahal baik ta’lim (pendidikan) dan
melahirkan tidak menghantarkan pada kematian. Semoga Allah memberikan berkahnya
pada Anda dan membalas Anda dengan jannah-Nya. (Abu Qasim)
Jawaban
Wa ‘alaikumussalam
wr. wb
Beberapa
ulama’ yang mengambil kaidah "الضرورات تبيح المحظورات" (Kondisi darurat membolehkan yang asalnya haram) bersandar dengan
sejumlah dalil, misalnya firman Allah:
إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ
اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
(QS. Al-Baqarah [2]: 173).
Dan
firman Allah,
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ
غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Juga
firman Allah,
إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang
disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa
memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-nahl [16]: 115)
Siapa
saja yang mencermati secara mendalam, jelaslah bahwa kaidah ini tidaklah
shahih. Alasannya, dalil-dalil di atas tidak mendukung pendapat mereka tentang
kaidah darurat ini. Dalil-dalil di atas hanya menunjukkan bolehnya memakan
bangkai dan semisalnya dalam kondisi darurat (terpaksa) karena sebab kelaparan.
“Maka barang siapa terpaksa (memakan) karena kelaparan”; QS.
Al-Maidah [5]: 3). Madhmadhah adalah kelaparan, dan kelaparan dekat pada
kebinasaan. Pada kondisi ini diperbolehkan memakan yang haram. Darurat (terpaksa)
yang dimaksud pada ayat di atas sudah jelas yakni dibatasi pada kelaparan saja,
tidak lebih. Lafadz madhmadhah bukanlah lafadz umum atau mutlak hingga dapat
dimaknai melebihi/melampaui konteks yang dimaksud ayat tersebut yaitu
kelaparan.
Pada
sebagian penjelasan, kaidah ini bahkan dijadikan sebagai rukhshah. Padahal
penetapan rukhsah memerlukan nas/dalil. Akal tidak bisa dan tidak boleh menetapkannya. Sebagai contoh, rukhshoh bolehnya berbuka
saat safar dan ketika sakit berdasarkan firman Allah,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.
(QS. Al-Baqarah [2]: 183-184).
Demikian
pula semua rukhshoh haruslah didasarkan pada nas/dalil.
Karena
itu kaidah ini tidak tepat digunakan secara umum sebagaimana yang dinyatakan
penggunanya. Yang benar adalah bahwa ayat-ayat yang dijadikan sandaran
‘penganut’ kaidah ini hanya menunjukkan adanya
rukhshoh bolehnya seorang muslim memakan dan meminum makanan dan minuman
yang diharamkan Allah dalam kondisi terpaksa, itu saja, tidak yang lain.
Pantas
pula disebutkan disini, bahwa kaidah ini saat ini dijadikan pembenaran untuk
membolehkan semua yang diharamkan dengan alasan darurat. Kata darurat ini
diperluas pada banyak kasus dan banyak hal sesuai tafsiran mereka untuk membolehkan
yang haram atas nama darurat!.
Mengenai
ilustrasi pertama yang bersandar pada kaidah ini, sesungguhnya tidak boleh.
Wanita muslimah yang telah balig adalah mukallaf yang secara syar’I wajib
mengenakan khimar (penutup kepala hingga ke atas dada). Ia tidak boleh
melepaskan khimarnya dengan alasan sedang belajar di sekolah asing. Jika ia
dipersulit mengenakan khimar dan jilbab (gamis, baju kurung panjang) di sekolah
asing maka ia harus mencari sekolah lain yang mengijinkan mengenakan khimar dan
jilbab. Atau mengunakan sarana lain yang memungkin ia untuk belajar, termasuk
pindah ke Negara lain yang memungkinkan ia untuk belajar, tentu dengan disertai
mahromnya (jika memenuhi waktu safar). Karena memang tidak ada dalil yang
membolehkan wanita baligh untuk melepaskan khimar dan jilbabnya dengan alasan
belajar dan pendidikan.
Adapun bolehnya seorang dokter laki-laki menyingkap aurat perempuan untuk pengobatan tidaklah menerapkan kaidah ini. Akan tetapi kebolehan ini ditunjukkan sejumlah dalil bolehnya berobat . Diantaranya sabda Nabi saw dari ‘Usamah bin Syarik ia berkata:
قَالَتِ
الأَعْرَابُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: «نَعَمْ، يَا عِبَادَ
اللَّهِ تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ
شِفَاءً، أَوْ قَالَ: دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا » قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، وَمَا هُوَ؟ قَالَ: «الهَرَمُ»
Seorang arab Badui berkata, "Wahai Rasulullah, Tidakkah kami ini harus berobat (jika sakit)?" Beliau menjawab: "Iya wahai sekalian hamba Allah, Berobatlah sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit melainkan menciptakan juga obat untuknya kecuali satu penyakit." Mereka bertanya, "Penyakit apakah itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Yaitu penyakit tua (pikun)." (HR. Tirmidzi)
Tidak
diragukan bahwa dalam banyak terapi pengobatan mengharuskan membuka aurat. Maka
dalil-dalil bolehnya berobat dapat diterapkan atasnya (yaitu pengobatan yang
mengharus membuka aurat). Perlu digarisbawahi bahwa yang diperbolehkan dibuka
hanya pada bagian tubuh yang akan diterapi tidak pada bagian yang lain.
Saudara
Kalian ‘Atha Ibnu Khalil Abu Rasytah
Banjarmasin,
20 Rabi’ Tsani 1437 H/ 30 Januari 2016 M
Mutarjim
Wahyudi Ibnu Yusuf
Komentar
Posting Komentar