Jenis-Jenis 'Illat



JENIS-JENIS ‘ILLAT

‘Illat adalah alasan disyari’atkannya hukum yang terdapat pada dalil. Karena itu ‘illat harus berdasarkan dalil. Bisa saja ‘illat diketahui secara langsung dengan jelas dari dalil secara manthuq (tersurat). ‘Illat  jenis ini disebut ‘illat sharahah (jelas). Atau terdapat dari penunjukkan (madlul)  dalil atau dari mafhumnya (tersirat)  bukan dari manthuqnya. ‘Illat jenis ini disebut ‘illat dalalah (penunjukkan). Jika ‘illat tidak terdapat secara langsung dalam dalil baik manthuq maupun mafhumnya melainkan harus digali oleh seorang mujtahid baik dari satu dalil atau dari beberapa dalil maka ‘illat jenis ini disebut ‘illat mustanbathah (hasil penggalian). Dan jika ‘illat dihasilkan dari pengqiyasan dari  hubungan (‘alaqah muatstsirah) antara ‘illat yang asal (pokok) dengan hukum asal maka ‘illat jenis ini disebut ‘illat qiyasiyah (analog).

 

1. ‘Illat Sharahah (Jelas)

Cara mengetahui ‘illah jenis ini adalah:
a.      a. Ada lafadz مِنْ أَجْلِ   (karena/untuk), contoh  sabda Nabi saw.
إِنَّمَا جُعِلَ الِاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ
Dijadikan meminta ijin hanyalah untuk menjaga pandangan (HR. Bukhari dan Muslim)

b.     b. Ada huruf-huruf  ta’lil (peng’illatan). Diantaranya:
كَيْ (agar/supaya)
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (QS. Al-Hasyr: 7)
لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ [الأحزاب: 37 ]
supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) mantan isteri-isteri anak-anak angkat mereka (QS. Al-Ahzab: 37)
الام (agar)
لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ  [النساء: 165]
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu (QS. An-Nisa: 165)

2. ‘Illat Dalalah (Penunjukkan)

Ada dua kondisi yang menjadikan dalil mengandung ‘illat jenis ini, yaitu:
1.     Lafadz yang secara manthuq tidak memiliki  ‘illat tetapi dari mafhumnya memiliki ‘illat. Di antaranya:
a.      Fa sebab (tasbiib)
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah tersebut miliknya (HR. Bukhari, Abu dawud, Ahmad dll)
Huruf fa’ pada lafadz فَهِيَ merupakan fa tasbib (sebab) yang menjadikan kegiatan ‘menghidupkan’ tanah mati menjadi ‘illat kepemilikan. Karenanya dapat diqiyas pada kegiatan apa saja yang terkategori menghidupkan tanah mati seperti menanami, memagari, dsb.
b.     Fa’ akibat/dampak (at-ta’qiib)
مَلَكَتْ نفسك فاختاري
Dirimu telah memiliki maka pilihlah olehmu (HR. Ahmad)
Memiliki diri menjadi ’illat bolehnya memilih. Adapun memiliki diri bisa jadi karena dijanjikan dimerdekakan, meninggalnya pemilik budak atau ummul walad.
c.      Huruf   حَتَّى (sehingga, pada asalnya huruf ghayah), contoh:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (QS. At-Taubah: 6)

‘Illat melindungi orang kafir adalah agar mereka mendengar firman Allah yaitu sampainya dakwah Islam. Hal ini dapat difahami dari dalalah iltizam (penunjukkan yang sifatnya melekat) pada lafadz hatta yang secara manthuq asalnya adalah untuk tujuan (ghayah).

2.     Lafadz yang memiliki washfun mufhim (sifat yang difahami) yang bersesuaian dengan hukum yang disebutkan dalam dalil. Pembagian kondisi hukum untuk ‘illat jenis ini adalah sbb:
a.       Menjelaskan hukum tanpa ada pertanyaan, contoh:
Nabi bersabda:
الْقَاتِلُ لَا يَرِثُ
Seorang pembunuh tidak memperoleh warisan (HR. Tirmidzi)
الْقَاتِلُ adalah isim faa’il yang mengandung washfun mufhim yang menjadi ‘illat dikeluarkannya pembunuh dari penerima waris.
Nabi bersabda:
في الغنم السائمة زكة
Pada kambing yang digembalakan ada kewajiban zakat (HR. Abu Dawud & Baihaki)
Lafadz السائمة adalah isim faa’il yang mengandung washfun mufhim.
Artinya jika kambing tidak digembalakan karena di kandang maka tidak ada kewajiban zakat.
b.      Menjelaskan hukum dengan uslub bertanya yang sesuai dengan konteks pertanyaan penanya
Nabi pernah ditanya tentang boleh tidaknya membarter kurma basah (ruthab) dengan kurma kering (tamr). Nabi kemudian balik bertanya:
أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ
Apakah kurma basah berkurang beratnya ketika kering?
Sahabat menjawab: iya. Lalu Nabi melarang membarternya (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasaai)
Dari hadist ini difahami dalalah (penunjukkan) bahwa ‘illat larangan barter kurma basah dengan kurma kering adalah karena berkurangnya berat kurma basah.
c.       Menjelaskan hukum dengan uslub bertanya yang tidak sesuai dengan konteks pertanyaan penanya.
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ
Seorang lelai berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah meninggal dan tidak sempat berhaji (padahal telah wajib atasnya), apakah aku harus menghajikannya. Nabi menjawab (dengan bertanya): apa pendapatmu jika ayahmu memiliki hutang apakah engkau wajib menulasinya?” Lelaki tersebut menjawab: iya. Lalu Nabi bersabda: “Hutang pada Allah lebih wajib untuk ditunaikan”. (HR. An-Nasaai)
Dalam hadist ini nabi bertanya dengan mengqiyas (analog) antara hutang pada manusia dengan hutang pada Allah. Dari disini dapat ditarik washfun mufhim yang setara yakni menunaikan hutang.

3. ‘Illah Mustanbathah (Penggalian)

‘Illat jenis ini tidak secara langsung nampak pada dalil baik secara sharahah (manthuq) maupun secara dalalah (mafhum). Tetapi harus digali oleh seorang mujtahid. Contoh:
Dari Umar bin Khaththab ra. Beliau berkata:

هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ فَقُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium (istri) padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan aku berkata; "Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium padahal sedang berpuasa" maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?" Aku menjawab; "Tidak apa-apa hal itu." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maka dimana masalahnya?" (HR. Ahmad)
Dari hadist di atas diintinbath tidak batalnya shaum karena berkumur-kumur kecuali air masuk kerongkongan terus ke perut. Hal ini disamanya dengan mencium istri jika tidak sampai keluar mani. Sehingga diperolehkah ‘illat istinbathah bahwa yang merusak shaum adalah mencium istri yang sampai inzal (keluar mani).

Contoh lain. Larangan berjual beli pada saat adzan shalat jum’at karena menyebabkan lalai dari mengingat Allah (melaksanakan shalat jumat). Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9)
Dari ayat ini digali ‘illat bahwa larangan berjual beli adalah dapat melalaikan dari mengingat  Allah (ilha’u min dzikriLlah). Maka dapat diqiyas dari ‘illat ini yakni haramnya setiap kegiatan yang dapat melalaikan dari pelaksanaan shalat jumat bagi laki-laki seperti mengajar, sewa menyewa, rapat, dsb.
Contoh lain, tentang kepemilikan umum.

Nabi saw bersabda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api (HR. Abu Dawud, Ibnu Maajah, Ahmad)

Dalam riwayat lain nabi membolehkan kaum muslimin memiliki air (spt sumur) secara pribadi di Thaif dan Khaibar untuk mengairi lahan pertanian dan kebun mereka.
Dari dua hadist ini dapat diistinbath ‘illat bahwa kepemilikan bersama (syirkah) air, padang rumput, dan api berkaitan dengan sifatnya, bukan berkaitan dengan air, padang rumput, dan api itu sendiri. Sifat yang dimaksud adalah maraafiq al-jama’ah (menjadi hajat orang banyak). Jadi ‘illatnya adalah maraafiq al-jama’ah. Dengan demikian air di sungai dan lautan, hutan, dan sumber energi seperti batubara adalah milik umum yang tidak boleh dimiliki pribadi/swasta.

4. ‘Illah Qiyasiyah (Analog)
Jika dalam suatu dalil terdapat ‘illat dalalah. Lalu ada sesuatu yang menjadi penghubung (yang bersifat mempengaruhi) antara ‘illat dalalah dengan hukum asal. Hubungan/penghubung ini dapat digunakan untuk menghasilkan ‘illat baru dengan jalan analogi. ‘illat baru hasil analog ini disebut ‘illat qiyasiyyah.
Contoh
Nabi bersabda:
لَا يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ
Janganlah para hakim memutuskan (sengketa) antara dua orang yang bersengketa padahal hakim sedang marah (HR. Bukhari dan Muslim)

Marah adalah washfun mufhim yang menjadi ‘illat dalalah larangan hakim memutuskan sengketa. Antara marah sebagai ‘illat dengan larangan memutus perkara sebagai hukum asal memiliki ‘hubungan pengaruh’ yakni kacaunya fikiran. Jadi urutannya adalah, marah berdampak pada kacaunya pikiran/buruknya keadaan, lalu hakim dilaranglah memutus perkara. Maka kondisi apapun yang memiliki washfun mufhim yang sama dengan kacaunya pikiran dapat dianalogikan dengan ‘penghubung yang mempengaruhi’. Contohnya  lapar. Lapar dapat menjadi ‘illat yang baru yang disebut ‘illat qiyasiyyah karena memiliki sifat yang sama yakni merusak pikiran hakim. 

Contoh lain, Nabi bersabda:
مَنْ كَسَرَ شَيْئًا فَهُوَ لَهُ وَعَلَيْهِ مِثْلُهُ
Siapa yang memecahkan sesuatu maka barang yang pecah tersebut miliknya sedang pemilik mendapat ganti yang semisal (HR. Ibnu Majah dan sunan Daruquthni)

‘Illat mengganti barang/nilai yang serupa pada hadist di atas adalah karena memecahkannya. ‘illat ini dapat dipahami dari fa’ tasbiib (فَهُوَ). ‘illat ini merupah ‘illat dalalah. Pecah adalah washfun mufhim. Antara ‘illat dalalah (pecah) dengan hukum asal (kewajiban mengganti) ada hubungan pengaruh yaitu tidak samanya kondisi barang sebelum pecah. Dari hubungan ini diqiyas ‘illat baru yaitu berubahnya barang. Apapun bentuk perubahannya. Jika seseorang meminjam besi. Lalu ia mengubahnya menjadi pisau. Maka ia wajib mengganti besi yang ia pinjam karena telah merubah kondisi besi yang dipinjamnya. Wallahu a’lam bi shawab

Demikianlah pejelasan singkat mengenai jenis-jenis ‘illat. Dengan segala keterbatasan al-Faqiir memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan. Semoga Allah memberikan kepahaman pada kita semua. 

Diselesaiakan di tanah kelahiran: Kandangan, 26 Maret 2016
Al-faqiir ila rahmatiLlah Wahyudi Ibnu Yusuf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

ATAP RUMAH MENJOROK KE JALAN

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB