KAIDAH ISTISHABUL HAAL



KAIDAH ISTISHABUL HAAL
Wahyudi Ibnu Yusuf

Pengertian

Al-istishab (الاستصحاب) secara bahasa maknanya adalah meminta pertemanan (thalabush shuhbah). Segala sesuatu yang melekat pada sesuatu yang lain disebut istishab. Yang dimaksud disini adalah istishabul haal. Sedang menurut definisi ulama ushul, istishabul haal adalah hukum yang ditetapkan pada masa kedua berdasarkan pada penetapannya pada masa pertama. Dengan kata lain, penetapan sesuatu pada masa kini berdasarkan penetapan pada masa yang telah lewat. Maka setiap perkara yang telah ditetapkan keberadaannya (wujud), kemudian muncul keraguan mengenai adanya (diduga tidak ada) maka yang ditetapkan adalah perkara pertama yaitu mengenai keberadaannya.


Dalilnya
Istishab bukanlah dalil syari’at, karena penetapan sebagai dalil harus berdasarkan dalil qath’I (pasti). Istishab adalah kaidah syar’iyyah kulliyah atau hukum syara’ kulli yang penggaliannya cukup disandarkan pada dalil yang sifatnya zhan. Dalil kaidah istishabul haal adalah sebagai berikut:
1.      Dari Ummu Salamah, Nabi bersabda:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ وَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ

Aku hanyalah manusia biasa. Dan sesungguhnya jika kalian bersengketa. Barangkali sebagian kalian lebih pandai berargumen dari yang lainnya. Dan aku memutuskan baginya berdasarkan apa yang aku dengar (HR. Bukhari)

Hadist ini menunjukkan bahwa Nabi memutuskan perkara sengketa berdasarkan apa yang terlihat (zhahir). Memutuskan hukum berdasarkan yang zhahir termasuk dalam istishabul haal.
2.      Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ فِي صَلاةٍ، فَقَالَ: إِنَّكَ قَدْ أَحْدَثْتَ، فَلا يَنْصَرِفَنَّ، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Jika setan menemui salah seorang di antara kalian ketika shalat. Lalu setan berkata: sungguh engkau telah berhadast. Maka janganlah ia beralih (membatalkan shalatnya) hingga mendengar suara atau mendapati bau (HR. Thabrani)

Hadist ini menunjukkan bahwa seorang mushalli jika ia yakin masih suci (telah berwudhu), kemudian keraguan datang bahwa ia telah berhadast maka ia boleh shalat tanpa harus berwudhu terlebih dahulu. Namun jika ia yakin telah berhadast lalu datang keraguan bahwa ia telah berwudhu maka wajib atasnya berwudhu. Ini adalah istishabul haal.

3.      Jika sesuatu yang telah ditetapkan pada masa awal baik adanya atau tiadanya. Kemudian tidak tampak sesuatu yang menghilangkanya (ada atau tiadanya sesuatu yang merupakan kondisi/hukum awal) baik secara qath’I (pasti) maupun zhan maka wajib terikat pada penetapan hukum/kondisi awal meski hanya bersandar pada yang zhan. Karena dalam perkara hukum syara’ cukup beramal dengan zhan atau ghalabatu azh-zhan (dugaaan kuat).

Cakupan Kaidah
Inilah sejumlah dalil mengenai kaidah istishabul haal. Dari kaidah ini dapat dipahami pula kaidah “al yaqiin la yazuulu bi asy-syak”. Perkara yang yakin tidak dapat dihilangkan dengan yang meragukan.
Cakupan kaidah istishab ini adalah perkara yang hukumnya ditetapkan berdasarkan dalil. Dimana dalilnya tidak menunjukkan pada tetapnya hukum dan kekontinuannya. Atau tidak ada dalil lain yang menunjukkan tetapnya dan kekontinuannya. Atau tidak didapati dalil yang ditemukan seorang mujtahid (dengan segala kemampuan usahanya) yang mengubah atau menghilangkan hukum asal/hukum pertama.

Maka tidak masuk dalam cakupan kaidah ini bila:
1.      Apa yang yang ditunjukkan oleh dalil aqli atas keberadaan dan kekontiuan sesuatu seperti wajib adanya Allah (wujuduLlah)
2.      Apa yang ditunjukkan oleh dalil sam’iy atas tetapnya dan kekontiuan sesuatu. Seperti tidak diterimanya persaksian orang yang pernah menuduh wanita muhshanat telah berzina. Berdasarkan firman Allah:
وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
Dan janganlah kalian terima kesaksian mereka (penuduh berzina) selamanya (QS. an-Nur: 4). Dalam ayat ini disebutkan tidak diterimanya persaksian penuduh berzina selama. Adanya penetapan selamanya menjadikan tidak bisa diterapkan kaidah istishab pada kasus ini.
Contoh lain, tetap berlangsungnya hukum jihad, berdasarkan Sabda Nabi saw:
الجهاد ماضٍ إلى يوم القيامة
Jihad tetap berlaku hingga hari kiamat (HR. Abu Dawud)

Contoh penerapan Kaidah Istishab
1. Siapa yang menikahi gadis perawan. Setelah menggaulinya, kemudian dia menuntut bahwa istrinya ternyata seorang janda/tidak perawan. Maka tuntutannya tidak diterima kecuali ia menghadirkan bukti. Karena kondisi awal gadis adalah perawan. Ini adalah kondisi awal. Maka kondisi awal ini diterapkan pada kondisi kedua (saat ada tuntutan), kecuali penuntut dapat menghadirkan bukti atas tuntutannya.
2. Jika seseorang mengklaim bahwa temannya punya sejumlah hutang padanya. Sementara ia tidak tidak dapat mendatangkan bukti maka teman yang dituntutnya bebas dari tuntutan. Karena al ashlu bara’tu adz dzimmah (hukum asal terbebas dari tuntutan) dalam urusan maaliyah hingga ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.
3. Jika seseorang menjual anjing terlatih untuk berburu. Setelah dibeli ternyata pembeli mengadu bahwa anjingnya tidak bisa berburu. Maka yang dimenangkan adalah aduan pembeli, karena pada asalnya anjing tidak terlatih. Tidak terlatih adalah hukum/kondisi awal. Lalu kondisi awal ini diterapkan  pada saat ada aduan.
4. Tetapnya status perkawinan yang dibangun berdasarkan akad nikah yang sah. Dan tetapnya status perkawinan ini tidak dibatasi oleh waktu. Hingga datang kondisi/hukum yang menghilangkan status perkawinan sperti talak.
5. Tetapnya kepemilikan yang dibangun berdasarkan akad jual beli yang sah. Dan tetapnya status kepemilikan ini tidak dibatasi oleh waktu. Hingga datang kondisi/hukum yang menghilangkan status kepemilikan seperti ternyata penjual bukan pemilik sah barang yang dijualnya.
6. Jika seseorang yang bertayammum melihat air saat shalat, maka sahlah shalatnya. Tanpa harus mengulang. Sucinya
Rujukan: Taisir wushul ilal ushul karya Syaikh ‘Atha abu Rasytah hal. 44-46
Banjarmasin, 17 Oktober 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

ATAP RUMAH MENJOROK KE JALAN

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB