BATASAN BID’AH



BATASAN BID’AH


Bid’ah adalah setiap perbuatan yang tidak ada ketentuan syari’at (kullu fi’lin lam ya’ti asy-syar’u bihi),  atau setiap perbuatan yang menyelisihi syari’at. Dasarnya adalah sabda Rasul saw:
كل امر ليس عليه امرنا فهو رد
Setiap perkara tidak berdasar pada apa yang kami perintahkan maka ia tertolak (HR. Bukhari dan Muslim)

 
Maka setiap apa yang menyelisihi syari’at adalah bid’ah. Kecuali perbuatan tersebut bersandar pada dalil umum maka tidak masuk dalam kategori bid’ah. Misalnya belajar kimia, karena bersandar pada dalil umum mengenai menuntut ilmu. Demikian pula berdarmawisata, mahar berupa sepuluh ekor ayam, membuat tempat khusus bagi muadzin, lampu listrik di masjid semua ini tidak termasuk bid’ah. Meski syari’at tidak datang untuk menjelaskan dan tidak ada di zaman Rasulullah tapi semuanya masuk dalam dalil-lalil umum yang berkaitan dengannya. Peristiwa baru terus terjadi dan beragam, dan tidaklah setiap perbuatan yang tidak dijelaskan syariat dan tidak ada pada masa rasul otomatis dihukumi bid’ah.

Bid’ah adalah perbuatan yang menyelisihi syari’at. Hanya saja definisi ini tidak berlaku pada semua perbuatan. Ia hanya berlaku pada perbuatan yang telah dijelaskan syari’at tatacaranya secara khusus (kaifiyat mua’ayyanah). Setiap muslim wajib berbuat sesuai dengan ketentuan syari’at, jika ia menyelisihi perbuatan yang memiliki  kaifiyat mua’ayyanah maka ia telah melakukan kebid’ahan.

Dengan meneliti dan membaca secara mendalam jelaslah bahwa asy-syaari’ tidak menentukan tatacara khusus (kaifiyat mua’ayyanah) atas perbuatan kecuali pada perkara ibadah mahdhah (kecuali jihad, tidak ada kaifiyat mua’ayyanah). Adapun selain ibadah mahdhah dan jihad maka asy-syaari’ tidak menentukan tatacara khusus akan tetapi tetap menentukan tasharruf nya (pengelolaannya). Menyelisihi tasharruf tidaklah dinamakan bid’ah. Akan tetapi disebut haram atau makruh sesuai dengan dalil dan qarinahnya. Sebagai contoh, membuat perseroan terbatas  (PT) tidak disebut bid’ah meski tetap disebut melanggar syari’at yakni haram.

Memerangi orang kafir yang belum sampai dakwah pada mereka tidak disebut bid’ah, tapi hanya disebut terlarang, karena tidak sah memerangi mereka sebelum didakwahi. Demikian pula jihad, meski bagian dari ibadah mahdhah namun syari’at tidak menentukan tatacara khusus dalam pelaksanaanya maka menyelisihinya tidak disebut bid’ah. Sedangkan ibadah maka sesungguhnya asy-syaari’ telah menjelaskan tatacara khusus dalam pelaksanaanya, maka perbuatan menyelisihi tatacara ini dinamakan bid’ah yang hukumnya haram. Contoh, adzan adalah ibadah yang wajib terikat dengan lafadz tertentu. Maka mengucap adzan dengan lafadz yang lain maka statusnya bid’ah. Atau menambah lafadz adzan dengan hayya ‘ala khair al-‘amal atau menambah shalawat atas Nabi pada lafadz adzan juga disebut bid’ah.

Adapun melagukan lafadz adzan tidak disebut bid’ah karena syariat tidak menentukan tatacara khusus dalam hal suara (lagu) adzan. Sebagaimana adzan, seluruh ibadah selain jihad, wajib terikat dengan tatacara khusus yang ada, menyelisihinya disebut bid’ah.

Adapun perintah yang datang dalam bentuk umum seperti dzikir, doa dsb tanpa memberikan rincian tatacara khusus dalam pelaksanaanya, maka tidak dikatakan bid’ah. Seperti Imam yang berdoa dengan suara yang nyaring pada hari raya idul fitri dan idul adha baik di masjid maupun di luar masjid. Demikian pula jama’ah shalat yang saling bersalaman usai shalat berjama’ah sambil mengucap “taqabalLahu”, membuat mimbar masjid lebih dari tiga tangga, dan membuatnya dari bahan kayu, batu dan sebagainya tidak disebut bid’ah

Semua itu dan contoh-contoh semisalnya tidak disebut bid’ah kerena doa dan dzikir tercakup di bawah nash-nash umum yang menuntut dzikir dan doa tanpa menentukan tatacara khusus. Karena itu apa yang dijelaskan syari’at mengenai waktu dan kondisi tertentu untuk berdzikir dan tidak melarang pada yang lainnya, maka apa yang dilakukan pada pada waktu dan kondisi yang lain tidak disebut bid’ah. Misalnya, membaca tasbih telah Allah perintahkan sebelum matahari terbit dan  sesudah tenggelam. Jika dibaca di malam hari dan siang hari tidaklah bid’ah.

Jika kaum muslimin bertakbir pada hari raya idul fitri seperti takbir idul adha tidak disebut bid’ah karena tidak adanya perintah dari Nabi untuk bertakbir di idul fitri bukan berarti dilarang. Demikian pula bertakbir secara berjamaah bahkan dengan suara nyaring di dalam masjid atau di tanah lapang sebelum pelaksaan shalat idul fitri atau adha tidak disebut bid’ah, karena tidak ada ketentuan khusus mengenai cara pelaksanaan takbir. 

Demikian pula berdoa antara adzan dan iqamah serta berdoa setelah shalat fardhu, bahkan dengan berjama’ah dimana imam memimpin makmum dan sama-sama menghadap kiblat tidaklah disebut bid’ah. Bukan berarti bahwa karena tidak ada riwayat khusus tentang tata cara berdoa maka dikatakan bid’ah. Tidak. Hal ini bersandarkan pada dalil umum yang menjelaskan keutamaan berdoa pada waktu-waktu ini. Nabi menyatakan:
الدعاء بين الاذان والاقامة لا يرد
Doa antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak (HR. Abu Dawud)

Demikian pula nabi pernah ditanya tentang kapan waktu berdoa yang diijabah Allah, Nabi menjawab:
جوف الليل وادبار الصلوات المكتوبة
Doa yang dipanjatkan di tengah malam dan setelah shalat wajib (HR. Tirmidzi)

Benar, seandainya ada ketentuan/tatacara khusus dalam hal format berdoa maka menyelisinya adalah bid’ah. Tapi karena tidak ada format khusus maka tidak bisa dikatakan bid’ah. Berbeda dengan cara mengangkat tangan dalam berdoa. Terdapat riwayat dalam hadist shalat istisqa dan hadist-hadist lain bahwa Nabi saw mengangkat tangan dalam berdoa. Demikian pula ada perintah untuk mengangkat tangan. Maka ini adalah tatacara khusus dalam hal berdoa, siapa yang menyelisihinya maka dia telah melakukan kebid’ahan.

Demikian pula tentang mengusap wajah setelah berdoa. Menurut kalangan yang menyatakan bahwa hadist-hadist mengenai mengusap wajah setelah shalat derajatnya dha’if  (tidak shahih) maka perbuatan ini dipandang bid’ah menurut penganut pendapat ini.

Akan tetapi sebagian ahli fikih menyatakan bahwa mengusap wajah setelah berdoa hukumnya sunnah. Mereka berdalil dengan hadist riwayat Tirmidzi dari Umar bin Khattab, beliau berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا مد يديه في الدعاء لم يردهما حتى يمسح بهما وجهه
Rasulullah saw jika menengadahkan tangan saat berdoa, beliau tidak mengembalikannya hingga mengusap wajah beliau dengan kedua tangannya (HR. Tirmidzi)

Mereka menyatakan bahwa hadist ini memiliki sejumlah hadist penguat (syawahid) dari riwayat Abu Dawud dari jalur Ibnu Abbas dan yang lainnya. Sehingga derajat hadist di atas menjadi hasan. Mereka berdalil mengenai disyari’atkannya mengusap wajah setelah berdoa karena masih ada syubhatu ad-dalil. Akan tetapi menurut kalangan yang tidak mengakui hasannya hadist di atas, karena sejumlah hadist dhaif tidak menjadikannya naik derajat menjadi hasan maka menurut mereka mengusap wajah setelah doa statusnya bid’ah.

Contoh lain, berdoa dengan bagian telapak tangan menghadap ke langit ketika meminta sesuatu kepada Allah dan membaliknya ketika meminta perlindungan terhindar dari bala bencana. Hal ini menurut sebagian ulama adala perbuatan bid’ah. Yang benar adalah hal ini hukumnya sunnah berdasar hadist riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik, Nabi berdoa meminta hujan dengan memberi isyarat dengan punggung tangan beliau yang menghadap ke langit. Dan diriwayatkan dari Khilad bin Saib dari ayahnya, bahwa Nabi saw jika berdoa, telapak tangan beliau menghadap ke langit. Dan jika meminta perlindungan, punggung tangan beliau dihadapkan ke langit. Ini adalah dalil bahwa hukumnya sunnah bukan bid’ah.
Seandainya setiap berdoa Nabi selalu menghadapkan telapak tangan beliau ke langit maka menghadapkan punggung tangan ke langit adalah perbuatan bid’ah, karena menyelisihi tatacara khusus yang telah ditetapkan Nabi saw.

Sama juga ketika datang nash-nash yang mutlak atau di waktu tertentu atau kondisi tertentu. Misalnya dzikir, terkadang ada pujian jika dibaca dalam kondisi tertentu, atau sangat ditekankan dalam kondisi tertentu, tapi itu bukan kaifiyyah (tatacara) tertentu. Jika doa dan dzikir ada ketentuan/tatacara khusus maka wajib mengikuti tatacara ini. Jika menyelisihinya maka statusnya  bid’ah. Rasul saw telah mengangkat tangan beliau ketika berdoa bahkan terlihat putih ketiaknya, ini adalah kaifiyah, maka orang yang berdoa semestinya mengangkat kedua tangannya sebagaimana yang dilakukan Nabi saw.  Jika menyelisihi, misalnya mengangkat tangan sambil mengepal maka disebut bid’ah.

Akan tetapi jika seseorang berdoa tapi tidak mengangkat tangannya maka tidak dikatakan bid’ah karena ia tidak menyelisihi tatacara berdoa. Karena yang disebut bid’ah adalah jika melakukan perbuatan yang menyelisi tatacara yang telah ditetapkan syari’at. Ini semua pada perkara ibadah. Adapun pada perkara yang tidak termasuk ibadah seperti membangun tempat khusus bagi muadzin, pengeras suara dsb tidak disebut bid’ah karena tidak menyelisihi tatacara khusus yang telah ditetapkan syari’at.  Wallahu a’lam bi shawab

Alalak, 18 Dzulhijjah 1437 H / 20 September 2016
Diterjemahkan dan disarikan dari kumpulan tanya jawab fikih dan siyasah tanggal 21 Shafar 1410 H
Mutarjim: al Faqiir ila rahmatiLlah Wahyudi Abu Syamil Zainul Umam Hanafi

" البدعة"

البدعة هي كل فعل لم يأت الشرع به، اي هي كل فعل يخالف الشرع، وهي التي تدخل تحت قول الرسول"كل امر ليس عليه امرنا فهو رد"فكل ما يخالف الشرع بدعة، الا ان هناك افعال جاء الشرع بدليل عام لها فلا يسمى ما يدخل تحتها بدعة مثل تعلم الكيمياء فانه يدخل تحت ادلة العلم، ومثل السفر للنزهة ومثل جعل المهر عشر دجاجات، ومثل ايجاد مأذنة للمسجد، ومثل كشف الرجل رأسه في الطريق العام، ومثل انارة المسجد بالكهرباء او بثريات من التحف فان هذه كلها لا تسمى بدعة، لانها وان لم يأت بها الشرع،

 ولم تكن من زمن الرسول صلى الله لعيه وسلم فانها تدخل تحت الادلة العامة، لان الحوادث تتجدد والافعال تتجدد وتتنوع، فليس كل فعل لم يأت به الشرع بدعة، ولا كل فعل لم يأت في زمن الرسول بدعة، بل البدعة هي الفعل الذي يخالف ما جاء به الشرع، وهذا لا ينطبق على جميع الافعال، وانما ينطبق فقط على الافعال التي حدد الشارع كيفيتها، فان المسلم مكلف بالاتيان بالفعل على الوجه الذي جاء به الشارع فاذا خالف ذلك فقد فعل البدعة، هذا هو معنى البدعة، وبالتتبع والاستقراء يرى ان الشارع لم يعين كيفية الافعال، الا في العبادات ما عدا الجهاد، واما غير العبادات وكذلك الجهاد من العبادات، فان الشارع لم يحدد الافعال وانما حدد التصرفات، فمخالفة التصرف لا يسمى بدعة وانما هو حرام او مكروه حسب الدليل، واما مخالفة الفعل فهو الذي يقال له بدعة، فشركات المساهمة لا يقال لها بدعة مع كونها تخالف الشرع، وانما يقال انها حرام لانها لا تنطبق على ادلة الشرع التي جاءت بالشركات،
وقتال الكفار الذين لم تبلغهم الدعوة قبل تبليغهم الدعوة لا يقال له بدعة وانما يقال انه لا يجوز لانه لا يصح قتالهم قبل تبليغهم الدعوة، وهكذا فالقتال والتصرفات لا يقال فيها بدعة لانها ليست افعالا وانما تصرفات، وفي الجهاد وان كانت افعالا ولكن الشرع لم يأت بكيفية معينة بها وانما اتى بأمر يتعلق بها ولذلك لا يقال فيها بدعة وغير بدعة واما العبادات فان الشارع فقد اتى بكيفية معينة امر بها،
فمخالفة هذه الكيفية بدعة وهي حرام، فمثلا جاء الشرع بأفعال معينة للأذان، وجعل الاذان عبادة فيجب التقيد بهذه الالفاظ التي جاء بها الشرع، فالاتيان بألفاظ غيرها بدعة، وزيادة لفظ عليها او لفظا واحدا بدعة، ولذلك كان زيادة لفظ"حي على خير العمل"او زيادة الصلاة على النبي في اخر الاذان او مد لفظ الاذان او احرفه بما يخرجه عن وضعه في اللغة، كل ذلك بدعة، لانه يخالف ما جاء الشرع به، بل يجب ان يؤتى بألفاظ الاذان واحرفها طبقا لما جاء به الشرع،

واما التغني بألفاظ الاذان فانه لا يقال بدعة لان الشرع لم يأت بكيفية معينة للصوت حتى يقال خالف ما جاء به الشرع، بل جاء النهي عن بعض الكيفيات كالتغني فيكون فعل ما نهى الشرع عنه حراما او مكروها حسب دليل ذلك الفعل . ولذلك لا يقال لصوت الاذان وكيفيته بدعة بل يقال لما يزاد على الفاظ الاذان بدعة، مثل الاذان سائر العبادات ما عدا الجهاد اما ما جاء الامر به كالذكر والدعاء ونحوهما عاما دون التقييد بكيفية مخصوصة فانه لا يقال له بدعة فدعاء الامام بصوت مرتفع يوم العيد في المسجد او في غير المسجد

ومصافحة المصلين بعضهم لبعض بعد الصلاة قائلين تقبل الله، وقول الرجل لمن صلى"تقبل الله"وقوله لمن توضأ"من زمزم"وجعل منبر المسجد اكثر من ثلاث درجات، وجعل منبر المسجد ضخما او من خشب او من بناء حجر وغيره،

كل ذلك وامثاله لا يقال له بدعة لانه كله ذكر ودعاء فيدخل تحت النصوص التي طلب فيها الذكر والدعاء لانه لم تعين كيفية معينة للذكر والدعاء، وكذلك ما جاء به الشرع من انواع الذكر من وقت معين او في حالة معينة ولم ينه عنه في غيره، لا يكون الاتيان به غير ذلك الوقت او في غير تلك الحالة التي جاء بها الشرع بدعة .فالتسبيح قد امر به الله قبل طلوع الشمس وبعد الغروب، في الليل او وسط النهار لا يقال عن ذلك بدعة .
واذا كبر المسلمون في عيد الفطر كتكبيرهم في عيد الاضحى لا يقال له بدعة لان عدم امر الرسول به في عيد الفطر لا يعني نهيا عنه فيه، والكبير في كل وقت جائز وفي عيد الضحى اكد، لان الامر جاء به هناك، وتكبير المسلمين في المسجد قبل صلاة العيد بشكل جماعي وبأصوات مرتفعة سواء في عيد الضحى وفي عيد الفطر لا يقال له بدعة، لان الكبير لم تأت به كيفية مخصوصة لا يصح الاتيان به الا بحسبها وايضا فان الرسول صلى الله عليه وسلم يقول"الدعاء بين الاذان والاقامة لا يرد"وسئل عليه السلام اي الدعاء اسمع فقال"جوف الليل وادبار الصلوات المكتوبة"ولكن هذا القول لا يعني ان الهيئة التي يفعلها الناس في الدعاء بعد السلام من الصلاة بأن يبقى الامام مستقبل القبلة والمؤتمون خلفه، يدعون، لا يقال عن ذلك انه بدعة بحجة ان ذلك لم يكن من هدي الرسول ولا روي عنه، لان كون الدعاء بين الاذان والاقامة لا يرد وكونه في جوف الليل وادبار الصلوات المكتوبات اسمع لا يعني انه لا يجوز للامام والمأموميين ان يظلوا بعد الصلاة مستقبلي القبلة، يدعون ويدعون، لان معنى كونه بدعة انه لا يجوز وانه حرام، فمن اين جاء كون الدعاء باية هيئة بدعة ؟


نعم لو وردت كيفية معينة في الدعاء وخالفها كان بدعة وهذا غير موجود في مثل هذه الهيئة فمثلا، ورد عن الرسول صلى الله عليه وسلم في حديث الاستسقاء وفي احاديث اخرى انه رفع يديه في الدعاء، وورد الامر برفع اليدين في الدعاء، فهذه كيفية مخصوصة في الدعاء، فمن خالفها فقد فعل البدعة،



وهناك من الناس من اذا فرغ من الدعاء مسح بيديه ووجهه، فهذه كيفية زائدة عن فعل الرسول ولم يصح فيها حديث فهي بدعة عند من لم يصح لديه حديث فيها، ولكن بعض الفقهاء يقول عنها انها سنة ويستدل على ذلك بحديث الترمذي عن عمر انه قال :"كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا مد يديه في الدعاء لم يردهما حتى يمسح بهما وجهه"ويقولون ان لهذا الحديث شواهد منها عند ابي داود من حديث ابن عباس وغيره، ومجموعهم يقضي بأنه حديث حسن،

ويستدلون على ذلك بمشروعية مسح الوجه باليدين بعد الفراغ من الدعاء فهذا عند هؤلاء ليس بدعة لان لهم شبهة الدليل، ولكن عند من لا يعتبر هذه الاحاديث بأنها من الحسن لان تعدد الضعيف لا يجعله حسنا يكون مسح الوجه عند هؤلاء حينئذ بدعة،

وممثلا رفع اليدين بباطن الكف الى السماء عند المسجد بسؤال الله بشيء، ويظهرهما عند الاستعاذة او عند الدعاء برفع البلاء يدعي البعض بأنه بدعة، لكن الحق انه سنة لما رواه مسلم عن انس ان النبي صلى الله عليه وسلم استسقى فأشار بظهر كفه الى السماء، ولما روي عن خلاد بن السائب عن ابيه"ان النبي صلى الله عليه وسلم كان اذا سأل جعل بطن كفيه الى السماء واذا استعاذ جعل ظهرهما اليها"فهذا دليل على انه سنة وليس ببدعة،

 ولكن لو لم يفعله بأن جعل كل دعائه بباطن كفيه الى السماء لا يكون قد فعل بدعة، ولكنه لو لم يرد في الحديث وفعله كان فعله حينئذ بدعة لانه خالف الكيفية،

وهكذا جميع ما جاء به الشرع من انواع الذكر والدعاء لما يبين كيفية مخصوصة للاتيان بحسبهما، فلا يقال لمن اتى به على اية كيفية يراهما انه بدعة، سواء جاء في النصوص مطلقا او في اوقات مخصوصة او في حالات مخصوصة لان طلب الذكر جاء عاما، وكونه قد مدحه في حالات او اكد عليه في حالات لا يعني انها كيفية له . ولكن اذا اتى بكيفية معينة بالدعاء او الذكر التزمت تلك الكيفية فاذا خولفت كانت مخالفتها بدعة، فالرسول قد رفع يديه الى السماء عند الدعاء حتى رؤي بياض ابطيه، فهذه كيفية، فاذا  رفع من يدعو يديه يجب ان يرفعهما كما رفعهما الرسول، فاذا خالف ذلك كان بدعة، ولكن اذا دعا ولم يرفعهما لم يكن قد فعل بدعة لانه لم يخالف الكيفية ولكن لم يفعلها، وعدم فعلها ليس بدعة بل فعلها على خلاف الكيفية الشرعية هو البدعة .وهذا كله في العبادات، اما ما كان مما لا يدخل في العبادات مثل بناء ماذن المساجد ووضع مكبرات الصوت وانارة الماذن ليلة الجمعة وما شابه ذلك، لا يقال له بدعة لانه لم يخالف بها كيفية معينة جاء بها الشرع، بل كلها افعال مباحة تدخل تحت المباحات . والبدعة بدعة فلا توجد بدعة حسنة وبدعة سيئة بل كلها بدعة .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGUPAS KAIDAH “MÂ LÂ YATIMMU Al-WÂJIB ILLÂ BIHI FAHUWA WÂJIB”

ATAP RUMAH MENJOROK KE JALAN

CARA DUDUK TASYAHUD AKHIR MENURUT 4 MADZHAB